Resume Tesis
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN PIDANA BADAN (CORPORAL
PUNISHMENT) DI INDONESIA
(Kajian Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam)
ADI HERMANSYAH,
SH
MAGISTER FAK
HUKUM UNDIP 2009
Oleh:
Ali Geno Berutu
Pada Bab awal tesis ini membahas mengenai latar belakang mengenai
hukum dan perdebatan masyarakat akademik, dijelaskan bahwa: Hukum ada pada
setiap masyarakat di manapun di muka bumi. Primitif dan modernnya suatu
masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu, keberadaan (eksistensi)
hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat,
keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Manusia menciptakan hukum untuk
mengatur dirinya sendiri, demi terciptanya ketertiban, keserasian dan ketentraman
dalam pergaulan masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto,
hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat yakni pertama,
sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana untuk
memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai sarana untuk
menciptakan keadaan tertentu.
Indonesia
merupakan Negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai ras dan suku
bangsa yang mempunyai adat dan kebudayaan yang berbeda-beda. Sebelum Indonesia
merdeka terdapat banyak kerajaan yang tersebar luas di Nusantara. Kesultanan
Iskandar Muda (1607-1636) di Aceh merupakan salah satu kerajaan besar yang
terdapat di nusantara jauh sebelum Indonesia lahir.
Kerajaan Aceh pada masa itu sangat konsisten mengembangkan agama
Islam dan sebagai pusat pengembangannya dibangun beberapa diantaranya Beit
Rahman (sekarang dikenal dengan Mesjid Baiturrahman) yang
terletak di lingkungan Istana Sultan Iskandar Muda. Pengaruh agama Islam telah
menyusup kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pemerintahan,
hukum, politik, ekonomi, kesenian dan keseluruh aspek kehidupan pribadi. Pada
saat itu Aceh tak ubahnya sebuah miniatur kehidupan Jazirah Arab di Timur yang kental dengan
budaya Islam, oleh karena itu Aceh dinamakan Serambi Mekkah.
Pengaruh
hukum Islam sangatlah kuat terhadap masyarakat Aceh sehingga tak terpisahkan
dengan adat/kebiasaan masyarakat, hukum Islam dan adat telah melebur menjadi
satu hukum sebagaimana dikatakan oleh Snouck Hurgronje: Hukom and adat are
isperable.... The hukom is Allah hukom an the adat is Allah adat. Hal yang sama
dikemukakan pula oleh ahli adapt di
Aceh,
bahwa Hukom yaitu hukum Islam atau hukum yang disusun bersumberkan Al
Qur’an, Hadist dan Adat yaitu hukum adat yang merupakan aturan-aturan hasil
pemikiran manusia, yang telah menyatu menjadi satu hukum seperti zat dengan
sifat. Penyatuan keduanya yang seperti zat dengan sifat itu, dibakukan dengan hadih
maja yang berbunyi : Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut, lage
mata itam ngon mata puteh, dalam rumusan tersebut hukum dan adat telah
menyatu seperti zat dengan sifat atau seperti mata hitam dengan mata putih,
keduanya tidak dapat dipisahkan.
Seadangka pada bab ll tesis ini membahas tentang tinjauan umum
tentang kebijakan penanggulangan
kejahtan, di bab ini dijelaskan secara terperinci tentang pengertian dan
ruang lingkung tindak kejahatan.
1.
Pengertian
Kejahatan dan Ruang Lingkup kebijakan penanggulangannya
Kejahatan
merupakan suatu perbuatan menyimpang dari perilaku yang dianggap sesuai dengan
norma yang mengatur kehidupan masyarakat dalam berperilaku. Menurut Giriraj
Shah ”Crime is as old as man”, menurutnya kali pertama terjadinya
pelanggaran larangan dan hal itu dapat dipandang kejahatan (dosa), yakni ketika
Adam memakan buah terlarang, yang berakibat dikeluarkannya Adam dan Hawa dari
surga ke bumi. Dengan perkembangan manusia dan masyarakat, maka kejahatan juga
tumbuh dalam berbagai bentuk dan tingkatan.
Dalam
Encyclopedia Amerika (volume 8) dikemukakan bahwa kejahatan atau crime
adalah perbuatan yang secara hukum dilarang oleh negara, sedangkan dilihat
dari segi hukum (legal definition) kejahatan adalah tindakan yang dapat
dikenakan hukuman oleh hukum pidana.
Menurut Benedict
S. Alper, kejahatan merupakan problem sosial yang paling tua dan sehubungan
dengan masalah itu tercatat lebih dari 80 kali konfrensi internasional yang
dimulai pada tahun 1825 hingga tahun 1970 yang membahas upaya-upaya untuk
mengatasi permasalahan kejahatan. Frank Tannenbaum dalam preface buku ”New
Horizons in Criminology” karya Barnes & Teeters; ”Crime is eternal
as eternal as society”, manusia sesuai dengan kodratnya lahir dan
hidup dalam kelompok-kelompok tipe dan corak organisasi kemanusiaan.
Dalam organisasi
tersebut sifat-sifat manusia tidak selalu berjalan dengan apa yang dikehendaki
oleh tuntutan masyarakat, termasuk dalam hal ini perilaku manusia yang
dinamakan dengan kejahatan. Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang sama
sekali tidak dikehendaki oleh masyarakat, akan tetapi kejahatan sendiri tidak
dapat dihapus di dalam masyarakat, hal ini dikarenakan yang melakukan kejahatan
tersebut adalah anggota masyarakat sendiri.
Kejahatan
dalam KUHP merupakan sisi lain dari pada pelanggaran.
KUHP memisahkan
antara kejahatan dengan pelanggaran, keduanya
merupakan
perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancamkan
dengan pidana
(kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut)
atau disebut
dengan istilah perbuatan pidana ataupun delik. Menurut pembuat KUHP di Nederland
dahulu tahun 1880 masing masing delik tersebut berlainan sifat secara kualitatif
yaitu: kejahatan (misdrijven) misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP),
penggelapan (Pasal 378), penganiayaan (Pasal 351) dan pembunuhan (Pasal 338),
sedangkan pelanggaran (overtredingen), misalnya; kenakalan (Pasal 489),
pengemisan (Pasal 504), dan pergelandangan (Pasal 505). Perbuatan pidana ini
menurut ujud dan sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang
dikehendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar hukum).
James
E. Anderson mengemukakan bahwa kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai
maksud, yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi
suatu masalah atau suatu perubahan. Dalam proses itu pembuat kebijakan harus
mencari dan menemukan identitas permasalahan kebijakan.
Politik
hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam
tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai
yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan
cara-sara yang diusulkan dan denangan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar
hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. Jika demikian halnya
maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan situasi pada suatu
waktu dan masa-masa yang akan datang.
Barda
Nawawi Arief, menjelaskan bahwa sistem hukum nasional di samping hendaknya
dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan internasional,
namun juga harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum
yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup di
dalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai hukum adat
dan nilai-nilai hukum agama.
Kongres PBB yang
diselenggarakan 5 (lima) tahun sekali mengenai ”The Prevention of Crime and
The Treatment of Offenders” sering dinyatakan bahwa sistem hukum pidana
yang ada di beberapa Negara, pada umumnya bersifat “Obsolete and Unjust”
(telah usang dan tidak adil) serta “Outmoded and Unreal” (sudah
ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Karena sistem hukum
pidananya yang berasal dari hukum asing semasa zaman kolonial yang tidak sesaui
dengan karakteristik dan falasfah hidup masyarakatnya dan tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan sosial masa kini. Hal yang demikian dinilai oleh kongres PBB
merupakan salah satu faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan (a
contributing factor to the increase of crime) dan dapat menjadi
faktor kriminogen jika suatu kebijakan pembangunan hukumnya mengabaikan
nilai-nilai moral dan kultural dalam masyarakat di mana hukum tersebut
diterapkan.
Hal
di atas menegaskan bahwa kajian perbandingan dari sudut hukum tradisional/adat
dan hukum agama merupakan “tuntutan zaman”. Khusus bagi Indonesia, tentunya
merupakan “beban nasional” dan bahkan merupakan kewajiban dan tantangan
nasional” karena telah diamanatkan dan direkomendasikan dalam berbagai kebijakan
perundang-undangan dan seminar-seminar nasional selama ini.
2.
Pidana dan
Pemidanaan
Pidana
itu sendiri diperkirakan telah ada sejak adanya manusia seperti halnya
kejahatan, akan tetapi daftar jenis perbuatan yang dapat dipidana berubah dari
waktu kewaktu dan berbeda dari tempat ke tempat. Pada suatu waktu yang disebut
kejahatan ”pokok” adalah sumbang (”incest”) dan sihir (”witchraft”)
pada waktu lain yang dipandang sebagai ”key” offences adalah pembunuhan,
atau pencurian dan pada akhir-akhir ini dipandang sebagi suatu kejahatan yang
serius adalah pelanggaran lalu lintas yang dianggap sangat merugikan bagi jiwa
dan harta benda manusia.
Istilah
hukuman berasal dari kata “Straf” dan istilah dihukum yang berasal dari
perkataan ”wordt gestraft”, menurut Moeljato merupakan istilah-istilah
yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan
menggantikan dengan istilah yang inkonvensional, yaitu ”pidana” untuk
menggantikan kata ”straf” dan ”diancam dengan pidana ” untuk menggantikan
kata ”wordt gestraft”. Menurut beliau, kalau ”straf” diartikan
hukuman, maka ”strafrecht” seharusnya diartikan ”hukumhukuman”. Demikian
pula Sudarto menyatakan bahwa ”penghukuman” berasal dari kata dasar ”hukum”,
sehingga dapat diartikan sebagai ”menetapan hukum” atau ”memutuskan tentang
hukumnya” (berechten). ”menetapkan hukum” untuk suatu peristiwa tidak
hanya menyangkut bidang hukum pidana saja akan tetapi juga bidang hukum
perdata.
Dari
beberapa pengertian pidana tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pidana
adalah suatu hukuman yang diberikan secara sengaja oleh Negara melalui aparat
penegak hukumnya yaitu hakim kepada terdakwa yang terbukti bersalah secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, jadi pidana
merupakan sanksi atau nestapa yang diancamkan terhadap siapa saja yang
melanggar suatu peraturan hukum (pidana), atau barang siapa yang melakukan
tindak pidana, sanksi pidana itu tidak
lepas dari adanya tindak pidana atau dengan kata lain bahwa suatu tindak pidana
selalu disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar aturan
tersebut. Walaupun demikian ancaman pidana tersebut tidak mesti dapat
dijatuhkan terhadap yang melakukan pelanggaran hukum karena adanya alasan
pemaaf dan alasan pembenar.
Sementara
itu istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional, yang mempunyai
arti luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang
yang cukup luas. Tidak hanya dipakai dalam istilah hukum semata akan tetapi
juga banya digunakan dalam pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Sedangkan
istilah pidana merupakan istilah yang khusus, karena memiliki pengertian atau
makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifatnya yang khas.
3.
Stelsel Sanksi
Dalam Hukum Pidan Indonesia.
Stelsel
Pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke-2 dari
Pasal 10 sampai Pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal
tertentu dalam beberapa peraturan. Peraturan tersebut sebagaimana yang
dikatakan Adami Chazawi adalah:
a.
Reglement Penjara (Stb. 1917 No.
708) yang diubah dengan LN 1948 No. 77).
b.
Ordonansi Pelepasan Bersyarat
(Stb. 1917 No. 749).
c.
Reglement Pendidikan Paksaan
(Stb. 1917 No. 741).
d.
UU No. 20 Tahun 1949 Tentang
Pidana Tutupan.
4.
Jenis-Jenis
Snksi Pidana Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Menurut
KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan, terutama
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Dlam hal ini Roeslan Saleh
menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuat menurut beratnya pidana, dan yang
terberat disebut lebih depan.
Jenis-jenis
pidana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP adalah:
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati;
b. Pidana
Penjara;
c. Pidana
Kurungan; dan,
d. Pidana Denda.
2. Pidana
Tambahan:
a. Pencabutan
beberapa hak tertentu;
b. Perampasan
barang tertentu; dan,
c. Pengumuman
keputusan hakim.
Ditambah dengan
pidana tutupan sebagai pidana pokok (UU Nomor 20 Tahun 1946).
5.
Tinjauan Umum
Tentang Pidana Badan
Badan
dalam bahasa Inggris diartikan sebagai Body/Corporation atau Corporate
suatu badan hukum yang mempunyai struktur kelembagaan sebagai
penggerak dalam setiap pergerakannya selalu dikontrol atau dikendalikan
oleh hukum, di sini yang dimaksud dengan corporal adalah suatu
jasmani/raga/badan (body). sedangkan Punishment bila diartikan ke
dalam bahasa Indonesia adalah hukuman ataupun siksaan, yang dalam penulisan
ini diistilahkan dengan pidana dalam kaitannya dengan pemberian sanksi
dalam hukum pidana. Dengan demikian dari beberapa pengertian di atas
yang dimaksud dengan corporal punishment adalah pidana yang
ditujukan pada badan.
Adapun
jenis-jenis pidana badan sebagai sanksi pidana, dikenal pula dengan berbagai
istilah :
a.
Beating (pemukulan);
b.
Blinding (pembutaan);
c.
Branding (pemberian cap);
d.
Caning (pemukulan dg
rotan/tongkat);
e.
Flogging (pencambukan/mendera);
f.
Mutilation (pemotongan/pengudungan);
g.
Paddling (pemukulan/dengan
cemeti);
h.
Pillory (penghukuman di
muka umum/di tiang).
Dalam
pidana Islam pidana badan ini adalah salah satu pidana yang diberikan secara hudud
(ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dalam al- Qur’an), ataupun yang
diberikan secara ta’zir (pidana yang diberikan melalui putusan hakim
dengan segala pertimbangan). Adapun jenis-jenis pidana badan dalam pidana Islam
adalah:
a.
Pidana potong tangan dan kaki.
b.
Pidana potong tangan /kaki.
c.
Pidana penamparan/pemukulan
merupakan variasi bentuk pidana sebagai peringatan dan pengganjaran. Pidana ini
bisa berupa cambuk/dera atau jilid.
Pada Bab lll
dibahas tentang hasil penelitian yang diantaranya:
1.
Kehidupan Beragama
Kehidupan
beragama di Nanggroe Aceh Darussalam cukup kondusif. Secara umum konsep trilogi
kerukunan umat beragama berjalan dengan baik. Perseteruan masyarakat atas dasar
perbedaan agama hampir tidak pernah terjadi, demikian juga dengan perseteruan atas
dasar internal umat beragama tersebut, hanya saja perseteruan masyarakat
beragama, terutama Islam dengan Pemerintah sedikit mengalami kendala, dalam hal
ini dicontohkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu adanya segelintir
masyarakat yang mengatasnamakan demi terselenggaranya penegakan syari`at Islam
yang kaffah harus memisahkan diri dari NKRI, lalu memicu terjadinya
disharmonisasi hubungannya dengan Pemerintah.
2.
Qanun dan
Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh
Di
Aceh qanun ditempatkan sebagai salah satu katagori hukum, selain adat, hukum
dan resam. Katagori hukum seperti itu dapat ditemukan pada tamsilan “Adat
bak Po Meurehom, Hukom Bak Syiah Kuala, Kanun Bak Poetroe Phang, Reusam
Bak Laksamana”. Kata “bak” dalam tamsilan tersebut berarti “pada”,
penautan katagori hukum pada (bak) Po Teumeureuhom (penguasa), Syiah
Kuala (ulama), Poetro Phang (Isteri Sultan/Ibu Negara) dan Laksamana(penguasa
wilayah lebih kecil), adalah sebagai simbol badan legislatif, sebagai badan
yang berwenang membuat aturan yang mempunyai kekuasaan memaksa. Supaya hukum
itu mempunyai kekuasaan yang memaksa, maka dalam tamsilan tersebut hukum
dikaitakan dengan simbolsimbol itu. Simbol-simbol itu juga merupakan jabatan
penguasa dalam kerajaan kesultanan Aceh.
Sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Undang-undang Dasar
1945 haruslah mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa dengan pemberian otonomi khusus, agar
pemerintahan daerah lebih leluasa dalam menjalankan dan mengelola
pemerintahannya sendiri untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat,
serta Bab VI Undang-undang Dasar 1945 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18
ayat (5) menyebutkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undangditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat, kemudian dalam ayat (6) disebutkan pula bahwa pemerintah
daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam
UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam beberapa Pasal menunjukkan adanya
jalan bagi penerapan syariat Islam secara bertahap, antara lain;
1)
Pasal 1 ayat (7) yang menyatakan
bahwa Mahkamah Syariah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah lembaga
peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku untuk pemeluk agama Islam.
2)
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan Undang-undang di wilayah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus.
3)
Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan
bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam sebagai lembaga
perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi yang menjunjung tinggi
nilainilai syariat Islam.
Dalam
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi di
Nanggroe Aceh Darussalam dibentangkan empat keistimewaan yang dimiliki Aceh
yaitu:
1.
Penerapan Syariat Islam diseluruh
aspek dalam kehidupan beragama;
2.
Penggunaan kurikulum pendidikan
berdasarkan syariat Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum;
3.
Pemasukan unsur adat dalam
struktur pemerintahan desa, misalnya penyebutan kepala desa menjadi keuchik (lurah)
dan mukim untuk kumpulan beberapa desa,
4.
Pengakuan peran ulama dalam
penetapan kebijakan daerah.
3.
Pengaturan
Pidana Badan Dalam Berbagai Tindak Pidana di Nanggroe Aceh Darussalam
Pengaturan
tentang pidana badan di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat dalam beberapa qanun
yang menerapkan pidana Islam dalam menentukan ‘uqubat (sanksi). ‘Uqubat ini
dapat berupa ‘uqubat hudud (jenis dan ketentuannya jelas diatur dalam
Alqur’an) ataupun berupa ‘uqubat ta’zir (jenis dan ketentuannya
berdasarkan pertimbangan hakim sepenuhnya). Adapun beberapa jenis tindak pidana
di Nanggroe Aceh Darussalam yang dapat dipidana cambuk yaitu, diantaranya:
a.
Tindak Pidana Di Bidang Khamar
(minuman keras dan sejenisnya)
b.
Tindak Pidana di Bidang Maisir
(perjudian)
c.
Tindak Pidana Di Bidang Khalwat
( Mesum)
d.
Tindak Pidana di Bidang
Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
e.
Tindak Pidana di Bidang
Pengelolaan Zakat
4.
Lembaga-lembaga
Penerapan Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussslam
a.
Dinas Syariat
Islam
Dinas
Syariat Islam ini merupakan merupakan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana
syari’at Islam di lingkungan Pemerintah Derah Nanggroe Aceh Darussalam yang
kedudukannya berada di bawah Gubernur. Dinas ini dipimpin oleh seorang Kepala
dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui
Sekretaris Daerah. Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi:
a)
Sebagai pelaksana tugas yang
berhubungan dengan perencanaan, penyiapan kanun yang berhubungan dengan
pelaksanaan syari’at Islam serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan
hasilhasilnya.
b) Pelaksanaan
tugas yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang
berhubungan dengan pelaksanaan Syari’at Islam.
c) Pelaksanaan
tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan
dan penataan sarananya serta penyemarakan syi’ar Islam
d) Pelaksanaan
tugas yang berhubungan dengan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
Syariat Islam ditengah-tengah masyarakat, dan
e)
Pelaksanaan tugas yang
berhubungan bimbingan dan dan penyuluhan syari’at Islam.
Untuk
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas Dinas Syariat Islam mempunyai
kewenangan:
a)
Merencanakan program penelitian
dan pengembangan unsur-unsur syari’at Islam.
b)
Melestarikan nilai-nilai Islam.
c)
Mengembangkan dan membimbing
pelaksanaan syari’at Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah,
mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi munkar,
baitul mal, kemasyarakatan, syari’at Islam, pembelaan islam, qadha, jinayat,
munakahat dan mawaris.
d)
Mengawasi terhadap pelaksanaan
syari’at Islam.
e)
Membina dan mengawasi terhadap
Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ).
b.
Wilayatul
Hisbah.
Wilayatul
Hisbah (WH) adalah sebagai badan yang melakukan pengawasan, pemberi ingat dan
pencegahan atas pelanggaran syari’at Islam. Mengenai struktur, kewenangan
ataupun mekanisme kerja badan ini akan ditetapkan dengan peraturan lain yang
diatur dalam qanun. Dalam Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata cara Kerja Wilayatul Hisbah
dalam Bab II Pasal 2 menyebutkan bahwa susunan organisasi Wilayatul Hisbah,
terdiri atas;
a)
Wilayatul Hisbah Tingkat
Provinsi;
b)
Wilayatul Hisbah Tingkat
Kabupaten/Kota;
c)
Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamatan,
dan
d)
Wilayatul Hisbah Tingkat
Kemukuman.
c.
Lembaga
Kepolisian.
Lembaga
Kepolisian di sini adalah lembaga kepolisian yang terdapat di Nanggroe Aceh
Darussalam. Lembaga Kepolisian mempunyai peran pada proses peradilan dalam
rangka melaksanakan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Lembaga
Kepolisian yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam haruslah mengerti dan memahami
karakter kebiasaan dan budaya yangtumbuh dan berkembang di Nanggroe Aceh
Darussalam. Kepolisian bertugas untuk melakukan penyidikan dalam hal terjadinya
tindakan pelanggaran terhadap qanun-qanun yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam,
yang dalam hal ini di perbantukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang
berwenang untuk itu.
d.
Lembaga
Kejaksaan.
Lembaga
Kejaksaan merupakan Lembaga Kejaksaan yang berada di bawah naungan Kejaksaan
Agung Republik Indonesia, yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Kejaksaan
bertugas melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum
temasuk pelaksanaan syari’at Islam. Wewenang jaksa di Nanggroe Aceh Darussalam
sama halnya dengan wewenang jaksa yang diatur dalam Undang-undang, yaitu
melakukan penuntutan terhadap perkara pidana terhadap pelanggar yang melanggar
ketentuan pidana yang diatur dalam qanun dan melakukan eksekusi terhadap
keputusan hakim setelah mempunyai kekuatan hukum tetap.
e.
Mahkamah
Syari’ah.
Mengenai
kewenangan Mahkamah Syari’ah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada qanun
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tentang Peradilan Syari’at Islam yang diatur
dalam Qanun No. 10 Tahun 2002, dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa perkara-perkara
dibidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum perikatan dan hukum
harta benda serta perkara-perkara dibidang pidana yang meliputi; Qishas-Diyat,
Hudud dan Ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syari’ah.
Dalam
Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan
yang dibentuk dengan qanun ini sertam melaksanakan syari’at Islam dalam wilayah
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam ayat (2) pelaksanaan kewenangan Mahkamah
Syariah bebas dari pengaruh pihak manapun, sedangkan ayat (3) dijelaskan bahwa
Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan
dari Pengadilan Agama yang telah ada.
5.
Prosedur Pelaksanaan Pidana Badan
Di Nanggroe Aceh Darussalam.
Proses
hukum acara dalam qanun-qanun syari’ah sebagian besar proses peradilan pada
tiap-tiap tingkat lembaga peradilan masih menggunakan hukum acara yang terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam proses penyidikan dan
penuntutan terhadap pelanggaran pidana dalam qanun-qanun syari’ah dilakukan
berdasarkan PeraturanPerundang-undangan yang berlaku saat ini secara nasional,
sepanjang dalam qanun belum diatur tentang hukum acaranya tersendiri. Penyidik
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri
Sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan di bidang
syari’at, yang dalam hal ini adalah pejabat penyidik dari lembaga Pejabat
Penyidik dari lembaga Wilayatul Hisbah.
6.
Pidana Badan
(Pidana Cambuk) dan Danpaknya terhadap Pelanggaran.
Pengaturan
dan penerapan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dengan mengatur pidana
badan sebagai sanksi pidana atas pelanggaran pasal-pasal tertentu di dalam
qanun-qanun pidana, baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada
tingkat pelanggaran terhadap norma-norma adat dan hukum di dalam masyarakat. Dari
beberapa perkara jinayat yang diterima pada mahkamah syar’iyah Se-
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Januari 2005 sampai dengan Januari 2006 di atas
menjerat 41 pelaku di bidang khamar, 151 di bidang maisir, 16 pelaku di bidang
khalwat di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam.
Pelaksanaan
pidana badan (cambuk) di Aceh melalui qanunqanun syari’ah juga terbukti
menjauhkan peluang terjadinya main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat karena dianggap bertentangan dengan kaidah-kaidah norma yang hidup
di dalam masyarakat atau dikarenakan kurang berfunsinya hukum yang ada. Jauh
sebelum qanun-qanun pidana dibentuk ada beberapa kebiasaan yang tumbuh di
masyarakat terhadap pelanggar-pelanggar norma dalam masyarakat khususnya
pelanggaran terhadap ketentuan dalam bulan Ramadahan, seperti makan dan minum
di depan publik pada hari di bulan Ramadhan atau berjualan makanan (warung
makan) pada hari-hari di bulan Ramdahan, kebiasaan ini seperti mengarak atau
memandikan para pelanggar di pusat-pusak keramaian kota. Dan perlakuan ini
meningkat drastis selama Gerakan Aceh Mmerdeka begitu dominan di Nanggroe Aceh
Darussalam dan pada berbagai pelanggaran seperti perzinahan, pengguna obat-obat
terlarang (ganja) dan khalwat.
7.
Hambatan Penerapan Pidana Badan
Di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada umumnya
para aparat yang berwenang berependapat bahwa pelaksanaan syari’at Islam di
Aceh masih terdapat beberapa kekurangan di mana-mana yang berimbas pada
terhambatnya pelaksanaan syari’at Islam. Menurut Radja Radan yang merupakan
Kasubdin Pengendalian dan Pengawasan Syari’at Islam Dinas Syari’at Islam Kota
Banda Aceh, berpendapat bahwa ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan syaria’at
Islam di Aceh antara lain adalah qanun. Menurutnya belum sempurnanya qanun
menjadi salah satu penghambat pelaksanaan tersebut. Pendapat ini juga diperkuat
oleh beberapa penyidik
Kepolisian dan
oleh pihak Polisi Syari’ah (WH). Menurut mereka pelaksanaan syari’at
Islam ini masih sangat banyak hambatannya terutama karena belum sempurnanya
qanun yang berpengaruh besar pada tahap pelaksanaannya. Salah satu kelemahan
qanun adalah belum diaturnya tentang penahanan terhadap para tersangka
pelanggar yang dijerat dengan pasal pidana yang mengatur cambuk sebagai
sanksinya. Walaupun dalam beberapa qanun pada pasal mengenai ketentuan
peralihan menyatakan bahwa;
” Sebelum adanya hukum acara yang diatur
dalam qanun tersendiri, maka hukum acara yang diatur dalam Undangundang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan
perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam qanun
ini”.
8.
Pengaturan dan
Pelaksanaan Pidana Badan Dilihat Dari Segi
Perbandingan
Di Beberapa Negara.
a.
Pengaturan dan Pelasanaan Pidana
Badan di Kepulauan Fiji. Pidana badan di Fiji merupakan jenis pidana yang
diberikan di samping pidana penjara dan denda yaitu pemukulan atau pencambukan
dengan rotan. Pidana badan ini di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Fiji yang terdapat dalam Bab. VI
tentang
jenis-jenis pidana, di samping jenis pidana lain.
b.
Pengaturan Dan Pelaksanaan Pidana
Badan di Malaysia. Di Malaysia
pidana badan diatur dalam beberapa undangundang. Diantaranya terdapat dalam
beberapa pasal Undang-undang No. 574 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Malaysia.
1) Pasal 324, melakukan penyerangan dengan menggunakan senjata atau alat
berbahaya. Barangsiapa kecuali dalam tindakan Pasal 334, dengan sengaja
menyebabkan luka dengan menggunakan alat apapun untuk menembak, menikam, atau
memotong, atau alat apapun yang digunakan untuk menyerang, yang dapat
menyebabkan kematian, atau menggunakan api atau unsur yang dipanaskan, atau menggunakan
racun atau menggunakan alat yang bersifa menghancurkan, atau menggunakan bahan
peledak, atau dengan alat apapun yang mengandung unsur yang dapat mengganggu
tubuh manusia dengan menghisap, menelan, atau untuk dimasukkan kedalam darah,
atau dengan menggunakan binatang, dipidana dengan pidana penjara maksimal 3
tahun atau dengan denda atau dengan cambukan atau dengan pidana manapun dua
diantaranya. 2) Pasal 326, barangsiapa kecuali dalam tindakan yang dimaksud dalam
Pasal 335, dengan sengaja menyebabkan luka parah dengan menggunakan senjata
atau alat berbahaya (seperti yang disebutkan dalam Pasal 325). Dipidana
maksimal 20 tahun penjara dan dapat dikenakan denda atau cambuk.
c.
Pengaturan Dan Pelaksanaan Pidana
Badan Di Singapore. Terdapat
tiga konteks pidana cambuk di Singapore. Pertama hukuman cambuk ditujukan
pada anak laki-laki sebagai bentuk disiplin dalam rumah tangga, 20% orang tua
di Singapore menggunakan pidana cambuk sebagai pelajaran untuk anak mereka
(namun sebagian besar orang tua enggan menggunakan bentuk hukuman ini sebagai
pelajaran. Straits Times, 17 September 2004). Kedua, pidana ini
adalah bagian dari pendisiplinan disekolah menengah sebagai suatu tradisi
inggris yang menghukum anak laki-laki dengan rotan, dan dipukulkan pada bagian
pantatnya dengan celana yang terbuka pada bagian tersebut. Ketiga,
pidana formal yang diberikan pada pelaku kejahatan (laki-laki) berdasarkan
putusan hakim.
d.
Pengaturan Dan Pelaksanaan Pidana
Badan Di Saudi Arabia dan Iran
Hukum
Pidana di Saudi Arabia adalah hukum pidana Islam yang pembagiannya kategori tindak
pidananya dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
1.
Hudud; yang meliputi
pencurian, mengkonsumsi minuman keras (alkohol), penistaan terhadap agama
Islam, perzinahan di luar nikah dan permukahan.
2.
Ta’zir; merupakan
tindak pidana atau pelanggaran ringan yang jenis pidannya ditetapkan oleh
hakim.
3.
Qisash, tindak pidana
yang berhubungan dengan qisash ini seperti pembunuhan atau perlukaan. Qisash
ini merupakan suatu format pidana yang diberikan pada pelaku untuk
memenuhi/mengganti kerugian yang ditimbulkan terhadap korban ataupun
keluarganya. Pidana ini memberikan kesempatan pada korban untuk membalaskan
perbutan pelaku terhadap korbannya dengan perbuatan yang sama terhadap pelaku.
Seperti pembunuhan maka akan dibalas dengan pembunuhan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Islam Iran, tindak pidana yang diancamkan dengan pidana badan antara lain,
tindak pidana perzinahan, sodomi, penggermoan, tuduhan perzinahan (li’an),
lesbian, perlukaan (yang berhubungan dengan qisash), mabuk mabukan,
penghinaan terhadap pejabat negara, tindak pidana yang berhubungan dengan
pornografi, memfitnah.
Dari
pelaksanaan di atas terdapat beberapa keasamaan antara pelaksanaan pidana
cambuk di Iran maupun Di Nanggroe Aceh Darussalam, yakni pada posisi terpidana,
terpidana perempuan dicambuk dalam posisi duduk dan laki-laki dicambuk dalam
posisi berdiri. Namun, dalam pengaturan pelaksaan cambuk di Nanggroe Aceh
Darussalam tidak diatur tentang keadaaan, cuaca atau suhu udara pada saat
pelaksanaan cambuk. Selama ini pelaksanaan cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam,
dilaksanakan pada tempat terbuka, namun pada beberapa pelaksanaan cambuk di
beberapa kabupaten, pelaksanaannya dilakukan di atas panggung yang dilengkapi
tenda sebagai atapnya.
4.
KESIMPULAN.
Pengaturan
pidana badan di Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam beberapa qanun yang
memuat pidana cambuk sebagai salah satu jenis sanksi pidana, di mana pengaturan
dan pelaksanakan menganut sistem hukum pidana Islam. Pidana cambuk ini
diberikan berhubungan dengan tindak pidana yang masuk dalam kategori hudud (ketentuan
delik dan sanksinya sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dengan firman Allah dan telah
ada aturan pelaksanaannya yang ditetapkan Nabi melalui hadist) dan Ta’zir (suatu
delik yang ketentuan pidananya ditetapkan oleh penguasa/hakim, karena tidak ada
ketentuannya dalam al-Qur’an dan hadist).
Penerapan
pidana cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam sangat berpengaruh pada peningkatan
dan penurunan tindak pidana yang diatur dalam qanun-qanun syari’at. Pidana
badan (cambuk) di Nanggroe Aceh Darussalam dikenakan terhadap baik laki-laki
maupun perempuan. Tidak ada spesifikasi batasan umur dalam penjatuhan pidana
badan ini akan tetapi pidana ini hanya bisa dijatuhkan terhadap orang (pelaku)
yang dianggap sudah cukup umur (akhir baligh), dan pidana ini tidak bisa
dikenakan terhadap pelaku yang tidak bermental sehat (tidak waras/gila). Pidana
badan ini hanya dikenakan terhadap pelaku yang beragama Islam yang melakukan
tindak pidana di wilayah hukum Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam
penerapan pidana badan di Nanggroe Aceh Darussalam (pidana cambuk) terdapat
beberapa prosedur eksekusi pidana, yaitu terpidana baru dapat dieksekusi dengan
pidana cambuk jika ada surat izin (rekomendasi) secara tertulis dari dokter
bahwa terpidana cukup sehat untuk menjalani eksekusi, dan saat proses eksekusi
dihadiri oleh dokter untuk memantau keadaan terpidana. Dokter mempunyai
wewenang untuk menghentikan proses eksekusi setiap saat perihal karena keadaan
terpidana tidak memungkinkan lagi untuk dicambuk. Pidana ini dilaksanakan di
tempat terbuka (di depan Masjid Raya) agar menjadi pelajaran moral terhadap
terpidana dan masyarakat luas untuk tidak melakukan tindakan serupa yang
dilakukan oleh terpidana.
Faktor
penghambat dalam pelaksaan cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam adalah belum
adanya qanun tersendiri yang mengatur tentang hukum acaranya dan hanya mengacu
pada KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) sebagai pedoman dalam
beracara. Misalnya tentang proses penahanan, padahal dalam KUHAP yang dapat
ditahan adalah tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau
percobaan maupun memberikan bantuan dalam melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Kebanyakan
pelaku tindak pidana di bidang syari’ah adalah mereka yang diancam dengan
pidana cambuk, di sinilah letak hambatan pelaksanaan karena belum adanya
regulasi yang jelas. Hal ini berakibat dalam proses peradilan seringkali
terdakwa ataupun tersangka bahkan terpidana tidak dapat dihadirkan dalam proses
penyidikan, penuntutan, persidangan ataupun eksekusi karena melarikan diri. Hal
ini dikarenakan belum diaturnya aturan mengenai penahanan pelaku dalam proses
peradilan tersebut. Dalam pelaksanaanya, pidana badan di Nanggroe Aceh
Darussalam telah mampu mencegah atau setidaknya mengurangi pelanggaran
norma-norma adat yang hidup di tenmgah-tengah masyarakat dan telah mampu
meredam euforia masyarakat untuk menerapkan pengadilan jalanan terhadap pelaku
yang dianggap telah melanggar tata norma yang ada di dalam kehidupan masayarakat
Aceh. Hal ini karena aspirasi masyarakat tentang syari’at Islam sebagian telah
ditampung dalam aturan hukum yang jelas yakni Qanun.
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda