SUMBER HUKUM ISLAM
Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 9-14
A. Sumber Hukum
Pidana Islam
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat
menimbulkan aturan-aturan yang memiliki kekuatan yang sifatnya memaksa.
Maksudnya, aturan-aturan tersebut apabila dilanggar dapat mengakibatkan sanksi
yang tegas dan nyata.
Sumber hukum Pidana Islam merupakan suatu rujukan atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Sumber hukum Islam artinya sesuatu yang menjadi pokok dari ajaran Islam. Sumber hukum Islam bersifat dinamis, benar, dan mutlak, serta tidak pernah mengalami kemandegan, kefanaan, atau kehancuran. Adapun sumber hukum dalam Hukum Pidana Islam adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’ān
Al-Qur’ān merupakan wahyu Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai pedoman hidup umat manusia. Secara bahasa Al-Qur’ān
artinya bacaan, yaitu bacaan bagi orang-orang yang beriman dan membacanya
merupakan ibadah.
Al-Qur’ān adalah kitab
suci yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu
rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta. Dalamnya terkumpul wahyu Ilahi
yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa saja yang mempercayai
serta mengamalkannya. Bukan saja itu, tetapi Al-Qur’ān juga merupakan kitab
suci yang paling penghabisan diturunkan Allah, yang isinya mencakup segala
pokok-pokok syari’at yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan
sebelumnya. Karena itu, setiap orang yang mempercayai Al-Qur’ān, akan bertambah
cinta kepadanya, cinta untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya
serta pula untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasai
dan dikecap oleh penghuni alam semesta.[1]
Al-Qur’ān merupakan sumber hukum yang pertama dalam
Islam, sehingga semua penyelesaian persoalan harus
merujuk dan berpedoman kepadanya. Berbagai persoalan yang tumbuh dan berkembang
dalam kehidupan masyarakat harus diselesaikan dengan berpedoman pada Al-Qur’ān. Sebagaimana firman Allah dalam
Surah An-Nisā ayat 105.
اِنَّآ اَنْزَلْنَآ
اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ
ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'ān) kepadamu
(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa
yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang
(orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat”.
Dalam Konteks Hukum Pidana Islam, banyak terdapat
ayat-ayat Al-Qur’ān yang menjadi
dasar penajatuhan hukuman terhadap pelaku jarimah diantaranya:
1. Zina terdapat dalam QS. An-Nūr: 2, 30-31, An-Nisā’: 15, Al-Isrā’: 32
2. Al-Qadzf (tuduhan berbuat zina) terdapat dalam QS. An-Nūr
ayat 4, 13, 19, 23, 24.
3. Riddah (Murtad) terdapat dalam QS. Al-Bāqārah: 217, QS.
An-Nisā’: 137.
4. Mencuri terdapat dalam QS Al-Māidah: 38
5. Minuman Keras (khmar)
terdapat dalam QS. An-Nisā’: 43, QS Al-Māidah: 90-91, QS. Al-Bāqārah: 219.
6. Pembrontakan (Al-Baghyu) terdapat
dalam QS. Al-Hujurat: 9
7. Perampokan terdapat dalam QS Al-Māidah ayat 33 dan 34.
2. Hadis
Hadis
menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadis juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Menurut
para ahli, hadis identik dengan sunah, yaitu segala perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan), sifat, keadaan, tabiat atau watak, dan sirah
(perjalanan hidup) Nabi Muhammad SAW, baik yang berkaitan dengan masalah hukum
maupun tidak, namun menurut bahasa, hadis berarti ucapan atau perkataan.
Berikut
ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan nabi yang termasuk
dalam kategori hadis:
1. Hadis Qauliyah
(ucapan) yaitu hadis Rasulullah SAW yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan
persuaian (situasi).
2. Hadis Fi’liyah
yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan shalat
lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah
haji dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak
penuduh.
3. Hadis Taqririyah yaitu
perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik
perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu
adakalanya dengan cara mendiamkannya dan atau melahirkan anggapan baik terhadap
perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila
seseorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan
Nabi pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu
menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan
pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat dilakukan pada dua bentuk:
a)
Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan
dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa
pelaku berketerusan melakukan perbuatan yag pernah dibenci dan dilarang itu.
Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
boleh dilakukannya.
b) Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan untuk diperbuat.
3. Ijma’
Ijma’ (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma’a
(أَجْمَعَ) yang memiliki dua makna yakni “tekad
yang kuat” (العَزْمُ المُؤَكَّدُ)
dan
“kesepakatan”
(الاتِّفَاقُ). Sedangkan makna ijma’
menurut istilah adalah:
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ
عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
“kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula”.
Berdasarkan pengertian diatas,
pengertian dasar ijma’ adalah sebagai berikut:
1.
Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan
oleh perkataan atau dengan sikap;
2. Mujtahid (المُجْتَهِدُوْنَ). Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki
oleh orang yang alim (berilmu) untuk mengistinbathkan (menetapkan)
hukum-hukum syar’ī dari dalil-dalilnya. Dengan kata lain pengarahan kemampuan
secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum;
3. Ummat
Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijābah (ummat yang menerima seruan
dakwah Nabi SAW);
4. Setelah
wafatnya Nabi SAW, sehingga
kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut ijma’.
5. Didalam
satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja;
6. Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar’ī atau perkara-perkara yang bukan syar’ī tetapi memiliki hubungan dengan syari’at
Ijma’ memiliki beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut:
1.
Ijma’ Sharih
yaitu ijma’ dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka
menerima pendapat yang disepakati tersebut;
2. Ijma’ Sukuti yaitu dimana suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat itu diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid tersebut, tidak ada seorangpun mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam Syafi’ī tidak memasukkan ijma’ Sukuti dalam kategori ijma’ yang dapat dijadikan hujjah.
4. Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan
yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Imam Syafi’ī mendefinisikan qiyas sebagai upaya pencarian (ketetapan
hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah
diinformasikan dalam al-Qur’ān dan hadis.
Pengertian
qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan para pakar ushul fikih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi
mengandung pengertian yang sama. Di antaranya dikemukakan Shadr asy-Syari'ah tokoh ushul fikih dari kalangan Hanafiyyah sebagai berikut:
“Qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illah yang tidak dapat dicapai melalui hanya dengan pendekatan bahasa”.
Mayoritas ulama Syafi'iyyah
mendefinisikan qiyas dengan
“Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat”.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan:
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nas, disebabkan kesatuan ‘illah hukum antara keduanya”.
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 9-14
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda