PENERAPAN QANUN ACEH NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) (Studi Kasus Penerapan Syariat Islam Di Kota Subulussalam)
Tulisan ini telah terbit di Jurnal Hukum Islam, Vol. 15, No. 2, Desember 2017.
Silahkan kutip/sitasi dengan mencantumkan judul dibawah ini:
Ali Geno Berutu, PENERAPAN QANUN ACEH NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) (Studi Kasus Penerapan Syariat Islam Di Kota Subulussalam), Jurnal Hukum Islam, Vol. 15, No. 2, Desember 2017, Hal 323-352.
Ali Geno Berutu
Sekolah Pascasarjana (SPs)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
email: ali_geno@ymail.com
Abstrak: PENERAPAN
QANUN ACEH NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG
KHALWAT. Permasalahan
utama dalam ini terletak pada penanganan kasus khalwat di Aceh. Dimana kasus
khalwat di Aceh dapat diselesaikan melalui mahkamah adat dan mahkamah
syar’iyah, dengan demikian timbul suatu ketidakpastian dalam penanganan kasus
tersebut khususnya bagi lembaga penegah hukum (WH, Polisi, Jaksa dan Mahkamah
Syar’iyah). Bila kita amati dalam Qanun Aceh No. 9 Tahun
2008 tentang Pembinaan Kehidupan dan Adat Istiadat telah di atur secara tegas
dalam bab tersendiri mengenai penyelesaian sengketa dan mekanismenya. Pasal 13
ayat (1) di tegaskan bahwa jenis sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat
meliputi 18 perkara dan khalwat (mesum) merupakan salah satu perkara yang
menjadi kewenangan mahkamah adat di Aceh.
Kata Kunci: Aceh, Syariat Islam,
Khalwat, Jina>ya>t.
A.
Pendahuluan
Khalwat (mesum) adalah perbuatan yang dilakukan oleh
dua orang yang berlawanan jenis atau lebih tanpa ikatan nikah (bukan muhrim)
pada tempat tertentu yang sepi dan memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di
bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan. Islam
dengan tegas melarang melakukan zina, sementara khalwat ditenggarai
menjadi was}ilah untuk terjadinya zina (Hifdhotul,
2013: 154). Qanun
Aceh dalam upaya preventif dan tercapainya penerapan syariat Islam di
Aceh secara kaffah telah memasukkan khalwat kedalam kategori jari>mah
(perbuatan pidana) dan dapat diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r.
Dalam perkembangannya khalwat tidak
hanya terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain,
tetapi juga dapat terjadi di tengah keramaian atau di jalanan dan di
tempat-tempat lain seperti dalam mobil atau kenderaan lainnya, dimana laki-laki
dan perempuan berasyik maksyuk tanpa ikatan nikah atau hubungan mahram
(Penjelas Qanun No. 14 Tahun 2003). Qanun tentang larangan khalwat ini
dimaksudkan sebagai upaya preemtif, preventif dan pada tingkat optimum
remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqu>ba>t
dalam bentuk ‘uqu>ba>t ta’zi>r yang dapat berupa ‘uqu>ba>t
cambuk dan ‘uqu>ba>t denda (g}aramah).
Qanun Khalwat (mesum) bila dilihat
dari jenis perbuatan melawan hukumnya bukan suatu hal yang baru, hal yang sama
ditemui dalam aturan kesusilaan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Terlepas dari kontroversi yang dimilikinya, KUHP produk kolonial ini
jauh-jauh hari telah mengatur soal kesusilaan, bahkan jauh lebih rinci
dibanding Qanun Khalwat. Dalam qanun tersebut khalwat
didefinisikan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf
atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawainan.
Sementara dalam KUHP hal-hal “kecil” yang merupakan perbuatan asusila bahkan
mendapat hukuman, pandangan seperti ini dikemukakan oleh Muhammad Yani dalam
tesisnya yang berjudul Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh Perspektif Fik}ih dan
HAM yang di kutip dari Komnas Perempuan (Yani, 2011: 176).
Namun demikian keduanya tetap memiliki
perbedaan orientasi hukum, perbuatan khalwat akan tetap ditindak baik
dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun di tempat tertutup, artinya orientasi
hukum pengaturan khalwat adalah untuk kemaslahatan dan kemanfaatan
pribadi seseorang dan juga orang lain. Manfaat pribadi agar seseorang tidak
melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan zina yang dilarang oleh agama
dan mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari. Sementara manfaat bagi orang
lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan atau
perbuatan yang merusak kehormatan. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 3 Qanun No.
14 Tentang Khalwat dimana tujuan larangan khlawat adalah untuk
melindungi masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada
zina dan merusak kehormatan dan melindungi masyarakat dari berbagai
bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan.
Dalam KUHP perbuatan asusila akan ditindak
sebagai pelanggaran hukum ketika dilakukan di muka umum, sementara jika
dilakukan ditempat tertutup tidak lagi menjadi obyek hukum. Orientasi hukum
pidana tentang pengaturan kesusilaan ini mengarah pada upaya melindungi orang
lain untuk tidak terganggu atau terpengaruh oleh tindakan yang menyebabkan
timbulnya birahi orang lain. Perbandingan antara Qanun Khalwat dan KUHP
itu menunjukkan bahwa secara materil pengaturan khalwat tidak
memiliki justifikasi dari produk perundang-undangan di atasnya, bahkan
dalam konsideran qanun tersebut tidak disebutkan KUHP sebagaimana ulasan
di atas padahal KUHP juga mengatur hal serupa. Konsideran utama yang
disebutkan qanun itu adalah al-Qur’an dan Sunnah serta Qanun No. 5 Tahun 2000
tentang Pelaksanaan Syariat Islam, karena itu secara materil qanun ini
hanya memiliki justifikasi syariat Islam semata meskipun ia tetap tidak
bisa dipersoalkan (uji materil) karena berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 dan UU
No. 18 Tahun 2001 Aceh ditetapkan sebagai daerah yang diperintahkan oleh hukum
untuk menjalankan syariat Islam (Komnas Perempuan, 2005: 6).
Jika Qanun Khamar dan Maisir
dianggap tidak mengalami kontradiksi dengan perundang-undangan lainnya,
maka Qanun Khalwat mengalami kontradiksi dengan
perundang-undangan lainnya. Pembatasan jenis tindak pidana khalwat yang
sangat luas berimplikasi pada penafsiran hukum yang sangat liar, pengaturan
khalwat ini jika dihadapkan pada UU tentang Hak Asasi Manusia, UU
Ratifikasi CEDAW jelas-jelas mengalami kontradiksi yang signifikan
(Husnul, 2011: 74).
Jika
di satu sisi kehadiran Qanun Khlawat dianggap memiliki justifikasi
politik karena ia merupakan manifestasi dari pendelegasian kewenangan
dalam penyusunanan peraturan daerah, sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun
2001 Tentang OTSUS bagi Aceh, maka di sisi lain ruang untuk mempersoalkan kontradiksi
yang diidap dalam qanun ini juga dibenarkan oleh UU yang sama. UU OTSUS memang
tidak membatasi secara tegas kewenangan penyusunan peraturan daerah oleh
otoritas Aceh, misalnya dengan memagari bahwa setiap produk peraturan daerah
tidak boleh bertentangan dengan UU HAM, UU Ratifikasi CEDAW dan lain
sebagainya. Tapi sebagaimana ditetapkan dalam Ketentuan Peralihan dalam Pasal
29 UU OTSUS dijelaskan bahwa “semua peraturan perundang-undangan yang ada
sepanjang tidak diatur dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku di
Aceh”. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak produk hukum nasional yang dapat
dijadikan alat penilai bagi qanun yang disusun oleh otoritas Aceh. Jika mengacu
pada argumen ini, maka kontradiksi yang diidap oleh qanun khalwat
ini semakin terbuka untuk dipersoalkan. Dari uraian di atas terlihat bahwa
salah satu akar masalah kontradiksi ini juga diidap oleh UU OTSUS itu
sendiri yang tidak holistik mengatur soal-soal kewenangan otoritas
Pemerintahan Aceh.
Bertolak
dari latar belakang di atas, maka masalah pokok yang dikaji di dalam tulisan
ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan
pelaksanaan tindak pidana pelanggaran Qanun No. 14 Tahun 2003 di Kota
Subulussalam?
2. Sejauh manakah
langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam mensosialisasikan,
memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang Qanun Jina>ya>t
kepada masyarakat Kota Subulussalam?
B.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini
bersumber dari penelitian lapangan (field research) dan penelitian
kepustakaan (library research) dengan metode kualitatif dan
menggunakan pendekatan sosio-legal-historis. Pendekatan sosiologis
digunakan untuk mengamati dan mengetahui bagaimana peran hukum terhadap
perilaku sosial ditengah masyarakat, pendekatan yuridis/legal digunakan
untuk melihat hukum sebagai law in action, dideskripsikan sebagai gejala
sosial yang empiris. Dengan demikian hukum tidak sekedar diberikan arti
sebagai jalinan nilai-nilai, keputusan pejabat, jalinan kaidah dan norma, hukum
positif tertulis, tetapi juga dapat diberikan makna sebagai sistem ajaran
tentang kenyataan, perilaku yang teratur dan ajeg atau hukum dalam arti
petugas. Penelitian hukum empiris ini tidak hanya tertujuan pada
warga-warga masyarakat, akan tetapi juga pada penegak hukum dan fasilitas yang
diharapkan menunjang pelaksanaan peraturan tersebut (Sorjono,
2005: 32). Pendekatan historis digunakan sebagai
perbandingan terhadap pemberlakuan Qanun Aceh di Kota Subulussalam, sebelum dan
sesudah pemberlakuan UU No. 44 tahun 1999 sebagai dasar penerapan syariat Islam
di Aceh.
C.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Ketentuan Uqu>ba>t Terhadap Pelanggar Qanun No.
14 Tahun 2003
Bentuk ancaman ‘uqu>ba>t
terhadap pelaku jari>mah klalwat dimaksudkan sebagai upaya
memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi anggota
masyarkat lainnya untuk tidak melakukan jari>mah khalwat. Di samping itu
‘uqu>ba>t (cambuk) akan
lebih efektif dengan memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi
keluarga. ‘Uqu>ba>t cambuk juga berdampak pada biaya yang harus
ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis ‘uqu>ba>t
lainnya seperti yang dikenal dalam KUHP sekarang ini (Penjelas Qanun No. 14
Tahun 2003).
Mengenai ‘uqu>ba>t terhadap
pelanggar qanun ini dijelaskan dalam BAB VII Pasal 22 ayat 1-2 disebutkan bahwa
setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 9
(sembilan) kali dan paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau dendan paling banyak
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikt Rp. 2.500.000,- (dua
juta lima ratus ribu rupiah); Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r
berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan paling singkat 2 (dua) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dan
paling sedikit Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah) (lihat Pasal 23 Qanun No. 14
Tahun 2003).
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 apabila dilakukan oleh badan hukum/badan
usaha maka ‘uqu>ba>tnya dijatuhkan kepada penanggung jawab. Jika
ada hubungan dengan kegiatan usahanya maka selain ‘uqu>ba>t
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t
administratif (lihat, Pasal 25 Qanun No. 14/2003). Sedangkann pengulangan
pelanggaran (residivist)
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ‘uqu>batnya
dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqu>bat maksimal (Lihat, Pasal
24 Qanun No. 14/2003). Dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 menjelaskan bahwa hukum khalwat
adalah haram dan melarang kepada setiap orang untuk melakukan khalwat,
larangan yang sama juga ditujukan kepada orang atau kelompok masyarakat atau
aparatur pemerintah atau badan usaha dilarang untuk memberikan fasilitas
kemudahan atau melindungi orang yang berbuat khalwat (Pasal 4, 5 dan 6
Qanun No. 14/3003).
2.
Penegakan Qanun No. 14 Tahun 2003 Di Kota Subulussalam
Penyelesaian
kasus khalwat di Kota Subulussalam kebanyakan dilakukan menggunakan
sistem kekeluargaan atau menyelesaikan kasus menggunakan adat setempat, dengan
cara melakukan perdamaian maupun diberikan nasehat dan teguran oleh para petua
atau bahkan dinikahkan untuk menghindari fitnah atau aib bagi keluarga (Layari:
2015). Tercatat sampai pada tahun 2015 baru satu kasus khalwat yang
diselesaikan melalui proses peradilan yang berujung kepada penjatuhan sanksi
cambuk kepada pelaku tersebut.
Tabel
Pelanggaran Qanun Khalwat di Kota
Subulussalam
3 Tahaun Terakhir
Tahun |
Jumlah Kasus |
Penyelsesain |
|
Adat/Teguran/ Pembinaan |
Mahkamah Syar’iyah |
||
2013 |
2 |
ü |
- |
2014 |
12 |
ü |
- |
2015 |
2 |
ü |
ü |
* Sumber: Kompilasi
Jurnah Kasus Kantor Pol PP danWilayatul Hisbah Kota Subulussalam
Pada
bagian ini penulis mengklasifikasikan penyelsaian kasus khalwat di Kota
Subulussalam kepada dua bentuk penyelesaian, pertama penyelesaian
dengan jalur adat, teguran dan pembinaan. Kedua penyelesain melaui pengadilan
di mahkamah syari’yah.
1.
Penyelesaian Melaui Adat, Teguran dan Pembinaan
Penyelesaian khalwat (mesum) di Kota Subulussalam sebagaimana
yang dijelaskan Kasi Penegak Kebijakan Daearah Dan Syariat Islam Kota
Subulussalam bahwa, setiap pelanggaran kasus khalwat diwilayah hukum
Kota Subulussalam terlebih dahulu dilakukan penyelesaian dengan cara
kekeluargaan dan adat istiadat yang berlaku di Subulussalam. Setelah pihak
Satpol PP dan WH memberikan teguran dan peringatan kepada para pihak yang
melanggar qanun tentang khalwat tersebut, lalu menyerahkannya kepada geucik (kepala desa) untuk diselesaikan
secara adat dan aturan kampong tersebut, setelah dilakukan proses hukum adat
tapi belum menghasilkan suatu kesepakatan, baru diselesaikan secara qanun yang
berlaku (Kalidin: 2015).
Tabel
Skema Penyelesain Kasus Khalwat
Melaui Peradilan Adat
Peradilan
Adat |
Mahkamah
Syar’iyah |
Tidak
ada putusan adat/ kasus berat |
Kewenangan
lembaga adat dalam penyelesaian kasus khalwat (mesum) di Kota
Subulussalam yaitu untuk mendamaikan perkara dengan rapat adat gampong
(desa), yang dipimpin oleh geuchik (kepala desa), apabila dalam jangka
waktu dua bulan kasus tersebut tidak dapat diselesaikan, maka kasus itu dapat
diteruskan ke tingkat kemukiman yang dipimpin oleh Imeum Mukim dan seterusnya bila Imeum
Mukim dalam jangka waktu satu bulan tidak dapat menyelesaikannya, kasus
tersebut baru dapat diteruskan kepada aparat hukum yaitu wilayatul hisbah
(Layari: 2015).
Majelis
Adat Aceh (MAA) Kota Subulussalam juga membernarkan hal tersebut, menurutnya
semua kasus yang menjadi lingkup peradilan adat di Kota Subulussalam harus terlebih
dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui jalur adat, setelah diupayakan
melalui jalur adat dan tidak ditemukan satu titik temu (penyelsaian) baru
diserahkan kepada para penegak hukum WH dan Kepolisian. Penyelesaian perkara jina>ya>t
melaui WH dan MS yang natinya berujung kepada penjatuhan hukuman cambuk
bukanlah menjadi suatu kebanggaan bagi Kota Subulussalam (Ya’qub: 2015). MAA Kota Subulussalam yang
menyebutkan bahwa penghukuman tidak hanya melihat pada soal membuat orang
sejera-jeranya, tetapi ada aspek lain yang harus di lihat yaitu pembelajaran.
Bagaimana menjamin orang tidak mengulangi perbuatan tersebut, ini jauh lebih
penting dalam aspek penegakan hukum (Restorative Justice ) yang
mengandung prinsip dasar meliputi:
a.
Mengupayakan perdamaian
di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban
tindak pidana (keluarganya);
b.
Memberikan kesempatan
kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk bertanggung jawab menebus
kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang
dilakukannya;
c.
Menyelesaikan
permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban
tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara
para pihak (Prayitno, 2012: 409-411).
Sehingga dapat diartikan bahwa restorative
justice adalah suatu rangkaian proses penyelesaian masalah pidana di luar
pengadilan yang bertujuan untuk me-restore (memulihkan kembali) hubungan
para pihak dan kerugian yang diderita oleh korban kejahatan dan diharapkan
dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi majelis hakim pengadilan pidana dalam
memperingan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
tersebut. Restorative Justice dalam ilmu hukum pidana harus bertujuan
untuk memulihkan kembali keadaan seperti sebelum terjadi kejahatan.
Berikut adalah beberapa contoh kasus khalwat di Kota
Subulussalam yang diselesaikan dengan adat dan kekeluargaan:
Contoh pertama, A (23) warga Aceh Selatan pelanggar laki-laki dengan R (30)
warga Subulussalam pelanggar perempuan yang melakukan pelanggaran Qanun Aceh
Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) yang telah dilakukan pada
hari Minggu 24 Nopember 2013 pukul 23:00 WIB, dengan tempat kejadian di komplek
terminal Kota Subulussalam. Sepasang muda-mudi tersebut terjaring dalam razia
rutin bulanan yang dilakukan oleh Pol PP dan WH Kota Subulussalam.
Contoh kedua, Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) dan Wilayatul Hisbah
(WH) Kota Subulussalam menangkap sepasang muda-mudi yang di duga telah
melakukan pelanggaran khalwat (mesum), pelakunya adalah AY (22) warga
Abdia dengan seorang peremuan PZ (20)
warga Aceh Besar, pada hari Senin Tanggal 10 Juni 2013 pada Pukul 01:00 WIB
bertempat di penginapan Jambu Alas Kec. Penanggalan Kota Subulussalam. Setelah
diberi teguran dan pembinaan oleh petugas SatPol PP dan WH Kota Subulussalam
karena melanggar Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum),
pelaku pelanggar khalwat berjanji tidak akan mengulangi pelanggaran
kembali dan bersedia dihukum sesuai ketentuan yang berlaku di Kota Subulussalam
(Pol PP WH: 2013).
Contoh ketiga,
Petugas WH dan Pol PP Kota Subulussalam melakukan razia rutin bulanan keberapa
lokasi yang di indikasikan menjadi tempat pelanggaran qanun jina>ya>t,
razia ini dilakukan pada tanggal 8 September 2012. Gabungan WH dan Pol PP
melakukan razia di beberapa tempat, salah satunya adalah Kafe Hikmah yang
berada di Gampong Lae Mbersih Kecamatan Penanggalan, dari lokasi ini
petugas gabunagn Pol PP dan WH berhasil mengamankan tiga pasang remaja yang
sedang berduaan dikafe remang-remang tersebut, padahal waktu kejadian tersebut
sudah menunjukkan pukul 23.15 WIB, di lokasi petugas juga menemukan alat
kontrasepsi bekas pakai. Petugas WH hanya memberikan teguran kepada pemilik
kafe untuk tidak lagi menyediakan fasilitas warung remang-remang, pasangan
remaja di sana juga dinasehati serta membuat surat pernyataan tidak mengulangi
perbuatannya, karena jika kedapatan melakukan perbuatan serupa, akan dikenakan
sanksi sesuai qanun (Media Subulussalam, 2015).
Kasus penagkapan tiga
pasang remaja ini bila melihat kepada Pasal 2 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 sudah
dapat dikategorikan sebagai perbuatan khalwat yang mengarah kepada
perbuatan zina. Seandainya kasus ini diselesaikan dengan peraturan qanun
yang melarang setiap orang di Aceh berkhalwat, maka si pelakku bisa
dijerat dengan Pasal 22 ayat 1-3 dengan ketentuan sebagai berikut:
Ayat (1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4,
diancam dengan ‘uqu>bat ta’zi>r berupa dicambuk paling tinggi 9
(sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta
lima ratus ribu rupiah).
Ayat
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqu>bat ta’zi>r
berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling
sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Mengenai
pemilik warung remang-remang dimana pada saat kejadian petugas WH hanya
memberikan teguran ditempat supaya tidak lagi memberikan fasilitas kepada
orang-orang untuk melakukan khalwat. Padahal dalam Qanun Nomor 14 pasal
6 telah secara tegas dilarang kepada setiap masyarakat, aparat pemerintah dan
badan usaha untuk memberikan fasilitas khalwat dan apabila pasal ini
dilanggar, kelompok masyarakat atau aparat pemerintah atau badan usaha dapat
dikenakan sanksi berupa ‘uqu>ba>t ta’zi>r sebagaimana yang di
atur dalam pasal 22 ayat (1) dan (2). Selain sanksi yang diatur dalam pasal 22,
penjual atau pemilik usaha juga dikenakan hukuman tambahan berupa pencabutan
atau pembatalan izin usaha yang telah diterima (‘uqu>ba>t
administratif) (Lihat, Pasal 25 Qanun No. 14/2003).
Dari
ketiga contoh di atas dapat disimpukan bahwa Qanun No. 14 Tahun 2003 masih
memiliki celah yang berakibat kepada ketidakefektivan qanun tersebut.
Sebenarnya yang menjadi pertanyaan adalah ukuran khalwat yang
bagaimanakah yang bisa dikategorikan dapat diselesaikan melalui mahkamah adat?
Lalu bagaimana dengan khalwat yang sudah menjurus kepada perbuatan zina?
Seperti yang terdapat dalam kasus nomor tiga di atas. Sebab apabila tidak jelas ukurannya, maka mahkamah
adat akan menganggap seluruh kasus khalwat/mesum (meskipun sudah masuk
berat/perzinaan) tetap akan diselesaikan melalui mahkamah adat. Dapat kita
bayangkan, jika khalwat/mesum ketegori berat/zina hanya dihukum dengan
cara dinikahkan atau dikenakan denda adat, tentu hal tersebut sudah
bertentangan dengan semangat syariat Islam yang telah di terapkan di Aceh.
Kalau
kita lihat lebih jauh, qanun syariat Islam masih memiliki banyak kelemahan
sampai dengan sekarang ini. Seperti yang dijelaskan di atas dimana lembaga adat
dapat memberikan sanksi adat terhadap pelaku khalwat, ini menunjukkan
bahwa perlu adanya penambahan qanun jina>ya>t yang mengatur
tentang lembaga adat diperboleh memeberikan sanksi terhadap pelaku khalwat/mesum.
Dapat disimpulkan bahwa penyelesaian kasus khalwat melalui jalur adat
merupakan suatu pengabaian terhadap status hukum yang telah diatur tersendiri
dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 dimana seharusnya pelaku khalwat dijatuhi
hukuman cambuk tapi karena diselesaikan secara kekeluargaan, terpidana
terhindar dari hukuman yang telah diatur dalam Qanu No. 14 tersebut.
Disisi
lain masyarakat dan pemangku adat seolah-olah merendahkan dan meremehkan Qanun
No. 14 Tahun 2003 (qanun itu sendiri sebenarnya bedasarkan kepada
al-Qur’a>n) dimana dalam satu permasalahan lebih mengutamakan hukum adat
ketimbang hukum syariat (ketentuan dari Allah), sebagaimana telah terjadi dalam
masyarakat di satu daerah, kenyataanya lebih mementingkan dalam penyelesaian
perdamaian ketika terdapat masalah untuk mencari islahah, cukup hanya
dengan tradisi mengtepung tawari (peusijuek) maka perdamaian sudah
selesai, bukanya lebih mengutamakan hukum syariat hingga saat ini masih tetap
dilaksanakan dalam masyarakat Aceh, sementara syariat seperti memberikan sanksi
hukum yang telah dijelaskan dalam al-Qur’a>n dan al-Ha>dist (Hasan, 2009:
1).
Hal
seperti ini tampaknya sama dengan “explanatory memorandum” dari
rekomendai dewan Eropa No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”,
dikemukakan model mediasi penal “community panels or courts”. Model ini merupakan program untuk
membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur
masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur
mediasi atau negosiasi. Model “family and community group conferences”
ini tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga
keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi
dan hakim) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan
menghasilkan kesepakatan yang komprehensif (Barda, 2010: 7).
Maka untuk lebih mempermudahkan dapat diambil
beberapa persyaratan yang dianggap sangat maksimal, antara lain adalah:
a.
‘Urf tersebut tidak
bertentangan dengan nash syara’, maka sebaliknya jika berlawanan dengan nas},
maka ‘urf tidak dibenarkan untuk diamalkan dan menjadi tidak bernilai
(harus ditinggalkan);
b.
‘Urf apabila telah diamalkan
secara kolektif dan hingga sudah meluas dalam masyarakat;
c.
‘Urf itu (baik yang bersifat
khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara
umum. Artinya, ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat
tersebut;
d.
‘Urf harus dipastikan untuk
diwajibkan diamalkan yang sudah pasti tidak terdapt pertentangan didalamnya (Khalil, 2009: 170).
Ketika
penulis menanyakan hal mengenai batasan-batasan khalwat yang dapat
dikategorikan penyelesaiannya melalui mahkamah adat dan mahkamah syar’iyah
kepada wilayatul hisbah Kota Subulussalam, Bapak Kalidin selaku Kasi Penegakan
qanun syariah menjelaskan bahwa ada beberapa ketogori/kelompok yang mejadi pedoman WH Kota Subulussalam dalam
penyelesaian kasus khalwat, diantaranya adalah:
1.
Khalwat yang dikategorikan
sebagai khalwat ringan, contohnya adalah seorang laki-laki dan perempuan
(bukan muhrim) berduan di tempat yang sepi jauh dari keramian, menurutnya itu
adalah khalwat yang dikategorikan kepada khalwat yang ringan,
dimana penyelesaiannya tidak perlu melalui mahkamah syar’iyah, namun cukup
diberikan bimbingan dan teguran di tempat bahwasanya perbuatan seperti itu
melanggar syariat Islam dan dapat merusak moral;
2.
Khalwat yang dikategorikan
sebagai khalwat sedang, contohnya adalah seorang laki-laki dan perempuan
(bukan muhrim) berduaan di tempat yang sepi dan jauh dari keramaian serta
melakukan perbuatan seperti berciuman dan berpelukan. Apabila tertangkap
tangan, maka kasusnya tidak perlu dilimpahkan ke mahkamah syar’iyah akan tetapi
pelaku diamankan dan di bawa ke kantor wilayatul hisbah untuk dilakukan pembinaan
dan nasehat serta memanggil orang tua/wali dari kedua orang yang tertangkap
tangan tersebut begitu juga dengan geucik (kepala desa) masing-masing
dari gampong yang tertangkap. Hal ini dilakukan supaya orang tua/wali dan geucik
masing-masing yang tertangkap tangan dapat mengetahui perbuatan anak dan
warganya, dengan begitu diharapakan kedua orang tua/wali dan geucik
tersangka dapat memberikan bimbingan dan pengawasan lebih lanjut kepada anak
dan warganya. Selain itu kedua pelaku yang tertangkap tangan dan kedua orang
tua/wali juga diharuskan membuat surat
pernyataan untuk tidak lagi mengulangi perbuatan yang serupa, dan apabila
kemudian hari tertangkap melakukan perbuatan yang sama, maka si pelaku akan
diselaikan menurut ketentuan qanun yang berlaku.
3.
Khalwat yang dikategorikan
sebagai khalwat berat, contohnya adalah seorang laki-laki dan perempuan
yang tidak memiliki tali ikatan perkawinan, telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan syara’ yakni berhubungan layaknya seperti suami
istri (zina), maka apabila tertangkap, penyelesaian kasusnya akan diserahkan
kepada penyidik polri (karena saat ini WH Kota Subulussalam belum memiliki
penyidik sendiri/PPNS) guna dilakukan penyidikan dan diteruskan kepada jaksa
guna untuk dilakukan penuntutan di mahkamah syar’iyah atau di serangkan kepada
lembaga adat untuk di selesaikan secara adat yang berlaku di daerahnya.
Dari
keterangan Kalidin di atas sebenarnya bukanlah suatu aturan yang baku untuk di
ikuti oleh semua anggota WH di Aceh, menurut penulis hal itu lebih kepada interpretasi
dari penanganan kasus khalwat di Subulussalam, karena dalam Qanun 14
Tahun 2003 maupun dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tidak ada pasal yang
mejelaskan mengenai kategori perbuatan khalwat dan bentuk hukuman dari
kategori-kategori tersebut, pastinya setiap perbuatan khalwat adalah
haram dan barang siapa melakukan perbuatan khalwat dapat di ancam dengan cambuk
sebanyak 9 kali (14/2003) dan 10 kali (6/2014).
Sebenarnya
permasalahan utama dalam hal penanganan kasus khalwat terletak kepada
dualisme lembaga penyelesaian yakni mahkamah adat dan mahkamah syar’iyah,
dengan demikian timbul suatu ketidakpastian dalam penanganan kasus tersebut
khususnya bagi lembaga penegah hukum (WH, Polisi, Jaksa dan Mahkamah
Syar’iyah). Bila kita amati dalam Qanun
Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan dan Adat Istiadat telah di
atur secara tegas dalam bab tersendiri mengenai penyelesaian sengketa dan
mekanismenya. Pasal 13 ayat (1) di tegaskan bahwa jenis sengketa/perselisihan
adat dan adat istiadat meliputi 18 perkara dan khalwat (mesum) merupakan salah
satu perkara yang menjadi kewenangan mahkamah adat di Aceh.
Pasal di atas secara tegas
telah ditentukan 18 macam perkara yang dapat diselesaikan melalui peradilan
adat, sebagaimana lazimnya dalam paradigma hukum adat, jenis-jenis perkara tidak
dibedakan dalam kelompok bidang hukum publik , administratif, ataupun
hukum privat. Bagi hukum adat, semua jenis perkara adalah bersifat
publik atau communal.
Terkait kewenangan
mahkamah adat dalam menyelesaiakan kasus khalwat (mesum) perlu
dipikirkan ulang apakah pantas diselesaikan melalui mahkamah adat atau tidak?
Kalau misalnya memang sudah patut diselesaikan oleh mahkamah adat, maka ukuran
mesum yang bagaimana yang boleh? Sebab apabila tidak jelas ukurannya, maka
mahkamah adat akan menganggap seluruh kasus mesum (meskipun sudah masuk
berat/perzinaan) tetap akan diselesaikan melalui mahkamah adat. Dapat kita
bayangkan seperti apa Aceh ke depan, jika mesum ketegori berat/zina hanya
dihukum dengan cara dinikahkan atau dikenakan denda adat berupa besih lante
(denda dengan membayar sejumlah uang sebagai isyarat membersihkan kampung) di
wilayah Aceh Tengah dan sekitarnya, atau hanya dengan denda seekor kambing untuk
wilayah Aceh daratan (Mansur, 2013: 3).
Untuk lebih mempertegas
mengenai penanganan terhadap pelanggaran khalwat, sudah seharusnya para
pemangku kepentingan seperti Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah, Majelis
Adat Aceh dan Majelis Permusyawaratan Ulama untuk duduk bersama dan merumuskan
tentang ruang lingkup penanganan kasus khalwat. Dalam artian harus
dipertegas bentuk pelanggaran apa saja yang menjadi kewenangan masing-masing
(baik mahkamah syar’iyah maupun mahkamah adat). Sehingga ada kepastian bentuk
hukuman bagi mereka yang melanggar ketentuan Qanun No. 14 Tahun 2003 (Wildan:
2015).
Saat ini ada suatu asumsi
yang beredar di tengah masyarakat Kota Subulussalam bahwa, mereka beranggapan
apabila mereka melanggar qanun syariah hukuman yang diterima palingan hanya
sekedar di tegur atau di peringati saja oleh wilayatul hisbah (Sapri: 2015).
Itulah kesan yang ada di dalam pikiran masyarakat Kota Subulussalam saat ini,
hal ini di karenakan selama ini wilayatul hisbah tidak membuat suatu gebrakan
yang berarti dalam proses penagakan qanun syariat di kota ini, hal tersebut
dapat dilihat dari data tingkat pelanggaran terhadap Qanun No. 14 tahun 2003
selama 6 tahun terakhir di atas.
Demi mengembalikan ruh syariat
Islam yang kian memudar di Aceh dan khususnya di Kota Subulussalam, sudah
saatnya kasus mesum (khalwat) yang selama ini diselesaikan melalui
mahkamah adat agar dapat dikembalikan penyelesaiannya sesuai dengan Qanun No.14
Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) atau dengan qanun yang merubahnya
(Qanun No. 6 Tahun 2014). Karena hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat Islam, dasar perundang-undangan dan lebih penting lagi ialah dasar
pembentukan Aceh yang berlandaskan Islam yang selalu dibangga-banggakan selama
ini. Jadi, sebaiknya, penyelesaian kasus khalwat (mesum) tetap melalui
mahkamahsyar’iyah tidak melalui mahkamah adat (peradilan adat).
2
Penyelesaian Melalui Mahkamah Syar’iyah
Pelaksanaan syariat Islam yang sangat
spesifik di Provinsi Aceh adalah pelaksanaan hukuman cambuk bagi mereka yang terbukti
melanggar qanun syariat Islam, seperti pelanggaran tentang judi, minuman keras,
dan berduaan dengan pasangan lain jenis (khalwat). Semua itu telah
diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003, Qanun No. 13 Tahun 2003, Qanun No. 14
Tahun 2003, dan Qanun No. 7 Tahun 2004 (Hendra, 2012: 141). Prosesi penjatuhan
hukuman cambuk bagi mereka yang dinyatakan bersalah telah melanggar salah satu
dari qanun jina>ya>t harus memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Pelaksanaan hukum cambuk terhadap
terpidana khalwat di Kota Subulussalam dalam hal ini Aceh Singkil
(Karena Kota Subulussalam baru dibentuk pada tahun 2007 melaui UU No. 8 Tahun
2007), menurut rekapitulasi data dari Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh dalam
kurun waktu 2005-2011 tidak ada ada satu kasuspun yang masuk apa lagi di putus
di Mahkamah Syar’iyah Singkil (Putri, 2015: 46-47). Ketika penulis
mengonfirmasi hal ini kepada Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam, mereka
menjelaskan bahwa hal itu dikarenakan penanganan kasus khalwat tidak
hanya dapat diselesaikan melalui mahkamah syar’iyah tapi juga dapat di
selesaikan melalui rapat kekeluargaan dan hukum adat (Kalidin: 2015).
Barulah pada tahun 2015 tepatnya pada
bulan Mei Mahkamah Syar’iyah Singkil memutuskan dan menjatuhkan hukuman cambuk
kepada dua orang (sepasang) khalwat (mesum) melaui putusan
Jina>ya>t Mahkamah Syar’iyah Singkil No. 03/JN/2015/MS-Skl dengan
tersangka yang berinisial A (lk) dan M (pr) dicambuk sebanyak 9 kali cambuk
dipotong masa tahanan (2 kali cambuk) menjadi 7 kali cambuk. Sebenarnay menurut
Jujur Kurniawan selaku penyidik pembantu Polres Aceh Singkil, ada dua pasang
kasus mesum yang mereka tangani pada waktu itu, hanya saja satu kasus tidak di
limpahkan kepada Kejaksaan Negeri Singkil (dihentikan), karena yang
bersangkutan telah menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat berupa
pernikahan yang dibuktikan dengan kutipan aktan nikah No. 0073/010/IV/2015
tertanggal 9 April 2015, serta adanya surat permohonan dari kedua keluarga
terpidana khalwat untuk menghentikan proses penyidikan tindak pidana khalwat
kepada kedua pelaku karena telah di selesaikan melalui rapat keluarga dan adat
berupa pernikahan (Kurniawan: 2015).
Penjatuhan
sanksi terhadap kedua orang tersangka khalwat sebenarnya sangat
mengagetkan banyak kalangan, ada yang menilai penjatuhan tersebut dengan
positif dan menganggapnya sebagai bentuk keseriusan Pemerintah Kota
Subulussalam dalam menjalankan syariat Islam, tapi tidak sedikit juga yang
beranggapan sinis terhadap penjatuhan sanksi cambuk tersebut. Hal ini
dikarenakan selama ini tingkat pelanggaran kasus khalwat boleh dikatakan
paling tinggi bila dibandingkan dengan qanun khamar dan maisir,
tapi kenapa baru sekarang pelaku khalwat tersebut di jatuhi hukuman
cambuk. Bahkan tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa Pemerintah dalam hal
ini Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam tebang pilih
dalam penegakan kasus khalwat ini, sehingga menimbulkan kesan bahwa
penegakan Qanun Khalwat hanya berlaku bagi mereka yang lemah dan miskin
saja (GM: 2015).
Terlepaas
dari perdebatan diatas, penulis menilai bahwa pelaksanaan hukum cambuk terhadap
kedua pelaku khalwat tersebut merupakan suatu langkah maju dalam pelaksanaan
syariat Islam di Kota Subulussalam. Pencambukan ini setidaknya dapat memberikan
pesan yang tersirat kepada masyarakat Kota Subulussalam akan perlunya dukungan
pelaksanaan syariat dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku di
Aceh. Ketua Permusyawaratan Ulama Kota Subulussalam, Ust. H. Qaharuddin Kombih
menjelaskan bahwa sudah seharusnya menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk
menaati ketentuan-ketentuan syariat Islam terlepas dari diatur dalam qanun
ataupun tidak, menurutnya maasyarakat harus takut akan azab Allah apabila kita
tidak mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah di garisnkan (Qaharuddin: 2015).
Pelaksanaan
hukum cambuk di Kota Subulussalam dilaksanakan Pada hari Senin 11 Mei 2015 oleh
Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam di lapangan Beringin Kota Subulussalam
terhadap sepasang sejoli yang tertangkap melakukan perbuatan mesum. Mengenai
kronologis penangkapan pasangan mesum ini bermula dari laporan masyarakat yang
menjelaskan bahwa salah satu cafe dikawasan Lae Kombih sering dijadikan sebagai
tempat mesum oleh kalangan remaja maupun pasangan selingkuh. SatPol PP dan WH
Kota Subulussalam pada hari Sabtu 4 April 2015 melakukan razia rutin bulanan
yang menjadikan tempat yang dilaporkan masyarakat tersebut menjadi salah satu
target operasi. Kedua pasangan mesum ini didapati aparat sedang berdua-duaan di
tempat sepi dengan pakaian setengah tersingkap di sebuah kafe di bantaran Lae
Kombih Gampong Penanggalan sekitar pukul 21.00 WIB. Kedua tersangka kemudian
diamankan dan dibawa ke kantor WH, setelah dilakukan pengintrogasian ternyata
pelaku laki-laki adalah seorang yang sudah menikah (sudah beristri dan
mempunyai anak) dengan inisial A (32) warga Gampong Singgersing Kecamatan
Sultan Daulat Kota Subulussalam, sedangkan pasangannya adalah seorang janda
muda yang tidak memiliki anak dengan berinisial M (25) yang merupakan warga
gampong Kuta Cepu Kecamatan simpang Kiri Kota Subulussalam.
Kedua
pelaku kemudian di serahkan kepada penyidik polri untuk dilakukan penyidikan,
setelah dilakukan penyidikan kedua tersangka dinyatakan kuat telah melanggar
ketentuan Qanun No. 14 Tahun 2003. Kedua pasangan ini kemudian dijerat dengan
pasal 22 ayat (1) Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat dengan ancaman
‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan)
kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu
rupiah). Pasangan mesum ini kemudian di serakan kepada Kejaksaan Negeri Singkl.
Hasil
putusan Mahkamah Syar’iyah Singkil memutuskan kedua pasangan mesum ini masing-masing dikenakan hukuman 9 (sembilan)
kali cambukan dipotong masa tahanan 1 bulan 6 hari (pemotongan 2 kali cambukan),
sehingga ketika eksekusi dilakukan masing-masing terhukum hanya menjalani 7
kali cambukan. Menurut Harri C. Kesuma selaku Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan
Negeri Singkil, sebelum kedua tersangka di eksekusi cambuk, keduanya menjadi
tahanan Kejaksaan Negeri Singkil dan tersangka telah menjalani hukuman penahanan
selama 36 hari sebelum eksekusi cambuk tersebut dijalani. Menurutnya setelah
penjatuhan cambuk ini, kedua tersangka tidak di tahan lagi dan sudah di
perbolehkan untuk pulang kerumahnya masing-masing (Keusuma: 2015)
Pelaksanaan hukuman terhadap keduanya berjalan lancar
walupun tercambuk perempuan M (25) sempat menangis setelah dicambuk karena
merasa malu atas perestiwa pencambukan tersebut. Sedangkan tercambuk laki-laki
A (32) terkesan tidak memiliki beban pada saat menerima cambukan dari sang
algojo yang ditunjuk, sama seperti 10 orang yang dicambuk akibat maisir yang
sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, terhukum masih bisa semyum dan
melambaikan tangan ke arah warga yang menyaksikan proses pencambukan tersebut
(seolah bak suatu kebanggaan dapat dicambuk). Sepertinya hukuman cambuk ini
bukanlah suatu momok yang menakutkan lagi bagi warga Subulussalam khususnya
terpidana laki-laki, hal ini dapat dilihat dari dua kasus pencabukan di kota
ini, apakah karena hukumannya yang diterima terlalu ringan bagi mereka atau
memang budaya malu itu sudah hilang sama sekali.
Kepala Dinas Syariat Islam
Kota Subulussalam M.Ya’qub KS mengatakan, pencambukan ini dilakukan tujuannya
untuk memberikan efek jera kepada warga yang lainnya agar tidak melakukan
perbuatan seperti ini yang melanggar aturan hukum agama, negara dan
tatanan budaya kita, tidak lebih dari itu. Dalam upaya penegakan syariat Islam
di Aceh dan Kota Subulussalam secara khusus,
daerah berkewajiban untuk mengimplementasikan penegakannya sesuai Qanun
Aceh. Melalui eksekusi ini diharapkan kepada pelanggar syariat Islam untuk
bertaubat dan berdaya upaya untuk menjauhi perbuatan maksiat tersebut,
“Kita bukan mau mempertontonkan mereka, tapi
memberikan tindakan agar menjadi contoh bagi yang lainnya dan semoga ada hikmahnya,
pelaksanaan hukum cambuk itu bukanlah suatu kebnggaan” (Ya’qub: 2015)
Sementara itu Kejaksaan Negeri Singkil, yang diwakili
oleh Bapak Irfan Hasyri dalam sambutannya menyatakan eksekusi cambuk bukan
bermaksud untuk menyakiti atau menyiksa warga yang menjadi terpidana kasus
terkait. Namun, hukuman cambuk tersebut guna memberi efek jera bagi warga yang
melanggar qanun syariat Islam. Makanya, proses cambuk tersebut digelar di depan
umum dengan maksud dapat menjadi contoh bagi masyarakat lain sehingga tidak
melakukan perbuatan serupa di kemudian hari.
Ketua Majelis Permusyawartan Ulama (MPU) Kota
Subulussalam H. Qaharudin Kombih berpesan kepada semua pihak untuk
mengingat adzab Allah bagi yang melanggar syariat Allah. Kepada semua penegak
hukum dan semua stakeholder untuk menjalankan amanah Allah, siapapun yang
melanggar syariat Islam agar dihukum jangan pandang bulu, mari laksanakan
syariat Islam dengan baik dan penuh rasa tanggungjawab kepada diri dan Allah
s.w.t. (Qaharuddin: 2015).
D.
Faktor Mempengaruhi Dalam
Penegakan Qanun Khalwat Di Kota Subulussalam (Faktor Hukum dan Non-Hukum)
Banyak
faktor yang mempengaruhi dalam efektivitas penegakan Qanun Khalwat di
Kota Subulussalam. Menurut Soerjono Soekanto masalah pokok dalam penegakan
hukum adalah terletak pada hukumnya sendiri (peraturan perundang-undangan yang
berlaku), penegak hukumnya yakni pihak-pihak yang mengawal penerapan hukum,
sarana atau fasilitas yang mendukung penerapan hukum, masyarakat di mana hukum
tersebut diberlakukan dan budaya hukum dalam masyarakatnya (Jainuddin, 2007:
62). Kelima faktor tesebut saling memiliki kaitan yang erat dikarenakan esensi
dari penegakan hukum. Kelima faktor tersebut merupakan tolak ukur daripada efektifitas
penerapan hukum.
1.
Faktor Undang-undang
(Qanun)
Bila
kita mengkaji Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat, maka kita akan
menemui suatu kepastian bentuk ‘uqu>ba>t bagi mereka yang
melanggar ketentuan-ketentuan khalwat di Aceh. Qanun ini tegas mengtakan
bahwa perbuatan khalwat adalah haram (Pasal 4 Qanun No. 12/2003), dan
barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut dapat di kenakan ‘uqu>ba>t
ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 9 (sembilan) kali cambukan. Begitu
juga dengan Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jina>ya>t yang
merupakan pembaharu terhadap Qanun No. 14 Tahun 2003, dikatakan bahwa hukum berkhalwat
adalah haram dan setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut di ancam dengan
‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk sebalakk 10 (sepuluh kali)
cambukan (Pasal 22 Qanun 14/2003).
Sebenarnya
kelemahan utama yang terdapat dalam Qanun No. 14 tahun 2003 adalah tidak adanya
kewenangan yang diberikan kepada wilayatul hisbah untuk melakukan penahanan, WH
tidak berwenang menahan dan memeriksa, sehingga penahanan yang dilakukan WH
merupakan tindakan melanggar ketentuan hukum dan melampaui batas kewenangan. Kewenangan yang dimiliki WH hanya
sebatas melakukan pengawasan terhadap penegakan syariat Islam sekaligus
melakukan pembinaan terhadap para pelanggar syariat Islam yang sedang berlaku
di Aceh dan tidak ada kewenangan WH melakukan penahanan terhadap para pelanggar
pelaku Syariah di Aceh bila berdasarkan kepada Qanun No. 14 Tahun 2003
(Sarkani: 2015). Apabila WH menangkap pelaku pelanggaran khalwat
akan dilimpahkan perkaranya ke pihak penyidik di kepolisian, dan pihak
kepolisianlah yang berwenang melakukan penahanan terhadap mereka (Pergub Aceh
No 1/2004).
Setelah
di sahkannya Qanun No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jina>ya>t
sepertinya telah memberi angin segar bagi penegakan syariat Islam di Aceh. Hal
ini ditandai dengan penambahan kewenangan yang diberikan kepada Wilayatul
Hisbah dalam melakukan tindakan yang nyata terhadap penegakan Qanun Jina>ya>t
di Aceh, dimana pada qanun-qanu sebelumnya (Qanun 12, 13 dan 14 Tahun 2003)
kewenangan WH hanya berupa pengawsan terhadap pemberlakuan syariat Islam di
Aceh, kewenangan WH tersebut di jelaskan dalam Pasal 7 dan 9 Qanun No. 7 2013.
PPNS dalam melaksanakan kewenangan
penyelidikan sebagimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9 ayat (2) dibantu oleh anggota
kepolisian dan polisi WH. Inilah yang menjadi dasar bagi WH dalam melakukan
penahan terhadap setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan qanun jina>ya>t
di Aceh, dimana ketentuan seperti ini sebelumya tidak pernah di atur dalam
qanun-qanun jina>ya>t terdahulu (Qanun 12, 13 dan 14 Tahun 2003).
Jadi kendala yang selama ini menjadi alasan utama bagi WH dalam menindak pelaku
jina>ya>t di Aceh sudah terjawab dengan disahkannya Qanun No. 7
Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jina>ya>t.
Kendala
selanjutnya adalah adanya benturan antara qanun dalam penanganan kasus khalwat,
selain di atur dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 dan ditegaskan kemabali dalam
Qanun No. 6 Tahun 2014 juga di atur dan menjadi salah satu kewenangan dari
peradilan adat di Aceh, hal ini di jelaskan dalam Qanun No. 9 Tahun 2008
Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Dalam Pasal 13 ayat (1) dijelaskan
bahwa khalwat merupakan salah satu dari 18 kewenangan yang di berikan
kepada mahkamah adat di Aceh. Hal inilah yang menjadi celah permasalahan baru
dalam penerapan Qanun Khalwat di Aceh dan khususnya Kota Subulussalam.
Dengan
adanya Qanun No. 9 Tahun 2008, setiap pelanggaran khalwat yang terjadi
Aceh harus diselesaikan melalui peradilan adat terlebih dahulu, Apabila bisa
diselesaikan dalam peradilan adat, maka pihak berwenang dalam hal ini WH tidak
berwenang lagi untuk menindaklanjuti kasus tersebut (Kalidin: 2015). Mengenai
mekanisme penyelesaian kasus khalwat di lembaga adat akan disesuaikan
dengan kebiasaan adat di wilayah masyarakat setempat, bararti hukum adat di
Aceh tidak memiliki standar tertentu dalam mekasnisme penyelesaiannya, hal ini
dikarenakan masyarakat Aceh yang majemuk dan terdiri dari beberapa suku yang
berbeda (Putri, 2015: 55).
Adanya
dualisme lembaga dalam peneyelesaian kasus khalwat di Aceh merupakan
kendala tersendiri bagi WH dalam menegakkan Qanun Khalwat. Satu
penelitian terkait dengan khalwat/mesum di kota Lhokseumawe yang
dilakukan Abdullah, seorang dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Lhokseumawe menyebutkan, berkurangnya penyelesaian kasus khalwat/mesum
melalui WH dan mahkamah syar’iyah dikarena penyelesaian kasus khalwat/mesum
telah bergeser. Kasus khalwat/mesum saat ini lebih mengutamakan
penyelesaian secara adat ketimbang kepada jalur WH dan mahkamah syar’iyah.
Hasil
penelitian itu telah dipaparkan dalam Aceh Development International Conference
(ADIC) yang berlangsung pada 27 Maret 2013 di Kuala Lumpur. Apa yang
disimpulkan Abdullah, barangkali ada benarnya, Sebab sejak Majelis Adat Aceh
(MAA) melakukan sosialisasi penyelesaian kasus masyarakat melalui adat dalam
beberapa tahun terakhir, maka kasus-kasus yang masuk dalam kategori 18 kasus
adat sesuai dengan amanah Qanun No. 9 Tahun 2008, bisa diselesaikan melalui
mahkamah adat di gampong ataupun mukim (Mansur: 2013).
Untuk
mengatasi hal tersebut, sudah saatnya para pemangku kepentingan untuk duduk
bersama dan merumuskan mekanisme penyelesaian kasus khalwat di Aceh,
khususnya di Subulussalam. Hal ini penting dilakukan guna untuk mempertegas
mengenai ketentuan-ketentuan khalwat seperti apa yang menjadi wilayah kewenangan
masing-masing lembaga. Karena selama ini penangangan kasus khalwat
menurun penyelesaiannya di tingkat mahkamah syar’iyah, disamping itu ada yang
beranggapan bahwa hukuman yang diberikan lembaga adat terhadap pelaku khalwat
di nilai kurang adil, karena bentuk hukumannya kurang begitu tegas dan tidak
menimbulkan efek jera bagi para pelakunya (Pasal 16 Qanun No. 9/2008). Di Kota
Subulussalam sendiri penyelesaian kasus khalwat di tempuh dengan jalur
kekeluargaan, sebagaimana telah dijelaskan di atas, dimana kedua keluarga yang
tersangka khalwat/mesum duduk bersama untuk mencari solusi terhadap
penyelesaian kasus tersebut dengan hukumuan yang sering di capai adalah pemberian
nasehat, perdamaian, pernyataan maaf, ganti rugi/denda dan di nikahkan (Layari:
2015).
2.
Faktor Penegak Hukum
Penegak hukum dilakukan oleh institusi yang
diberi wewenang untuk itu (penegakan qanun syariat Islam), dalan hal ini adalah
wilayatul hisbah. Sejak hukum itu mengandung perintah dan pemaksaan, maka sejak
itu pula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut. Hukum menjadi
tidak ada artinya, bila perintahnya tidak dapat dilaksanakan, karena itu diperlukan
usaha dan tindakan manusia agar perintah dan paksaan yang secara potensial ada
di dalam peraturan itu menjadi nyata dalam praktek hukum. Donald Black, sebagaimana
dikutip Sadjipto Rahardjo mengatakan bahwa dimensi keterlibatan manusia dalam penegakan
hukum tersebut dinamakan dengan mobilisasi hukum. Dalam mobilisasi hukum inilah
manusia turut campur sehingga hukum tidak hanya mengancam dan berjanji di atas kertas
(Danial, 2011: 1004).
Wilayatul Hisbah dan Sat Pol PP Kota
Subulussalam saat ini memiliki 139 orang anggota dan keseluruhan dari anggota
tersebut berpusat di Kantor Pol PP dan WH Kota Subulussalam di Subulussalam.
Adapun status dari 139 orang anggota tersebut, baru 15 orang yang diangkat
menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan sisanya masih berstatus sebagai pegawai
honorer (Malik: 2015). Selain itu WH Kota Subulussalam juga belum mempunyai
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), padahal keberadaan PPNS ini sangat di
butuhkan guna untuk proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan WH
terhadap pelaku pelanggaran qanun jinayat di Kota Subulussalam.
Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai
sangat mempengaruhi efektivitas suatu hukum. Berdasarkan keterangan di atas,
bahwa saat ini wilayatul hisbah dan Pol PP Kota Subulussalam memiliki 139
anggota dimana 15 belas di antaranya adalah PNS, sisanya pengawai honorer yang kebayakan memiliki latar belakang
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) (Bambang 2015). Pendidikan para penegak
hukum ini (WH) sangat vital dalam penegakan hukum syariah di Aceh, karena hukum
yang akan di tegakkan nantinya bukanlah hukum yang berdasarkan kepada UUD
sebaggai landasar utama pembuatan hukumnya, akan tetapi al-Qur’an dan
al-Hadist. Maka untuk itu setiap anggota WH di tuntut untuk memilik kecapan
dalam bidang hukum Islam (fik}ih). Inilah yang menjadi permaslahan selama ini,
dimana masyarakat menilai, para penegak hukum syariah di Kota Subulussalam
belum layak untuk dijadikan sebagai penegak qanun jina>ya>t. Hal ini
dikarenakan sikap dan perilaku keseharian anggota WH yang belum mencerminkan
nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakat sehari-hari di luar masa
tugasnya (Arifin: 2015)
Memang dalam perekrutan anggota WH
selam ini belum ada standar yang khusus mengenai latar belakang pendidikan bagi
anggota WH. Menurut Wildan Sastra selaku pemerhati syariat Islam dan gender kota
Subulussalam, sudah seharusnya WH Kota Subulussalam membuat standar khusus bagi
para WH, sehingga dalam penegakan qanun-qanun syariat anggota WH bisa
mengetahui dengan baik dan benar, begitu juga dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari, anggota WH di harapkan bisa memberikan contoh yang nyata kepada
masyarakat akan perlunya menegakkab syariat Islam di Kota Subulussalam. Wildan
mengatakan, anggota WH seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan dan
pencotohan syariat Islam bukan malah sebaliknya (Wildan: 2015).
3.
Faktor Fasilitas
Penunjang Penegakan Hukum
Keterpusatan WH di Kota Subulussalam
sebenarnya menjadi masalah tersendiri terhadap penegakan qanun jinayat di
Subulusslam. Saat ini Kota Subulussalam memiliki 5 kecamatan yakni Kecamatan
Simpang Kiri, Penanggalan, Sultan Daulad, Runding dan Longkib. Tiga dari lima
kecamatan ini pada dasarnya jauh dari Kantor Pol PP dan WH Kota Subulussalam yang
terletak di pusat Pemerintahan Kota Subulussalam di Kecamatan Simpang Kiri.
Ketiga kecamatan tersebut adalah, Kecamatan Sultan Daulad, Kecamatan Rundeng
dan Kecamatan Longkib. Sedangkan dua lainnya yakni Kecamatan Simpang Kiri dan
Kecamatan Penanggalan relatif berdekatan. Maka tidak heran bila selama ini
kasus yang di tangani WH Kota Subulussalam berasal dari Kecamatan Simpang Kiri
dan Kecamatan Penanggalan, karena dua kecamatan inilah yang paling memungkinkan
untuk dilakukan pengontrolan setiap saat, karena letak dan jaraknya dari kantor
Pol PP dan WH tidak terlalu jauh.
Keberadaan
Kantor WH seharusnya tidak hanya berada di satu titik tertentu, tapi harus ada
di setiap kecamatan-kecamatan di Kota Subulusssalam. Hal ini dilakukan supaya
keberadaan WH dapat dirasakan langsung oleh masyarakat bukan hanya sebagai
simbol dari pelengkap lembaga-lembaga
daerah di Aceh. Dalam Keputusan
Gubernur No. 1 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Wilayatul Hisbah disebutkan bahwa susunan organisasi Wilayatul Hisbah, terdiri
atas; Wilayatul Hisbah Tingkat Provinsi; Wilayatul Hisbah Tingkat
Kabupaten/Kota; Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamatan, dan Wilayatul Hisbah Tingkat
Kemukiman (Hirwan: 2015). Berarti pembentukan kantor WH di
setiap kecamatan sangat mungkin untuk di bentuk karena telah mempunyai landasan
hukum yang kuat.
4.
Faktor Kesadaran Hukum
Masyarakat Yang Masih Rendah
Kesadaran hukum masyarakat secara umum masih
rendah. Sebagian warga masyarakat menganggap kewajiban taat pada syariat Islam
merupakan beban yang memberatkan. Perasaan terbebani ini di samping dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi yang sulit, juga karena sifat masyarakat lokal berlakunya
qanun-qanun jinayat di Subulussalam. Kondisi sosial ekonomi yang sulit banyak
berpengaruh pada terjadinya tindak pidana perjudian, perdagangan miras,
prostitusi dan lain-lain.
Keterlibatan masyarakat dalam mengawal Qanun
Khalwat sangat mempengaruhi efektivitas pemeberlakuan qanun tersebut. Dengan
segala keterbatsan yang dimiliki oleh WH Kota Subulussalam, keterlibatan aktif
masyarakat sangat di butuhkan, karena bagaimanpun, perbuatan pelanggaran qanun
khalwat dilakukan dan terjadi di tengah-tengah kalangan masyarakat Kota
Subulussalam. Mengingat pentingnya peran dan kesadaran hukum masyarakat ini,
Qanun Nomor 14 Tahun 2003 jauh-jauh hari telah memberikan ruang berupa peran
aktif masyarakat dalam mengawal pemberlakuan qanun ini, seperti yang di
jelaskan dalam BAB IV Pasal 8-12.
Kesadaran dan pengetahuan tentang qanun inilah yang
dirasa masih kurang di tengah-tengah masyarakat. Di beberapa tempat, seperti
Sultan Daulad, Runding dan Penanggalan, ketika penulis berdiskusi dengan
masyarakat dan pemuda setempat mengatakan, tindak pelanggaran terhadap qanun
jinayat, khususnya Qanun No. 14 Tahun 2003 sebenarnya sangat sering terjadi di
daerah mereka masing-masing, masyarakat juga sudah merasa bosan untuk selalu
mengingatkan bahwa perbuatan mereka bertentangan dengan qanun jinayat di Aceh.
Pada akhirnya masyarakatpun cuek dan berharap petugas WH melakukan patroli ke
wilayah mereka (HM: 2015).
Kesadaran
hukum masyarakat tidak dapat dipisahkan dari intensitas disseminasi dan
penyuluhan yang dilakukan para penyelenggara pemerintah daerah (Aceh) kepada
masyarakat. Setiap penyelenggara negara berkewajiban memberikan penyuluhan
hukum sebagai bagian dari proses edukasi dan pembudayaan hukum. Penyuluhan
hukum merupakan tanggung jawab setiap penyelenggara negara. Kesadaran hukum masyarakat ini sebenarnaya bisa di
bagun melalui bentuk/kegiatan sosialisi tentang qanun-qanun jinayat khususnya
Qanun No. 14 Tahun 2003. Dibutuhkan kesadaran
yang tinggi dari masyarakat Kota Subulussalam untuk melaksanakan Syariat Islam,
disamping itu juga harus adanya political will
pemerintah dan peran serta stakeholders
dan tentunya dilakukan secara bertahap
atau gradual.
E.
Penutup
Islam telah mengatur etika pergaulan
manusia dengan baik dan terarah, cinta kasih sayang manusia adalah merupakan
fitrah dan anugrah dari yang maha kuasa. Untuk menjalani suatu ikatan yang sah
menurut etika dan agama, Islam sebagai agama telah memberikan fasilitas berupa
perkawinan dengan tujuan supaya hubungan antara laki-laki dan wanita diikat
dengan suatu ikatan pernikahan yang sah karena menjaga keturunan adalah salah
satu dari tujuan dari syariat di turunkan kepada manusia. Larangan khalwat
merupakan pencegahan dini terhadap perbuatan zina, karena perbuatan zina
pada dasarnya di mulai dari hal-hal yang mengarah kepadanya.
Dengan
adanya formalisasi hukum jina>ya>t di Aceh dan penjatuhan ‘uqu>ba>t
terhadap pelaku pelanggaran tindak pidana khalwat, diharapkan dapat
menjadi stimulus bagi penyadaran masyarakat dari berbagai latar belakang agama,
ras, dan budaya tentang adanya pelaksanaan hukum jina>ya>t di Aceh
dan khususnya Kota Subulussalam. Qanun Jina>ya>t No. 14 tahun 2003, qanun
tersebut kemudaian disempurnakan dengan di sahkannya Qanun No. 6 Tahun 2014
Tentang Hukum Jina>ya>t.
F.
Daftar Pustaka
Abidin,
Nurdin. “Revitalisasi Kearifan Lokal di Aceh: Peran Budaya Dalam Menyelesaikan
Konflik Masyarakat”, Anlisis, Vol. XIII No. 1 Juni 2013.
Arief, Barda Nawawi. Mediasi Penal,
Penyelesaian Perkara diluar Pengadilan. Semarang: Pustaka Magister, 2010).
Ablisar,
Madiasa. “Relevansi Hukuman Cambuk
Sebagai Salah Satu Bentuk Pemidanaan Dalam Pembaharuan Hukum Pidana”, Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
Analiansyah. “Qanun Hukum Acara
Jinayat Dalam Pelaksanaan Syari’at Islam Studi Terhadap Draf Qanun Hukum Acara
Jinayat Di Aceh”, Legitimasi, Vol.1 No. 1, Juli-Desember 2011.
Aziz, Samsudin. “Kanunisasi Fikih Jinayat Kontemporer
Studi Materi Muatan Qānūn Jināyat Aceh dan Brunei Darussalam”, Jurnal
Pemikiran Hukum Islam (al-Ahkam), Volume 24, Nomor 2, Oktober 2014.
Burhanudin,
Anas. Pedoman Penggunaan Urf Dalam Menetapkan Hukum Syar'i, http://
almanhaj.or.id/content/ 3834/slash/0/ pedoman-penggunaan-urf-dalam-menetapkan-hukum
s yari/.
Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
Danial, Efektifitas ‘Uqūbat Dalam Qanun No. 14/ 2003 dan DQHR Tentang Khalwat dan Ikhtilath, “Jurnal Asy-Syir’ah” Vol. 45, No. I, 2011.
Hasan, Ridwan. “Hukum Adat Vs Teologi Dan Syari’at
Islam Dalam Wilayatul Hisbah Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”, The 9th
Annual Conference On Islamic Studies (ACIS), Surakarta, 2009.
Hendra Mr, Dede. Eksistensi
Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam Di Provinsi Aceh.
Tesis Fakultas Hukum UI, 2012.
Hukum
Online, Fiksi Hukum Harus Didukung Sosialisasi Hukum, http://www.
hukumonline.com /berita/baca/hol19115/fiksi-hukum-harus-didukung.
Jack,
Hirwan. “Efektivitas Wilayatul Hisbah Dalam Pencegahan Aliran Sesat Di Aceh”, http://bkpp.acehprov
.go.id/simpegbrr/Art ikel/Artikel05-02-2015/Wilayatul H i s bah _Aceh.pdf.
Keputusan
Gubernur Aceh No. 01 tahun 2004 tentang kewenangan pembentukan Organisasi
Wilayatul Hisbah.
Khalil,
Rasyad Hasan. Tarikh Tasryi. Jakarta: Amzah, 2009.
Komnas
Perempuan, Analisi Terhadap Qanun Nangroe Aceh Darussalam. http://www.academia.edu
/8145409/ Analisis-terhadap-qanun-nangroe-aceh-darussa lam.
Lubis, Zulkarnain. Menyambut Qanun Jinayah
Nomor 6 Tahun 2014, https://drive.google.
com/file/d /0B5UQVcJ8Df8WenBNSWNfZUVMcTQ/view? pli=1.
Mansur, Teuku Muttaqin. Penyelesaian Kasus
Mesum Melalui Mahkamah Adat atau Mahkamah Syar’iyah?, http://aceh.tribunnews.com/2013/09/04/penyelesaian-kasus-mesum-melalui-ma-atau-ms?page=3.
Media
Subulussalam, Kafe Digrebek, 79 Botol Miras dan Lima Wanita Diamankan http://www.
mediasubulussalam.com/2012/09/kafe-digrebek-79-botol-miras-dan-lima.html.
Melayu,
Husnul Arifin. Hukum Cambuk dan Pengaruhnya Terhadap Kasus Khalwat di Aceh, Jurnal
Ar-Raniry, Media Kajian Keislaman Edisi I No. 87, 2011.
Munawaroh,
Hifdhotul. Mediasi Adat Aceh Dalam Penyelesaian sengketa Perspektif Hukum
Positif dan Hukum Islam. UIN Jakarta: Tesis SPs UIN Jakarta, 2013.
Polres
Singkil, Pelaksanaan Ukubat Cambuk Pelaku Khalwat/Mesum, http://
poldaaceh.web.id/pelaksanaan-ukubat-cambuk-pelaku-khalwatmesum.html.
Prayitno,
Kuat Puji. Restorative Justice Untuk Peradilan Di Indonesia (Perspektif Yuridis
Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto), Jurnal Dinamika Hukum,
Vol. 12 No. 3 September 2012.
Soekanto,
Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008), 8. Lihat juga, Jainuddin Ali, Sosiologi Hukum
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 62.
Yani,
Muhammad. Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh Perspektif Fik}ih dan HAM: Studi
Qanun Nomor 12, 13 dan 14 Tahun 2003. SPs UIN Jakarta: Tesis, 2011.
Wawancara
dengan Abdul Malik, selaku Kepala Satpol PP dan WH Kota Subulussalam, (23 April
2015).
Wawancara
dengan Arifin Sarbaini, selaku Ketua FPI Kota Subulussalam, (16 Agustus 2015).
Wawancara
dengan Bambang Aprianto, Selaku Subag TU Pol PP dan WH Kota Subulussalam, (29
April 2015).
Wawancara dengan Bapak Kalidin, Kasie Penegak Kebijakan Daearah Dan
Syariat Islam Kota Subulussalam.
Kantor Satuan Polisis Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam, pada
tanggal 23 April 2015.
Wawancara
dengan Bpk. M Ya’qub KS, selaku Kepala Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam
pada tanggal 22 April 2015 bertempat di Kantor DSI Kota Subulussalam.
Wawancara
dengan GM (nama disamarkan) Warga Sultan Daulad. AK (nama disamarkan) Warga
Subulussalam Barat. M (nama disamarkan) Warga Rundeng. (10 Juni 2015).
Wawancara
dengan H.M Layari Kombih, selaku Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota
Subulussalam, bertempat dikantor MAA Kota Subulussalam pada tanggal 27 April
2015.
Wawancara
dengan Hotma Capah, selaku Sekretaris DSI Kota Subulussalam. 21 April 2015.
Wawancara
dengan Kalidin, selaku Kasi Penegakan Syariat Islam Kota Subulussalam, 23 April
2015.
Wawancara
dengan Sapri TB, Pemuda Sultan Daulat Kota Subulussalam (20 Mei 2015).
Wawancara
dengan Sarkani, Kasi Ketentraman dan Ketertiban Pol PP dan WH Kota Subulussalam,
23 April 2015.
Wawancara
dengan Ust. H. Qaharuddin Kombih, selaku Ketua MPU Kota Subulussalam, pada
tangga 20 April 2015 di Pondok Pesantren
Hidayatullah Kota Subulussalam.
Wawancara
dengan Wildan Sastra, Pengamat Syariah dan Gender Kota Subulussalam (12 Agustus
2015).
Label: HUKUM ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda