Sabtu, 31 Desember 2022

TEORI PEMIDANAAN HUKUM PIDANA ISLAM

 Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 19-21

C. Teori Pemidanaan Hukum Pidana Islam

Terdapat dua teori dalam hukum pidana Islam, yaitu teori mutlak dan teori relatif. Standar keadilan dalam penerapan hukuman mutlak adalah dengan menyesuaikan kehendak masyarakat dan sekaligus mempertimbangkan bentuk, kualitas dan kuantitas kejahatan yang dilakukan, artinya bahwa penerapan hukuman mutlak diupayakan sebagai upaya mewujudkan keadilan.[1]

Sedangkan dalam penerapan hukuman relatif adalah masyarakat secara keseluruhan dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan individu, karena apabila keadilan hanya ditumpukan kepada masyarakat tanpa melihat kepentingan individu, maka tujuan hakiki dari hukuman itu tidak terealisir, mengapa hal ini terjadi, karena individu adalah asal dari setiap masalah. Hukuman mutlak identik dengan jarimah hūdūd (hukuman pasti) dan teori relatif identik dengan jarimah tazīr.

1. Teori saling memasuki atau melengkapi (at-tadākhul)

Dalam teori ini, pelaku jarīmah dikenakan satu hukuman, meskipun melakukan tindak pidana ganda, karena perbuatan satu dengan yang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini didasarkan pada dua pertimbangan:

a.     Bila pelaku jarīmah hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam yang tujuannya adalah eduksi (mendidik) dan preventif (pencegahan). Jika satu hukuman dianggap cukup, maka hukuman berulang tidak dibutuhkan. Jika ia belum sadar dan mengulangi perbuatan jahat, maka ia dapat dikenai hukuman lagi.

b.     Bila jarīmah yang dilakukan oleh seseorang berulang-ulang dan terdiri atas macam-macam jarīmah, maka pelaku dapat dijatuhi satu hukuman, dengan syarat penjatuhan hukuman itu melindungi kepentingan bersama dan untuk mewujudkan tujuan yang sama. Misalnya, orang yang berjudi kemudian minum khamr.

Dalam hal ini dapat diketahui bahwa gabungan jarīmah yang mempunyai jenis dan tujuan hukumannya berbeda maka tidak dapat saling memasuki. Kelemahan dari metode ini adalah terlalu banyaknya hukuman, karena terkadang adanya penggabungan hukuman menyebabkan sampainya hukuman pada batas yang berlebihan, sementara selama ini hukuman penjara dibatasi oleh waktu. Jadi apabila terjadi penggabungan hukuman maka berdasarkan teori ini maka hukumannya dapat menjadi hukuman selamanya atau seumur hidup.

2. Teori penyerapan (al-jabb)

Dalam teori ini penjatuhan hukuman dimaksudkan untuk menghilangkan yang lain karena telah diserap oleh hukuman yang lebih berat. Misalnya, hukuman mati yang dijatuhkan akan menyerap hukum yang lain. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ulama diantaranya Imam Mālik, Abū Hanīfah, dan Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’ī tidak menggunakannya.

Kedua teori tersebut dalam hukum pidana Islam diakui, namun dikalangan para ulama terjadi ikhtilaf, baik cara pengaplikasiannya maupun dasar logika dari penentuan hukuman yang akan diberikan kepada pelaku tindak pidana.

Menurut Imam Malik, apabila hukuman haḍ berkumpul dengan hukuman mati karena Tuhan, seperti hukuman mati karena jarīmah murtad, atau berkumpul dengan hukuman mati karena kiṣaṣ bagi seseorang lain, maka hukuman had tersebut tidak dapat dijalankan karena hukuma mati tersebut menyerapnya, kecuali hukuman memfitnah (qadzaf) yang tetap dilaksanakan, dengan cara di jilid dahulu delapan kali, kemudian dihukum mati.

Menurut Imam Ahmad, apabila terjadi dua jarīmah hūdūd, seperti mencuri dan zina bagi orang-orang muhshan, atau minum dengan menganggu keamanan (hirabah) dengan membunuh, maka hanya hukuman mati saja yang dijalankan, sedang hukuman-hukaman lain gugur. Kalau jarīmah hūdūd berkumpul dengan hak-hak adami, dimana salah satunya diancam hukuman mati, maka hak-hak adami tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu, dan hak-hak Allah diserap oleh hukuman mati.

 Bagi Imam Abu Hanīfah, pada dasarnya apabila terdapat terdapat gabungan hak manusia dengan hak-hak Allah, maka hak manusialah yang harus di dahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas mendapatkan haknya. Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah tidak bisa dijalankan lagi, maka hak tersebut hapus dengan sendirinya. Bagi Imam Syafi’ī tidak ada teori penyerapan (al-jabbu), melainkan semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi (tadakhul). Caranya adalah dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman bagi hak Allah yang bukan hukuman mati, kemudian lagi hukuman mati.



[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 19-21

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda