KLASIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM HUKUM ISLAM
Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 22-33.
A. Tindak Pidana Hūdūd
Hūdūd adalah
bentuk jamak dari kata haḍ yang
mengandung arti mencegah atau menghalangi, dalam artian hukuman ini dapat
mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman.
Sedangkan menurut istilah hūdūd adalah
hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah
ditetapkan bentuk dan ukurannya dalam syariat, baik dikarenakan melanggar hak
Allah maupun hak manusia.[1]
Sedangkan menurut ‘Abdul Qadir Aūdah haḍ adalah
hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah.
Adapun ciri-ciri hukuman jarīmah hūdūd dalah:
1. Hukuman yang dijatuhkan bersifat tertentu dan
terbatas, dalam artian bentuk hukumannya telah ditentukan oleh syara’
dan tidak ada batas miniml dan batas maksimal dalam hukumannya;
2. Hukuman yang dijatuhkan merupakan hak Allah
semata, jika ada hak manusia disamping hak Allah, maka hak Allah yang lebih
diutamakan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Syaltut, hak Allah adalah
suatau hak yang dimana manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu
bagi seseorang.[2]
Adapun kategori jarīmah hūdūd adalah sebagai berikut: zina, menuduh berbuat zina (qadzf), pencurian (al-sarīqah), merampok (hirābah), Pemberontakan (al-baghyu) minum-minuman keras (surbah), perampokan (hirābah) dan murtad (riddah). Jarīmah-jarīmah ini termasuk kedalam jarīmah yang menjadi hak Allah, jarīmah ini menyangkut masyarakat banyak, oleh karena itu, hak Allah identik dengan hak orang banyak atau hak masyarakat.[4]
Tabel
1
Bentuk
Jarīmah dan
Hukuman Hūdūd dalam
Pidana Islam
Jarīmah |
‘Uqubat |
Keteranngan |
Zina |
-Muhsan (sudah menikah) di Rajam -Ghairu Muhson (lajang) dicambuk 100 kali |
QS. al-Nūr: 2,
30-31; An-Nisā’ ayat 15, Al-Isra’ ayat 32, |
Tuduhan Zina (qadzaf) |
80
kali cambuk |
QS.
al-Nur: 4, 13, 19, 23, 24 |
Meminum Keras (khamar) |
40-80 kali cambuk |
An-Nisā’: 43 Al-Māidah: 90-91 Al-Bāqarah: 219 Dan ditetapkan berdasarkan Sunnah fi’liyyah yang dilakuan oleh Rasulullah |
Pencurian (al-sarīqah) |
Potong
tangan |
QS.
al-Mā’idah: 38 |
Perampokan (hirābah) |
Dibunuh; disalib; dipotong tangan dan kaki |
QS. al-Mā’idah: 33 – 34. |
Murtad (riddah) |
Dibunuh |
QS.
An-Nisā: 137, Al-Bāqarah: 217 Ditetapkan oleh Rasulullah dalam
Hadis. |
Pemberontakan (al-baghyu) |
Dibunuh, kecuali ada perdamaian. |
QS. al-Ḥujurat: 9. |
Pembunuhan |
Kiṣaṣ atau
diyāt |
QS.
al-Bāqarah: 178-179. |
B.
Kiṣaṣ, Diyāt dan Kafarat
1.
Kiṣaṣ (qishāsh)
Kata
Kiṣaṣ berasal dari bahasa Arab yang berarti mencari
jejak. Menurut Alī al-Fayūmī kata Kiṣaṣ dimaknai dengan menghukum pembunuh dengan membunuh, mencederakan
pencedera, memotong tangan orang yang memotong tangan.[5]
Sedangkan
dalam istilah Hukum Islam, Kiṣaṣ adalah
pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh
dan bila ia memotong anggota tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong.[6]
Wuzārat al-Awqāf mengatakan bahwa Kiṣaṣ adalah
diperlakukan pada yang melakukan jināyāt seperti apa ia lakukan.[7]
Al-Qur’ān sendiri memberikan isyarat bahwa yang dimaksud
dengan kiṣaṣ adalah
sanksi hukum yang
ditetapkan dengan semirip mungkin (yang relatif sama) dengan tindak pidana yang
dilakukan sebelumnya.
Di
dalam al-Qur’ān, kata Kiṣaṣ disebutkan 4 (empat) kali dan semuanya di
dalam bentuk ism (kata benda). Dua di antaranya ism ma’rifah
(kata benda defenitif) dengan alif dan lam (ال)
dan dua yang lain ism nakirah (kata benda indenfinitif).[8]
Secara
garis besar Kiṣaṣ dapat
disimpulkan sebagai penghukuman yang setimpal, yakni nyawa diganti dengan
nyawa, mata diganti dengan mata dan seterusnya.
Kiṣaṣ tidak
selamanya dikaitkan dengan pembunuhan atas pelakunya, akan tapi adakalanya pelaku tidak dikenakan hukuman pembunuhan atas
perbuatannya dikarenakan adanya unsur-unsur lain yang menyertainya. Kisas dapat dibedakan menajdi empat macam:
1. Pembunuhan disengaja;
2. pembunuhan mirip disengaja;
3. pembunuhan tidak sengaja,
4. pembunuhan terjadi karena ketidaksengajaan.
2. Diyat
Sedangkan
pengertian diyāt secara
bahasa memiliki arti
harta yang wajib bagi jiwa. Sedangkan secara istilah diyāt adalah harta
yang wajib disebabkan jināyah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa
atau pada apa yang selainnya.[9]
Diyāt adalah sejumlah harta yang wajib diberikan karena suatu tindakan jināyāh kepada
korban kejahatan atau walinya.
Diyāt disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan. Adapun tindak pidana yang dapat digolongkan kepada jarīmah kiṣaṣ diyāt adalah: Pembunuhan sengaja (al-qathu al-‘amdī); pembunuhan semi sengaja (al qathu syibh al-‘amdī); pembunuhan karena kesilapan/tidak sengaja (al-qathu al khatta’); penganiayaan/pencederaan dengan sengaja (al-jarhal ‘amdī); penganiayaan/ pencederaan dengan tidak sengaja (al-jarhu ghairu al-‘amdi wa al-khatta’).[10]
Tabel
2
Bentuk
Hukuman Kisas dan Diyat
Jarīmah |
‘Uqubat |
Keteranngan |
|
|
|
Pembunuhan di sengaja |
-Di bunuh jika
tidak dimaafkan oleh wali terbunuh. -membayar denda
(diyāt) jika
dimaafkan oleh wali korban. Adapun dendanya adalah: 100 ekor untu terdiri
dari 30 ekor unta dewasa, 30 untuk muda dan 40 ekor unta dalam keadaan
mengandung. |
QS.
Al-Isra’: 33, Al-Bāqarah:
179. |
Pembunuhan Mirip disengaja |
Diyat
(denda) berat yakni 100 ekor unta, dan 40 ekor diantaranya sedang bunting. |
HR. Bukhari, HR .Ahmad, HR. Abu Dawud |
Pembunuhan Tidak di sengaja |
Diyat ringan dengan
100 ekor unta dan kafarat dengan
membebaskan budak (jika ia tidak
menjumpai budak maka puasa 2 bulan berturut-turut) |
QS.
An-Nisā’: 92 |
Pembunuhan terjadi karena ketidaksengajaan |
diyat
ringan 100 ekor unta dan wajib
membayar kafarat dg membebaskan budak. Jika ia tidak membebaskan budak maka
wajib puasa dua bulan berturut-turut. |
QS. An-Nisā’: 92 |
3. Kafarat
Kafarat adalah denda yang harus dibayar karena melanggar larangan Allah
atau melanggar janji. Kafarat merupakan asal
kata dari kata “kufir” yang artinya tertutup. Maksudnya tertutupnya
hati seseorang hingga ia berani melakukan pelanggaran terhadap aturan syar'ī.
Sedangkan secara istilah, Kafarat adalah
denda yang wajib dibayarkan oleh seseorang yang telah melanggar larangan Allah
tertentu. Kafarat merupakan tanda taubat Allah dan penebus dosa.
Adapun macam-macam kafarat adalah sebagai
berikut:
a.
Kafarat pembunuhan
Salah satu tujuan Islam dalam Maqāsidu
as-Syarī’ah adalah hifdzul nafs yakni untuk melindungi segenap jiwa
manusia dari segala bentuk tindakan yang dapat merampas hak hidup seseorang. Oleh
karenanya seseorang tidak dibenarkan untuk melakukan pembunuhan tanpa adanya
alasan pembenar terhadap tindakan pemebunuhan tersebut (haq). Karenanya, seorang yang membunuh orang lain tanpa akan dikenakan Kiṣaṣ atau
membayar diyāt jika keluarga korban memaafkannya, selain itu sipembunuh juga diwajibkan membayar kafarat. Kafarat bagi
pembunuh adalah memerdekakan budak muslim. Jika ia tak mampu melakukannya maka
pilihan selanjutnya adalah berpuasa 2 bulan berturut-turut. Hal ini sebagaimana
diterangkan Allah dalam surat An-Nisā ayat 92.
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ
اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ
لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۗوَاِنْ كَانَ مِنْ
قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى
اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا
حَكِيْمًا
“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
b.
Kafarat dzihar
Dzihar adalah perkataan seorang suami kepada
istirnya, “kau
bagiku seperti punggung ibuku”. Pada masa jahiliyyah dzihar dianggap sebagai thalaq. Akan
tetapi setelah syariat Islam turun, ketetapan hukum dzihar yang berlaku di kalangan
masyarakat jahiliyyah dibatalkan. Syariat Islam menegaskan bahwa dzihar
bukanlah thalaq, dan pelaku dzihar wajib menunaikan kafarat
dzihar sebelum ia melakukan hubungan biologis dengan istrinya.
c.
Kafarat melakukan jimak siang di bulan Ramadhan
Kafarat yang
ditetapkan untuk pasangan suami istri yang melakukan hubungan biologis pada
siang hari di bulan Ramaḍan sama dengan kafarat dzihar ditambah qaḍa sebanyak
jumlah hari mereka melakukan hubungan biologis di siang hari bulan Ramadhan.
d.
Kafarat karena melanggar sumpah
Kafarat bagi
seorang yang bersumpah atas nama Allah kemudian ia melanggarnya adalah memberi
makan 10 fakir miskin, atau memberikan pakaian kepada mereka, atau memerdekakan
budak. Jika ketiga hal tersebut tidak mampu ia lakukan, maka diwajibkan baginya
puasa 3 hari berturut-turut. Dalil naqli terkait hal ini adalah firman
Allah SWT dalam QS. Al-Māidah ayat 89.
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ
بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ
الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا
تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا
حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ
اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
e.
Kafarat ila’
Kafarat Ila’ adalah sumpah suami untuk tidak melakukan
hubungan biologis dengan istrinya dalam masa tertentu. Semisal perkataan suami
kepada istirnya, “Demi Allah aku tidak akan menggaulimu”. Konsekuensi yang muncul karena ila’ adalah suami membayar kafarat
ila’ yang jenisnya sama dengan kafarat yamin (kafarat
melanggar sumpah) sesuai dengan ayat al-Qur’ān yang termuat dalam Surah al-Bāqarah
ayat 226-227.
لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ
نِّسَاۤىِٕهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍۚ فَاِنْ فَاۤءُوْ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ
رَّحِيْمٌ وَاِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Bagi orang yang meng-ila' istrinya harus menunggu empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”.
f.
Kafarat karena
membunuh biantang buruan pada saat berihram
Kafarat jenis
ini adalah mengganti binatang ternak yang seimbang, atau memberi makan orang
miskin, atau berpuasa. Aturan kafarat ini Allah SWT jelaskan dalam al-Qur’ān al-Māidah ayat 95 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika kamu sedang ihram (haji atau umrah). Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa ke Ka‘bah, atau kafarat (membayar tebusan dengan) memberi makan kepada orang-orang miskin, atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Dan Allah Mahaperkasa, memiliki (kekuasaan untuk) menyiksa”.
C. Tindak Pidana Ta’zīr
Menurut bahasa ta’zīr berasal dari
kata “azzara” yang berarti menolak, mencegah dan juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan
dan menolong.[11]
Hal ini dikarenakan ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya
lagi.
Ta’zīr juga diartikan dengan mendidik, karena ta’zīr
dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar (pelaku) menyadari
perbuatannya, kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Inilah pengertian ta’zīr
yang di kemukakan oleh ‘Abdul Qādir Aūdah[12] dan
Wahbah Zuhaili.[13]
Adapun ta’zīr menurut
hukum pidana Islam
adalah suatu tindakan yang berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku
perbuatan dosa yang tidak ada sanksi haḍ dan kaffaratnya.
Dalam artian ta’zīr adalah hukuman yang bersifat edukatif dan
hukumannya di tentukan oleh hakim, atau pelaku tindak pidana atau pelaku
perbuatan maksiat yang hukumannya
belum ditentukan oleh syariat.[14]
Sedangkan pengertian ta’zīr
menurut istilah
sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Mawardi[15] ta’zīr adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan
dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’, atau bentuk hukuman
yang tidak disebutkankan ketentuan hukumnya oleh syara’ dan menjadi
kekuasaan penguasa dan hakim.[16]
Secara
ringkas dapat di jelaskan bahwa jarīmah ta’zīr adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ akan tetapi
diserahkan kepada hakim, baik penentuan maupun pelaksanaannya.
Dalam
menentukan hukuman ta’zīr, hakim hanya menetapkan secara umum, artinya
pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarūmah
ta’zīr, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang
seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya.
Pengertian
ta’zīr juga dapat dipahami sebagai perbuatan-perbuatan maksiat yang
tidak dikenakan hukuman haḍ atau kaffarat.
Bentuk hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman
dalam jarīmah ta’zīr tidak ditentukan berapa ukuran dan kadarnya,
artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya
kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syariah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarīmah.[17]
Adapun
bentuk sanksi ta’zīr bisa
beragam, sesuai keputusan hakim. Secara garis besar jarīmah ta’zīr dapat dibedakan menjadi beberapa macam,
diantaranya: hukuman
mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman
cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan,
menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras,
hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
Bila
dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zīr juga
dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1.
Jarīmah ta’zīr yang
berasal dari jarīmah-jarīmah hūdūd atau Qisas akan tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi atau
ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau
oleh keluarga sendiri;
2. Jarīmah ta’zīr yang
jenisnya disebutkan dalam nash syara’
tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi
takaran dan timbangan;
3. Jarīmah ta’zīr yang
baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga
ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai
pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas;[18]
Tabel 3
Perbedaan dan persamaan Antara, hūdūd, diyāt, ta’zīr
Hudud |
Diyat |
Ta’zir |
Bentuk jarīmah-nya ditentukan. |
Bentuk jarīmah-nya ditentukan |
Tidak ditentukan |
Jumlahnya terbatas. |
Jumlahnya terbatas |
Tidak ditentukan |
Sanksi ditentukan. |
Sanksi ditentukan |
Banyak alternatif sanksi |
Tidak ada sanksi
pengganti, tapi ada sanksi tambahan. |
Ada sanksi pengganti
dan ada sanksi tambahan |
Satu jarīmah dapat berbeda sanksi |
Umumnya satu jarīmah satu sanksi. |
Pada dasarnya begitu,
kecuali ada permintaan dari korban dan wali |
Dapat beberapa sanksi
atau memilih |
Sifat legalitasnya
ketat. |
Sifat asas
legalitasnya ketat |
Longgar/ elastis |
Hak tuhan |
Hak adami |
Hak penguasa |
Tidak ada pemaafan. |
Ada pemaafan |
Kemungkinan ada
pemaafan |
Kekuasaan hakim
terbatas. |
Kekuasaan hakim
terbatas |
Kekuasaan hakim sangat luas |
Jumalah sanksi
tertentu dalam pembuktian. |
Jumlah tertentu |
Tidak tentu bergantung pada kebutuhan |
Tidak dapat dikenakan
pada anak kecil dan orang gila. |
Tidak dapat dikenakan
pada anak kecil dan orang gila |
Dapat dikenakan |
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 22-33.
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda