PENALARAN FIQIH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZIR PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014
Tulisan Ini telah Terbit di Jrnal el-Maslahah
Silahkan kutip/sitasi dengan mengcopy judul dibawah ini:
Ali Geno Berutu, PENALARAN FIKIH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZIR PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, Vol 9 No. 2 tahun 2019, hal 119-136.
Ali Geno
Berutu
Fakultas Syariah IAIN Salatiga
email: ali_geno@ymail.com
Abstrak
Islam dengan tegas
melarang melakukan zina, sementara khalwat merupakan washilah atau peluang untuk
terjadinya zina. Hal ini mengindikasikan bahwa perbuatan zina
terjadi disebabkan adanya perbuatan lain yang menjadi penyebab terjadinya zina,
maka khalwat
(mesum) juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan diancam
dengan ‘uqubat ta’zir. Khalwat dilarang dalam Islam karena perbuatan ini bisa
menjerumuskan orang kepada zina yakni hubungan suami istri di luar
perkawinan yang sah. Di Aceh Khalwat
merupakan suatu tindak pidana yang telah diatur dalam Qanun 14 Tahun 2003 dan
Qanun 6 Tahun 2014 tapi yang menjadi pertanyaan mendasar dalam peneyelesaian
kasus khalwat di Aceh selama ini adalah apa yang menjadi ukuran
seseorang yang dikatakan telah melakukan pelanggaran khalwat tersebut.
Abstract
Islam strictly forbids adultery, while khalwat is
a washing or opportunity for the occurrence of adultery. This indicates that
the act of adultery occurs due to other acts that cause adultery, the khalwat
(pervert) is also included as one of jarimah (criminal acts) and
threatened with ‘uqubat ta'zir. Seclusion is forbidden in Islam because
this action can lead people to adultery, namely marital relations outside of
legal marriage. In Aceh, khalwat is a criminal act that has been
regulated in Qanun 14 of 2003 and Qanun 6 of 2014, but the basic question in
solving khalwat cases in Aceh so far is what is the size of someone who
is said to have committed the khalwat violation.
Kata Kunci: Ta’zir, Khalwat, Syariat Islam, Qanun, Aceh
A.
Pendahuluan
Pelaksanaan
uqubat terhadap pelanggar khalwat
merupakan upaya hukum yang digalakkan dalam pengeksekusian tindak pidana. Hal
ini sebagimana dikatakan di dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa
pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai
kekuatan hukum tetap. Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat
dilakukan berdasarkan penetapan dari kepala kejaksaan apabila terdapat hal-hal
yang berwenang. Berdasarkan penegasan Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006, maka yang
menjadi tolok ukur pemberlakuan syariat adalah Qanun Jinayat Aceh yang masih
diberlakukan.
Sejak diberlakukan Qanun No. 14 Tahun 2003 kemudian
digantikan dengan Qanun Jinayat No. 4 Tahun 2014, penegakan syariat Islam di
Aceh dalam hal pencegahan tindak pidana khalwat telah berjalan secara
implementatif di Aceh, meskipun qanun tersebut belum mengikuti keseluruhan
ketentuan Fiqih.
Yang menjadi pertanyaan mendasar dalam peneyelesaian
kasus khalwat di Aceh selama ini adalah apa yang menjadi ukuran
seseorang yang dikatakan telah melakukan pelanggaran khalwat? Karena
selama ini sebagian dari pelaku khalwat terkadang masuk dalam praktek
zina (muhsan dan gairu muhsan), tetapi bentuk hukuman yang diterima serupa
dengan hukuman khalwat yakni di cambuk sebanyak banyak 10 (sepuluh) kali
atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama
10 (sepuluh) bulan (Pasal 23 Qanun No. 6 Tahun 2014).
Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi
masalah utama dalam penelitian ini adalah landasan apakah yang digunakan oleh
pemerintah Aceh dalam menentukan jumlah maksimal dan minimalnya ancaman hukuman
cambuk dan denda kepada pelaku perbuatan khalwat.?
B.
Penalaran Fikih
Terhadap Tindak Pidana Khalwat
Untuk memformulasikan pengertian ta’zir yang disepakati
dalam ruang lingkup fiqih para fuqaha
mengartikannya dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur’an dan Hadith
yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba
(pribadi) yang berfungsi untuk membenikan pelajaran kepada si terhukum dan
mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.[1]
Berdasarkan pemaknaan yang dikembangkan para fuqaha
di atas kedua ruang lingkup yang berkaitan kejahatan, para ulama nerumuskan
bahwa jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Sedangkan jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba adalah segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi
seorang manusia, seperti tidak membayar utang, penghinaan, perjudian, khalwat
dan sebagainya. Ketika tindak pidana ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah benlangsung,
semua pihak/orang wajib mencegahnya, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
Dari Abu Said al-Khudr bersabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa melihat suatu tindakan kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan kekuasaan, bila ia tidak kuasa maka dengan lidahnya (ucapannya), bila ia tidak mampu maka dengan hatinya dan dengan cara (yang terakhir) itu merupakan standar iman yang tenendah”. (H. R. Muslim)
Hadist ini mengindikasikan tentang penerapan nahyi munkar. Artinya apabila setiap orang telah melakukan tindak
pelanggaran, maka hak menjatuhi hukuman berada di tangan ulil amri. Begitu pula halnya yang berkaitan dengan hak
perseorangan, setiap orang dapat mencegahnya ketika kejahatan itu terjadi dan
penjatuhan hukuman. Tujuan hukuman diterapkan, meskipun tidak disenangi adalah demi mencapai
kemaslahatan individu dan masyarakat.
Menyangkut
kewenangan terhadap penetapan hukuman, maka persoalan mafsadatnya bagi
masyarakat harus diperhatikan. Hal ini memerlukan penelitian dan para ilmuan
dan Ulil amri artinya
dalam ushul fiqih masalah ini harus diselesaikan melalui mashlahah
al-mursalah. yakni sejauh mana pengaruh pelaksanaan ta’zir itu seandainya
dilaksanakan) terhadap kemaslahatan umum. Sehingga efek dari pelaksanaan ini
adalah munculnya prinsip ketaatan kepada ulil amri,
seperti dijelaskan dalam firman Allah Swt:
Artinya:
“Hal orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya dan Ulil
amri di antara kamu ...“ (Q.S. an-Nisa:
59)
Indikasi dari ayat di atas, ketaatan pada tataran ketiga
(ulil amri) adalah wajib diikuti oleh sétiap pihak penetapan hukuman
demi kemaslahatan tidak dapat diabaikan. Aturan semacam ini menjadi kebulatan hukum
untuk diindahkan, sehingga dalam sistem syariat Islam bahwa hal-hal yang tidak
didapati dalam kedua nash (al-Qur’an dan al-Hadith) dapat
ditranformasikan dalam fiqih.
Fiqih lahir berdasarkan hasil penalaran para ulama mengenai kasus-kasus baru (atau memprediksi kedepan) dan sesuai kondisi daerah adalah sebuah pencerahan dan pragmatisasi bagi dunia Islam dalam menyahuti berbagai persoalan. Apalagi terhadap perumusan ancaman pidana ta’zir dalam qanun yang berkembang selama ini fiqih mempunyai metode penalaran tertentu. Artinya, setiap perbuatan yang tidak termasuk hudud dan jinayah/qishash adalah dirumuskan kedalam kategori ta’zir (sebagai ancaman pidana ta’zir), seperti perbuatan judi, khalwat dan lain sebagainya. Pelandasan ancaman pidana ta’zir yang telah dirumuskan Qanun bagi pelaku khalwat, maka eklektisitas fiqih melalui metode penalarannya secara umum dapat dipahami berdasarkan al-Qur’an al-Isra ayat 32, yang artinya:
Artinya: “Dan janganlah
kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk”. (Q.S. Al-Isra: 32).
Dalam
rangka merumuskan aturan hukum (fiqih) mengenai ancaman pidana ta’zir (khalwat),
diperlukan penalaran/penafsiran tanpa keluar dari kedua dalil itu. Supaya
penalaran dan penafsiran sesuai dengan maqashid syari’ah, para ulama ushul telah menyusun kaedah-kaedah
untuk keperluan tersebut, sehingga menjadi pninsip umum untuk dijadikan sebagai
penyelesaiannya melalui nash spesifik. Adapun metode penalaran yang dikembangkan oleh para ulama ushul terhadap al-Qur’an surat al-Isra ayat 32,
khususnya mengenai ancaman pidana ta’zir sebagai berikut:
1.
Penalaran Bayani
Penalaran
bayani adalah penalaran yang pada dasarnya bertumpu pada kaidah-kaidah
kebahasaan (semantik). Dalam buku ushul flqih, uraian tentang kaedah penalaran bayani
dimasukkan ke dalam bab tentang al-Qur’an dan kelihatannya dianggap sebagai
bagian dari padanya (al-Qur’an) bahkan mungkin yang paling penting dari
pembahasan ushul fiqih. Namun apabila diperhatikan secara teliti, kaedah
penalaran bayani jelas merupakan bagian dari ijtihad. Sebab para ulama telah menyusun defenisi, kategori dan klasifikasinya untuk
penalaran fiqih. Namun lebih dari itu bahwa kaedah tersebut tidak muncul secara
serta merta, tetapi ia tumbuh dan dikembangkan secara sengaja, generasi demi
generasi terutama setelah Imam al-Syafi’i (150/204 H 204/819 M)
meletakkan kerangka dasarnya.
Metode
penalaran bayani ini, pada hakikatnya membahas antara lain; makna kata
(jelas tidaknya, luas sempitnya), arti-arti perintah (al-amr), arti kata
secara etimologis, leksikal, konotatif, larangan (an-nahyi) dan
seterusnya. Namun dalam kajian ini lebih dititik-beratkan pada kegunaan segi
lafadz la taqrabu az-zina itu sendiri, sehingga akan menghasilkan
pemahamam hukum (norma) syar’i yang jelas. Dengan demikian, bunyi teks surat al-Isra ayat 32 di
atas dapat dipahami dengan menggunakan metode penalaran bayani (thuruq
al-Istimbat al-Bayani) atau
pemahaman menurut bahasa, seperti Lafadz Ia Taqrabu az-zina (الزّنىلا
تقربوا ) sebagai
berikut:
a.
Segi penciptaan
lafadz terhadap suatu makna (وضع
للفظ المعنى)
Lafadz La taqrabu az-zina (الزّنىلا تقربوا) merupakan lafadh annahyi
(النهى).
Dikatakan lafadz an-nahyi, karena khitab syari’ menuntut untuk
ditinggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Apabila ditinjau dari
segi penciptaan lafadz an-nahyi (النهى), maka ia termasuk dalam
yang dikehendaki adalah haram.
b.
Segi penggunaan
lafadz terhadap suatu makna (استعمل
اللفظ فى المعنى)
Lafadz La taqrabu az-zina (لاتقربوا الزنى) digolongkan kepada
hakikat syar’iyah, karena lafadz tersebut digunakan pada makna yang
dibuat oleh syara’ itu sendiri.
c.
Segi Dilalah
Lafadz terhadap Makna (دلالة للفظ
للمعنى)
Lafadz La taqrabu az-zina (لاتقربوا الزنى) termasuk dalam kategori
dhahir (ظاهر),
karena lafadh atau kalam yang dipahami merupakan secara terang atau jelas oleh
si pendengar tanpa harus melihat qarinah atau pernikiran lagi. Dengan kata
lain, dhohir adalah arti yang dipahami sesuai dengan apa yang tertera
(pemahaman secara literal untuk memahaminya seseorang tidak memerlukan
penjelasan lain). Jadi lafadz dhahir pada dasarnya harus diamalkan
menurut apa adanya, selama tidak ada keterangan yang akan memalingkan untuk
menafsirkan atau mentakwilkannya.
- Segi Makna yang Diciptakan Untuknya (وضع اللفظ للمعنى)
Lafadh Ia taqrabu
az-zina (لا تقربوا الزنى) merupakan lafadh ‘am (عام). Dikatakan lafadh ‘am, karena mencakup
semua orang; muslim atau bukan, dewasa atau anak-anak, kawin atau tidak dan
seterusnya. Apabila ditinjau dan segi penciptaan lafadz ‘am maka ia
termasuk dalam; yang dike hendaki adalah ‘am. Artinya lafadz dan
maksudnya adalah ‘am (عام), sedang yang
dimaksud dengan ‘am itu memang adalah keumumannya. Dalam pada itu, para Ulama Ushul sepakat bahwa setiap lafadz ‘am
(dilalahnya) dibuat untuk mencakup keseluruhan satuan dan tetap saja dalam
keumumannya selagi tidak ada darn yang mengkhususkan.
- Segi
Cara Pengindikasian Makna (كيفية دلالة على المعنى)
Lafadz la taqrabu
az-zina (لا تقربوا الزنى) ada1ah ‘ibarah nash (عبارة نص), dimana lafadh tensebut yang indikasi kalamnya
menunjukkan kepada suatu maksud, yaitu at-tahrim (pelarangan).
- Segi
Penetapan Lafadz (وضع للفظ)
Lafadz la taqrabu az-zina (لا تقربوا الزنى) merupakan lafadz amar (أمر). Ia
termasuk dalam makna yang pasti secara qath’i, sehingga menunjukkan
wajib untuk tidak mendekati perbuatan yang cenderung kepada zina.
2.
Penalaran Ta’lili
Pola
penalaran ta’lili adalah penalaran yang berusaha melihat apa yang
melatar belakangi sesuatu ketentuan dalam al-Qur’an (surat al-Isra: 32) dan
al-Hadith. Dengan kata lain, apa yang menjadi ‘illat dan sesuatu
peraturan — menurut ulama, semua ketentuan ada ‘illatnya, karena tidak
layak Tuhan memberikan peraturan tanpa tujuan dan maksud baik. Oleh karena itu,
‘illat dan pelarangan zina dalam surat al-Isra ayat 32 adalah karena
perbuatan itu dianggap sesuatu yang keji dan jalan yang buruk.
Dalam konteks menemukan ‘illat (khususnya pemahaman terhadap ayat itu) para ulama telah merumuskan cara-caranya serta menyusun kategori-kategorinya. Adapun ‘illat tersebut dapat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu ‘illat tasyri’i, ‘illat qiyasi dan ‘illat istihsani. Yang membedakan ketiga pengelompokan ‘illat ini hanyalah kegunaannya dan intensitas persyaratannya. Persyaratan untuk ‘illat qiyasi lebih banyak dari pada persyaratan ‘illat tasyri’i dan Istihsani. Dengan demikian, dalil qiyas dan istihsan telah tercakup dalam penalaran ta’lili.
- Penalaran
Istishlahi
Yang
dimaksud dengan penalaran istishlahi adalah penalaran yang menggunakan
ayat-ayat atau hadlist-hadist yang mengandung “konsep umum” sebagai
dalilnya. Misalnya lafadz yang melarang mendekati zina (لا تقربوا الزنى); tujuan sesuatu peraturan adalah
kemaslahatan dan seterusnya. Kemaslahatan dimaksudkan adalah supaya setiap
orang dapat menghindari dirinya dan perbuatan yang menjerumus kepada dosa yang
lebih besar (zina).
Penalaran
istishlahi itu, maka pelarangan untuk mendekati zina sebagaimana
disebutkan dalam surat al-Isra ayat 32 adalah sesuatu yang harus dihindari dan telah dilarang oleh syara’ secara qath’i (jelas). Karena
keterangannya itu menunjukkan kepada at-tahrim (mesti ditinggalkan), namun bila mengingkarinya
dan terjerumus kepada perbuatan zina, maka ia telah melakukan dosa besar serta
harus dirajam sesuai ketentuan syariat.
Berdasarkan
hasil penalaran yang dikembangkan itu yang didasari pada al-Qur’an surat
al-Isra ayat 32, maka perbuatan khalwat (jalan menuju perzinaan) adalah suatu
perbuatan yang diharamkan oleh Islam. Maka setiap daerah tertentu mempunyai hak
untuk membuat peraturan (hukuman) tertentu untuk
menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana ta’zir melalui mekanisme
peraturan daerah yang berlaku di daerah tersebut. Dalam hal ini, realita
sekarang tidak satupun negara yang dapat digunakan sebagai contoh konkret
mengenai pelaksanaan syariat Islam di bidang jinayat di Aceh.
Keberadaan
Qanun Jinayat Aceh dalam
perumusan konsep ancaman pidana ta’zir adalah sesuatu yang sangat berbeda sebagaimana yang
dikembangkan dalam konsep fiqih. Qanun dengan sangat jelas mendefinisikan
istilah perbuatan khalwat dan jenis hukumannya yang dijatuhkan kepada
pelaku perbuatan itu. Secara realita, sebagaimana yang penulis temukan bahwa
Qanun lebih konkrit aturan-aturannya (walaupun berbeda dengan fiqih), sehingga
dapat dikatakan bahwa qanun
sebagai positifisasi hukum Islam.
Lebih lanjut Qanun Jinayat Aceh menjelaskan bahwa
walaupun perbuatan maksiat itu diserahkan kepada penguasa, tetapi aturan
pelaksanakan dan mekanisme hukumnya sudah jelas bukan memberikan hak saja
(dengan berbagai sanksinya) sebagaimana dimaksud dalam fiqih. Artinya pemberian
hukumannya tidak mengambang ketika diimplimentasikan, sebab dalam kalangan
Syafi’iyah ta’zir itu pada prinsipnya diserahkan kepada ijtihad ulil
amri, baik tentang jenisnya maupun kadarnya disesuaikan dengan keadaan para
pelakunya yang berbeda-beda dan juga disesuailcan dengan perbedaan jarimahnya.
A.
Analisis
tentang Rumusan Konsep Ta’zir
Syari’ah telah menyatakan bahwa suatu kejahatan dan
mengancamnya dengan hukuman, baik perbuatan aktif atau pasif yang dapat merusak
(mengganggu) terwujudnya ketertiban sosial, kehidupan individu, kehormatan dan
lain sebagainya. Hukuman ditentukan bagi suatu kejahatan
sehingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu, karena semata-mata
melarang atau memerintahkan tidak menjamin akan ditaati. Artinya tanpa sanksi
suatu perintah atau larangan tidak punya kensekuensi apa-apa.
Dengan
adanya hukuman, perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki
arti tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Hukuman-hukuman itu diberikan
status legal untuk kepentingan publik. Oleh karena itu, syari’ah jelas bahwa
menentukan hukuman, lebih banyak sebagai sarana untuk mencapai kebaikan
kolektif dan menjaganya dari hal-hal yang menggangu ketertiban seperti disebut
tadi.
Hukuman-hukuman
yang ditentukan dan diterapkan demi kelangsungan kehidupan masyarakat adalah
ketentuan yang jelas untuk melarang suatu perbuatan yang merupakan maksiat.
Perbuatan yang dilarang untuk menentukan hukuman pada prinsipnya adalah
perbuatan-perbuatan dalam kategori ta’zir, karena hal ini tidak di atur
baik jenis maupun sanksinya secara tegas dalam Al-Qur’an maupun
Hadist. Dengan
demikian, konsep ta’zir tersebut harus
dirumuskan oleh penguasa (ulil amri)
sebagai kepala negara/daerah.
Penegakan
ta’zir dan pelaksanaan dilakukan oleh imam atau wakilnya diberikan
kewenangan dalam pelaksanaan ta’zir, baik ta’zir terhadap hak-hak
pribadi ataupun hak Tuhan. Namun apabila imam diserahkan hak untuk menegakkan ta’zir-ta’zir
yang wajib merupakan hak Tuhan, apakah ta’zir semacam ini hak bagi imam
atau kewajiban atasnya. Para ulama berbeda pendapat sebagai mereka berpendapat ta’zir
itu adalah wajib atas imam dalam hak-hak yang telah disyariatkan dan tidak
boleh untuk meninggalkannya, kecuali ada kemaslahatan. Hal ini merupakan
pendapat jumhur fuqaha, Syafi’i dan pengikut imam lainnya. Akan tetapi ulama Syaf’iyyah berpendapat bahwa hukuman ta’zir yang
melanggar hak Allah adalah hak bagi imam dan bukan kewajiban baginya.
Pendapat
dari jumhur fuqaha dianggap sebagai pendapat yang lebih utama
untuk diikuti, karena ta’zir yang wajib adalah hak Tuhan dan kewajiban
bagi imam untuk menegakkannya. Maksudnya adalah tidak boleh bagi imam
meninggalkannya, atau melihat si pelaku pelanggaran maksiat meninggalkan
perbuatannya tanpa harus diadakan hukuman, atau si pelaku maksiat tersebut
datang kepada Ulil amri dan bertaubat.
Ketentuan
diatas berbeda halnya dengan pendapat kalangan Syafi’iyah yang menjadikan ta’zir sebagai hak bagi waliyul
amri untuk
menegakkan hukuman atau meninggalkannya. Kalangan Syafi’iyah berpegang kepada
Hadist yang
berhubungan dengan laki-laki yang mencumbu seorang wanita tanpa menyetubuhinya,
tapi Rasulullah tidak menta’zirnya. Keadaan semacam ini barangkali bisa
dikatakan bahwa sama dengan seorang pelaku kejahatan datang dalam keadaan
bertaubat dan menyesal terhadap perbuatannya (tidak mau mengulanginya),
sehingga Rasulullah melihat ta’zir tidak diperlukan. Dengan demikian,
hukuman ta’zir terhadap laki-laki tersebut menjadi gugur (tidak
dilaksanakan).
Adapun
yang berhubungan dengan peristiwa Zubeir, Rasul memutuskan perkara untuk
kemenangan Zubeir atas lawannya. Lawan Zubeir tidak menerima keputusan Rasul
tersebut sehinggal Rasul marah terhadapnya, namun Rasuk tidak menta’zirnya.
Padahal kejadian itu termasuk ke dalam ta’zir yang wajib berupa hak bagi
pribadi-pribadi. Dalam hal ini, hak ta’zir tadi adalah murni milik Rsul
dan bukan hak Tuhan di mana ta’zir merupakah hak bagi pribadi-pribadi,
mereka mempunyai hak untuk meninggalkan maupun melaksanakannya.
Berdasarkan
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ta’zir wajib yang menjadi hak
individu, maka
menjadi hak bagi ulil amri untuk
menuntut penegakan ta’zir atau meninggalkannya. Kemaafan seseorang dari
haknya menuntut ta’zir tidak menhalangi wali al-Amri untuk menta’zir pelaku maksiat sebagai pelajaran.
Oleh karena itu, wali
al-Amri juga mempunyak hak untuk membiarkan ‘uqubah
ta’zir atau memeranginya untuk membersihkan negeri dari perbuatan
maksiat dan kejahatan. Apabila seorang Wali al-Amri melihat meninggalkan ta’zir
dan memaafkan si pelaku maksiat, berarti ada kemaslahatan atau pelaku maksiat
tersebut telah meninggalkan perbuatannya.
Apabila
melihat lebih jauh tentang kemaslahatan yang dicapai dari ta’zir, maka
secara esensial tidak ada perbedaan antara pendapat jumhur dan
Syafi’iyah dimana dalam prakteknya pelaksanaan hukuman atau tidaknya sesuai
dengan tuntutan
kemaslahatan umum. Kalangan Syafi’iyah tidak mengatakan bahwa wali al-Amri berhak meninggalkan nash-nash syari’ah
atau membolehkan yang haram, tetapi Syafi’iyah mengatakan bahwa bagi Wali
al-Amri atau wakilnya berhak menerapkan hukuman sebagai ta’zir atas
pelaku maksiat dan untuk meninggalkan pelaksanaannya.
Di
samping itu, kalangan Syafi’iyah tidak menafikan perbuatan maksiat yang dihukum
dalam syariat sebagai kejahatan. Apabila perbuatan itu dalam pandangan syari’ah
digolongkan kepada kategori haram (haram binafsih), maka haram untuk
melakukannya. Namun pada akhirnya setelah terjadinya kejahatan, imam mempunyai
hak untuk menghukumnya dengan ta’zir dan juga berhak meninggalkan ta’zir
bagi si pelaku maksiat. Sedang penggunaan Wali al-Amri terhadap haknya
dalam penghukuman dan pemaafan adalah terkait dengan kemaslahatan jama’ah dan
sistemnya yang kadang-kadang menuntut pemaafan dari hukuman. Imam tidak bisa
menghalangi dari penegakan hukuman yang dituntut untuk memaslahatan umum,
karena dia tidak diberikan hak dalam penegakkan hukuman apalagi
meninggalkannya, kecuali dia mampu mewujudkan kemaslahatan umum dan mengokohkan
sistemnya tidak diserahkan urusan umat kecuali untuk mejaga kemaslahatannya dan
memelihara tatanannya.
Pendapat
di atas tidaklah bermaksud untuk meninggalkan nash-nash
syariat atau menghalangi hukuman atas kejahatan-kejahatan ta’zir, tetapi
lebih dari itu agara Wali al-Amri
menghidari dari hukuman yang dapat mengakibatkan cacat dan kematian. Karena
selama penegakan hukum adalah hak bagi al-Amri dan ia tidak berpegang
pada jenis hukuman tertentu. Dengan demikian sanksinya makin besar dan disesuaikan dengan keadaan pelakunya, bila
pelakunya sering melakukan kejahatan maka sanksinya lebih berat.
Dari
pendapat para ulamat di atas, jelaslah bahwa ta’zir merupakan hukuman
yang diserahkan kepada ulil amri,
khususnya hakim yang menjatuhkan. Ia dapat menentukan suatu hukum yang menurut ijtihadnya
dapat memberikan pengaruh preventif, repretif, kuratif dan edukatif
terhadap si terhukum dengan tetap mempertimbangkan keadaan pelakunya, jarimah
nya, korban kejahatannya, waktu dan tempat kejadian.
Disamping
itu, sebagian ulama Syafi’iyah mengungkapkan bahwa apabila si terhukum itu
seorang residivis dan hukuman had tidak memberikan daya represif
baginya, maka ulil amri boleh
menjatuhkan kepadanya hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati agar
tidak membawa mudharat kepada manusia. Meskipun di kalangan Syafi’iyah
ada yang mengatakan bahwa hukuman mati itu adalah suatu sanksi yang berkaitan
dengan siyasah untuk menjaga kestabilitasan dan keselamatan negara, kelangsungan
pemerintah, dan untuk menghindarkan kemafsadatan di muka bumi. Hal ini
sesunggunya berkaitan dengan ulil amri bukan
dengan qadhi di pengadilan.
Pendapat di atas juga menunjukkan bahwa meskipun sanksi ta’zir
diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya, akan tetapi ia harus
mempertimbangkan banyak hal supaya sanksinya tidak melampaui batas dan kurang
dari batas. Jadi secara singkat hubungan antara hakim
dengan si terhukum dalam kasus ta’zir ini seperti hubungan seorang tabib
dengan pasiennya. Dimana obat yang diberikan, baik dosis maupun jenisnya harus
sesuai dengan kebutuhannya, tidak lebih dan tidak kurang-agar penyakitnya lekas
sembuh dengan tidak menimbulkan efek yang tidak perlu.
Sehubungan
hal terakhir ini, tepatlah kiranya ulil amri
menetapkan sanksi untuk setiap jarimah , setidak-tidaknya batas
tertinggi suatu sanksi supaya menjadi pegangan para hakim dan lebih tepat
sesuai dengan tujuan hukum.
Namun itu dalam hal ini para ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa agar
sanksi ta’zir itu diserahkan kepada hakim memang kondisinya demikian,
disamping mereka sering mengistilahkan kata-kata hakim, imam, dan qadhi
adalah untuk fungsi yang sama, yaitu menjatuhkan hukuman.
Memang bahwa penjatuhan hukuman merupakan hikmah
disyariatkan ta’zir. Namun kadang-kadang penentuan hukuman itu tudak
membuat jera si pelaku kejahatan dan tidak adil bagi pelaku kejahatan lainnya.
Karena penentuan ini mengikat hakim dan
menjadikan kekuasaannya terbatas pada menjalankan hukuman tertentu serta untuk
kejahatan tertentu yang lengkap dengan syarat dan rukun. Apabila salah satunya
hilang, maka qadhi tidak dapat menangani kejahatan dan menghukum
pelakunya. Karena itu, banyak pelaku kejahatan yang terbebas dari hukuman,
sehingga munculnya kejahatan dan kerusakan dalam masyarakat yang memperkeruh indahnya hidup, menghilangkan
hak masyarakat untuk menuntut orang yang telah merongrong kehormatannya, dengan
dalih dia tidak melakukan kejahatan yang mewajibkan qishash dan diyat.
Sesungguhnya
syariat Islam telah menentukan hukuman-hukuman tertentu untuk
kejahatan-kejahatan tertentu pula, dan tidak menentukan hukuman dalam kejahatan
lainnya yang muncul dalam masyarakat serta diserahkan kepada hakim atau
wakilnya untuk menentukan hukuman yang sesuai. Hakim mempunyai otoritas
tertentu yang memungkinkannya mendeteksi kejahatan yang berpotensi merugikan kehidupan masyarakat banyak.
Sebagaimana
halnya memvonis kejahatan lainnya dan menentukan hukuman kepadanya merupakan hukuman ta’zir dari penguasa.
Demikian juga dengan hukuman kejahtan-kejahatan lain seperti; penyogokan,
pemalsuan, perjudian, meninggalkan shalat, koropsi, homo seksual, lesbian, khalwat,
dan kejahatan-kejahatan yang serupa dengannya merupakan termasuk dalam kategori
hukuman ta’zir ini. Sehingga prinsip dasar syariat, yakni tegaknya
masyarakat yang adil, utama, dan bertaqwa yang
dengan penerapan ta’zir itu bertujuan untuk mengabdi pada tujuan
kemanusiaan yang mulia dan merealisasikan apa yang diperintahkan oleh Tuhan,
yaitu bersikap adil diantara seluruh manusia dan memberikan keamanan kepada
mereka.
Berdasarkan
hikmah dan prinsip dasar syari’ah, maka ‘ilat pembolehan ta’zir sesuai
tuntutan dan kepentingan-kepentingan sosial adalah satu-satunya alasan untuk
menetapkan ta’zir, sehingga pemeliharaan terhadap kemaslahatan umum
dibutuhkan kepada nash-nash yang fleksibel yang sesuai setiap zaman dan waktu.
Ketentuan-ketentuan
yang fleksibel syariat
telah memberikan hak dan wewenang sepenuhnya kepada Wali al-Amri untuk
menggolongkan suatu prilaku atau tindakan sebagai kriminal yang tidak terdapat
dalam nash memberikan hak untuk mengharamkan perbuatan yang bertentangan
(maksiat dan dicela oleh agama) dan menentukan hukuman yang pantas. Namun
demikian, syariat tidak memberikan kebebasan penuh dalam menghalalkan penggolongan-penggolongan
tersebut, ia harus sejalan dengan nash-nash
syariat, kaedah-kaedah umumnya serta ruh syariatnya sebagaimana diwajibkan atas
mereka penggolongan tersebut harus sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
sistemnya dalam memperjuangkan kemaslahatan umum.
Tujuan
asasi dari syariat dalam konteks itu adalah memberikan kepada ulil amri hak pembuatan hukum terhadap kejahatan ta’zir
dimana memungkinkan mereka membentuk dan mengarahkan masyarakat ke arah yang
benar, menjaga kemaslahatan masyarakat dan mempertahankan serta menangani
hal-hal emergensi (darurat),
dengan tidak mencampuradukkan antara kejahatan yang ada nash syariatnya
dengan tindakan yang diharamkan oleh ulil amri. Karena
tindakan kriminal yang ada nash syariatnya akan haram selamanya, maka
tidak dapat dianggap suatu saat akan menjadi mubah. Sementara yang
diharamkan oleh Wali al-Amri akan menjadi mubah disuatu saat,
apabila memang dituntut kemaslahatan umum.
Begitu
pun rumusan konsep ancaman pidana ta’zir yang telah dilogikakan oleh
golongan Syafi’iyah, namun dengan kondisi sekarang ini, perkembangan dan
kemajuan bangsa yang modern tidak berarti pengklasifikasian jenis perbuatan
dan hukuan lain tertutup untuk dilaksanakan.
Karena masih banyak kejahatan-kejahatan lain seperti; larangan minuman
beralkohol (haram), penyogokan, pemalsuan, perjudian, meninggalkan shalat,
koropsi, homo seksual, lesbian, khalwat, dan kejahatan-kejahatan yang
serupa dengan termasuk dalam kategori ta’zir dan perlu ditetapkan
hukuman demi kemaslahatan masyarakat pada saat tertentu.
Dalam paradigma fiqih, pengklasifikasian jenis-jenis
perbuatan yang tergolong dalam jarimah
ta’zir adalah sesuatu yang dianggap sebagai perbuatan celaan atau
diharamkan oleh syara’ walaupun hal ini tidak terdapat ketentuan nash
secara sharih (jelas), namun fiqih mengakui dan mendeteksi bahwa
perbuatan yang merusak dan mengganggu kemaslahatan masyarakat merupakan hal
yang dilarang oleh agama.
Fiqih sebagai pedoman praktis yang dijadikan oleh kaum
muslimin dalam melakukan berbagai tindakannya (fiqih klasik), nampaknya
dalam perkembangannya tidak seluruhnya efektif untuk diterapkan pada masa
sekaang. Hal ini karena munculnya berbagai fenomena yang
sebelumnya kadang-kadang belum pernah terjadi, yakni apa yang dikenal sebagai
proses dependensia atau ketergantungan. Untuk itu, fiqih sebelumnya bukan berarti tidak peka terhadap persoalan seperti
dibutuhkan sekarang,
melainkan hal-hal yang mencakup
kepada perbuatan maksiat (dicela oleh agama) harus dipertegas kembali, terutama
penentuan hukuman bagi pelaku maksiat tersebut.
Dalam fiqih klasik terutama fiqih Syafi’iyah, penegasan
perbuatan maksiat adalah sesuatau yang diberi hak kepada penguasa atau hakim
untuk menentukan hukumannya terhadap perbuatan khalwat. Karena perbuatan
ini pada hakikatnya diharamkan (haram binafsih), kecuali dengan alasan
tertentu seperti; pengobatan dengan syarat ditemani oleh seorang muhrim
atau suami atau wanita tsiqah lainnya, tidak ada wanita lain yang
mengobatinya, bukan kafir dzimmi selama ada orang Islam, aman dan bebas dari fitnah. Kemudian bagi orang buta ditentukan ada yang
membimbingnya. Oleh karena itu, dalam fiqih Syafi’iyah
pada dasarnya tidak menyatakan secara tegas tentang bagaimana konsep ancaman
pada ta’zir.
Ketentuan fiqih Syafi’iyah diatas adalah sangat bertolak
belakang, dengan kondisi yang dihadapi sekarang, karena umumnya orang tua atau muhrim
tidak menemani anaknya ketika didatangi temannya (pacarnya). Bahkan dibiarkan
duduk berduaan dan memberi izin keluar rumah untuk mereka jalan-jalan, sehingga
mereka mencari tempat yang cocok sebagai lokasi “pacaran” baik diharamkan (haram
binafsih), sebab kelangsungan percakapan berduaan itu bukan tidak mungkin
dikatakan sebagai jalan menuju perzinaan (QS Al-Isra: 32), apalagi mereka itu
bukan muhrimnya dan seolah-olah sudah semacam suami-istri.
Perlakuan seperti itu jelas melanggar syariat Islam atau
sesuatu yang sudah mengarah serta dapat dikatakan sebagai perbuatan khalwat
murni, sehingga akhirnya dapat meresahkan masyarakat umum. Keresahan
dimaksudkan adalah mereka sudah terang-terangan berani melakukan hal tersebut
di hadapan umum tanpa mempedulikan siapa yang melihatnya. Yang paling aneh lagi
adalah hal itu dianggap biasa dan mengikuti tren perkembangan zaman siapa yang
tidak melakukan itu dianggap orang atau masyarakat ketinggalan masa atau
kampungan.
Perbuatan
(khalwat) sebagaimana dikemukakan diatas jelas sangat tepat dengan
al-Qur’an surat Ali Imran: 104 dan Hadist Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa setiap kemungkaran yang terjadi di muka
bumi harus dicegah demi kemaslahatan masyarakat. Oleh karena itu, disini berlaku kaedah amar ma’ruf nahi munkar, artinya kekuasaan, lidah (ucapannya), dan hati
adalah sebagai alat untuk mengatasi dan mencegah perbuatan munkar.
Menyangkut
kemaslahatan (al-Mashalahah), maka dapat dibagi kepada tiga macam
peringkat sesuai dengan tiga cara memandangnya, yaitu :
1.
Kemaslahatan
ditinjau dari segi pengaruhnya atas kehidupan umat manusia. Kemaslahatan macam
ini meliputi tiga bentuk kemaslahtan; primer, sekunder, dan tertier
(penyempurnaan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik dan
yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang paling tercela
menurut akal sehat).
2.
Kemaslahatan
ditinjau dari segi hubungannya dengan kepentingan umum dan individu dalam
masyarakat. Pembagaian kemaslahatan dari sudut ini dapat dibagi atas dua bentuk
kemaslahatan; Kemaslahatan yang bersifat universal dan menyangkut kepentingan
kolektif (kulliyah), dan kemaslahatan yang menyangkut kepentingan
individual (fardhiyyah). Dalam prakteknya, pengukuran kemaslahatan ini
tergantung kepada kesepakatan masyarakat dan individu, kemaslahatan ini lebih
bersifat prahmatis.
3.
Kemaslahatan
ditinjau dari segi kepentingan pemenuhannya dalam rangka pembinaan dan
kesejahteraan umat manusia dan individu. Kemaslahatan serupa ini ada tiga
peringkat; Pertama, kemaslahatan yang mau tidak mau mesti ada bagi
terpenuhinya kepentingan manusia, baik perorangan maupun kolektif (al-mashalahah
al-qathi’iyyah). Kedua, kemaslahatan yang diduga kuat musti ada
bagi kebanyakan orang (al-mashlahah al-dzanniyyah). Ketiga,
kemaslahatan yang diperkirakan harus ada (al-mashlahah al-wahmiyyah)
Berdasarkan beberapa kategori di atas, maka kesimpulan utamanya
adalah untuk menjaga kemaslahatan di antara kehidupan masyarakat secara umum,
maka perbuatan khalwat adalah harus di ancam dengan hukuman ta’zir.
Karena perbuatan itu dapat dapat mengganggu kemaslahatan masyarakat. Seiring
dengan itu, konsep ancaman pidana ta’zir adalah sebagai jalan untuk
mengatasi pengangguran dan tidak melakukan sama sekali perbuatan yang dilarang
itu oleh setiap orang atau pihak.
Dalam fiqih Syafi’iyah disebutkan bahwa untuk menjaga stabilitas dan kemaslahtan masyarakat, maka setiap pelaku perbuatan maksiat (khalwat) diserahkan kepada hakim untuk menentukan dan melaksanakan hukumannya. Dalam hal ini, hakim mempunyai wewenang berdasarkan ijtihadnya dalam pelaksanaan hukuman bagi pelanggaran perbuatan dimaksud, baik hukuman dengan ancaman, nasehat, cambukan, celaan, pengasingan, salib, mati/dibunuh dan lain sebagainya yang dianggap sesuai dengan kondisi.
Dari
beberapa macam hukuman di atas,
kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukuman ta’zir yang berhubungan
dengan jilid harus kurang dari ketentuan jilid dalam had, sebagaimana
hadith Nabi SAW :
عن نعمان بن بشير كذا قل : قل رسول الله صلى الله عليه وسلم ... من بلغ حداحد فهو من المعتدين. (رواه بيهقى)
Artinya: Dari Nu’man bin Basyir berkata,
bersabda Rasulullah SAW…”Barang siapa memberi hukuman mencapai batas had pada selain
jarimah hudud, maka ia
termasuk orang yang melampaui batas”. (H.R. Baihaqi).
Kemudian, sehubungan hadist tersebut ada juga sebagian ulama Syafi’iyah
yang berpendapat bahwa jumlah jilid dalam ta’zir tidak boleh
lebih dari sepuluh kali, seperti didasarkan pada hadist:
عن ابن بردة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قل : لاتجادوا فوق عشرة أسواط إلا فى حد من حدودالله تعالى. (رواه البخارى و مسلم وابوداود)
Artinya: Dari Abu Burdah “Seseorang tidak boleh
dijilid dari sepuluh kali cambuk kecuali dalam salah satu dari had
Allah SWT. (H.R. Muttafaqun
‘Alaih).
Berdasarkan
pendapat sebagian ulama Syafi’iyah dan hadist di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa seseorang (pelaku perbuatan maksiat/ta’zir)
tidak boleh dijilid dari sepuluh kali cambukan, kecuali had Allah, seiring dengan hal tesebut,
batasan ta’zir yang paling rendah terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Hanya saja demi kepastian hukum, maka ulil amri berhak menentukan batas terendah, karena
masalah jinayah berkaitan dengan kemaslahatan umat.
Selanjutnya,
berdasarkan konsep ancaman pidana ta’zir yang diketengahkan oleh fiqih
Syafi’iyah, qanun
juga mempunyai ketentuan itu yang diformulasikan secara tertulis dan tegas
mengenai ancamannya, seperti tercantum dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 yang
menorot dengan tajam dan khusus tentang khalwat. Perbuatan ini oleh qanun dimaksudkan sebagai perbuatan
bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlawanan
jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.
Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa khalwat adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat dibidang seksual atau yang berpeluang pada terjadinya perbuatan perzinaan. Hal ini dapat dipedomani pada keumuman al-Qur’an Surat al-Isra: 32.
C.
Kesimpulan
Dari bentuk-bentuk ancaman bagi si pelaku jarimah ta’zir di atas, para fuqoha sepakat bahwa
hukuman ta’zir bagi pelaku khalwat adalah upaya memberikan
kesadaran bagi pelaku sekaligus menjadi peringatan bagi anggota masyarakat
lainnya untuk tidak melakukan jarimah
tersebut. Dismping itu, ‘uqubah cambuk akan lebih
efektif, memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarga.
Jenis ‘uqubah cambuk juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung
pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis ‘uqubah seperti
yang dikenal dalam KUHP sekarang ini.
Dengan
demikian, konsep-konsep yang dipaparkan oleh fiqih dan Qanun terdapat perbedaan
yang signifkan. Karena konsep ancaman pidaha ta’zir yang dikembangkan
oleh ketentuan Qanun Aceh No. 6 Tahun
2014
terhadap pelaku khalwat dapat
dikatakan memang belum memenuhi aturan fiqih Syafi’iyah. Walaupun demikian,
bukan berarti aturan yang dimiliki oleh qanun
tidak kuat (lemah), mungkin barangkali sebaliknya bahwa filosofis penentuan
konsep ancaman pidana ta’zir terhadap pelaku khalwat dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 yang berlaku sekarang lebih kuat dan efektif.
Dalam
paradigma seperti itu, Qanun No. 6 Tahun 2014 dapat disetarakan
dengan fiqih atau pengukuhan qanun
sebagai acuan aturan yang berhubungan dengan aktifitas manusia sekarang ini adalah
hal yang mutlak demik tercapainya kemaslahatan masyarakat madani yang
berkembang di Provinsi Aceh. Karena hukuman itu muncul dan dilaksanakan sesuai
tempat dan masa tertentu tanpa harus mengacu kepada aturan fiqih atau hukum
sebelumnya. Diakui atau tidak, fiqih Syafi’iyah kurang relevan untuk
dipedomani, tetapi sebagai penalaran dan logika berpikir tidak sealahnya
digunakan dalam penentuan aturan atau hukum baru dalam kategori ta’zir
(perbuatan khlwat).
Dengan
demikian, perumusah konsep ancaman
pidana ta’zir yang diformatkan oleh Qanun adalah sesuatu yang tampak
beda bila dibandingkan dengan fiqih Syafi’iyah. Perbedaannya adalah terletak
pada ketegasan penetuan ancaman hukuman (cambuk, kurungan dan denda)
minimal maupun maksimal bagi pelanggaran perbuatan maksiat atau terlarang. Oleh
karena itu Qanun No. 6 Tahun 2014 merupakan posifikasi hukum Islam yang
muncul di Provinsi Aceh serta perlu dilestarikan.
Pada dasarnya Qanun No. 6 Tahun 2014 mengamalkan fikih dalam konteks otonomi dan dalam legalisasi negara bangsa, bukan mengaflikasikan hukum Islam (Fiqih) secara murni sebaimana diamalkan negara-negara Islam di dunia pada umumnya. Realita ini merupakan konsekuensi dari ideologi Negara Pancasila, bukan berideologi negara Islam.
D.
Pusatka Rujukan
Abu
Bakar, Al Yasa’. Hukum Pidana Islam di Provinsi NAD. Banda Aceh: Dinas
Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.
Abbas,
Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
al-Syirazi, Abu Ishaq. Al-Muhadzab, Juz II. Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, tt.
Imam Abi
Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi. Shahih Muslim, Juz I. Cairo:
Dar al-Hadith, 1991.
al-Dawalibi. Al-Madkhal ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh,
Juz V. Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1965.
Abu Bakar, Al Yasa. Diktat Kuliah Ushul Fiqh 2. Darussalam:
Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry.
al-Syawkani, Muhammad Ibn Ali. Irsyad al-Fuhul ila
Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Ash-Shiddieqy, M Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh.
Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
al-sa’di, Abd Hakim Abd Rahman As’ad. Mabahis al-Illat
fi al-Qiyas ‘inda al-Ushulliyin, Cet.I. Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah,
1986.
al-Maududi,
Abul A’la. Polical Theory Of Islam, dalam Khusrshid Ahmad (ed), Islamic Law
and Contitution. Lahore: tp, 1967.
Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah,
Vol.2. Ciputat: Lentera Hati, 2000.
al-Kasani, Alla al-Din. Bada’i
al-sana’i fi tartibi al-syar’i, Juz V. Cairo: Mathba’ah Jamaliyyah, t.th.
Fakih, Mansour. Fiqh Sebagai Paradigma Keadilan,
dalam Epistemologi Syara’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Cet. 1. Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
al-Ansari, Muhammad bin Ahmad al-Ramli. Syar’i Zabd
Ibn Ruslan, Juz I. Bairut: Dar al-Ma’rifah, t. th.
Hasan, Husain Hamid. Nazhariyah al-Mashlahah fi
al-fiqh al-Islam. Cairo: Al-Mutanabbi, 1981.
Al-Mawradi. al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Walayat al
Diniyyah. Iskandariyah: Dar Ibn Khaldun, t.t.
S. Praja, Juhaya. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM – Universitas
Islam Bandung, 2000.
Al-Syafi’i. Al-Umm,
Jild. V. Beirut:
Dar al-Fikr, t.th.
Nasution, Lahmuddin. Pembaruan
Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Cet. I. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001.
Audah,
Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Janai al-Islami. Beirut: Mu’assasah al-Risalah,
1992.
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda