Sabtu, 31 Desember 2022

MENUDUH BERBUAT ZINA (Jarīmah Qadzf)

 Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 40-45.

A.    Pengertian Jarīmah Qodzf

Secara bahasa makna kata qadzf adalah al-ramyu bī al-shaiī (menuduh sesuatu). Sedangkan secara istilah adalah menuduh berzina atau melakukan liwat (homoseksual).

Ulama fikih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan qadzf adalah menasabkan seorang anak kepada laki-laki lain disebabkan zina, atau memutuskan keturunan seorang muslim.[1] Apabila seseorang mengatakan kepada orang lain, engkau pezina; engkau anak zina atau engkau bukan anak ayahmu, maka seluruh ungkapan ini disebut sebagai qadzf.

Qadzf bisa juga berlaku dalam tindak pidana tazīr, yaitu terhadap segala bentuk tuduhan yang diharamkan bagi setiap muslim, umpamanya, menuduh orang lain melakukan pencurian menuduh orang lain meminum minuman keras, dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan hukum pidana Islam istilah qadzf lebih ditekankan kepada menuduh orang lain berbuat zina, baik tuduhan itu melalui pernyataan yang jelas maupun menyatakan anak seseorang bukan keturunan ayah atau ibunya. Qadzf  terdiri dua macam, yaitu :

1.     Qadzf yang diancam dengan hukuman haḍ yaitu menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya.

2.     Qadzf yang diancam dengan hukuman ta’zīr yaitu menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan.

B.    Unsur-unsur Tindak Pidana Qadzf

Qadzf yang dijatuhi hūdūd adalah menuduh orang baik-baik (muhsan) berzina atau menafikan nasab darinya. Dari sini jelas bahwa ada tiga unsur yang harus terpenuhi pada jarīmah qadzf:[2]

1.     Menuduh berbuat zina atau menafikan nasab

Unsur ini akan terpenuhi jika pelaku menuduh korban berzina atau menafikan nasabnya, sedangkan ia tidak mampu membuktikan tuduhannya. Menuduh zina terkadang disertai dengan menafikan nasab si tertuduh dan terkadang tidak. Orang yang mengatakan “hai anak zina” pada seseorang berarti telah menafikan nasab korban dan menuduh ibunya berbuat zina.

Orang yang berkata “hai pezina” kepada seseorang berarti telah menuduh berzina tanpa menafikan nasabnya. Menuduh zina dan mengaitkan hal tersebut dengan ibu korban berarti menafikan nasab orang yang dituduh. Menafikan nasab berarti menuduh ibu atau salah satu ibu– si tertuduh.

Siapa saja yang menasabkan seseorang kepada selain bapaknya atau kakeknya berarti ia telah menuduh ibu atau nenek korban sebagai pelaku zina. Jika tuduhan bukan mengenai perzinaan atau penafian nasab, tidak ada hukuman hūdūd.

 

2.     Orang yang dituduh harus muhsan

Orang yang dituduh berzina, baik laki-laki maupun perempuan, harus muhsan. Dalil disyaratkannya ihsan adalah firman Allah SWT QS. An-Nur: 4


وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ

 

“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik“.

 

اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ

Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar,

3.     Berniat melawan hukum

Unsur ketiga, yaitu berniat melawan hukum dianggap terpenuhi jika pelaku menuduh seseorang berzina atau menafikan nasabnya, padahal ia tahu bahwa apa yang ia tuduhkan tidak benar. Jadi ketidakmampuan membuktikan kebenaran qadzf merupakan indikasi bahwa ia mengetahui ketidakbenaran qadzf yang ia perbuat.

Ia berhak mengklaim bahwa qadzf tersebut dibuatnya berdasarkan beberapa sebab yang masuk akal. Ini karena sebelum menuduh seseorang, ia harus memiliki bukti kebenaran qadzf tersebut.[3]

Pelaku qadzaf tidak disyaratkan memiliki niat membahayakan atau mencelakai orang yang dituduh. Dengan demikian, motivasi yang mendorong pelaku melakukan qadzf tidak perlu diperhatikan.

C.    Syarat-syarat Qadzf

Untuk menjatuhkan hukum dera dalam qadzf terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi tiga hal, yaitu syarat-syarat yang harus ada pada qadzif (yang menuduh zina), syarat-syarat yang harus ada pada maqdzuf (yang dituduh zina), dan syarat-syarat yang harus ada pada maqdzuf bih (sesuatu yang dibuat menuduh zina).[4]

1.     Syarat yang harus ada pada qadzif

a.     berakal

b.     baligh

c.     tidak dipaksa dengan pihak lain

d.   Orang yang menuduh itu bukan ayah dari orang yang dituduh, bukan pula kakek atau neneknya sampai ke atas.

Imam Abu Hanīfah, asy-Syafi’ī, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika seorang ayah atau ibu dan keatasnya melakukan qadzf terhadap anaknya atau kebawahnya, ia tidak wajib dijatuhi hukuman hūdūd. Alasan yang pertama, meskipun hukuman qadzf berupa hukuman hūdūd, ia berkaitan dengan hak-hak perseorangan. Kedua, qadzf merupakan hak yang hukumannya tidak bisa dilaksanakan kecuali ada tuntutan (gugatan) dari orang yang menuntut sehingga hak dalam masalah qadzf menyerupai hak dalam masalah kiṣaṣ.

Karenanya, jika hukuman hūdūd gugur dengan adanya syubhat, anak tidak bisa membuat orang tuanya dijatuhi hukuman hūdūd. Jika anak tidak boleh menjatuhkan Kiṣaṣ dan memotong tangan orang tua yang mencuri hartanya, apalagi jika orang tua melakukan qadzf atas anaknya, ia pasti tidak dijatuhi hukuman hūdūd.

Para fukaha meyakini pendapat ini menyatakan bahwa jika orang tua mengatakan, “hai, anak zina kepada anak dari isterinya yang sudah meninggal, si anak tidak berhak menggugat. Akan tetapi, jika isteri yang sudah meninggal memiliki anak lain dari suami tersebut, anak yang bukan dari suami tersebut bisa mengajukan gugatan terhadap ayah tirinya karena hukuman hūdūd qadzaf menjadi hak masing-masing orang secara perseorangan.[5]

 

2.     Syarat yang harus ada pada maqdzuf

a.     Berakal

b.     Baligh

c.     Islam

d.     Merdeka

e.     Terjaga kehormatannya

 

3.     Syarat-syarat yang harus ada pada maqdzuf bih

a. Pernyataan dengan kata-kata yang jelas, seperti panggilan, “Hai orang yang berzina”, atau kata-kata yang dianggap jelas, seperti pernyataan, “Hai, kamu lahir tanpa bapak.” Pernyataan ini berarti menuduh bahwa ibu dari orang yang menerima pernyataan telah berbuat zina;

b. Pernyataan dengan kata-kata sindiran yang jelas arahnya, misalnya ada dua orang bertangkar. Kemudian, yang satu berkata, “walaupun aku jelek seperti ini, aku tidak pernah berbuat zina dan ibuku juga tidak pernah berbuat zina.” Pernyataan seperti ini merupakan sindiran yang dianggap menuduh zina kepada lawannya dan ibunya.

D. Sanksi Qodzf

Hukuman untuk jarīmah qadzf ada dua macam yakni:


1.     Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak-banyaknya delapan puluh kali. Hukuman ini adalah merupakan hukuman haḍ yang telah ditentukan oleh syara’;

2.     Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.

Jumlah jilid adalah 80 kali, tidak dikurangi dan tidak ditambah, bila ia bertobat. Menurut Imam Abu Hanīfah tetap tidak dapat diterima. Sedangkan menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’ī, Imam Mālik dapat diterima kembali persaksiannya apabila telah tobat.  Perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan mereka dalam mengartikan Surat An-Nūr ayat 4 tentang istisna (eksepsi) apakah istisnanya kembali kepada kata yang terdekat atau kembali kepada seluruhnya.

Di samping itu, menurut Imam Mālik bila seseorang malakukan qadzf dan minum khamar maka sanksinya cukup satu kali, yaitu delapan puluh kali jilid. Karena baik qadzaf maupun minum khamar sama-sama diancam dengan delapan puluh kali jilid. Dan karena sanksi kedua tindak pidana ini memiliki tujuan yang sama. Sedangkan menurut ketiga Imam lainnya sanksi qadzf tidak dapat bergabung dengan sanksi jarīmah lainnya, masing-masing berdiri sendiri.[6]



[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 40-45.

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda