TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM
Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 14-18
B. Tujuan Hukum
Pidana Islam
Hukum
secara umum bermakna sebagai himpunan peraturan-peraturan yang berisi perintah
atau larangan yang menjadi pedoman tingkah laku manusia dalam hidup
bermasyarakat dan kepatuhan yang dipaksakan oleh penguasa.[1]
Hukuman
dalam istilah bahasa Arab sering disebut ‘uqūbah yaitu
bentuk balasan bagi seseorang atas perbuatannya yang melanggar ketentuan syara’
yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya untuk kemaslahatan manusia.
Tujuan
dari adanya istilah hukuman
dalam syariat Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam itu sendiri,
yakni sebagai pembalasan atas perbuatan kejahatan (jarīmah), pencegahan secara umum dan pencegahan
secara khusus serta perlindungan terhadap hak-hak si korban.
Definisi
lain menyebutkan bahwa hukuman adalah suatu penderitaan yang dibebankan kepada
seseorang akibat perbuatannya melanggar aturan. Pemidanaan dengan hukuman
tertentu dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah
kedzaliman atau kemuḍaratan.[2]
Adapun
prinsip dasar untuk mencapai tujuan dari adanya hukuman dalam pelanggaran hukum
tersebut adalah dengan ditetapkannya beberapa kriteria sebagai berikut:
1. Hukuman itu bersifat universal, yaitu dapat
menghentikan orang dari melakukan suatu tindak kejahatan, bisa menyadarkan dan
mendidik bagi pelakunya;
2. Penerapan materi hukumannya sejalan dengan
kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat;
3. Seluruh bentuk hukuman harus dapat menjamin
dan mencapai kemaslahatan pribadi dan masyarakat;
4. Hukuman tersebut bertujuan untuk melakukan perbaikan terhadap pelaku tindak pidana.[3]
Semua
hukum yang berlaku di dunia selalu memiliki tiga aspek dalam penerapan
sanksinya, yaitu prepentif, represif dan rehabilitatif. Aspek prepentif
dimaksudkan untuk mencegah agar orang tidak melakukan dan mengulangi kejahatan
dan orang lain yang belum melakukan kejahatan agar tidak berbuat kejahatan.
Aspek
represif merupakan penindakan terhadap pelaku kejahatan, mengakkan
supremasi hukum dan memberikan hukuman terhadap pelakunya sesuai dengan
kejahatannya.
Sedangkan
rehabilitatif merupakan upaya pembinaan agar kejahatan yang sama tidak
diulangi oleh penjahat bila ia masih hidup, atau membina orang yang belum
berbuat kejahatan agar mereka tidak melakukan kejahatan. Ketiga aspek ini
berlaku secara integral dalam setiap hukum, dimana setiap upaya prepentif
selalu diiringi dengan upaya represif jika kejahatan terjadi, dan
dilanjutkan dengan upaya rehabilitatif jika pelaku kejahatan masih
hidup.
Dalam
hukum Islam, upaya prepentif itu terlihat dalam setiap ketentuan hukum jarimah,
seperti memberi pengertian tentang betapa berharganya jiwa manusia sehingga
membunuh satu orang laksana membunuh banyak orang, firman Allah QS. Al-Māidah ayat
32.
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا
عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ
فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا
فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا
بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ
لَمُسْرِفُوْنَ
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi”.
Tujuan Hukum Pidana Islam sangat erat kaitannya dengan
penurunan syariat itu sendiri (Al-Qur’ān). Seperti kita ketahui agama
Islam adalah yang identik dengan sebutan agama rahmat bagi seluruh alam. Rahmat yang dibawa agama Islam adalah berupa
aturan-aturan hidup yang mewujudkan kemaslahatan hidup manusia dan
menghindarkan mereka dari mafsadat (kerusakan). Dengan demikian syariat Islam berorientasi kepada tiga aspek
yaitu:
1.
Mendidik individu agar mampu menjadi sumber maslahat bagi
masyarakat dan tidak menjadi sumber mafsadat bagi seorang manusia;
2.
Menegakkan keadilan bagi masyarakat Islam, tanpa membedakan golongan. Islam berorientasi kepada keadilan
sosial, menempatkan manusia sejajar dihadapan undang-undang (hukum) tanpa membedakan antara
yang kaya dan miskin. Islam tidak membedakan derajat, semua sama dimata hukum
Islam;
3. Tujuan hakiki hukum Islam adalah terciptanya kemaslahatan. Tidak ada satupun perintah syari’at yang terdapat dalam al-Qur’ān dan Sunnah yang tidak membawa maslahat hakiki, meskipun maslahat itu kadang tertutp bagi sebagian orang yang diselimuti hawa nafsu.[4]
Imam al-Gazali telah membuat konsep
tentang tujuan Islam secara umum yang kita kenal dengan istilah Maqāsid
al-Syarī’ah yang diartikan sebagai tujuan-tujuan syariat dan
rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari
keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah merealisasikan
kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemuḍaratan, sedangkan mabadi
(pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar Islam. seperti keadilan persamaan,
dan kemerdekaan.[5]
Adapun konsep Maqāsid al-Syarī’ah al-Gazali tersebut adalah sebagai berikut:
1.
menjaga agama (hifdz ad-dīn)
2.
menjaga jiwa (hifdz an-nafs)
3.
Menjaga akal (hifdz al- ‘aql)
4.
menjaga keturunan (hifdz an-nasl)
5. harta benda (al-māl)
Menurut imam al-Gazali tujuan utama
syariah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam
perlindungan terhadap agama mereka (dīn), dari (nafs), akal,
keturunan (nasl), harta benda (māl). Apa saja yang menjamin
terlindungnya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum dan dikehendaki.
Imam asy-syātibī menulis kira-kira tiga abad setelah imam al-Gazali, menyetujui daftar dan
urutan imam Gazali yang menunjukkan bahwa gagasan itu dianggap
sebagai yang paling cocok dengan esensi syariah.[6]
Dalam
pandangan Syātibī, Allah menurunkan syariat (aturan hukum)
bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemuḍaratan, baik di dunia maupun diakhirat.
Aturan-aturan dalam syariat tidaklah dibuat untuk
syariah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan. Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan
hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Syātibī kemudian membagi maqashid dalam tiga
gradasi tingkat, yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder)
dan tahsiniyyat (tersier).
Dharuriyyat yaitu memlihara kebutuhan yang bersifat esensial
bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang pokok itu ada lima yaitu: agama (al-dīn),
jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-māl) dan
akal (al-aql). Sedangkan hajiyyat merupakan kebutuhan yang tidak bersafat esensial melainkan
kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidupnya, tidak terpelihara kebutuhan ini tidak
mengancam lima kebutuhan dasar manusia. Sedangkan tahsiniyyat yaitu kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat manusia dalam masyarakat dan
di hadapan tuhannya
sesuai dengan kepatuhan.
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 14-18
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda