Sabtu, 12 Februari 2022

PENALARAN FIQIH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZIR PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014


 

Tulisan Ini telah Terbit di Jrnal el-Maslahah

Silahkan kutip/sitasi dengan mengcopy judul dibawah ini:

Ali Geno Berutu, PENALARAN FIKIH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZIR PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014El-Mashlahah, Vol 9 No. 2 tahun 2019, hal 119-136.


Ali Geno Berutu

Fakultas Syariah IAIN Salatiga

email: ali_geno@ymail.com

 

Abstrak

Islam dengan tegas melarang melakukan zina, sementara khalwat  merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina. Hal ini mengindikasikan bahwa perbuatan zina terjadi disebabkan adanya perbuatan lain yang menjadi penyebab terjadinya zina, maka khalwat (mesum) juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan diancam dengan ‘uqubat ta’zir. Khalwat dilarang dalam Islam karena perbuatan ini bisa menjerumuskan orang kepada zina yakni hubungan suami istri di luar perkawinan yang sah. Di Aceh Khalwat merupakan suatu tindak pidana yang telah diatur dalam Qanun 14 Tahun 2003 dan Qanun 6 Tahun 2014 tapi yang menjadi pertanyaan mendasar dalam peneyelesaian kasus khalwat di Aceh selama ini adalah apa yang menjadi ukuran seseorang yang dikatakan telah melakukan pelanggaran khalwat tersebut.

 

Abstract

Islam strictly forbids adultery, while khalwat is a washing or opportunity for the occurrence of adultery. This indicates that the act of adultery occurs due to other acts that cause adultery, the khalwat (pervert) is also included as one of jarimah (criminal acts) and threatened with ‘uqubat ta'zir. Seclusion is forbidden in Islam because this action can lead people to adultery, namely marital relations outside of legal marriage. In Aceh, khalwat is a criminal act that has been regulated in Qanun 14 of 2003 and Qanun 6 of 2014, but the basic question in solving khalwat cases in Aceh so far is what is the size of someone who is said to have committed the khalwat violation.

 

Kata  Kunci: Ta’zir, Khalwat, Syariat Islam, Qanun, Aceh

A.    Pendahuluan

Pelaksanaan uqubat terhadap pelanggar khalwat merupakan upaya hukum yang digalakkan dalam pengeksekusian tindak pidana. Hal ini sebagimana dikatakan di dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari kepala kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang berwenang. Berdasarkan penegasan Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006, maka yang menjadi tolok ukur pemberlakuan syariat adalah Qanun Jinayat Aceh yang masih diberlakukan.

Sejak diberlakukan Qanun No. 14 Tahun 2003 kemudian digantikan dengan Qanun Jinayat No. 4 Tahun 2014, penegakan syariat Islam di Aceh dalam hal pencegahan tindak pidana khalwat telah berjalan secara implementatif di Aceh, meskipun qanun tersebut belum mengikuti keseluruhan ketentuan Fiqih.

Yang menjadi pertanyaan mendasar dalam peneyelesaian kasus khalwat di Aceh selama ini adalah apa yang menjadi ukuran seseorang yang dikatakan telah melakukan pelanggaran khalwat? Karena selama ini sebagian dari pelaku khalwat terkadang masuk dalam praktek zina (muhsan dan gairu muhsan), tetapi bentuk hukuman yang diterima serupa dengan hukuman khalwat yakni di cambuk sebanyak banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan (Pasal 23 Qanun No. 6 Tahun 2014).

Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi masalah utama dalam penelitian ini adalah landasan apakah yang digunakan oleh pemerintah Aceh dalam menentukan jumlah maksimal dan minimalnya ancaman hukuman cambuk dan denda kepada pelaku perbuatan khalwat.?

 

B.    Penalaran Fikih Terhadap Tindak Pidana Khalwat

Untuk memformulasikan pengertian ta’zir yang disepakati dalam ruang lingkup fiqih  para fuqaha mengartikannya dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur’an dan Hadith yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba (pribadi) yang berfungsi untuk membenikan pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.[1]

Berdasarkan pemaknaan yang dikembangkan para fuqaha di atas kedua ruang lingkup yang berkaitan kejahatan, para ulama nerumuskan bahwa jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Sedangkan jarimah  ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba adalah segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia, seperti tidak membayar utang, penghinaan, perjudian, khalwat dan sebagainya. Ketika tindak pidana ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah benlangsung, semua pihak/orang wajib mencegahnya, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:

 Dari Abu Said al-Khudr bersabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa melihat suatu tindakan kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan kekuasaan, bila ia tidak kuasa maka dengan lidahnya (ucapannya), bila ia tidak mampu maka dengan hatinya dan dengan cara (yang terakhir) itu merupakan standar iman yang tenendah”. (H. R. Muslim)

Hadist ini mengindikasikan tentang penerapan nahyi ­munkar. Artinya apabila setiap orang telah melakukan tindak pelanggaran, maka hak menjatuhi hukuman berada di tangan ulil amri. Begitu pula halnya yang berkaitan dengan hak perseorangan, setiap orang dapat mencegahnya ketika kejahatan itu terjadi dan penjatuhan hukuman. Tujuan hukuman diterapkan, meskipun tidak disenangi adalah demi mencapai kemaslahatan individu dan masyarakat.

Menyangkut kewenangan terhadap penetapan hukuman, maka persoalan mafsadatnya bagi masyarakat harus diperhatikan. Hal ini memerlukan penelitian dan para ilmuan dan Ulil amri artinya dalam ushul fiqih masalah ini harus diselesaikan melalui mashlahah al-mursalah. yakni sejauh mana pengaruh pelaksanaan ta’zir itu seandainya dilaksanakan) terhadap kemaslahatan umum. Sehingga efek dari pelaksanaan ini adalah munculnya prinsip ketaatan kepada ulil amri, seperti dijelaskan dalam firman Allah Swt:

Artinya: “Hal orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya dan Ulil amri di   antara kamu ...“ (Q.S. an-Nisa: 59)

Indikasi dari ayat di atas, ketaatan pada tataran ketiga (ulil amri) adalah wajib diikuti oleh sétiap pihak penetapan hukuman demi kemaslahatan tidak dapat diabaikan. Aturan semacam ini menjadi kebulatan hukum untuk diindahkan, sehingga dalam sistem syariat Islam bahwa hal-hal yang tidak didapati dalam kedua nash (al-Qur’an dan al-Hadith) dapat ditranformasikan dalam fiqih.

Fiqih lahir berdasarkan hasil penalaran para ulama mengenai kasus-kasus baru (atau memprediksi kedepan) dan sesuai kondisi daerah adalah sebuah pencerahan dan pragmatisasi bagi dunia Islam dalam menyahuti berbagai persoalan. Apalagi terhadap perumusan ancaman pidana ta’zir dalam qanun yang berkembang selama ini fiqih mempunyai metode penalaran tertentu. Artinya, setiap perbuatan yang tidak termasuk hudud dan jinayah/qishash adalah dirumuskan kedalam kategori ta’zir (sebagai ancaman pidana tazir), seperti perbuatan judi, khalwat dan lain sebagainya. Pelandasan ancaman pidana ta’zir yang telah dirumuskan Qanun bagi pelaku khalwat, maka eklektisitas fiqih melalui metode penalarannya secara umum dapat dipahami berdasarkan al­-Qur’an al-Isra ayat 32, yang artinya:

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S. Al-Isra: 32).

 

Dalam rangka merumuskan aturan hukum (fiqih) mengenai ancaman pidana ta’zir (khalwat), diperlukan penalaran/penafsiran tanpa keluar dari kedua dalil itu. Supaya penalaran dan penafsiran sesuai dengan maqashid syari’ah, para ulama ushul telah menyusun kaedah-kaedah untuk keperluan tersebut, sehingga menjadi pninsip umum untuk dijadikan sebagai penyelesaiannya melalui nash spesifik. Adapun metode penalaran yang dikembangkan oleh para ulama ushul terhadap al-Qur’an surat al-Isra ayat 32, khususnya mengenai ancaman pidana ta’zir sebagai berikut:

1.     Penalaran Bayani

Penalaran bayani adalah penalaran yang pada dasarnya bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan (semantik). Dalam buku ushul flqih, uraian tentang kaedah penalaran bayani dimasukkan ke dalam bab tentang al-Qur’an dan kelihatannya dianggap sebagai bagian dari padanya (al-Qur’an) bahkan mungkin yang paling penting dari pembahasan ushul fiqih. Namun apabila diperhatikan secara teliti, kaedah penalaran bayani jelas merupakan bagian dari ijtihad. Sebab para ulama telah menyusun defenisi, kategori dan klasifikasinya untuk penalaran fiqih. Namun lebih dari itu bahwa kaedah tersebut tidak muncul secara serta merta, tetapi ia tumbuh dan dikembangkan secara sengaja, generasi demi generasi terutama setelah Imam al-Syafi’i (150/204 H 204/819 M) meletakkan kerangka dasarnya.

Metode penalaran bayani ini, pada hakikatnya membahas antara lain; makna kata (jelas tidaknya, luas sempitnya), arti-arti perintah (al-amr), arti kata secara etimologis, leksikal, konotatif, larangan (an-nahyi) dan seterusnya. Namun dalam kajian ini lebih dititik-beratkan pada kegunaan segi lafadz la taqrabu az-zina itu sendiri, sehingga akan menghasilkan pemahamam hukum (norma) syar’i yang jelas. Dengan demikian, bunyi teks surat al-Isra ayat 32 di atas dapat dipahami dengan menggunakan metode penalaran bayani (thuruq al-Istimbat  al-Bayani) atau pemahaman menurut bahasa, seperti Lafadz Ia Taqrabu az-zina (الزّنىŸلا تقربوا ) sebagai berikut:

a.     Segi penciptaan lafadz terhadap suatu makna (وضع للفظ المعنى)

Lafadz La taqrabu az-zina (الزّنىŸلا تقربوا) merupakan lafadh an­nahyi (النهى). Dikatakan lafadz an-nahyi, karena khitab syari’ menuntut untuk ditinggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Apabila ditinjau dari segi penciptaan lafadz an-nahyi (النهى), maka ia termasuk dalam yang dikehendaki adalah haram.

b.     Segi penggunaan lafadz terhadap suatu makna (استعمل اللفظ فى المعنى)

Lafadz La taqrabu az-zina (لاتقربوا الزنى) digolongkan kepada hakikat syar’iyah, karena lafadz tersebut digunakan pada makna yang dibuat oleh syara’ itu sendiri.

c.     Segi Dilalah Lafadz terhadap Makna (دلالة للفظ للمعنى)

Lafadz La taqrabu az-zina (لاتقربوا الزنى) termasuk dalam kategori dhahir (ظاهر), karena lafadh atau kalam yang dipahami merupakan secara terang atau jelas oleh si pendengar tanpa harus melihat qarinah atau pernikiran lagi. Dengan kata lain, dhohir adalah arti yang dipahami sesuai dengan apa yang tertera (pemahaman secara literal untuk memahaminya seseorang tidak memerlukan penjelasan lain). Jadi lafadz dhahir pada dasarnya harus diamalkan menurut apa adanya, selama tidak ada keterangan yang akan memalingkan untuk menafsirkan atau mentakwilkannya.

  1. Segi Makna yang Diciptakan Untuknya (وضع اللفظ للمعنى)

Lafadh Ia taqrabu az-zina (لا تقربوا الزنى) merupakan lafadh ‘am (عام). Dikatakan lafadh ‘am, karena mencakup semua orang; muslim atau bukan, dewasa atau anak-anak, kawin atau tidak dan seterusnya. Apabila ditinjau dan segi penciptaan lafadz ‘am maka ia termasuk dalam; yang dike hendaki adalah ‘am. Artinya lafadz dan maksudnya adalah ‘am (عام), sedang yang dimaksud dengan ‘am itu memang adalah keumumannya. Dalam pada itu, para Ulama Ushul sepakat bahwa setiap lafadz ‘am (dilalahnya) dibuat untuk mencakup keseluruhan satuan dan tetap saja dalam keumumannya selagi tidak ada darn yang mengkhususkan.

  1. Segi Cara Pengindikasian Makna (كيفية دلالة على المعنى)

Lafadz la taqrabu az-zina (لا تقربوا الزنى) ada1ah ‘ibarah nash (عبارة نص), dimana lafadh tensebut yang indikasi kalamnya menunjukkan kepada suatu maksud, yaitu at-tahrim (pelarangan).

  1. Segi Penetapan Lafadz (وضع للفظ)

Lafadz la taqrabu az-zina (لا تقربوا الزنى) merupakan lafadz amar (أمر). Ia termasuk dalam makna yang pasti secara qath’i, sehingga menunjukkan wajib untuk tidak mendekati perbuatan yang cenderung kepada zina.

2.     Penalaran Ta’lili

Pola penalaran ta’lili adalah penalaran yang berusaha melihat apa yang melatar belakangi sesuatu ketentuan dalam al-Qur’an (surat al-Isra: 32) dan al-Hadith. Dengan kata lain, apa yang menjadi ‘illat dan sesuatu peraturan — menurut ulama, semua ketentuan ada ‘illatnya, karena tidak layak Tuhan memberikan peraturan tanpa tujuan dan maksud baik. Oleh karena itu, ‘illat dan pelarangan zina dalam surat al-Isra ayat 32 adalah karena perbuatan itu dianggap sesuatu yang keji dan jalan yang buruk.

Dalam konteks menemukan ‘illat (khususnya pemahaman terhadap ayat itu) para ulama telah merumuskan cara-caranya serta menyusun kategori-kategorinya. Adapun ‘illat tersebut dapat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu ‘illat tasyri’i,illat qiyasi dan ‘illat istihsani. Yang membedakan ketiga pengelompokan ‘illat ini hanyalah kegunaannya dan intensitas persyaratannya. Persyaratan untuk ‘illat qiyasi lebih banyak dari pada persyaratan ‘illat tasyri’i dan Istihsani. Dengan demikian, dalil qiyas dan istihsan telah tercakup dalam penalaran ta’lili.

  1. Penalaran Istishlahi

Yang dimaksud dengan penalaran istishlahi adalah penalaran yang menggunakan ayat-ayat atau hadlist-hadist yang mengandung “konsep umum” sebagai dalilnya. Misalnya lafadz yang melarang mendekati zina (لا تقربوا الزنى); tujuan sesuatu peraturan adalah kemaslahatan dan seterusnya. Kemaslahatan dimaksudkan adalah supaya setiap orang dapat menghindari dirinya dan perbuatan yang menjerumus kepada dosa yang lebih besar (zina).

Penalaran istishlahi itu, maka pelarangan untuk mendekati zina sebagaimana disebutkan dalam surat al-Isra ayat 32 adalah sesuatu yang harus dihindari dan telah dilarang oleh syara secara qath’i (jelas). Karena keterangannya itu menunjukkan kepada at-tahrim (mesti ditinggalkan), namun bila mengingkarinya dan terjerumus kepada perbuatan zina, maka ia telah melakukan dosa besar serta harus dirajam sesuai ketentuan syariat.

Berdasarkan hasil penalaran yang dikembangkan itu yang didasari pada al-Qur’an surat al-Isra ayat 32, maka perbuatan khalwat (jalan menuju perzinaan) adalah suatu perbuatan yang diharamkan oleh Islam. Maka setiap daerah tertentu mempunyai hak untuk membuat peraturan (hukuman) tertentu untuk menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana ta’zir melalui mekanisme peraturan daerah yang berlaku di daerah tersebut. Dalam hal ini, realita sekarang tidak satupun negara yang dapat digunakan sebagai contoh konkret mengenai pelaksanaan syariat Islam di bidang jinayat di Aceh.

Keberadaan Qanun Jinayat Aceh dalam perumusan konsep ancaman pidana ta’zir adalah sesuatu yang sangat berbeda sebagaimana yang dikembangkan dalam konsep fiqih. Qanun dengan sangat jelas mendefinisikan istilah perbuatan khalwat dan jenis hukumannya yang dijatuhkan kepada pelaku perbuatan itu. Secara realita, sebagaimana yang penulis temukan bahwa Qanun lebih konkrit aturan-aturannya (walaupun berbeda dengan fiqih), sehingga dapat dikatakan bahwa qanun sebagai positifisasi hukum Islam.

Lebih lanjut Qanun Jinayat Aceh menjelaskan bahwa walaupun perbuatan maksiat itu diserahkan kepada penguasa, tetapi aturan pelaksanakan dan mekanisme hukumnya sudah jelas bukan memberikan hak saja (dengan berbagai sanksinya) sebagaimana dimaksud dalam fiqih. Artinya pemberian hukumannya tidak mengambang ketika diimplimentasikan, sebab dalam kalangan Syafi’iyah ta’zir itu pada prinsipnya diserahkan kepada ijtihad ulil amri, baik tentang jenisnya maupun kadarnya disesuaikan dengan keadaan para pelakunya yang berbeda-beda dan juga disesuailcan dengan perbedaan jarimahnya.

A.    Analisis tentang Rumusan Konsep Ta’zir

Syari’ah telah menyatakan bahwa suatu kejahatan dan mengancamnya dengan hukuman, baik perbuatan aktif atau pasif yang dapat merusak (mengganggu) terwujudnya ketertiban sosial, kehidupan individu, kehormatan dan lain sebagainya. Hukuman ditentukan bagi suatu kejahatan sehingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu, karena semata-mata melarang atau memerintahkan tidak menjamin akan ditaati. Artinya tanpa sanksi suatu perintah atau larangan tidak punya kensekuensi apa-apa.

Dengan adanya hukuman, perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Hukuman-hukuman itu diberikan status legal untuk kepentingan publik. Oleh karena itu, syari’ah jelas bahwa menentukan hukuman, lebih banyak sebagai sarana untuk mencapai kebaikan kolektif dan menjaganya dari hal-hal yang menggangu ketertiban seperti disebut tadi.

Hukuman-hukuman yang ditentukan dan diterapkan demi kelangsungan kehidupan masyarakat adalah ketentuan yang jelas untuk melarang suatu perbuatan yang merupakan maksiat. Perbuatan yang dilarang untuk menentukan hukuman pada prinsipnya adalah perbuatan-perbuatan dalam kategori ta’zir, karena hal ini tidak di atur baik jenis maupun sanksinya secara tegas dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Dengan demikian, konsep ta’zir tersebut harus dirumuskan oleh penguasa (ulil amri) sebagai kepala negara/daerah.

Penegakan ta’zir dan pelaksanaan dilakukan oleh imam atau wakilnya diberikan kewenangan dalam pelaksanaan ta’zir, baik ta’zir terhadap hak-hak pribadi ataupun hak Tuhan. Namun apabila imam diserahkan hak untuk menegakkan ta’zir-ta’zir yang wajib merupakan hak Tuhan, apakah ta’zir semacam ini hak bagi imam atau kewajiban atasnya. Para ulama berbeda pendapat sebagai mereka berpendapat ta’zir itu adalah wajib atas imam dalam hak-hak yang telah disyariatkan dan tidak boleh untuk meninggalkannya, kecuali ada kemaslahatan. Hal ini merupakan pendapat jumhur fuqaha, Syafi’i dan pengikut imam lainnya. Akan tetapi ulama Syaf’iyyah berpendapat bahwa hukuman ta’zir yang melanggar hak Allah adalah hak bagi imam dan bukan kewajiban baginya.

Pendapat dari jumhur fuqaha dianggap sebagai pendapat yang lebih utama untuk diikuti, karena ta’zir yang wajib adalah hak Tuhan dan kewajiban bagi imam untuk menegakkannya. Maksudnya adalah tidak boleh bagi imam meninggalkannya, atau melihat si pelaku pelanggaran maksiat meninggalkan perbuatannya tanpa harus diadakan hukuman, atau si pelaku maksiat tersebut datang kepada Ulil amri dan bertaubat.

Ketentuan diatas berbeda halnya dengan pendapat kalangan Syafi’iyah yang menjadikan ta’zir sebagai hak bagi waliyul amri untuk menegakkan hukuman atau meninggalkannya. Kalangan Syafi’iyah berpegang kepada Hadist yang berhubungan dengan laki-laki yang mencumbu seorang wanita tanpa menyetubuhinya, tapi Rasulullah tidak menta’zirnya. Keadaan semacam ini barangkali bisa dikatakan bahwa sama dengan seorang pelaku kejahatan datang dalam keadaan bertaubat dan menyesal terhadap perbuatannya (tidak mau mengulanginya), sehingga Rasulullah melihat ta’zir tidak diperlukan. Dengan demikian, hukuman ta’zir terhadap laki-laki tersebut menjadi gugur (tidak dilaksanakan).

Adapun yang berhubungan dengan peristiwa Zubeir, Rasul memutuskan perkara untuk kemenangan Zubeir atas lawannya. Lawan Zubeir tidak menerima keputusan Rasul tersebut sehinggal Rasul marah terhadapnya, namun Rasuk tidak menta’zirnya. Padahal kejadian itu termasuk ke dalam ta’zir yang wajib berupa hak bagi pribadi-pribadi. Dalam hal ini, hak ta’zir tadi adalah murni milik Rsul dan bukan hak Tuhan di mana ta’zir merupakah hak bagi pribadi-pribadi, mereka mempunyai hak untuk meninggalkan maupun melaksanakannya.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ta’zir wajib yang menjadi hak individu, maka menjadi hak bagi ulil amri untuk menuntut penegakan ta’zir atau meninggalkannya. Kemaafan seseorang dari haknya menuntut ta’zir tidak menhalangi wali al-Amri untuk menta’zir pelaku maksiat sebagai pelajaran. Oleh karena itu, wali al-Amri juga mempunyak hak untuk membiarkan ‘uqubah ta’zir atau memeranginya untuk membersihkan negeri dari perbuatan maksiat dan kejahatan. Apabila seorang Wali al-Amri melihat meninggalkan ta’zir dan memaafkan si pelaku maksiat, berarti ada kemaslahatan atau pelaku maksiat tersebut telah meninggalkan perbuatannya.

Apabila melihat lebih jauh tentang kemaslahatan yang dicapai dari ta’zir, maka secara esensial tidak ada perbedaan antara pendapat jumhur dan Syafi’iyah dimana dalam prakteknya pelaksanaan hukuman atau tidaknya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan umum. Kalangan Syafi’iyah tidak mengatakan bahwa wali al-Amri berhak meninggalkan nash-nash syari’ah atau membolehkan yang haram, tetapi Syafi’iyah mengatakan bahwa bagi Wali al-Amri atau wakilnya berhak menerapkan hukuman sebagai ta’zir atas pelaku maksiat dan untuk meninggalkan pelaksanaannya.

Di samping itu, kalangan Syafi’iyah tidak menafikan perbuatan maksiat yang dihukum dalam syariat sebagai kejahatan. Apabila perbuatan itu dalam pandangan syari’ah digolongkan kepada kategori haram (haram binafsih), maka haram untuk melakukannya. Namun pada akhirnya setelah terjadinya kejahatan, imam mempunyai hak untuk menghukumnya dengan ta’zir dan juga berhak meninggalkan ta’zir bagi si pelaku maksiat. Sedang penggunaan Wali al-Amri terhadap haknya dalam penghukuman dan pemaafan adalah terkait dengan kemaslahatan jama’ah dan sistemnya yang kadang-kadang menuntut pemaafan dari hukuman. Imam tidak bisa menghalangi dari penegakan hukuman yang dituntut untuk memaslahatan umum, karena dia tidak diberikan hak dalam penegakkan hukuman apalagi meninggalkannya, kecuali dia mampu mewujudkan kemaslahatan umum dan mengokohkan sistemnya tidak diserahkan urusan umat kecuali untuk mejaga kemaslahatannya dan memelihara tatanannya.

Pendapat di atas tidaklah bermaksud untuk meninggalkan nash-nash syariat atau menghalangi hukuman atas kejahatan-kejahatan ta’zir, tetapi lebih dari itu agara Wali al-Amri menghidari dari hukuman yang dapat mengakibatkan cacat dan kematian. Karena selama penegakan hukum adalah hak bagi al-Amri dan ia tidak berpegang pada jenis hukuman tertentu. Dengan demikian sanksinya makin besar dan disesuaikan dengan keadaan pelakunya, bila pelakunya sering melakukan kejahatan maka sanksinya lebih berat.

Dari pendapat para ulamat di atas, jelaslah bahwa ta’zir merupakan hukuman yang diserahkan kepada ulil amri, khususnya hakim yang menjatuhkan. Ia dapat menentukan suatu hukum yang menurut ijtihadnya dapat memberikan pengaruh preventif, repretif, kuratif dan edukatif terhadap si terhukum dengan tetap mempertimbangkan keadaan pelakunya, jarimah nya, korban kejahatannya, waktu dan tempat kejadian.

Disamping itu, sebagian ulama Syafi’iyah mengungkapkan bahwa apabila si terhukum itu seorang residivis dan hukuman had tidak memberikan daya represif baginya, maka ulil amri boleh menjatuhkan kepadanya hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati agar tidak membawa mudharat kepada manusia. Meskipun di kalangan Syafi’iyah ada yang mengatakan bahwa hukuman mati itu adalah suatu sanksi yang berkaitan dengan siyasah untuk menjaga kestabilitasan dan keselamatan negara, kelangsungan pemerintah, dan untuk menghindarkan kemafsadatan di muka bumi. Hal ini sesunggunya berkaitan dengan ulil amri bukan dengan qadhi di pengadilan.

Pendapat di atas juga menunjukkan bahwa meskipun sanksi ta’zir diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya, akan tetapi ia harus mempertimbangkan banyak hal supaya sanksinya tidak melampaui batas dan kurang dari batas. Jadi secara singkat hubungan antara hakim dengan si terhukum dalam kasus ta’zir ini seperti hubungan seorang tabib dengan pasiennya. Dimana obat yang diberikan, baik dosis maupun jenisnya harus sesuai dengan kebutuhannya, tidak lebih dan tidak kurang-agar penyakitnya lekas sembuh dengan tidak menimbulkan efek yang tidak perlu.

Sehubungan hal terakhir ini, tepatlah kiranya ulil amri menetapkan sanksi untuk setiap jarimah , setidak-tidaknya batas tertinggi suatu sanksi supaya menjadi pegangan para hakim dan lebih tepat sesuai dengan tujuan hukum. Namun itu dalam hal ini para ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa agar sanksi ta’zir itu diserahkan kepada hakim memang kondisinya demikian, disamping mereka sering mengistilahkan kata-kata hakim, imam, dan qadhi adalah untuk fungsi yang sama, yaitu menjatuhkan hukuman.

Memang bahwa penjatuhan hukuman merupakan hikmah disyariatkan ta’zir. Namun kadang-kadang penentuan hukuman itu tudak membuat jera si pelaku kejahatan dan tidak adil bagi pelaku kejahatan lainnya. Karena penentuan ini mengikat hakim dan menjadikan kekuasaannya terbatas pada menjalankan hukuman tertentu serta untuk kejahatan tertentu yang lengkap dengan syarat dan rukun. Apabila salah satunya hilang, maka qadhi tidak dapat menangani kejahatan dan menghukum pelakunya. Karena itu, banyak pelaku kejahatan yang terbebas dari hukuman, sehingga munculnya kejahatan dan kerusakan dalam masyarakat yang memperkeruh indahnya hidup, menghilangkan hak masyarakat untuk menuntut orang yang telah merongrong kehormatannya, dengan dalih dia tidak melakukan kejahatan yang mewajibkan qishash dan diyat.

Sesungguhnya syariat Islam telah menentukan hukuman-hukuman tertentu untuk kejahatan-kejahatan tertentu pula, dan tidak menentukan hukuman dalam kejahatan lainnya yang muncul dalam masyarakat serta diserahkan kepada hakim atau wakilnya untuk menentukan hukuman yang sesuai. Hakim mempunyai otoritas tertentu yang memungkinkannya mendeteksi kejahatan yang berpotensi merugikan kehidupan masyarakat banyak.

Sebagaimana halnya memvonis kejahatan lainnya dan menentukan hukuman kepadanya merupakan hukuman ta’zir dari penguasa. Demikian juga dengan hukuman kejahtan-kejahatan lain seperti; penyogokan, pemalsuan, perjudian, meninggalkan shalat, koropsi, homo seksual, lesbian, khalwat, dan kejahatan-kejahatan yang serupa dengannya merupakan termasuk dalam kategori hukuman ta’zir ini. Sehingga prinsip dasar syariat, yakni tegaknya masyarakat yang adil, utama, dan bertaqwa yang dengan penerapan ta’zir itu bertujuan untuk mengabdi pada tujuan kemanusiaan yang mulia dan merealisasikan apa yang diperintahkan oleh Tuhan, yaitu bersikap adil diantara seluruh manusia dan memberikan keamanan kepada mereka.

Berdasarkan hikmah dan prinsip dasar syari’ah, maka ‘ilat pembolehan ta’zir sesuai tuntutan dan kepentingan-kepentingan sosial adalah satu-satunya alasan untuk menetapkan ta’zir, sehingga pemeliharaan terhadap kemaslahatan umum dibutuhkan kepada nash-nash yang fleksibel yang sesuai setiap zaman dan waktu.

Ketentuan-ketentuan yang fleksibel syariat telah memberikan hak dan wewenang sepenuhnya kepada Wali al-Amri untuk menggolongkan suatu prilaku atau tindakan sebagai kriminal yang tidak terdapat dalam nash memberikan hak untuk mengharamkan perbuatan yang bertentangan (maksiat dan dicela oleh agama) dan menentukan hukuman yang pantas. Namun demikian, syariat tidak memberikan kebebasan penuh dalam menghalalkan penggolongan-penggolongan tersebut, ia harus sejalan dengan nash-nash syariat, kaedah-kaedah umumnya serta ruh syariatnya sebagaimana diwajibkan atas mereka penggolongan tersebut harus sesuai dengan tuntutan masyarakat dan sistemnya dalam memperjuangkan kemaslahatan umum.

Tujuan asasi dari syariat dalam konteks itu adalah memberikan kepada ulil amri hak pembuatan hukum terhadap kejahatan ta’zir dimana memungkinkan mereka membentuk dan mengarahkan masyarakat ke arah yang benar, menjaga kemaslahatan masyarakat dan mempertahankan serta menangani hal-hal emergensi (darurat), dengan tidak mencampuradukkan antara kejahatan yang ada nash syariatnya dengan tindakan yang diharamkan oleh ulil amri. Karena tindakan kriminal yang ada nash syariatnya akan haram selamanya, maka tidak dapat dianggap suatu saat akan menjadi mubah. Sementara yang diharamkan oleh Wali al-Amri akan menjadi mubah disuatu saat, apabila memang dituntut kemaslahatan umum.

Begitu pun rumusan konsep ancaman pidana ta’zir yang telah dilogikakan oleh golongan Syafi’iyah, namun dengan kondisi sekarang ini, perkembangan dan kemajuan bangsa yang modern tidak berarti pengklasifikasian jenis perbuatan dan  hukuan lain tertutup untuk dilaksanakan. Karena masih banyak kejahatan-kejahatan lain seperti; larangan minuman beralkohol (haram), penyogokan, pemalsuan, perjudian, meninggalkan shalat, koropsi, homo seksual, lesbian, khalwat, dan kejahatan-kejahatan yang serupa dengan termasuk dalam kategori ta’zir dan perlu ditetapkan hukuman demi kemaslahatan masyarakat pada saat tertentu.

Dalam paradigma fiqih, pengklasifikasian jenis-jenis perbuatan yang tergolong dalam jarimah  ta’zir adalah sesuatu yang dianggap sebagai perbuatan celaan atau diharamkan oleh syara’ walaupun hal ini tidak terdapat ketentuan nash secara sharih (jelas), namun fiqih mengakui dan mendeteksi bahwa perbuatan yang merusak dan mengganggu kemaslahatan masyarakat merupakan hal yang dilarang oleh agama.

Fiqih sebagai pedoman praktis yang dijadikan oleh kaum muslimin dalam melakukan berbagai tindakannya (fiqih klasik), nampaknya dalam perkembangannya tidak seluruhnya efektif untuk diterapkan pada masa sekaang. Hal ini karena munculnya berbagai fenomena yang sebelumnya kadang-kadang belum pernah terjadi, yakni apa yang dikenal sebagai proses dependensia atau ketergantungan. Untuk itu, fiqih sebelumnya bukan berarti tidak peka terhadap persoalan seperti dibutuhkan sekarang, melainkan hal-hal yang mencakup kepada perbuatan maksiat (dicela oleh agama) harus dipertegas kembali, terutama penentuan hukuman bagi pelaku maksiat tersebut.

Dalam fiqih klasik terutama fiqih Syafi’iyah, penegasan perbuatan maksiat adalah sesuatau yang diberi hak kepada penguasa atau hakim untuk menentukan hukumannya terhadap perbuatan khalwat. Karena perbuatan ini pada hakikatnya diharamkan (haram binafsih), kecuali dengan alasan tertentu seperti; pengobatan dengan syarat ditemani oleh seorang muhrim atau suami atau wanita tsiqah lainnya, tidak ada wanita lain yang mengobatinya, bukan kafir dzimmi selama ada orang Islam,  aman dan bebas dari fitnah. Kemudian bagi orang buta ditentukan ada yang membimbingnya. Oleh karena itu, dalam fiqih Syafi’iyah pada dasarnya tidak menyatakan secara tegas tentang bagaimana konsep ancaman pada ta’zir.

Ketentuan fiqih Syafi’iyah diatas adalah sangat bertolak belakang, dengan kondisi yang dihadapi sekarang, karena umumnya orang tua atau muhrim tidak menemani anaknya ketika didatangi temannya (pacarnya). Bahkan dibiarkan duduk berduaan dan memberi izin keluar rumah untuk mereka jalan-jalan, sehingga mereka mencari tempat yang cocok sebagai lokasi “pacaran” baik diharamkan (haram binafsih), sebab kelangsungan percakapan berduaan itu bukan tidak mungkin dikatakan sebagai jalan menuju perzinaan (QS Al-Isra: 32), apalagi mereka itu bukan muhrimnya dan seolah-olah sudah semacam suami-istri.

Perlakuan seperti itu jelas melanggar syariat Islam atau sesuatu yang sudah mengarah serta dapat dikatakan sebagai perbuatan khalwat murni, sehingga akhirnya dapat meresahkan masyarakat umum. Keresahan dimaksudkan adalah mereka sudah terang-terangan berani melakukan hal tersebut di hadapan umum tanpa mempedulikan siapa yang melihatnya. Yang paling aneh lagi adalah hal itu dianggap biasa dan mengikuti tren perkembangan zaman siapa yang tidak melakukan itu dianggap orang atau masyarakat ketinggalan masa atau kampungan.

Perbuatan (khalwat) sebagaimana dikemukakan diatas jelas sangat tepat dengan al-Qur’an surat Ali Imran: 104 dan Hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa setiap kemungkaran yang terjadi di muka bumi harus dicegah demi kemaslahatan masyarakat. Oleh karena itu, disini berlaku kaedah amar ma’ruf nahi munkar, artinya kekuasaan, lidah (ucapannya), dan hati adalah sebagai alat untuk mengatasi dan mencegah perbuatan munkar.

Menyangkut kemaslahatan (al-Mashalahah), maka dapat dibagi kepada tiga macam peringkat sesuai dengan tiga cara memandangnya, yaitu :

1.     Kemaslahatan ditinjau dari segi pengaruhnya atas kehidupan umat manusia. Kemaslahatan macam ini meliputi tiga bentuk kemaslahtan; primer, sekunder, dan tertier (penyempurnaan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang paling tercela menurut akal sehat).

2.     Kemaslahatan ditinjau dari segi hubungannya dengan kepentingan umum dan individu dalam masyarakat. Pembagaian kemaslahatan dari sudut ini dapat dibagi atas dua bentuk kemaslahatan; Kemaslahatan yang bersifat universal dan menyangkut kepentingan kolektif (kulliyah), dan kemaslahatan yang menyangkut kepentingan individual (fardhiyyah). Dalam prakteknya, pengukuran kemaslahatan ini tergantung kepada kesepakatan masyarakat dan individu, kemaslahatan ini lebih bersifat prahmatis.

3.     Kemaslahatan ditinjau dari segi kepentingan pemenuhannya dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan umat manusia dan individu. Kemaslahatan serupa ini ada tiga peringkat; Pertama, kemaslahatan yang mau tidak mau mesti ada bagi terpenuhinya kepentingan manusia, baik perorangan maupun kolektif (al-mashalahah al-qathi’iyyah). Kedua, kemaslahatan yang diduga kuat musti ada bagi kebanyakan orang (al-mashlahah al-dzanniyyah). Ketiga, kemaslahatan yang diperkirakan harus ada (­al-mashlahah al-wahmiyyah)

Berdasarkan beberapa kategori di atas, maka kesimpulan utamanya adalah untuk menjaga kemaslahatan di antara kehidupan masyarakat secara umum, maka perbuatan khalwat adalah harus di ancam dengan hukuman ta’zir. Karena perbuatan itu dapat dapat mengganggu kemaslahatan masyarakat. Seiring dengan itu, konsep ancaman pidana ta’zir adalah sebagai jalan untuk mengatasi pengangguran dan tidak melakukan sama sekali perbuatan yang dilarang itu oleh setiap orang atau pihak.

Dalam fiqih Syafi’iyah disebutkan bahwa untuk menjaga stabilitas dan kemaslahtan masyarakat, maka setiap pelaku perbuatan maksiat (khalwat) diserahkan kepada hakim untuk menentukan dan melaksanakan hukumannya. Dalam hal ini, hakim mempunyai wewenang berdasarkan ijtihadnya dalam pelaksanaan hukuman bagi pelanggaran perbuatan dimaksud, baik hukuman dengan ancaman, nasehat, cambukan, celaan, pengasingan, salib, mati/dibunuh dan lain sebagainya yang dianggap sesuai dengan kondisi.

Dari beberapa macam hukuman di atas, kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukuman ta’zir yang berhubungan dengan jilid harus kurang dari ketentuan jilid dalam had, sebagaimana hadith Nabi SAW :

عن نعمان بن بشير كذا قل : قل رسول الله صلى الله عليه وسلم ... من بلغ حداحد فهو من المعتدين. (رواه بيهقى)

Artinya: Dari Nu’man bin Basyir berkata, bersabda Rasulullah SAW…”Barang siapa memberi hukuman mencapai batas had pada selain jarimah  hudud, maka ia termasuk orang yang melampaui batas”. (H.R. Baihaqi).

Kemudian, sehubungan hadist tersebut ada juga sebagian ulama Syafi’iyah yang berpendapat bahwa jumlah jilid dalam ta’zir tidak boleh lebih dari sepuluh kali, seperti didasarkan pada hadist:

عن ابن بردة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قل : لاتجادوا فوق عشرة أسواط إلا فى حد من حدودالله تعالى. (رواه البخارى و مسلم وابوداود)

Artinya: Dari Abu Burdah “Seseorang tidak boleh dijilid dari sepuluh kali cambuk kecuali dalam salah satu dari had Allah SWT. (H.R. Muttafaqun ‘Alaih).

Berdasarkan pendapat sebagian ulama Syafi’iyah dan hadist di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang (pelaku perbuatan maksiat/ta’zir) tidak boleh dijilid dari sepuluh kali cambukan, kecuali had Allah, seiring dengan hal tesebut, batasan ta’zir yang paling rendah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hanya saja demi kepastian hukum, maka ulil amri berhak menentukan batas terendah, karena masalah jinayah berkaitan dengan kemaslahatan umat.

Selanjutnya, berdasarkan konsep ancaman pidana ta’zir yang diketengahkan oleh fiqih Syafi’iyah, qanun juga mempunyai ketentuan itu yang diformulasikan secara tertulis dan tegas mengenai ancamannya, seperti tercantum dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 yang menorot dengan tajam dan khusus tentang khalwat. Perbuatan ini oleh qanun dimaksudkan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlawanan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.

Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa khalwat adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat dibidang seksual atau yang berpeluang pada terjadinya perbuatan perzinaan. Hal ini dapat dipedomani pada keumuman al-Qur’an Surat al-Isra: 32.

C.    Kesimpulan

Dari bentuk-bentuk ancaman bagi si pelaku jarimah  ta’zir di atas, para fuqoha sepakat bahwa hukuman ta’zir bagi pelaku khalwat adalah upaya memberikan kesadaran bagi pelaku sekaligus menjadi peringatan bagi anggota masyarakat lainnya untuk tidak melakukan jarimah  tersebut. Dismping itu, ‘uqubah cambuk akan lebih efektif, memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarga. Jenis ‘uqubah cambuk juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis ‘uqubah seperti yang dikenal dalam KUHP sekarang ini.

Dengan demikian, konsep-konsep yang dipaparkan oleh fiqih dan Qanun terdapat perbedaan yang signifkan. Karena konsep ancaman pidaha ta’zir yang dikembangkan oleh ketentuan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 terhadap pelaku khalwat dapat dikatakan memang belum memenuhi aturan fiqih Syafi’iyah. Walaupun demikian, bukan berarti aturan yang dimiliki oleh qanun tidak kuat (lemah), mungkin barangkali sebaliknya bahwa filosofis penentuan konsep ancaman pidana ta’zir terhadap pelaku khalwat dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 yang berlaku sekarang lebih kuat dan efektif.

Dalam paradigma seperti itu, Qanun No. 6 Tahun 2014 dapat disetarakan dengan fiqih atau pengukuhan qanun sebagai acuan aturan yang berhubungan dengan aktifitas manusia sekarang ini adalah hal yang mutlak demik tercapainya kemaslahatan masyarakat madani yang berkembang di Provinsi Aceh. Karena hukuman itu muncul dan dilaksanakan sesuai tempat dan masa tertentu tanpa harus mengacu kepada aturan fiqih atau hukum sebelumnya. Diakui atau tidak, fiqih Syafi’iyah kurang relevan untuk dipedomani, tetapi sebagai penalaran dan logika berpikir tidak sealahnya digunakan dalam penentuan aturan atau hukum baru dalam kategori ta’zir (perbuatan khlwat).

Dengan demikian, perumusah konsep ancaman pidana ta’zir yang diformatkan oleh Qanun adalah sesuatu yang tampak beda bila dibandingkan dengan fiqih Syafi’iyah. Perbedaannya adalah terletak pada ketegasan penetuan ancaman hukuman (cambuk, kurungan dan denda) minimal maupun maksimal bagi pelanggaran perbuatan maksiat atau terlarang. Oleh karena itu Qanun No. 6 Tahun 2014  merupakan posifikasi hukum Islam yang muncul di Provinsi  Aceh serta perlu dilestarikan.

Pada dasarnya Qanun No. 6 Tahun 2014 mengamalkan fikih dalam konteks otonomi dan dalam legalisasi negara bangsa, bukan mengaflikasikan hukum Islam (Fiqih) secara murni sebaimana diamalkan negara-negara Islam di dunia pada umumnya. Realita ini merupakan konsekuensi dari ideologi Negara Pancasila, bukan berideologi negara Islam.

D.    Pusatka Rujukan

Abu Bakar, Al Yasa’. Hukum Pidana Islam di Provinsi NAD. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.

Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

al-Syirazi, Abu Ishaq. Al-Muhadzab, Juz II. Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, tt.

Imam Abi Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi. Shahih Muslim, Juz I. Cairo: Dar al-Hadith, 1991.

al-Dawalibi. Al-Madkhal ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Juz V. Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1965.

Abu Bakar, Al Yasa. Diktat Kuliah Ushul Fiqh 2. Darussalam: Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry.

al-Syawkani, Muhammad Ibn Ali. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Ash-Shiddieqy, M Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

al-sa’di, Abd Hakim Abd Rahman As’ad. Mabahis al-Illat fi al-Qiyas ‘inda al-Ushulliyin, Cet.I. Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 1986.

al-Maududi, Abul A’la. Polical Theory Of Islam, dalam Khusrshid Ahmad (ed), Islamic Law and Contitution. Lahore: tp, 1967.

Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.

Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage2(1), pp.87-106.

Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.

Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam16(2).

Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.

Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO4(2), pp.31-46.

Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum14(2), pp.148-169.

Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).

Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam7.

Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.

Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law2(2), pp.202-225.

Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.

Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah9(2).

Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Vol.2. Ciputat: Lentera Hati, 2000.

al-Kasani, Alla al-Din. Bada’i al-sana’i fi tartibi al-syar’i, Juz V. Cairo: Mathba’ah Jamaliyyah, t.th.

Fakih, Mansour. Fiqh Sebagai Paradigma Keadilan, dalam Epistemologi Syara’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Cet. 1. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

al-Ansari, Muhammad bin Ahmad al-Ramli. Syar’i Zabd Ibn Ruslan, Juz I. Bairut: Dar al-Ma’rifah, t. th.

Hasan, Husain Hamid. Nazhariyah al-Mashlahah fi al-fiqh al-Islam. Cairo: Al-Mutanabbi, 1981.

Al-Mawradi. al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Walayat al Diniyyah. Iskandariyah: Dar Ibn Khaldun, t.t.

S. Praja, Juhaya. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM – Universitas Islam Bandung, 2000.

Al-Syafi’i.  Al-Umm, Jild. V. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Nasution, Lahmuddin. Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Cet. I. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Janai al-Islami. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1992.

 

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda