ASAS-ASAS HUKUM PIDANA ISLAM
Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 1-8
A. Pengertian Hukum
Pidana Islam (Jināyāt)
Pidana Islam dalam istilah fikih disebut jināyāh, tetapi para fuqāhā sering juga memaknainya dengan istilah jarīmah. Kata الجنایات adalah bentuk jamak dari kata جنایة yang diambil dari kata جنى - یجنى yang artinya mengambil/memetik.[1] Sedangkan jarīmah berasal dari kata جَرَمَ yang sinonimnya كَسَبَ وَقَطَعَ yang
artinya, berusaha dan bekerja, pengertian usaha disini khusus untuk usaha atau
perbuatan yang tidak baik dan usaha yang di benci oleh manusia.
Secara istilah jināyāh mengacu pada
hasil perbuatan seseorang yang dilarang, sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdūl
Qādir ‘Aūdah bahwa jināyāh adalah:
فالجناية اسم
لفعل محرم شرعا. سواء وقع الفعل علي نفس اومال او غير ذالك
“Jināyāh adalah suatu
istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau yang lainnya”.
Menurut bahasa, jarīmah berasal dari akar kata جَرَمَ – يَجْرِمُ – جَرِيْمَةً yang berarti “berbuat” dan “memotong”.
Kemudian, secara khusus dipergunakan terbatas pada “perbuatan dosa” atau
“perbuatan yang dibenci”. Kata jarīmah juga berasal dari kata أَجْرَمَ- يَجْرِمُ yang berarti melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kebenaran, keadilan, dan menyimpang dari jalan yang lurus”.
Sedangkan pengertian jarīmah menurut istilah, sebagaimana yang di ungkapkan
oleh al-Mawardi adalah:
الجرائم
محظورات شرعية زجر الله تعالي عنها بحد اوتعزير
“Jarīmah adalah
perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syara’, yang di ancam dengan hukuman
had atau ta’zīr”.
Menurut
Ahmad Hanafi, suatu perbuatan dipandang sebagai jarīmah apabila perbuatan tersebut bisa merugikan tata
aturan yang ada dalam masyarakat atau kepercayaannya, merugikan kehidupan
anggota masyarakat atau bendanya, nama baiknya, perasaannya atau
pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara, dasar
larangan melakukan sesuatu jarīmah ialah pemeliharaan kepentingan
masyarakat itu sendiri.
Suatu
perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan yang melanggar/tindak pidana
apabila semua unsur-unsur jarīmah telah
terpenuhi.
Adapun
unsur-unsur umum dari jarīmah sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdul Qādir Aūdah adalah sebagai berikut:
1. Terpenuhinya unsur formal (rukun syar’ī), yaitu adanya naṣ (ketentuan) yang melarang perbuatan dan
mengancamnya dengan hukuman;
2. Terpenuhinya unsur materil (rukun
mādī), yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarīmah, baik berupa perbuatan nyata (positif)
maupun sikap tidak berbuat (negatif);
3. Terpenuhinya unsur moral (rukun adabī), yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf, iaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang diperbuatnya.
A.
Asas-asas Hukum Pidana Islam
Asas-asas Hukum Pidana Islam adalah asas-asas hukum
yang mendasari pelaksanaan Hukum Pidana Islam tersebut. Adapun asas-asas dalam
Hukum Pidana Islam adalah sebagai berikut:
1.
Asas legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang menyatakannya.
Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi
batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas.
Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau
kesewenangan-wenangan hakim, menjamin keamanan indivdu dengan informasi yang
boleh dan yang dilarang. Asas legalitas Hukum Pidana Islam berdasarkan QS.
Al-Isrā’ ayat 15 dan Al-An’ām ayat 19.
مَنِ اهْتَدٰى
فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَاۗ
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى
نَبْعَثَ رَسُوْلًا
“Barangsiapa
berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya itu untuk
(keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya
(kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus
seorang rasul”. (QS. Al-Isrā’: 15).
قُلْ اَيُّ شَيْءٍ
اَكْبَرُ شَهَادَةً ۗ قُلِ اللّٰهُ ۗشَهِيْدٌۢ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ ۗوَاُوْحِيَ
اِلَيَّ هٰذَا الْقُرْاٰنُ لِاُنْذِرَكُمْ بِهٖ وَمَنْۢ بَلَغَ ۗ اَىِٕنَّكُمْ
لَتَشْهَدُوْنَ اَنَّ مَعَ اللّٰهِ اٰلِهَةً اُخْرٰىۗ قُلْ لَّآ اَشْهَدُ ۚ قُلْ
اِنَّمَا هُوَ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ وَّاِنَّنِيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ
“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang lebih kuat kesaksiannya?” Katakanlah, “Allah, Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Al-Qur'an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (Al-Qur'an kepadanya). Dapatkah kamu benar-benar bersaksi bahwa ada tuhan-tuhan lain bersama Allah?” Katakanlah, “Aku tidak dapat bersaksi.” Katakanlah, “Sesungguhnya hanya Dialah Tuhan Yang Maha Esa dan aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).” (QS. Al-An’ām ayat 19)
2.
Asas praduga tak bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas persalahannya itu. Asas ini berdasarkan Al-QS. Al-Hujurāt ayat 12.
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ
وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”.
Nabi Muhammad SAW bersabda “Hindarkan bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya, jika imam salah, lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum”.
Setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan.
3.
Asas tidak berlaku surut
Asas tidak berlaku surut merupakan kelanjutan dari asas legalitas dalam hukum pidana Islam. Dalam kasas ini, mengandung arti bahwa setiap aturan pidana yang dibuat tidak dapat menjerat perbuatan pidana yang dilakukan sebelum aturan itu dibuat. Asas ini melarang berlakunya hukum pidana kebelakang kepada perbuatan yang belum ada peraturanya. Hukum pidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal tersebut didasarkan atas firman Allah dalam QS. An-Nisā ayat 22.
وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَاۤؤُكُمْ
مِّنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّمَقْتًاۗ
وَسَاۤءَ سَبِيْلًا ࣖ
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.
Para ahli fikih modern menyimpulkan bahwa larangan berlaku surut adalah satu prinsip dasar dari syari’at. “Tidak ada hukuman untuk perbuatan sebelum adanya suata nash”. Secara singkat tiada kejahatan dan pidana, kecuali ada hukumannya lebbih dahulu.
4.
Asas kesalahan
Seseorang yang dikenai pidana dalam hukum Islam adalah orang yang telah terbukti melalui pembuktian, telah melakukan suatau tindakan yang dilarang syar’ī. Terpidana adalah orang yang benar-benar memiliki kesalahan, dan kesalahan itu bukan sekedar praduga, melainkan harus dibuktikan sehingga tidak ada lagi keraguan. Keraguan hakim terhadap kasus yang dihadapinya dapat berakibat pada keputusannya. Para sarjana muslim sepakat bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman haḍ dan kiṣaṣ dengan keraguan, tetapi mereka berdeda dalam kejahatan ta’zīr. Pandangan mayoritas adalah asas ini tidak meliputi kejahatan-kejahatan ta’zīr.
5.
Asas kesamaan di hadapan hukum
Salah satu prinsip di dalam Islam adalah persamaan manusia, yang mana
manusia sama dihadapan Allah, tidak ada satu pun golongan, suku, ataupun ras
yang lebih unggul dari yang lainya, karena semua manusia hakikatnya berasal
dari leluhur yang sama.
Asas
kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) merupakan asas yang penting di dalam penyelenggaraan peradilan. Arti
dari asas tersebut adalah semua orang yang berperkara di dalam persidangan sama
hak dan kedudukannya. Asas equality before the law dalam kajian fikih
dinamakan “al-musawah”. Asas ini menegaskan bahwa tidak boleh ada perbedaan
kedudukan ataupun perilaku terhadap pihak berperkara baik berupa diskriminatif
secara normatif maupun kategoris dari hakim atau dari pejabat pengadilan
lainnya.
Asas
kesamaan di hadapan hukum dapat dimaknai sebagai persamaan hak para pencari keadilan untuk
mendapatkan perlindungan hukum dan juga keadilan berdasarkan hukum materiil
yang sama. Kemudian persamaan hak para pencari keadilan untuk mendapatkan
perlindungan hukum dan keadilan di hadapan hakim dan pengadilan berdasarkan hukum formil.
Dengan
demikian adanya asas equality before the law menegakkan hak asasi setiap
orang yang berperkara di pengadilan. Dapat dilihat bahwa asas equality
before the law mengeluarkan suatu produk yang dinamakan keadilan. Allah berfirman dalam
QS. Al-Hujūrat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ
اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا
وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ
ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Maha teliti”.
6. Asas tanggung jawab individu
Asas
tanggung jawab individu disebut juga istilah asas larangan memindahkan
kesalahan pada orang lain. Asas ini tercantum dalam QS. Al-An’ām ayat 164.
وَلَا
تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ اِلَّا عَلَيْهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۚ
ثُمَّ اِلٰى رَبِّكُمْ مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ
تَخْتَلِفُوْنَ
“Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.”
Ketentuan
tentang tanggung jawab pidana secara individu karena dalam Islam tidak ada dosa
warisan yang menganggap bahwa pelanggaran Nabi Adam A.S dan istrinya Siti Hawa
sebagai kakek dan nenek moyang manusia, ketika dikeluarkan dari surga karena
melanggar larangan mendekati suatu pohon, akan diwarisi oleh semua manusia
sebagai anak cucu keduanya.
Tanggung jawab pidana yang biasa disebut dengan criminal responsibility, memang berlaku tanggung jawab individu. Akan tetapi, dalam hubungan dengan tanggung jawab perdata disebut civil liability, bisa dialihkan kepada pihak lain. Penerapan criminal responsibility yang bersifat individual dan civil liability yang bisa secara komunal, sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Māidah ayat 2.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا
شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 1-8
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda