FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI KELAHIRAN PARTAI LOKAL DI ACEH
Apa saja partai politik lokal Aceh?
Munculnya
partai politik lokal Aceh, tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi dan
melatar belakangi. Terjadinya distorsi di Aceh sehingga terjadi konflik
yang berkepanjangan, antara lain konflik di Aceh sebelum
kemerdekaan sampai setelah merdeka, konflik ini
bermula ketika pasca Pemerintah Pusat melakukan peleburan terhadap
Provinsi Aceh ke dalam
Provinsi Sumatera Utara yang menyebabkan kekecewaan masyarakat Aceh.yang pada
akhirnya muncul gerakan Darul Islam (DI/TII) pimpinan Tengku Daud Beureuh
pada tahun 1953.[1]
Gerakan
tersebut mendorong para tokoh-tokoh masyarakat Aceh untuk bereaksi keras terhadap kebijakan pusat
sehingga muncul pemberontakan untuk memisahkan dari NKRI. Namun konflik tersebut tidak
berlangsung lama sehubungan dengan diberikannya status istimewa Aceh, dengan
Keputusan Pemerintah SK No.1/Missi/1958 dengan otonomi luas dalam bidang agama,
adat dan pendidikan pada 1959. Sejak itu polemik pun melunak hingga
kesepakatan damai pun di prakarsai di Desa Lamteh, 7 April 1957. Perjanjian Lamteh dilakukan oleh tokoh
lapangan, yaitu Syamaun Gaharu,
Ali Hasjmy, dan Muhammad Insja dari pihak Republik Indonesia dan Hasan Ali, Hasan Saleh, dan
Ishak Amin dari DI/TII.Tgk. Muhammad Daud Beureueh tidak hadir dalam pertemuan itu. Baru
bertahun-tahun kemudian ia mau turun gunung setelah dibujuk penuh hormat oleh
Kolonel Yasin, pada 8 Mei tahun 1962.
Setelah pergolakan DI/TII, kemudian pada tahun 1967 terjadi pergejolakan yang bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hal itu bermula saat Presiden Soeharto mengeksploitasi
Sumber Daya Alam Aceh dengan memberikan kesepakatan pada perusahaan multi
Nasional dari Amerika Serikat untuk membuka kegiatan pembangunan proyek raksasa yang dilakukan
sangat tergesa-gesa tidak cukup untuk mempersiapkan masyarakat dan lingkungan
agar bisa menerima dan berpatisipasi dalam pembangunan tersebut. Tenaga kerja/SDM harus di datangkan dari luar. Di iringi oleh emosional bisnis yang
berlebihan dalam bentuk yang dikenal dengan sebutan Korupsi Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Dimana pekerja/borongan, supplier
sekecil apa pun, dipercayakan kepada pengusaha luar daerah terutama konglomerat
Tionghoa.[2]
Di Aceh tepatnya di PT Arun, sumber daya alam di Aceh di eksplor
demikian besarnya, meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan
Aceh. nilai 1,3 miliar dolar Amerika hal itu tidak mampu memperbaiki kehidupan
sosial masyarakat Aceh. dikarenakan hanya 1% Anggaran Pendapatan Nasional yang
di distribusikan kembali ke Aceh dari 14%
kontribusi Aceh, kebijakan Pemerintah Orde Baru yang menerapkan sentralisme. Artinya pemberian keistimewaan
yang diberikan kepada Aceh adalah janji kosong belaka. Dari beberapa konflik tersebutlah Hasan Tiro akhirnya mendirikan sebuah gerakan separatis
yang menginginkan Aceh keluar dari NKRI.
Gerakan
tersebut diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kemudaian pergolakan ini telah terjadi selama 30 Tahun. Konflik di Aceh dari masa Presiden Soekarno sampai dengan Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhyono. Pasca bencana Tsunami secara keseluruhan perundingan
damai antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia diselesaikan dengan
melahiran Nota Kesepahaman atau Memorandum
of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus tahun 2005. Pasca
penandatangan MoU tersebut Aceh diberikan wewenang untuk dapat hidup mandiri,
baik itu di bidang
ekonomi maupun politik dan hukum.
[1] Berutu, Ali Geno. "ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA." JIL: Journal of Indonesian Law 2, no. 2 (2021): 202-225.
[2] Ibid.hal 34
Label: POLITIK
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda