Sabtu, 31 Desember 2022

TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM

 Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 14-18

B. Tujuan Hukum Pidana Islam

Hukum secara umum bermakna sebagai himpunan peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan yang menjadi pedoman tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat dan kepatuhan yang dipaksakan oleh penguasa.[1]

Hukuman dalam istilah bahasa Arab sering disebut ‘uqūbah yaitu bentuk balasan bagi seseorang atas perbuatannya yang melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya untuk kemaslahatan manusia.

Tujuan dari adanya istilah hukuman dalam syariat Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam itu sendiri, yakni sebagai pembalasan atas perbuatan kejahatan (jarīmah), pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus serta perlindungan terhadap hak-hak si korban.

Definisi lain menyebutkan bahwa hukuman adalah suatu penderitaan yang dibebankan kepada seseorang akibat perbuatannya melanggar aturan. Pemidanaan dengan hukuman tertentu dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kedzaliman atau kemuḍaratan.[2]

Adapun prinsip dasar untuk mencapai tujuan dari adanya hukuman dalam pelanggaran hukum tersebut adalah dengan ditetapkannya beberapa kriteria sebagai berikut:

1.     Hukuman itu bersifat universal, yaitu dapat menghentikan orang dari melakukan suatu tindak kejahatan, bisa menyadarkan dan mendidik bagi pelakunya;

2.     Penerapan materi hukumannya sejalan dengan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat;

3.     Seluruh bentuk hukuman harus dapat menjamin dan mencapai kemaslahatan pribadi dan masyarakat;

4.     Hukuman tersebut bertujuan untuk melakukan perbaikan terhadap pelaku tindak pidana.[3]

Semua hukum yang berlaku di dunia selalu memiliki tiga aspek dalam penerapan sanksinya, yaitu prepentif, represif dan rehabilitatif. Aspek prepentif dimaksudkan untuk mencegah agar orang tidak melakukan dan mengulangi kejahatan dan orang lain yang belum melakukan kejahatan agar tidak berbuat kejahatan.

Aspek represif merupakan penindakan terhadap pelaku kejahatan, mengakkan supremasi hukum dan memberikan hukuman terhadap pelakunya sesuai dengan kejahatannya.

Sedangkan rehabilitatif merupakan upaya pembinaan agar kejahatan yang sama tidak diulangi oleh penjahat bila ia masih hidup, atau membina orang yang belum berbuat kejahatan agar mereka tidak melakukan kejahatan. Ketiga aspek ini berlaku secara integral dalam setiap hukum, dimana setiap upaya prepentif selalu diiringi dengan upaya represif jika kejahatan terjadi, dan dilanjutkan dengan upaya rehabilitatif jika pelaku kejahatan masih hidup.

Dalam hukum Islam, upaya prepentif itu terlihat dalam setiap ketentuan hukum jarimah, seperti memberi pengertian tentang betapa berharganya jiwa manusia sehingga membunuh satu orang laksana membunuh banyak orang, firman Allah QS. Al-Māidah ayat 32.

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi”.

Tujuan Hukum Pidana Islam sangat erat kaitannya dengan penurunan syariat itu sendiri (Al-Qur’ān). Seperti kita ketahui agama Islam adalah yang identik dengan sebutan agama rahmat bagi seluruh alam. Rahmat yang dibawa agama Islam adalah berupa aturan-aturan hidup yang mewujudkan kemaslahatan hidup manusia dan menghindarkan mereka dari mafsadat (kerusakan). Dengan demikian syariat Islam berorientasi kepada tiga aspek yaitu:

1.     Mendidik individu agar mampu menjadi sumber maslahat bagi masyarakat dan tidak menjadi sumber mafsadat bagi seorang manusia;

2.     Menegakkan keadilan bagi masyarakat Islam, tanpa membedakan golongan. Islam berorientasi kepada keadilan sosial, menempatkan manusia sejajar dihadapan undang-undang (hukum) tanpa membedakan antara yang kaya dan miskin. Islam tidak membedakan derajat, semua sama dimata hukum Islam;

3.     Tujuan hakiki hukum Islam adalah terciptanya kemaslahatan. Tidak ada satupun perintah syariat yang terdapat dalam al-Qurān dan Sunnah yang tidak membawa maslahat hakiki, meskipun maslahat itu kadang tertutp bagi sebagian orang yang diselimuti hawa nafsu.[4]

Imam al-Gazali telah membuat konsep tentang tujuan Islam secara umum yang kita kenal dengan istilah Maqāsid al-Syarī’ah yang diartikan sebagai tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemuḍaratan, sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar Islam. seperti keadilan persamaan, dan kemerdekaan.[5]

Adapun konsep Maqāsid al-Syarī’ah al-Gazali tersebut adalah sebagai berikut:

1.     menjaga agama (hifdz ad-dīn)

2.     menjaga jiwa (hifdz an-nafs)

3.     Menjaga akal (hifdz al- aql)

4.     menjaga keturunan (hifdz an-nasl)

5.     harta benda (al-māl)

Menurut imam al-Gazali tujuan utama syariah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka (dīn), dari (nafs), akal, keturunan (nasl), harta benda (māl). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum dan dikehendaki. Imam asy-syātibī menulis kira-kira tiga abad setelah imam al-Gazali, menyetujui daftar dan urutan imam Gazali yang menunjukkan bahwa gagasan itu dianggap sebagai yang paling cocok dengan esensi syariah.[6]

Dalam pandangan Syāti, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemuḍaratan, baik di dunia maupun diakhirat. Aturan-aturan dalam syariat tidaklah dibuat untuk syariah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan. Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Syātibī kemudian membagi maqashid dalam tiga gradasi tingkat, yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (tersier).

Dharuriyyat yaitu memlihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang pokok itu ada lima yaitu: agama (al-dīn), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-māl) dan akal (al-aql). Sedangkan hajiyyat merupakan kebutuhan yang tidak bersafat esensial melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidupnya, tidak terpelihara kebutuhan ini tidak mengancam lima kebutuhan dasar manusia. Sedangkan tahsiniyyat yaitu kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat manusia dalam masyarakat dan di hadapan tuhannya sesuai dengan kepatuhan.



[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 14-18


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda