TEORI PEMIDANAAN HUKUM PIDANA ISLAM
Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 19-21
C. Teori Pemidanaan Hukum
Pidana Islam
Terdapat dua teori dalam hukum pidana
Islam, yaitu teori mutlak dan teori relatif. Standar keadilan
dalam penerapan hukuman mutlak adalah dengan menyesuaikan kehendak masyarakat
dan sekaligus mempertimbangkan bentuk, kualitas dan kuantitas kejahatan yang
dilakukan, artinya bahwa penerapan hukuman mutlak diupayakan sebagai upaya
mewujudkan keadilan.[1]
Sedangkan dalam penerapan hukuman relatif adalah masyarakat secara keseluruhan dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan individu, karena apabila keadilan hanya ditumpukan kepada masyarakat tanpa melihat kepentingan individu, maka tujuan hakiki dari hukuman itu tidak terealisir, mengapa hal ini terjadi, karena individu adalah asal dari setiap masalah. Hukuman mutlak identik dengan jarimah hūdūd (hukuman pasti) dan teori relatif identik dengan jarimah ta’zīr.
1. Teori saling memasuki atau melengkapi (at-tadākhul)
Dalam teori ini, pelaku jarīmah
dikenakan satu hukuman, meskipun melakukan tindak pidana ganda, karena
perbuatan satu dengan yang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling
memasuki. Teori ini didasarkan pada dua pertimbangan:
a. Bila pelaku jarīmah hanya
melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka
hukumannya dapat dijatuhkan satu macam yang tujuannya adalah eduksi (mendidik) dan preventif (pencegahan). Jika
satu hukuman dianggap cukup, maka hukuman berulang tidak dibutuhkan. Jika ia
belum sadar dan mengulangi perbuatan jahat, maka ia dapat dikenai hukuman lagi.
b. Bila jarīmah yang dilakukan oleh
seseorang berulang-ulang dan terdiri atas macam-macam jarīmah, maka
pelaku dapat dijatuhi satu hukuman, dengan syarat penjatuhan hukuman itu
melindungi kepentingan bersama dan untuk mewujudkan tujuan yang sama. Misalnya,
orang yang berjudi kemudian minum khamr.
Dalam hal
ini dapat diketahui bahwa gabungan jarīmah yang mempunyai jenis dan
tujuan hukumannya berbeda maka tidak dapat saling memasuki. Kelemahan dari
metode ini adalah terlalu banyaknya hukuman, karena terkadang adanya
penggabungan hukuman menyebabkan sampainya hukuman pada batas yang berlebihan,
sementara selama ini hukuman penjara dibatasi oleh waktu. Jadi apabila terjadi
penggabungan hukuman maka berdasarkan teori ini maka hukumannya dapat menjadi
hukuman selamanya atau seumur hidup.
2. Teori penyerapan (al-jabb)
Dalam teori ini penjatuhan hukuman
dimaksudkan untuk menghilangkan yang lain karena telah diserap oleh hukuman
yang lebih berat. Misalnya, hukuman mati yang dijatuhkan akan menyerap hukum
yang lain. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ulama diantaranya Imam Mālik, Abū Hanīfah, dan Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’ī tidak menggunakannya.
Kedua teori tersebut dalam hukum pidana
Islam diakui, namun dikalangan para ulama terjadi ikhtilaf, baik cara
pengaplikasiannya maupun dasar logika dari penentuan hukuman yang akan
diberikan kepada pelaku tindak pidana.
Menurut Imam Malik, apabila hukuman haḍ berkumpul dengan hukuman mati karena Tuhan,
seperti hukuman mati karena jarīmah murtad, atau berkumpul dengan
hukuman mati karena kiṣaṣ bagi seseorang lain, maka hukuman had tersebut tidak
dapat dijalankan karena hukuma mati tersebut menyerapnya, kecuali hukuman
memfitnah (qadzaf) yang tetap dilaksanakan, dengan cara di jilid dahulu
delapan kali, kemudian dihukum mati.
Menurut Imam Ahmad, apabila terjadi dua jarīmah hūdūd, seperti mencuri dan zina bagi orang-orang muhshan, atau minum dengan
menganggu keamanan (hirabah) dengan membunuh, maka hanya hukuman mati
saja yang dijalankan, sedang hukuman-hukaman lain gugur. Kalau jarīmah hūdūd berkumpul dengan hak-hak adami, dimana
salah satunya diancam hukuman mati, maka hak-hak adami tersebut harus
dilaksanakan terlebih dahulu, dan hak-hak Allah diserap oleh hukuman mati.
Bagi Imam Abu Hanīfah, pada dasarnya apabila
terdapat terdapat gabungan hak manusia dengan hak-hak Allah, maka hak
manusialah yang harus di dahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas
mendapatkan haknya. Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah tidak bisa
dijalankan lagi, maka hak tersebut hapus dengan sendirinya. Bagi Imam Syafi’ī
tidak ada teori penyerapan (al-jabbu), melainkan semua hukuman harus
dijatuhkan selama tidak saling melengkapi (tadakhul). Caranya adalah
dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman mati,
kemudian hukuman bagi hak Allah yang bukan hukuman mati, kemudian lagi hukuman
mati.
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 19-21
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda