MENUDUH BERBUAT ZINA (Jarīmah Qadzf)
A.
Pengertian Jarīmah Qodzf
Secara
bahasa makna kata qadzf adalah al-ramyu
bī al-shai’ī (menuduh
sesuatu). Sedangkan secara istilah adalah menuduh berzina atau melakukan liwat (homoseksual).
Ulama
fikih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan qadzf adalah menasabkan
seorang anak kepada laki-laki lain disebabkan zina, atau memutuskan keturunan seorang muslim.[1]
Apabila seseorang mengatakan kepada orang lain, engkau pezina; engkau anak zina
atau engkau bukan anak ayahmu, maka seluruh ungkapan ini disebut sebagai qadzf.
Qadzf bisa juga berlaku dalam tindak pidana ta’zīr, yaitu terhadap segala bentuk tuduhan yang diharamkan
bagi setiap muslim, umpamanya, menuduh orang lain melakukan pencurian menuduh
orang lain meminum minuman keras, dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan
hukum pidana Islam istilah qadzf lebih ditekankan kepada menuduh orang
lain berbuat zina, baik tuduhan itu melalui pernyataan yang
jelas maupun menyatakan anak seseorang bukan keturunan ayah atau ibunya. Qadzf terdiri dua macam, yaitu :
1.
Qadzf yang diancam dengan hukuman haḍ yaitu menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat
zina atau
dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya.
2. Qadzf yang diancam dengan hukuman ta’zīr yaitu menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan.
B. Unsur-unsur Tindak
Pidana Qadzf
Qadzf yang dijatuhi hūdūd adalah
menuduh orang baik-baik (muhsan) berzina atau menafikan nasab
darinya. Dari sini jelas bahwa ada tiga unsur yang harus terpenuhi pada jarīmah
qadzf:[2]
1. Menuduh berbuat zina atau menafikan nasab
Unsur ini akan terpenuhi jika pelaku menuduh
korban berzina atau menafikan nasabnya, sedangkan ia tidak mampu
membuktikan tuduhannya. Menuduh zina terkadang disertai dengan menafikan nasab
si tertuduh dan terkadang tidak. Orang yang mengatakan “hai anak zina”
pada seseorang berarti telah menafikan nasab korban dan menuduh ibunya
berbuat zina.
Orang yang berkata “hai pezina” kepada
seseorang berarti telah menuduh berzina tanpa menafikan nasabnya.
Menuduh zina dan mengaitkan hal tersebut dengan ibu korban
berarti menafikan nasab orang yang dituduh. Menafikan nasab berarti
menuduh ibu atau salah satu ibu– si tertuduh.
Siapa saja yang menasabkan seseorang kepada
selain bapaknya atau kakeknya berarti ia telah menuduh ibu atau nenek korban
sebagai pelaku zina. Jika tuduhan bukan
mengenai perzinaan atau penafian nasab, tidak ada hukuman hūdūd.
2. Orang yang dituduh
harus muhsan
Orang yang dituduh berzina, baik laki-laki
maupun perempuan, harus muhsan. Dalil disyaratkannya ihsan adalah firman
Allah SWT QS. An-Nur: 4
وَالَّذِيْنَ
يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ
فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً
اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang
baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik“.
اِنَّ الَّذِيْنَ
يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا
وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ
Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar,
3. Berniat melawan hukum
Unsur ketiga, yaitu berniat melawan hukum
dianggap terpenuhi jika pelaku menuduh seseorang berzina atau menafikan
nasabnya, padahal ia tahu bahwa apa yang ia tuduhkan tidak benar. Jadi ketidakmampuan
membuktikan kebenaran qadzf merupakan indikasi bahwa ia mengetahui
ketidakbenaran qadzf yang ia perbuat.
Ia berhak mengklaim bahwa qadzf tersebut
dibuatnya berdasarkan beberapa sebab yang masuk akal. Ini karena sebelum
menuduh seseorang, ia harus memiliki bukti kebenaran qadzf tersebut.[3]
Pelaku qadzaf tidak disyaratkan memiliki niat membahayakan atau mencelakai orang yang dituduh. Dengan demikian, motivasi yang mendorong pelaku melakukan qadzf tidak perlu diperhatikan.
C. Syarat-syarat Qadzf
Untuk menjatuhkan hukum dera dalam qadzf
terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi
tiga hal, yaitu syarat-syarat yang harus ada pada qadzif (yang menuduh
zina), syarat-syarat yang
harus ada pada maqdzuf (yang dituduh zina), dan syarat-syarat yang harus
ada pada maqdzuf bih (sesuatu yang dibuat menuduh zina).[4]
1.
Syarat yang harus ada pada qadzif
a.
berakal
b.
baligh
c.
tidak dipaksa dengan pihak lain
d. Orang yang menuduh itu bukan ayah dari orang
yang dituduh, bukan pula kakek atau neneknya sampai ke atas.
Imam Abu Hanīfah, asy-Syafi’ī, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika seorang ayah
atau ibu dan keatasnya melakukan qadzf terhadap anaknya atau kebawahnya,
ia tidak wajib dijatuhi hukuman hūdūd. Alasan yang pertama,
meskipun hukuman qadzf berupa hukuman hūdūd, ia berkaitan dengan
hak-hak perseorangan. Kedua, qadzf merupakan hak yang hukumannya
tidak bisa dilaksanakan kecuali ada tuntutan (gugatan) dari orang yang menuntut
sehingga hak dalam masalah qadzf menyerupai hak dalam masalah kiṣaṣ.
Karenanya, jika hukuman hūdūd gugur
dengan adanya syubhat, anak tidak bisa membuat orang tuanya dijatuhi
hukuman hūdūd. Jika anak tidak boleh menjatuhkan Kiṣaṣ dan memotong tangan orang tua yang mencuri
hartanya, apalagi jika orang tua melakukan qadzf atas anaknya, ia pasti
tidak dijatuhi hukuman hūdūd.
Para fukaha meyakini pendapat ini
menyatakan bahwa jika orang tua mengatakan, “hai, anak zina” kepada anak dari
isterinya yang sudah meninggal, si anak tidak berhak menggugat. Akan tetapi,
jika isteri yang sudah meninggal memiliki anak lain dari suami tersebut, anak
yang bukan dari suami tersebut bisa mengajukan gugatan terhadap ayah tirinya
karena hukuman hūdūd qadzaf menjadi hak masing-masing orang
secara perseorangan.[5]
2.
Syarat yang harus ada pada maqdzuf
a.
Berakal
b.
Baligh
c.
Islam
d.
Merdeka
e.
Terjaga kehormatannya
3.
Syarat-syarat yang harus ada pada maqdzuf bih
a. Pernyataan dengan kata-kata yang jelas, seperti
panggilan, “Hai orang yang berzina”, atau kata-kata yang dianggap jelas,
seperti pernyataan, “Hai, kamu lahir tanpa bapak.” Pernyataan ini
berarti menuduh bahwa ibu dari orang yang menerima pernyataan telah berbuat
zina;
b. Pernyataan dengan kata-kata sindiran yang jelas arahnya, misalnya ada dua orang bertangkar. Kemudian, yang satu berkata, “walaupun aku jelek seperti ini, aku tidak pernah berbuat zina dan ibuku juga tidak pernah berbuat zina.” Pernyataan seperti ini merupakan sindiran yang dianggap menuduh zina kepada lawannya dan ibunya.
D. Sanksi Qodzf
Hukuman untuk jarīmah qadzf ada
dua macam yakni:
1.
Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera
sebanyak-banyaknya delapan puluh kali. Hukuman ini adalah merupakan hukuman haḍ
yang telah ditentukan oleh syara’;
2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.
Jumlah jilid adalah 80 kali, tidak
dikurangi dan tidak ditambah, bila ia bertobat. Menurut Imam Abu Hanīfah tetap
tidak dapat diterima. Sedangkan menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’ī, Imam Mālik
dapat diterima kembali persaksiannya apabila telah tobat. Perbedaan
pendapat ini kembali kepada perbedaan mereka dalam mengartikan Surat An-Nūr
ayat 4 tentang istisna (eksepsi) apakah istisnanya kembali kepada kata
yang terdekat atau kembali kepada seluruhnya.
Di samping itu, menurut Imam Mālik bila
seseorang malakukan qadzf dan minum khamar maka sanksinya cukup
satu kali, yaitu delapan puluh kali jilid. Karena baik qadzaf maupun
minum khamar sama-sama diancam dengan delapan puluh kali jilid. Dan
karena sanksi kedua tindak pidana ini memiliki tujuan yang sama. Sedangkan
menurut ketiga Imam lainnya sanksi qadzf tidak dapat bergabung dengan
sanksi jarīmah lainnya, masing-masing berdiri sendiri.[6]
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 40-45.
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda