TIDAK PIDANA KEJAHATAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DALAM PANDANGAN KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Tulisan Ini sudah terbit di Jurnal Tawazun tahun 2019
Silahkan Kutip/Sitasi dengan mengcopy judul dibawah ini:
Ali Geno Berutu, Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan KUHP dan Hukum Pidana Islam. TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law, 2019, 2.1: 1-18.
Ali Geno
Berutu
Fakultas
Syariah IAIN Salatiga
ali_geno@ymail.com
Abstrak
Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundering)
merupakan upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul uang atau Harta Kekayaan hasil
tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan
tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang legal. Ada tiga tahapan
yang ditempuh untuk “mensucikan” hasil kejahatan dalam money laundring. Pertama, uang yang dihasilkan dari suatu kegiatan
kejahatan di ubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan
melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai cara (placement). Langkah
kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim
dengan tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai
rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan
kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak
pidana tersebut (layering). Langkah yang terakhir adalah tahapan dimana
pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam Harta
Kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke
dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk
membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan
tindak pidana (integrasi).
Kata Kunci: Pencucian Uang, Kejahatan Ekonomi,
TPPU, Jarimah, Ta’zir
A. Pendahuluan
Kehidupan ekonomi antara satu
negara dengan negara lain semakin saling tergantung, sehingga ketentuan hukum
di bidang perdagangan internasional dan bisnis transnasional semakin diperlukan.
Kejahatan korporasi yang semakin canggih baik bentuk atau jenisnya maupun modus
operandinya sering melampaui batas-batas negara (transborder crime) dan
juga sering dipengaruhi oleh negara lain akibat era globalisasi.
Tindak Pidana Pencucian uang
merupakan kejahatan yang mempunyai ciri khas yakni, kejahatan ini bukan
merupakan kejahatan tunggal akan tetapi kejahatan ganda. Kejahatan ini ditandai
dengan bentuk pencucian uang merupakan kejahatan yang bersifat follow up
crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan
asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau
ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan
asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian .
Pencucian uang merupakan
suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana
atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan
agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan
yang sah/legal. Hal ini bermula terjadi di Amerika pada tahun 1930, dimana pada
masa itu mafia kejahatan membeli perusahaan pencucian pakaian sebagai tempat
untuk mencuci uang dari hasil kejahatannya, dari sinilah istilah money
laundring berkembang . Sebelumnya, pada tahun 1900-an
Alphonso Capone atau yang lebih dikenal dengan Al Capone, penjahat terbesar di
Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai si
genius Meyer Lansky, orang Polandia. Lansky, seorang akuntan yang mencuci uang
kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (Laundry). Demikianlah asal
muasal muncul nama Money Laundering.
Pada umumnya pelaku tindak
pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang
merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan
hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum. Sehingga mereka
dapat dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan
yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem
keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Begitu besamya kerugian yang
ditimbulkan dari praktik pencucian uang, oleh karena itu upaya untuk mencegah
tindak pidana pencucian uang telah dilakukan oleh berbagai negara. Perang
terhadap kegiatan pencucian uang oleh organisasi organisasi kejahatan dan oleh
individu- individu yang tidak tergabung dalam organisasi-organisasi kejahatan
telah mencapai tingkat yang jauh lebih serius daripada 15 tahun yang lampau.
Badan kerjasama internasional pertama adalah The Finnacial Action Task Force
on Money Laundering (FATF) yang didirikan oleh G 7 Summit di Prancis pada
bulan Juli 1989, antara
lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (Reporting Parties) yang mencakup
pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.
Indonesia sendiri dalam upaya
pencegahan tindak pidana pencucian uang telah mengeluarkan beberapa peraturan
perundang-undangan guna untuk menekan maraknya jumlah kejahan TPPU di
Indonesia, diantara adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dari pemaparan diatas, maka penelitian
ini akan menguraikan bagaimana aturan dan pencegahan Tindak Pidana Pencucian
Uang di Indonesia serta bagaimana Islam dalam hal ini Fiqih Jinayat mengatur
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut. Penelitian ini adalah penelitian
kepustaan (Library Rearesch) dengan menggunakan pendekatan studi komparatif.
B. Kajian Literatur
Perkembangan teknologi telah
mendorong peningkatan berbagai macam kejahatan baik yang dilakukan oleh orang
perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun
melintasi batas wilayah negara lain (Adrian: 2018, 18), antara lain berupa
tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga
kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan
psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan senjata gelap,
penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan
kerah putih.
Tindak pidana pencucian uang
adalah upaya untuk menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil
kejahatan dengan melalui berbagai cara dan memasukannya ke dalam sistem
keuangan agar harta kekayaan hasil kejahatan tersebut menjadi kelihatan legal.
Oleh karena itu, agar hasil kejahatan dapat menghasilkan keuntungan di sistem
keuangan yang legal dan juga menjaga reputasi atau status sosial seseorang atau
suatu kelompok, para pelaku melakukan tindak pidana pencucian uang .
Menurut Munir Fuady
mengatakan kegiatan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) secara
Universal dewasa ini telah digolongkan sebagai suatu Tindak Pidana yang
tergolong dalam White Collar Crime. Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang
ini untuk dapat melakukan pemutihan uang dilakukan secara jelas dengan cara
illegal. Sedangkan pencucian uang menurut Sarah N. Welling adalah dimulai dari
adanya uang kotor atau haram yang ditempuh melalui penggelapan pajak dan
memperoleh kekayaan dengan cara melanggar hukum .
Beberapa jenis Tindak Pidana
Pencucian Uang dalam suatu tindak pidana menggunakan asas ultimum remedium,
karena asas ultimum remedium adalah jalan terakhir yang harus ditempuh
dalam proses peradilan Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena Asas Ultimum
remedium dalam Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai penentu pidana dalam
Undang-undang untuk suatu tindakan pidana karena alat penegak hukum atau
Undang-undang No.8 Tahun 2010 tidak serasi lagi.
Proses Tindak Pidana
Pencucian Uang dengan menggunakan alat pamungkas atau yang disebut asas Ultimum
Remedium untuk dapat menegakkan hukum Pidana dan penentuan pidana dalam
undang-undang untuk tindakan tertentu harus sedemikian rupa, karena alat
penegak hukum atau sanksi lainnya sudah tidak serasi, maka diberlakukanlah Asas
Ultimum Remedium untuk suatu Tindak Pidana Pencucian Uang. Asas ultimum
remedium adalah suatu jalan terakhir yang ditempuh dalam proses pengadilan.
Diterapkannya asas ultimum remedium dalam Tindak Pidana Pencucian Uang karena
asas tersebut dalam pidana adalah sebagai alat pamungkas untuk menegakkan
hukum.
Perlu untuk diketahui bahwa
hukum pidana adalah Ultimum Remedium dengan mengingat ketentuan perumusan
ketentuan ancaman pidana, pembentukan undang-undang selain harus mempertanyakan
apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang cukup bagi
kepentingan termaksud, dan apakah suatu sanksi pidana memang diperlukan untuk
hal tersebut .
Asas ultimum remedium juga
sebagai tindak pidana dalam undang-undang untuk suatu tindakan tertentu yang
harus sedemikian rupa, karena alat penegak hukum atau sanksi lainnya sudah
tidak serasi lagi atau tidak dipakai. Jenis-jenis suatu tindak pidana yang
dilihat dari suatu asas Ultimum Remedium dapat merupakan
pelanggaran-pelanggaran yaitu :
1. Norma hukum perdata.
2. Hukum tata negara.
3. Hukum administrasi.
4. Hukum agama.
5. Hukum adat atau hukum
kebiasaan.
Asas Ultimum Remedium dipakai
dalam suatu Tindak Pidana Pencucian Uang karena adanya batasan tertentu dalam
suatu tindakan yang merupakan pelanggaran norma hukum tersebut tidak perlu
diadakan ketentuan pidana, tetapi jika melampaui batas tertentu maka asas ultimum
remedium sudah perlu diadakan diberlakukan untuk suatu Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Selanjutnya ruang berlakunya
undang-undang pidana baik tentang pencucian uang ataupun tentang hukum pidana
secara umum dapat berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana
Pencucian Uang, hal ini dapat dilihat dan diatur dalam Pasal 2 KUHP yang
membahas tentang ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-undangan dalam
suatu Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia yang berlaku bagi setiap orang
yang melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam wilayah Republik Indonesia.
Jadi ketentuan Pidana di Indonesia berlaku bagi semua penduduk Indonesia baik
Warga Negara Indonesia maupun Warga Asing yang berdomisili di Indonesia.
C. Pembahasan
Pengertian Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) dapat dilihat ketentuan dalam pasal 1 UU No. 8 Tahun 2010
dijelaskan bahwa Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa tindak pidana
pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh
seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer
,mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya
Berlakunya ketentuan Pidana
di Indonesia yang digambarkan dalam Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berlaku , telah diperluas dengan adanya
asas yaitu perluasan wilayah yaitu :
1. Aturan Pidana Indonesia akan
diberlakukannya untuk Tindak Pidana yang dilakukan di atas kapal atau pesawat
udara Indonesia yang sedang berada di Luar Negeri. Ketentuan Pidana dalam
Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia yang
diatur dalam Pasal 4 KUHP melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 104,
Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 111 bis ke-1, Pasal 127 dan
Pasal 131 KUHP yang menyangkut kejahatan terhadap keamanan Negara.
2. Pasal 7 KUHP yang menyatakan
bahwa ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi pegawai
Negeri Indonesia pegawai negeri sipil dan tentara nasional Indonesia atau
polisi republik Indonesia (PNS dan TNI atau POLRI) yang berada di luar
Indonesia mengenai salah satu kejahatan yang diatur dalam Bab XXVIII, buku II
KUHP tentang Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan.
3. Pasal 8 KUHP berlaku bagi
Nahkoda kapal Indonesia yang berada di luar Indonesia melakukan suatu kejahatan
yang diatur dalam Bab XXIX dalam Buku II KUHP tentang kejahatan pelayaran dan
Bab IX dalam Buku III KUHP tentang Pelanggaran Pelayanan.
Pengecualian dalam hal-hal
yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8 KUHP tersebut di atas
yaitu pengecualian yang diakui oleh Hukum Internasional. Pasal 88 Undang-Undang
No.8 Tahun 2010 memperluas cakupannya, dengan jangkauan setiap orang (Orang
perseorangan atau korporasi) yang di luar wilayah Indonesia memberikan bantuan,
kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya dapat dikenakan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010.
Menurut ketentuan Pasal 2 UU
No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang yang masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah
sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan
tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal;
di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan
senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan
uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di
bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau indak pidana
lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang
dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak
pidana menurut hukum Indonesia. Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk
kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan
sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf N.
Adapun bentuk hukuman
terhadap pelaku TPPU diatur dalam pasal 3-10 UU No. 10 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan TPPU sebaga berikut:
1. Setiap Orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian
Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Setiap Orang yang
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
3. Setiap Orang yang menerima
atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan
kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
5. Dalam hal tindak pidana Pencucian
Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh
Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali
Korporasi.
6. Pidana dijatuhkan terhadap
Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a.
dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali
Korporasi;
b.
dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan
Korporasi;
c.
dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku
atau pemberi perintah; dan
d.
dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
Korporasi.
7. Pidana pokok yang dijatuhkan
terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah). Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat(1),
terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.
pengumuman putusan hakim;
b.
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c.
pencabutan izin usaha;
d.
pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e.
perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
8. Dalam hal harta terpidana tidak
cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun 4 (empat) bulan.
9. Dalam hal Korporasi tidak
mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana
denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau
Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda
yang dijatuhkan. Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang
dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan
pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan
memperhitungkan denda yang telah dibayar.
10. Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
Pada kasus pencucian uang
yang berwenang dalam menyidik, memeriksa kasus ini adalah, kepolisian,
kejaksaan dan yang terakhir adalah KPK yang diamanatkan untuk memeriksa dan
menyidik kasus ini sejak Oktober 2010. Dari ketiga penegak hukum itu, yang
paling banyak mendapat laporan adalah kepolisian dan kejaksaan. Dan ada satu
lagi lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai
tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yaitu Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), seseorang wajib melaporkan
jumlah kekayaan yang dia miliki sehingga akan memudahkan PPATK mengontrol
adanya transaksi yang mencurigakan .
Secara umum
proses pencucian uang ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap ; Pertama,
penempatan (placement), yakni upaya menem-patkan uang tunai yang berasal
dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses ini terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui
penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, penggabungan antara
uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil
kegiatan yang sah .
Menurut Adrian bentuk kegiatan dari placement antara lain: (1) Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit atau pembiayaan; (2) Menyetorkan uang pada penyedia jasa keuangan (PJK) sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail; (3) Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah dari suatu negara ke negara lain; (4) Membiayai suatu usaha yang seolah olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit atau pembiayaan; (5) Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK .
Kedua,
transfer (layering), yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil masuk ke
dalam sistem keuangan melalui penempatan (placement). Dalam proses ini
terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil kejahatan dari sumbernya melalui
penga- lihan dana hasil placement ke beberapa rekening lainnya dengan
serangkaian transaksi yang kompleks. Layering dapat pula dilakukan dengan
transaksi jaringan internasional baik melalui bisnis yang sah atau perusahaan
yang memiliki nama dan badan hukum namun tidak memiliki kegiatan apapun. Adapun
bentuk kegiatan dari layering adalah:
1. Transfer dan dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah atau
negara;
2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang
sah;
3. Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun Shell Company .
Ketiga, menggunakan
harta kekayaan (integration), yakni suatu upaya menggunakan harta
kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam
sistem keuangan melalui placement atau layering sehingga seolah-olah menjadi
harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau
untuk membiayai kegiatan kejahatan.
Pengaturan Tindak Pidana
Pencucian Uang di Indonesia telah diatur secara yuridis dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hal
ini pencucian uang dapat dibedakan dalam tiga tindak pidana:
1. Tindak pidana pencucian uang
aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan
lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8
Tahun 2010).
2. Tindak pidana pencucian uang
pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal
tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun,
dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
3. Dalam Pasal 4 UU RI No. 8 Tahun 2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang. Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah .
Pencucian Uang Menurut
Pandangan Hukum Pidana Islam
Pidana Islam dalam istilah fikih disebut jinayah,
tetapi para fuqaha sering juga memakai kata jarimah. Kata الجنایات adalah
bentuk jamak dari kata جنایة ,yang diambil dari kata جنى
- یجنى yang artinya mengambil/memetik.
Sedangkan jarimah berasal dari
kata جَرَمَ yang sinonimnya كَسَبَ وَقَطَعَ yang artinya, berusaha dan bekerja, pengertian
usaha disini khusus untuk usaha atau perbuatan yang tidak baik dan usaha
yang di benci oleh manusia. Secara istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan
seseorang yang dilarang, sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdul Qadir ‘Audah
bahwa jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang
oleh syara’ baik perbuatan tersebut
mengenai jiwa, harta, atau yang lainnya. Sedangkan
pengertian jarimah menurut istilah sebagaimana yang di ungkapkan oleh
al-Mawardi adalah perbuatan-perbuatan
yang di larang oleh syara’ yang di ancam dengan hukuman had atau ta’zir.
Menurut Ahmad
Hanafi suatu perbuatan dipandang sebagai jarimah apabila perbuatan
tersebut bisa merugikan tata aturan yang ada dalam masyarakat atau
kepercayaannya, merugikan kehidupan anggota masyarakat atau bendanya, nama
baiknya, perasaannya atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati
dan dipelihara, dasar larangan melakukan sesuatu jarimah
ialah pemeliharaan kepentingan masyarakat itu sendiri. Suatu perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan yang melanggar/tindak
pidana apabila semua unsur-unsur jarimah telah terpenuhi. Adapun
unsur-unsur umum dari jarimah sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdul
Qadir Audah adalah sebagai berikut:
1. Terpenuhinya unsur formal (rukun syar’i), yaitu adanya nash (ketentuan) yang
melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman;
2. Terpenuhinya unsur materil (rukun madhi),
yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan
nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif);
3. Terpenuhinya unsur moral (rukun adabi), yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf, iaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang diperbuatnya.
Pencucian Uang dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara tekstual dalam
al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi al-Qur’an mengungkap prinsip-prinsip umum
untuk mengantisipasi perkembangan zaman, dimana dalam kasus-kasus yang baru
dapat diberikan status hukumnya, pengelompokan jarimahnya, dan sanksi yang akan
diberikan. Dalam hal ini Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam
perolehan harta benda seseorang. Hukum Islam secara detail memang tidak pernah
menyebutkan pelarangan perbuatan pencucian uang, karena memang istilah ini
belum ada pada zaman Nabi. Akan tetapi secara umum, ajaran Islam telah
mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang bathil dan penguasaan yang
bukan hak miliknya, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada
korbannya dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri.
Namun, berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan merusak,
maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa kejahatan ini bisa
diklasifikasikan sebagai jarimah ta’zir .
Secara
ringkas dapat di jelaskan bahwa jarimah ta’zir adalah hukuman yang belum
ditetapkan oleh syara’ akan tetapi diserahkan kepada hakim, baik
penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman ta’zir, hakim
hanya menetapkan secara umum, artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan
hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan
sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya. Pengertian ta’zir juga dapat dipahami sebagai
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat,
bentuk hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman
dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan berapa ukuran dan kadarnya,
artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya
kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syariah mendelegasikan kepada hakim
untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah .
Adapun bentuk
sanksi ta’zir bisa beragam,
sesuai keputusan hakim. Secara garis besar jarimah ta’zir dapat
dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya, hukuman mati bisa dikenakan pada
pelaku hukuman berat yang berulang-ulang, hukuman cambuk, hukuman penjara,
hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman
denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan,
pemecatan, dan publikasi.
Bila dilihat
dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kedalam tiga
bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Jarimah ta’zir yang berasal
dari jarimah-jarimah hudud atau kishas, tetapi syarat-syaratnya tidak
terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab,
atau oleh keluarga sendiri;
2. Jarimah ta’zir yang
jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum
ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan;
3. Jarimah ta’zir yang baik
jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini
sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin
pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas .
Bila kita kaitkan dengan
prinsif dasar ekonomi Islam dimana ekonomi Islam sangat concrn dengan teori
porudksi yang digagas oleh Imam Al-Gazali bahwa pencarian ekonomi merupakan
bagian dari ibadah. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu giat bekerja
dalam mencari harta kekayaan, baik dari perniagaan, pertanian, perniagaan dan
lain sebagaiinya. Pekerjaan dunia menjadikannya sebgai ibadah dan jihad jika manusia
yang bekerja murni niatnya kerna Allah dan tidak melalaikan kewajibannya
sebagai hambaNya .
Peinsip dasar ekonomi Islam
adalah untuk mengapai kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat, dengan
momposisikan Allah lebih dari segalanya, menyeimbangkan kehidupan dunia dan
akhirat dan menghidari kerusakan dan kekacauan di dunia termasuk dalam hal
perekonomian invidu, masayarakat serta bangsa dan negara.
Adapun ciri-ciri Ekonomi
Islam sebagaimana yang dikemukan oleh Ahmad Muhammad Al-AssaI dan Fathi Ahmad
Abdul Karim bahwa Ekonomi Islam mempunyai ciri-ciri khusus, yang membedakannya
dari ekonomi hasil penemuan manusia. Ciri-ciri tersebut jika diringkas adalah sebagai
berikut :
a. Ekonomi Islam merupakan
bagian dari sistem Islam yang menyeluruh; Bahwa ekonomi yang digagas manusia
dengan segala asbab kelahirannya benar-benar memisahkan anatara ekonomi dan
agama (sekuler). Yang menjadi pembeda utama antara ekonomi Islam dengan sistem
ekonomi buatan manusia adalah hubungannya yang sempurna antara ekonomi dan
Islam, baik sebagai akidah maupun syariat. Oleh karena itu adalah tidak mungkin
untuk mempelajari ekonomi Islam terlepas dari akidah dan syariat Islam karena
sistem ekonomi Islam merupakan bagian dari syariat dan erat hubungannya dengan
akidah sebagai dasar. Maka jelas sekali bahwa tujuan utama ekonomi Islam adalah
untuk mengaktualisasikan nilai-nilai maqasid al-Syariah.
b. Kegiatan Ekonomi dalam Islam
Bersifat Pengabdian yakni sesuai dengan akidah umum, kegiatan ekonomi menurut
Islam berbeda dengan kegiatan ekonomi dalam sistem-sistem hasil penemuan
manusia, seperti kapitalisme dan sosialisme. Kegiatan ekonomi bisa saja berubah
dari kegiatan material semata-mata menjadi ibadah yang akan mendapatkan pahala
bila dalam kegiatannya itu mengharapkan wajah Allah SWT, dan ia mengubah
niatnya demi keridhaanNya.
c. Kegiatan Ekonomi dalam Islam
Bercita-cita Luhur diman sistem hasil
penemuan manusia (kapitalisme dan sosialisme), bertujuan untuk memberikan
keuntungan material semata-mata bagi pengikut-pengikutnya. Itulah cita-cita dan
tujuan ilmunya.
d. Pengawasan terhadap Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi dalam Islam adalah pengawasan yang sebenamya, yang mendapat kedudukan utama Dalam ekonomi Islam, di samping adanya pengawasan syariat yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum, ada pula pengawasan yang lebih ketat dan lebih aktif, yakni pengawasan dari hati nurani yang terbina atas kepercayaan akan adanya Allah dan perhitungan hari akhir. Ekonomi Islam Merealisasikan Keseimbangan antara Kepentingan Individu dan Kepentingan Masyarakat.
Dengan mengkaji ciri-ciri,
prinsip-prinsip, dan etika bisnis Islam, maka dapat diketahui bahwa pencucian
uang termasuk katagori perbuatan yang diharamkan karena dua hal; pertama dari
proses memperolehnya, uang diperoleh melalui perbuatan yang diharamkan
(misalnya dari judi, perjualan narkoba, korupsi, atau perbuatan curang lainnya)
dan proses pencuciannya, kedua yaitu berupaya menyembunyikan uang hasil
kemaksiatan dan bahkan menimbulkan kemaksiatan dan kemudharatan berikutnya.
Sebagaimana yang telah penulis singgung di atas bahwaTindak Pidana Pencucian Uang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun al-Hadis, sehingga TPPU masuk dalam kategori ta’zir. Akan tetapi Allah melaui al-Qura’an telah mengatur tentang kejelasan dalam memperoleh harta benda seperti yang firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 188:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
Serta hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah
saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thayyib (baik).
Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thayyib (baik). Dan
sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orangorang mukmin seperti yang
diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah
makanan yang baikbaik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai
orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baikbaik yang telah kami
rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi saw menceritakan tentang seorang laki-laki
yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan
berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai
Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya
dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram,
maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (al Tirmidzi:2012, 292).
Dari ayat dan hadis di atas jelas bahwa money laundring termasuk dalam kategori perbuatan tercela dan dapat merugikan kehidupan umat manusia. Selain itu kegiatan pencucian uang sangat jauh dari semangat Maqasidu al-Syariah. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan diturunkannya syari’ah adalah untuk mencapai kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan pada dua dimensi waktu yang berbeda, dunia dan akhirat. Hal ini berarti bahwa semua aspek dalam ajaran Islam, harus mengarah pada tercapainya tujuan tersebut, tidak terkecuali aspek ekonomi. Oleh karenanya Ekonomi Islam harus mampu menjadi pan-aceadan solusi terhadap akutnya problem ekonomi kekinian. Konsekuensi logisnya adalah, bahwa untuk menyusun sebuah bangunan Ekonomi Islam maka tidak bisa dilepaskan dari teori Maqashid seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Bahkan Syaikh Muhammad Thahir ibn ‘Asyur pernah mengatakan bahwa “Melupakan pentingnya sisi maqasid dalam syariah Islam adalah faktor utama penyebab terjadinya stagnasi pada fiqh.
D. Kesimpulan
Menurut ketentuan Pasal 2 UU
No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang yang masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah
sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan
tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal;
di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan
senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan;
pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang
kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau
indak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih
yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Harta Kekayaan yang diketahui
atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris
perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n.
Adapun bentuk hukuman
terhadap pelaku TPPU diatur dalam pasal 3-10 UU No. 10 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yakni Setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
Pencucian uang dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara tekstual dalam
al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi al-Qur’an mengungkap prinsip-prinsip umum
untuk mengantisipasi perkembangan zaman, dimana dalam kasus-kasus yang baru
dapat diberikan status hukumnya, pengelompokan jarimahnya, dan sanksi yang akan
diberikan. Dalam hal ini Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam
perolehan harta benda seseorang. Hukum Islam secara detail memang tidak pernah
menyebutkan pelarangan perbuatan pencucian uang, karena memang istilah ini
belum ada pada zaman Nabi. Akan tetapi secara umum, ajaran Islam telah
mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang bathil dan penguasaan yang
bukan hak miliknya, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada
korbannya dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Namun,
berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan merusak, maka hukum
pidana Islam perlu membahasnya, bahwa kejahatan ini bisa diklasifikasikan
sebagai jarimah ta’zir, dimana benuk hukumannya diserahkan kepada ulil
amri.
E. Daftar Pustaka
Abu Zahrah,
Muhammad. al-Jarimah wa al- ‘Uqbah fi al-fiqh al-Islami. Kairo: Maktabah
al-Angelo al-Mishriyah, t.t.
AI-AssaI
Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan
Ekonomi Islam. Pustaka Setia. Bandung, 1999.
al-Mawardi,
al-Ahkam as-Sulthaniyah, cetakan ke-3. Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby
al-Halaby, 1973.
Al-Tirmidzi , Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Tsawrah Ibn Musa Ibn al
Dhahak al Sulami al Bughi. Shahih Sunan Tirmidzi, Takhrij: Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Buku 3. Jakarta: Pustaka Azzam, 2012.
Amalia, Renata. Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Hukum Islam, Jurnal
Al-Jinâyah | Volume 2 Nomor 2 Desember 2016.
Audah, Abdul
Qodir. at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islami, juz 1. Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 1963.
Ali Geno Berutu, Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan KUHP dan Hukum Pidana Islam. TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law, 2019, 2.1: 1-18.
Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Penelitian Hukum Tentang Efektivitas Undang-Undang Money Laundring
https://www.bphn.go.id/data/documents/lit_efektivitas_
uu_money_ laundring.pdf.
Djazuli, H.A,
Fiqh Jinayat Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.2000.
Fakultas Hukum UGM, Penegakan
Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia Belum Efektif https://law.ugm.ac.id/penegakan-hukum-tindak-pidana-pencucian-uang-di-indonesia-belum-efektif/.
Fauzia, Ika
Yunia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsp Dasar Ekonomi Islam Perspektif
Maqa>sid al-Sya>ri’ah. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2018.
Garnasih, Yenti, “Cara
Lebih Ampuh Berburu Rekening Gendut”, Gatra, XVIII, 17. Maret, 2012.
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1993.
Imaniyati,
Neni Sri. PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERBANKAN
DAN HUKUM ISLAM https://ejournal.unisba.ac.id
/index.php/mimbar/issue/view/28.
Imaniyati,
Neni Sri. Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam Perspektif Hukum Perbankan
Dan Hukum Islam https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar
/issue/view/28,
Irfan, Nurul dan Masyrofah, Fiqih Jinayat. Jakarta:
Amzah, 2014.
Krismen, Yudi. Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 4 No.
1.
Muslich,
Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam.
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Muzlifah,
Eva. Maqosid Syariah Sebagai Paradigma Dasar Ekonomi Islam, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 2 ,
2103.
S.R. Sianturi, Asas-asas
Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta 1996.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, jilid 2. Beirut: Da>r
al-Fikr, 1983.
Santoso, Topo. Hukum Pidana
Islam.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2OO3.
Seputarpengetahuan.com,
Pengertian Ekonomi Syariah, Ciri, Tujuan, Manfaat, Prinsip, Dasar Hukum dan
Bentuk Kerjasamanya, https://www.seputarpengetahuan.co.id
/2017/08/pengertian-ekonomi-syariah-ciri-tujuan-manfaat-prinsip-dasar-hukum-bentuk-kerjasama.html
Sjahdeini,
Sutan Remy. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004.
Soewarsono. H dan Reda
Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang di Indonesia, Malibu,
Jakarta, 2004.
Soewarsosno,
Reda Mantovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia.
(Jakarta: Malibu, 2004.
Sumadi,
Telaah Kasus Pencucian Uang Dalam Tinjauan Sistem Ekonomi Syari’ah, Jurnal
Ilmiah Ekonomi Islam, 3(03), 2017. http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jie.
Sutedi,
Adrian. Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Marger, Likuidasi,
dan Kepailitan. Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Suprihadi, Tindak
Pidana Pencucian Uang, http://www.negarahukum.com/
hukum/1562.html
Uzier, Rahmi,
https://blog.bplawyers.co.id/3-jenis-tindak-pidana-pencucian-uang-yang-harus-anda-ketahui/
Welling,
Sarah N. “Smurf, money laundering and the United States Criminal Federal law”.
Dalam Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss. Economis and ideology on
the Money trail (Confiscation of proceeds of crime, Money Laundering and cast
Transaction Responding). Sydney: The Law book Company limited, 1992.
Label: HUKUM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda