Sabtu, 12 Februari 2022

TIDAK PIDANA KEJAHATAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DALAM PANDANGAN KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM

 

Tulisan Ini sudah terbit di Jurnal Tawazun tahun 2019

Silahkan Kutip/Sitasi dengan mengcopy judul dibawah ini:

Ali Geno Berutu, Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan KUHP dan Hukum Pidana Islam. TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law, 2019, 2.1: 1-18.

 

Ali Geno Berutu

Fakultas Syariah IAIN Salatiga

ali_geno@ymail.com

 

Abstrak

Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundering) merupakan upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang  atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang legal. Ada tiga tahapan yang ditempuh untuk “mensucikan” hasil kejahatan dalam money laundring. Pertama, uang yang dihasilkan dari suatu kegiatan kejahatan di ubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai cara (placement).  Langkah kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (layering). Langkah yang terakhir adalah tahapan dimana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam Harta Kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana (integrasi).


Kata Kunci: Pencucian Uang, Kejahatan Ekonomi, TPPU, Jarimah, Ta’zir


A.   Pendahuluan

Kehidupan ekonomi antara satu negara dengan negara lain semakin saling tergantung, sehingga ketentuan hukum di bidang perdagangan internasional dan bisnis transnasional semakin diperlukan. Kejahatan korporasi yang semakin canggih baik bentuk atau jenisnya maupun modus operandinya sering melampaui batas-batas negara (transborder crime) dan juga sering dipengaruhi oleh negara lain akibat era globalisasi.

Tindak Pidana Pencucian uang merupakan kejahatan yang mempunyai ciri khas yakni, kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal akan tetapi kejahatan ganda. Kejahatan ini ditandai dengan bentuk pencucian uang merupakan kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian .

Pencucian uang merupakan suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. Hal ini bermula terjadi di Amerika pada tahun 1930, dimana pada masa itu mafia kejahatan membeli perusahaan pencucian pakaian sebagai tempat untuk mencuci uang dari hasil kejahatannya, dari sinilah istilah money laundring berkembang . Sebelumnya, pada tahun 1900-an Alphonso Capone atau yang lebih dikenal dengan Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai si genius Meyer Lansky, orang Polandia. Lansky, seorang akuntan yang mencuci uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (Laundry). Demikianlah asal muasal muncul nama Money Laundering.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum. Sehingga mereka dapat dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Begitu besamya kerugian yang ditimbulkan dari praktik pencucian uang, oleh karena itu upaya untuk mencegah tindak pidana pencucian uang telah dilakukan oleh berbagai negara. Perang terhadap kegiatan pencucian uang oleh organisasi organisasi kejahatan dan oleh individu- individu yang tidak tergabung dalam organisasi-organisasi kejahatan telah mencapai tingkat yang jauh lebih serius daripada 15 tahun yang lampau. Badan kerjasama internasional pertama adalah The Finnacial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang didirikan oleh G 7 Summit di Prancis pada bulan Juli 1989, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (Reporting Parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.

Indonesia sendiri dalam upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan guna untuk menekan maraknya jumlah kejahan TPPU di Indonesia, diantara adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dari pemaparan diatas, maka penelitian ini akan menguraikan bagaimana aturan dan pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia serta bagaimana Islam dalam hal ini Fiqih Jinayat mengatur tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kepustaan (Library Rearesch) dengan menggunakan pendekatan studi komparatif.

 

B.    Kajian Literatur

Perkembangan teknologi telah mendorong peningkatan berbagai macam kejahatan baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun melintasi batas wilayah negara lain (Adrian: 2018, 18), antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan kerah putih.

Tindak pidana pencucian uang adalah upaya untuk menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil kejahatan dengan melalui berbagai cara dan memasukannya ke dalam sistem keuangan agar harta kekayaan hasil kejahatan tersebut menjadi kelihatan legal. Oleh karena itu, agar hasil kejahatan dapat menghasilkan keuntungan di sistem keuangan yang legal dan juga menjaga reputasi atau status sosial seseorang atau suatu kelompok, para pelaku melakukan tindak pidana pencucian uang .

Menurut Munir Fuady mengatakan kegiatan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) secara Universal dewasa ini telah digolongkan sebagai suatu Tindak Pidana yang tergolong dalam White Collar Crime. Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang ini untuk dapat melakukan pemutihan uang dilakukan secara jelas dengan cara illegal. Sedangkan pencucian uang menurut Sarah N. Welling adalah dimulai dari adanya uang kotor atau haram yang ditempuh melalui penggelapan pajak dan memperoleh kekayaan dengan cara melanggar hukum .

Beberapa jenis Tindak Pidana Pencucian Uang dalam suatu tindak pidana menggunakan asas ultimum remedium, karena asas ultimum remedium adalah jalan terakhir yang harus ditempuh dalam proses peradilan Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena Asas Ultimum remedium dalam Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai penentu pidana dalam Undang-undang untuk suatu tindakan pidana karena alat penegak hukum atau Undang-undang No.8 Tahun 2010 tidak serasi lagi.

Proses Tindak Pidana Pencucian Uang dengan menggunakan alat pamungkas atau yang disebut asas Ultimum Remedium untuk dapat menegakkan hukum Pidana dan penentuan pidana dalam undang-undang untuk tindakan tertentu harus sedemikian rupa, karena alat penegak hukum atau sanksi lainnya sudah tidak serasi, maka diberlakukanlah Asas Ultimum Remedium untuk suatu Tindak Pidana Pencucian Uang. Asas ultimum remedium adalah suatu jalan terakhir yang ditempuh dalam proses pengadilan. Diterapkannya asas ultimum remedium dalam Tindak Pidana Pencucian Uang karena asas tersebut dalam pidana adalah sebagai alat pamungkas untuk menegakkan hukum.

Perlu untuk diketahui bahwa hukum pidana adalah Ultimum Remedium dengan mengingat ketentuan perumusan ketentuan ancaman pidana, pembentukan undang-undang selain harus mempertanyakan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang cukup bagi kepentingan termaksud, dan apakah suatu sanksi pidana memang diperlukan untuk hal tersebut .

Asas ultimum remedium juga sebagai tindak pidana dalam undang-undang untuk suatu tindakan tertentu yang harus sedemikian rupa, karena alat penegak hukum atau sanksi lainnya sudah tidak serasi lagi atau tidak dipakai. Jenis-jenis suatu tindak pidana yang dilihat dari suatu asas Ultimum Remedium dapat merupakan pelanggaran-pelanggaran yaitu :

1.     Norma hukum perdata.

2.     Hukum tata negara.

3.     Hukum administrasi.

4.     Hukum agama.

5.     Hukum adat atau hukum kebiasaan.

Asas Ultimum Remedium dipakai dalam suatu Tindak Pidana Pencucian Uang karena adanya batasan tertentu dalam suatu tindakan yang merupakan pelanggaran norma hukum tersebut tidak perlu diadakan ketentuan pidana, tetapi jika melampaui batas tertentu maka asas ultimum remedium sudah perlu diadakan diberlakukan untuk suatu Tindak Pidana Pencucian Uang.

Selanjutnya ruang berlakunya undang-undang pidana baik tentang pencucian uang ataupun tentang hukum pidana secara umum dapat berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang, hal ini dapat dilihat dan diatur dalam Pasal 2 KUHP yang membahas tentang ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-undangan dalam suatu Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia yang berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam wilayah Republik Indonesia. Jadi ketentuan Pidana di Indonesia berlaku bagi semua penduduk Indonesia baik Warga Negara Indonesia maupun Warga Asing yang berdomisili di Indonesia.

 

C.    Pembahasan

Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dapat dilihat ketentuan dalam pasal 1 UU No. 8 Tahun 2010 dijelaskan bahwa Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.  Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer ,mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya

Berlakunya ketentuan Pidana di Indonesia yang digambarkan dalam Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berlaku , telah diperluas dengan adanya asas yaitu perluasan wilayah yaitu :

1.     Aturan Pidana Indonesia akan diberlakukannya untuk Tindak Pidana yang dilakukan di atas kapal atau pesawat udara Indonesia yang sedang berada di Luar Negeri. Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia yang diatur dalam Pasal 4 KUHP melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 111 bis ke-1, Pasal 127 dan Pasal 131 KUHP yang menyangkut kejahatan terhadap keamanan Negara.

2.     Pasal 7 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi pegawai Negeri Indonesia pegawai negeri sipil dan tentara nasional Indonesia atau polisi republik Indonesia (PNS dan TNI atau POLRI) yang berada di luar Indonesia mengenai salah satu kejahatan yang diatur dalam Bab XXVIII, buku II KUHP tentang Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan.

3.     Pasal 8 KUHP berlaku bagi Nahkoda kapal Indonesia yang berada di luar Indonesia melakukan suatu kejahatan yang diatur dalam Bab XXIX dalam Buku II KUHP tentang kejahatan pelayaran dan Bab IX dalam Buku III KUHP tentang Pelanggaran Pelayanan.

 

Pengecualian dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8 KUHP tersebut di atas yaitu pengecualian yang diakui oleh Hukum Internasional. Pasal 88 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 memperluas cakupannya, dengan jangkauan setiap orang (Orang perseorangan atau korporasi) yang di luar wilayah Indonesia memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010.

Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau indak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf N.

Adapun bentuk hukuman terhadap pelaku TPPU diatur dalam pasal 3-10 UU No. 10 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sebaga berikut:

1.     Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

2.     Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

3.     Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4.     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

5.     Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.

6.     Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:

a.     dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;

b.     dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;

c.     dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan

d.     dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

7.     Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat(1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a.     pengumuman putusan hakim;

b.     pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;

c.     pencabutan izin usaha;

d.     pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;

e.     perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau

f.      pengambilalihan Korporasi oleh negara.

8.     Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

9.     Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.

10.  Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Pada kasus pencucian uang yang berwenang dalam menyidik, memeriksa kasus ini adalah, kepolisian, kejaksaan dan yang terakhir adalah KPK yang diamanatkan untuk memeriksa dan menyidik kasus ini sejak Oktober 2010. Dari ketiga penegak hukum itu, yang paling banyak mendapat laporan adalah kepolisian dan kejaksaan. Dan ada satu lagi lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), seseorang wajib melaporkan jumlah kekayaan yang dia miliki sehingga akan memudahkan PPATK mengontrol adanya transaksi yang mencurigakan .

Secara umum proses pencucian uang ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap ; Pertama, penempatan (placement), yakni upaya menem-patkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses ini terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, penggabungan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah .

Menurut Adrian bentuk kegiatan dari placement antara lain: (1) Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit atau pembiayaan; (2) Menyetorkan uang pada penyedia jasa keuangan (PJK) sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail; (3)  Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah dari suatu negara ke negara lain; (4) Membiayai suatu usaha yang seolah olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit atau pembiayaan; (5) Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK .

Kedua, transfer (layering), yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan (placement). Dalam proses ini terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil kejahatan dari sumbernya melalui penga- lihan dana hasil placement ke beberapa rekening lainnya dengan serangkaian transaksi yang kompleks. Layering dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan internasional baik melalui bisnis yang sah atau perusahaan yang memiliki nama dan badan hukum namun tidak memiliki kegiatan apapun. Adapun bentuk kegiatan dari layering adalah:

1.     Transfer dan dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah atau negara;

2.     Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah;

3.     Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun Shell Company  .

Ketiga, menggunakan harta kekayaan (integration), yakni suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui placement atau layering sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kegiatan kejahatan.

Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia telah diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.  Dalam hal ini pencucian uang dapat dibedakan dalam tiga tindak pidana:

1.     Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

2.     Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

3.     Dalam Pasal 4 UU RI No. 8 Tahun 2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang. Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah .

Pencucian Uang Menurut Pandangan Hukum Pidana Islam

Pidana Islam dalam istilah fikih disebut jinayah, tetapi para fuqaha sering juga memakai kata jarimah. Kata الجنایات adalah bentuk jamak dari kata جنایة ,yang diambil dari kata جنى - یجنى yang artinya mengambil/memetik. Sedangkan jarimah berasal dari kata جَرَمَ yang sinonimnya كَسَبَ وَقَطَعَ  yang artinya, berusaha dan bekerja, pengertian usaha disini khusus untuk usaha atau perbuatan yang tidak  baik dan usaha yang di benci oleh manusia. Secara istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang yang dilarang, sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdul Qadir ‘Audah bahwa jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut  mengenai jiwa, harta, atau yang lainnya. Sedangkan pengertian jarimah menurut istilah sebagaimana yang di ungkapkan oleh al-Mawardi adalah perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syara’ yang di ancam dengan hukuman had atau ta’zir.

Menurut Ahmad Hanafi suatu perbuatan dipandang sebagai jarimah apabila perbuatan tersebut bisa merugikan tata aturan yang ada dalam masyarakat atau kepercayaannya, merugikan kehidupan anggota masyarakat atau bendanya, nama baiknya, perasaannya atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara, dasar larangan melakukan sesuatu jarimah ialah pemeliharaan kepentingan masyarakat itu sendiri. Suatu perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan yang melanggar/tindak pidana apabila semua unsur-unsur jarimah telah terpenuhi. Adapun unsur-unsur umum dari jarimah sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdul Qadir Audah adalah sebagai berikut:

1.     Terpenuhinya unsur formal (rukun syar’i),  yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman;

2.     Terpenuhinya unsur materil (rukun madhi), yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif);

3.     Terpenuhinya unsur moral (rukun adabi), yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf, iaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang diperbuatnya.

Pencucian Uang dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara tekstual dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi al-Qur’an mengungkap prinsip-prinsip umum untuk mengantisipasi perkembangan zaman, dimana dalam kasus-kasus yang baru dapat diberikan status hukumnya, pengelompokan jarimahnya, dan sanksi yang akan diberikan. Dalam hal ini Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam perolehan harta benda seseorang. Hukum Islam secara detail memang tidak pernah menyebutkan pelarangan perbuatan pencucian uang, karena memang istilah ini belum ada pada zaman Nabi. Akan tetapi secara umum, ajaran Islam telah mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Namun, berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan merusak, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa kejahatan ini bisa diklasifikasikan sebagai jarimah ta’zir .

Secara ringkas dapat di jelaskan bahwa jarimah ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ akan tetapi diserahkan kepada hakim, baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman ta’zir, hakim hanya menetapkan secara umum, artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya. Pengertian ta’zir juga dapat dipahami sebagai perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat, bentuk hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan berapa ukuran dan kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syariah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah .

Adapun bentuk sanksi  ta’zir bisa beragam, sesuai keputusan hakim. Secara garis besar jarimah ta’zir dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya, hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang, hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.

Bila dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

1.     Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau kishas, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri;

2.     Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan;

3.     Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas .

Bila kita kaitkan dengan prinsif dasar ekonomi Islam dimana ekonomi Islam sangat concrn dengan teori porudksi yang digagas oleh Imam Al-Gazali bahwa pencarian ekonomi merupakan bagian dari ibadah. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu giat bekerja dalam mencari harta kekayaan, baik dari perniagaan, pertanian, perniagaan dan lain sebagaiinya. Pekerjaan dunia menjadikannya sebgai ibadah dan jihad jika manusia yang bekerja murni niatnya kerna Allah dan tidak melalaikan kewajibannya sebagai hambaNya .

Peinsip dasar ekonomi Islam adalah untuk mengapai kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat, dengan momposisikan Allah lebih dari segalanya, menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat dan menghidari kerusakan dan kekacauan di dunia termasuk dalam hal perekonomian invidu, masayarakat serta bangsa dan negara.

Adapun ciri-ciri Ekonomi Islam sebagaimana yang dikemukan oleh Ahmad Muhammad Al-AssaI dan Fathi Ahmad Abdul Karim bahwa Ekonomi Islam mempunyai ciri-ciri khusus, yang membedakannya dari ekonomi hasil penemuan manusia. Ciri-ciri tersebut jika diringkas adalah sebagai berikut :

a.     Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam yang menyeluruh; Bahwa ekonomi yang digagas manusia dengan segala asbab kelahirannya benar-benar memisahkan anatara ekonomi dan agama (sekuler). Yang menjadi pembeda utama antara ekonomi Islam dengan sistem ekonomi buatan manusia adalah hubungannya yang sempurna antara ekonomi dan Islam, baik sebagai akidah maupun syariat. Oleh karena itu adalah tidak mungkin untuk mempelajari ekonomi Islam terlepas dari akidah dan syariat Islam karena sistem ekonomi Islam merupakan bagian dari syariat dan erat hubungannya dengan akidah sebagai dasar. Maka jelas sekali bahwa tujuan utama ekonomi Islam adalah untuk mengaktualisasikan nilai-nilai maqasid al-Syariah.

b.     Kegiatan Ekonomi dalam Islam Bersifat Pengabdian yakni sesuai dengan akidah umum, kegiatan ekonomi menurut Islam berbeda dengan kegiatan ekonomi dalam sistem-sistem hasil penemuan manusia, seperti kapitalisme dan sosialisme. Kegiatan ekonomi bisa saja berubah dari kegiatan material semata-mata menjadi ibadah yang akan mendapatkan pahala bila dalam kegiatannya itu mengharapkan wajah Allah SWT, dan ia mengubah niatnya demi keridhaanNya.

c.     Kegiatan Ekonomi dalam Islam Bercita-cita Luhur  diman sistem hasil penemuan manusia (kapitalisme dan sosialisme), bertujuan untuk memberikan keuntungan material semata-mata bagi pengikut-pengikutnya. Itulah cita-cita dan tujuan ilmunya.

d.    Pengawasan terhadap Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi dalam Islam adalah pengawasan yang sebenamya, yang mendapat kedudukan utama Dalam ekonomi Islam, di samping adanya pengawasan syariat yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum, ada pula pengawasan yang lebih ketat dan lebih aktif, yakni pengawasan dari hati nurani yang terbina atas kepercayaan akan adanya Allah dan perhitungan hari akhir. Ekonomi Islam Merealisasikan Keseimbangan antara Kepentingan Individu dan Kepentingan Masyarakat.

Dengan mengkaji ciri-ciri, prinsip-prinsip, dan etika bisnis Islam, maka dapat diketahui bahwa pencucian uang termasuk katagori perbuatan yang diharamkan karena dua hal; pertama dari proses memperolehnya, uang diperoleh melalui perbuatan yang diharamkan (misalnya dari judi, perjualan narkoba, korupsi, atau perbuatan curang lainnya) dan proses pencuciannya, kedua yaitu berupaya menyembunyikan uang hasil kemaksiatan dan bahkan menimbulkan kemaksiatan dan kemudharatan berikutnya.

Sebagaimana yang telah penulis singgung di atas bahwaTindak Pidana Pencucian Uang  tidak dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun al-Hadis, sehingga TPPU masuk dalam kategori ta’zir. Akan tetapi Allah melaui al-Qura’an telah mengatur tentang kejelasan dalam memperoleh harta benda seperti yang firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 188:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Serta hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thayyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thayyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orangorang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baikbaik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baikbaik yang telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi saw menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (al Tirmidzi:2012, 292).

Dari ayat dan hadis di atas jelas bahwa money laundring termasuk dalam kategori perbuatan tercela dan dapat merugikan kehidupan umat manusia. Selain itu kegiatan pencucian uang sangat jauh dari semangat Maqasidu al-Syariah. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan diturunkannya syari’ah adalah untuk mencapai kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan pada dua dimensi waktu yang berbeda, dunia dan akhirat. Hal ini berarti bahwa semua aspek dalam ajaran Islam, harus mengarah pada tercapainya tujuan tersebut, tidak terkecuali aspek ekonomi. Oleh karenanya Ekonomi Islam harus mampu menjadi pan-aceadan solusi terhadap akutnya problem ekonomi kekinian. Konsekuensi logisnya adalah, bahwa untuk menyusun sebuah bangunan Ekonomi Islam maka tidak bisa dilepaskan dari teori Maqashid seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Bahkan Syaikh Muhammad Thahir ibn ‘Asyur pernah mengatakan bahwa “Melupakan pentingnya sisi maqasid dalam syariah Islam adalah faktor utama penyebab terjadinya stagnasi pada fiqh.

D.   Kesimpulan

Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau indak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

Adapun bentuk hukuman terhadap pelaku TPPU diatur dalam pasal 3-10 UU No. 10 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yakni Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pencucian uang dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara tekstual dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi al-Qur’an mengungkap prinsip-prinsip umum untuk mengantisipasi perkembangan zaman, dimana dalam kasus-kasus yang baru dapat diberikan status hukumnya, pengelompokan jarimahnya, dan sanksi yang akan diberikan. Dalam hal ini Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam perolehan harta benda seseorang. Hukum Islam secara detail memang tidak pernah menyebutkan pelarangan perbuatan pencucian uang, karena memang istilah ini belum ada pada zaman Nabi. Akan tetapi secara umum, ajaran Islam telah mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Namun, berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan merusak, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa kejahatan ini bisa diklasifikasikan sebagai jarimah ta’zir, dimana benuk hukumannya diserahkan kepada ulil amri.

 

E.    Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. al-Jarimah wa al- ‘Uqbah fi al-fiqh al-Islami. Kairo: Maktabah al-Angelo al-Mishriyah, t.t.

AI-AssaI Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Pustaka Setia. Bandung, 1999.

al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah, cetakan ke-3. Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby al-Halaby, 1973.

Al-Tirmidzi , Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Tsawrah Ibn Musa Ibn al Dhahak al Sulami al Bughi. Shahih Sunan Tirmidzi, Takhrij: Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Buku 3. Jakarta: Pustaka Azzam, 2012.

Amalia, Renata. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Hukum Islam, Jurnal Al-Jinâyah | Volume 2 Nomor 2 Desember 2016.

Audah, Abdul Qodir. at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islami, juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1963.

Ali Geno Berutu, Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan KUHP dan Hukum Pidana Islam. TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law, 2019, 2.1: 1-18.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Penelitian Hukum Tentang Efektivitas Undang-Undang Money Laundring https://www.bphn.go.id/data/documents/lit_efektivitas_ uu_money_ laundring.pdf.

Djazuli, H.A, Fiqh Jinayat Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2000.

Fakultas Hukum UGM, Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia Belum Efektif https://law.ugm.ac.id/penegakan-hukum-tindak-pidana-pencucian-uang-di-indonesia-belum-efektif/.

Fauzia, Ika Yunia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsp Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqa>sid al-Sya>ri’ah. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2018.

Garnasih, Yenti, “Cara Lebih Ampuh Berburu Rekening Gendut”, Gatra, XVIII, 17. Maret, 2012.

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Imaniyati, Neni Sri. PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERBANKAN DAN HUKUM ISLAM https://ejournal.unisba.ac.id /index.php/mimbar/issue/view/28.

Imaniyati, Neni Sri. Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam Perspektif Hukum Perbankan Dan Hukum Islam https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar /issue/view/28,

Irfan, Nurul dan Masyrofah, Fiqih Jinayat. Jakarta: Amzah, 2014.

Krismen, Yudi. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 4 No. 1.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Muzlifah, Eva. Maqosid Syariah Sebagai Paradigma Dasar Ekonomi Islam, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 2 , 2103.

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta 1996.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, jilid 2. Beirut: Da>r al-Fikr, 1983.

Santoso, Topo. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2OO3.

Seputarpengetahuan.com, Pengertian Ekonomi Syariah, Ciri, Tujuan, Manfaat, Prinsip, Dasar Hukum dan Bentuk Kerjasamanya, https://www.seputarpengetahuan.co.id /2017/08/pengertian-ekonomi-syariah-ciri-tujuan-manfaat-prinsip-dasar-hukum-bentuk-kerjasama.html

Sjahdeini, Sutan Remy. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004.

Soewarsono. H dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang di Indonesia, Malibu, Jakarta, 2004.

Soewarsosno, Reda Mantovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. (Jakarta: Malibu, 2004.

Sumadi, Telaah Kasus Pencucian Uang Dalam Tinjauan Sistem Ekonomi Syari’ah, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 3(03), 2017.  http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jie.

Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Marger, Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Suprihadi, Tindak Pidana Pencucian Uang, http://www.negarahukum.com/ hukum/1562.html

Uzier, Rahmi, https://blog.bplawyers.co.id/3-jenis-tindak-pidana-pencucian-uang-yang-harus-anda-ketahui/

Welling, Sarah N. “Smurf, money laundering and the United States Criminal Federal law”. Dalam Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss. Economis and ideology on the Money trail (Confiscation of proceeds of crime, Money Laundering and cast Transaction Responding). Sydney: The Law book Company limited, 1992.

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda