Jumat, 11 Februari 2022

PERAN POLRI, KEJAKSAAN DAN MAHKAMAH ADAT ACEH DALAM PENEGAKAN SYARIAT ISLA DI ACEH

 


Tulisan ini telah terbit di Jurnal Ahkam tahun 2019

Silahkan kutip/sitasi dengan menuliskan judul dibawah ini: 

 Ali Geno Berutu, Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum IslamVolume 7, Nomor 2, November 2019: 235-258.

Ali Geno Berutu

Abstark

Lembaga utama yaang sangat berperan dalam penegakan syariat Islam di Aceh adalah Dinas Syariat Islam (DSI), Mahkamah Syar’iyah (MS) dan Wilayatul Hisbah (WH) baik ditingkat provinsi Aceh maupun pada tingkatan kabupaten/kota di Aceh. Yang menjadi pertanyaan dibenak kita selama ini adalah dimanakah peran lembaga penegak hukum yang populer di negeri Indonesia seperti Kepolisan Republik Indonesia dan Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penerapan syariat Islam di Aceh masih dalam lingkup wilayah Kesatuan Republik Indonesia. Artinya bahwa secara hukum di Aceh tidaklah independen secara keseluruhan dalam penegakan hukum tetapi masih dalam lingkup hukum Nasional, sehingga keberadaan Polri dan Kejaksaan tetap akan memberikan perannya dalam penegakan hukum di Aceh khususnya hukum yang bernuansa syariah. Peran lembaga penegak hukum di Aceh selain Mahkamah Syar’iyah dan Wilayatul Hisbah, Polisa dan Jaksa juga disertai dengan lembaga-lembaga non pormal seperti adat yang merupakan salah satu bentuk keistimewaan bagi masyarakat Aceh .

 

Kata Kunci: Syariat Islam, Wilayatul Hisbah, Dinas Syariat Islam, Polosi, Jaksa, MAA

 


A.    Pendahuluan

 

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh secara formal dilakukan setelah keluarnya UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001. Hal mendasar dari kedua  undang-undang ini adalah adanya pemberian kesempatan yang luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri , meggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan bermasyarakat di Aceh.[1] Pengertian syariat Islam di Aceh menurut UU No. 44/1999 adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan,[2] syariat Islam dipraktekkan secara luas mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, politik, ekonomi dan aspek-aspek lainnya.[3]

Pemerintah Provinsi Aceh sendiri memiliki beberapa instrumen untuk mengkodifikasi peraturan syariat Islam secara formal, instrumen hukum tersebut terdiri dari qanun yang membahas masalah-masalah spesifik seputar pemberlakuan syariat Islam.[4] Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut kanun yang artiya undang-undang atau peraturan,[5] sedangkan pengertian qanun dalam kamus bahasa Arab adalah undang-undang, kebiasaan atau adat.[6] Teungku Di Mulek As Said Abdullah mengatakan:

“Hukum Qanun empat perkara, yang pertama hukum, ke dua adat, ketiga qanun, keempat resam. Tempat terbitnya yaitu pada Qur’an dan Hadist dan daripada Ijmak ulama Ahlul Sunnah Waljamaah dan daripada Qiyas”.[7]

Sebagai produk perundang-undangan daerah menyusul diberlakukannya Otonomi Khusus bagi Aceh, maka qanun-qanun tersebut dilindungi oleh undang-undang yakni UU No. 44 tahun 1999, UU No. 18 tahun 2001 dan UU No. 11 tahun 2006.[8] UU No. 44 Tahun 1999 Pasal 12 dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan atau tidak sesuai dengan UU tersebut dinyatakan tidak berlaku. Selain itu Qanun di Aceh juga dilindungi oleh UU Pemerintahan Aceh. Pasal 269 dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-undang Pemerintah Aceh diundangkan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Untuk mendukung kelangsungan pemberlakuan syariat Islam di Aceh, maka Pemerintah Aceh telah membentuk lembaga-lembaga penegak syariat Islam di daerah tersebut seperti, Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar’iyah, Wilayatul Hisbah, Majelis Adat Aceh dan lembaga-lemabga pendukung lainnya.

Untuk mewujudkan peranan syariat Islam yang dicita-citakan secara kaffah di Aceh, maka penerapan syariat Islam diperlukan kesiapan masyarakat dan pembentukan aparat penegak hukum. Sehingga dibentuklah wilayatul hisbah sebagai pengawas terhadap pemberlakuan syariat Islam di Aceh agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Wilayatul Hisbah[9] dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 01 Tahun 2004 dan  mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas Wilayatul Hisbah Provinsi, Wilayatul Hisbah Tingkat Kabupaten/Kota, Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamataan dan Wilayatul Hisbah Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong dan lingkungan-lingkungan lainnya.[10]

Pada tanggal 18 Agustus 2006 telah disahkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, undang-undang ini sebagai pengganti dari UU No. 18 Tahun 2001 yang telah dicabut kembali. UU No. 11 Tahun 2006 ini lahir sebagai implementasi dari nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki Finlandia atau lebih dikenal dengan sebutan “Memorandum of Understanding (MoU) Hensinki”.[11] Di samping mengatur segala macam persoalan pemerintahan Aceh, undang-undang ini juga mengatur tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga yang independen dan Mahkamah Syar’iyah (MS) sebagai bagian dari lingkungan Peradilan Agama.

Dari penejelasan di atas terlihat bahwa lembaga utama yaang sangat berperan dalam penegakan syariat Islam di Aceh adalah Dinas Syariat Islam (DSI), Mahkamah Syar’iyah (MS) dan Wilayatul Hisbah (WH) baik ditingkat provinsi Aceh maupun pada tingkatan kabupaten/kota di Aceh. Yang menjadi pertanyaan dibenak kita selama ini adalah dimanakah peran lembaga penegak hukum yang populer di negeri Indonesia seperti Kepolisan Republik Indonesia dan Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penerapan syariat Islam di Aceh masih dalam lingkup wilayah Kesatuan Republik Indonesia. Artinya bahwa secara hukum di Aceh tidaklah independen secara keseluruhan dalam penegakan hukum di Aceh tetapi masih dalam lingkup hukum Nasional, sehingga keberadaan Polri dan Kejaksaan tetap akan memberikan perannya dalam penegakan hukum di Aceh khususnya hukum yang bernuansa syariah.

Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana peran lembaga penegak hukum di Aceh selain Mahkamah Syar’iyah dan Wilayatul Hisbah disertai dengan lembaga-lembaga non pormal seperti adat yang merupakan salah satu bentuk keistimewaan bagi masyarakat Aceh. Penelitian ini dirumuskan dengan rumusan masalah: Bagaimanakah peran Polri dan Kejaksaan serta lembaga Adat di Aceh dalam penegakan syariat Islam?

 

B.    Pembahasan

Lembaga utama yang paling bertanggungjawab dalam keberhasilan penegakan syariat Islam di Aceh adalah Dinas Syariat Islam. Dinas Syariat Islam bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan mencegah pelanggaran terhadap qanun-qanun syariah. Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan dan bertanggung jawab di bidang pelaksanaan syariat Islam di Aceh.[12]

Sedangkan wewenang Dinas Syariat Islam untuk melaksanakan fungsi sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 adalah sebagai berikut: Merencanakan program, penelitian dan pengembangan unsur-unsur syariat Islam; Melestarikan nilai-nilai Islam; Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan syariat Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, mu’a>malat, akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyah, amarmakruf nahyi munkar, baitulma>l, kemasyarakatan, syi’ar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat dan mawaris; Mengawas terhadap pelaksanaan syariat Islam; dan Membina dan mengawasi terhadap Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ).

Lemabag kedua yang paling berperan dalam penegakan syariat Islam di Aceh adalah Wilayatul Hisbah. Wilayatul Hisbah adalah lembaga atau badan yang berwenang memberitahukan kepada masyarakat tentang peraturan-peraturan yang sudah berlaku dan menyadarkan anggota masyarakat tersebut, agar mematuhi aturan-aturan tersebut supaya tidak dikenakan sanksi atau denda peraturan-peraturan itu (law enforcement).[13] Menurut Muhammad Mubarak, hisbah adalah pengawasan administrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan menugaskan pejabat khusus untuk mengawasi masalah akhlak, agama, ekonomi, tepatnya dalam lapangan sosial secara umum dalam rangka mewujudkan keadilan dan keutamaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam syariat Islam dan tradisi yang diakui oleh segala tempat dan zaman.[14] Sedangkan menurut Qanun No. 11 Tahun 2004 yang dimaksud dengan wilayatul hisbah adalah lembaga pembantu tugas kepolisian yang membantu membina, melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan dapat berfungsi sebagai polisi khusus (polsus) dan PPNS.[15]

Lalu lembaga ketiga yang tidak kalah penting perannya dalam penegakan hukum syariah di Aceh adalah Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah di Aceh merupakan lembaga peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa, peradilan syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang menyangkut wewenang peradilan agama dan merupakan peradilan khusus dalam lingkup peradilan umum sepanjang menyangkut peradilan umum.[16]

Selain ketiga lembaga di atas, ada beberapa lembaga penegak hukum di Aceh yang keberadaannya juga sangat mempengaruhi efektifitas penegakan syariat Islam di Aceh. Ketiga lembaga tersebut adalah Kepolosian Republik Indonesia (POLRI), Kejakasaan dan Mahakamah Adat Aceh (MAA).

1.       Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)

Dalam menjalankan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi memiliki tanggung jawab terciptanya dan terbinanya suatu kondisi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat. Menurut pendapat Subroto Brotodiredja sebagaimana disitir oleh R. Abdusslaam mengemukakan bahwa, keamanan dan ketertiban adalah keadaan bebas dari kerusakan atau kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan memberikan rasa bebas dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga ada kepastian dan rasa kepastian dari jaminan segala kepentingan atau suatu keadaan yang bebas dari pelanggaran norma-norma hukum.[17]

Keberhasilan dan keberlanjutan penerapan syariat Islam di Aceh tidak hanya menjadi beban lembaga-lembaga penegak hukum daerah saja (WH, MS dan DSI), akan tetapi lembaga-lembaga penegak hukum dalam skala nasional-pun ikut dilibatkan seperti halnya lembaga Kepolosian Republik Indonesia melalui Kepolisan Daerah Aceh[18]. Sebagai salah satu lembaga penegak syariat Islam di Aceh, kepolisian memiliki landasan yuridis sebagai dasar dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak syariat Islam. Landasan yuridis tersebut adalah Qanun No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Ruang lingkup pelaksanaan tugas fungsioanl kepolisian di Aceh meliputi tindakan preemtif, preventif dan repressive non-yustisial, dan repressive pro-yustisial di bidang tugas umum Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penegakan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam .[19]

Adapun tugas pokok kepolisian adalah, memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[20] Dalam konteks kepolisian di Aceh, selain mengemban tugas-tugas pokok tersebut, terdapat juga tugas tambahan yang berkaitan dengan penegakan syariat Islam di Aceh (tugas khusus)[21] seperti, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana (jarimah) sesuai dengan peraturan perundang-undangan, qanun bidang syariat Islam, peradatan dan qanun terkait lainnya.[22] Adapun wewenang kepolisian di Aceh adalah melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian Negara Republik Indonesia[23] dan melakukan tindakan sebagaimana dalam qanun bidang syariat Islam dan qanun lainnya.[24]

Dalam Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat secara jelas disebutkan dalam Pasal 6-9 bahwa Polri diberi wewenang bersama dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk melakukan tindakan penyelidik dan penyidikan terhadap setiap orang yang berdiam di Aceh (muslim dan non-muslim) yang diindikasikan telah melakukan pelanggaran terhadap qanun-qanun syariah di Aceh. Selain menerima laporan dari masyarakat tentang adanya jarimah, penyidik Polri juga berwenang untuk melakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.[25] Pasal 9 Qanun Nomor 7 Tahun 2013 penyidik Polri diberi wewenang sebagai berikut[26]:

a.     Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau penyelidik tentang adanya jarimah;

b.     Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;

c.     Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d.    Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e.     Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f.      Mengambil sidik jari dan memotret seorang tersangka;

g.     Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h.    Meminta keterangan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;

i.      Mengadakan penghentian penyidikan;

j.      Menerima salinan berkas perkara dari PPNS;

k.     Mengadakan tindakan lain menurut hukum dan bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

 

2.       Kejaksaan Repiblik Indonesia

Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adapun terkait kedudukan lembaga ini secara rinci diatur dalam UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.[27] Dalam UU ini juga disebutkan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang yang selenggarakan oleh (1) Kejaksaan Agung yang berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. (2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. (3) Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.

Sedangkan tugas pokok kejaksaan di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: (a) melakukan  penuntutan; (b) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (d) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, dan (e) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.[28]

Dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh kedudukan kejaksaan sebagai penuntut umum diatur dalam Qanun No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam dalam bidang Aqidah, Ibadah, Syi’ar Islam. Pasal 16 (1) dijelaskan bahwa penuntut umum adalah jaksa[29] atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh qanun untuk melaksanakan penuntutan dan melaksanakan putusan atau penetapan hakim mahkamah syar’iyah.[30] Adapun wewenang jaksa dalam melakukan fungsinya sebagai penuntut di jelaskan dalam Pasal 17 Qanun No. 11 Tahun 2002 sebagai berikut:

a.      Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;

b.      Mengadakan pra-penuntutan apabila berkas perkara hasil penyidikan terdapat kekurangan disertai petunjuk penyempurnaan;

c.       Membuat surat dakwaan;

d.      Melimpahkan perkara ke mahkamah syar’iyah;

e.      Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada hari sidang yang ditentukan;

f.       Melakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;

g.      Mengadakan tindakan lain dalam lingkungan tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut peraturan perundang-undangan;

h.      Melaksanakan putusan hakim.

Pasal 18 dalam qanun di atas disebutkan penuntut umum menuntut perkara pelanggaran qanun ini yang terjadi dalam wilayah hukumnya. Pasal 19 disebutkan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam qanun ini diperiksa dan diputuskan oleh mahkamah syar’iyah.[31] Sementara itu dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat di jelaskan bahwa jaksa diberi wewenang oleh Qanun Hukum Acara Jinayat untuk melakukan penuntutan serta melaksanakan penetapan dan putusan hakim mahkamah[32] dengan kewenangan sebagai berikut:

a.     Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b.     Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c.     Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan lanjutan dan/atau mengubah satatus tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d.    Membuat surat dakwaan;

e.     Melimpahkan perkara ke mahkamah;

f.      Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa dan saksi tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g.     Melakukan penuntutan;

h.    Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Qanun No. 7 Tahun  2013 dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya; dan

i.      Melaksanakan penetapan dan putusan hakim mahkamah.[33]

 

3.       Majelis Adat Aceh (MAA)

Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang religius, dalam melaksanakan hukum adat, masyarakat Aceh sangat memperhatikan kesesuaian dengan syariat Islam, dalam perspektif masyarakat Aceh, adat haruslah bersendi syara’. Selanjutnya berkenaan dengan hukum Islam, masyarakat Aceh mengamalkan seperti pelajaran yang mereka terima dari guru agama atau ulama.[34]Adat istiadat telah memberikan sumbangan yang tak ternilai harganya dalam kehidupan bersosial–keagamaan di masyarakat Aceh, bahkan adat telah mendapat tempat istimewa dalam perilaku sosial–agama diprovinsi Aceh.[35] Hal ini dibuktikan dengan ungkapan “Hukom Ngon Adat Hanjeut Cre Lagee Zat Ngon Sifeuet”[36] (hukum adat dan agama tidak boleh dipisahkan, ibarat tidak bisa dipisahkannya anatara zat Allah dan sifat-sifatNya).

Dapat dijelaskan bahwa, adat dan budaya orang Aceh tidak lain adalah Islam itu sendiri. Budaya dan Islam di Aceh telah beinteraksi dan ber–asimilasi secara harmonis dalam masyarakat sejak dulu kala. Bentuk kongkrit adat dan budaya di Aceh tidak hanya sebatas sosial saja, akan tetapi telah merambat kebidang-bidang lainnya seperti ekonomi, politik dan hukum. Begitulah pentingnya budaya dan adat bagi masyarkat Aceh sehingga budaya dan adat tersebut diaplikasikan kedalam bentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, hal ini juga tertera dalam kaidah Ushul Fiqihal- Adat al-Muhakkamah” (adat dapat dijadikan sebagi hukum). Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak membonsai apalagi mengkebiri budaya adat setempat, tetapi Islam meberi ruang yang harmonis supaya dapat tumbuh bersama selam adat dan budaya tersebut tidak menyalahi atau bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri.[37]

Hukum adat sebagai suatu sistem hukum yang memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa, hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan dengan sistem hukum lain.[38] Tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan kepada nilai filosofis kebersamaan, pengorbanan, nilai supernatural dan keadilan. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung menggunakan pola adat atau dalam istilah lain yang dikenal dengan sistem “kekeluargaan”, pola seperti ini diterapkan bukan hanya untuk sengketa perdata saja akan tetapi pidana juga termasuk didlamnya.[39]

Di Aceh disamping adanya lembaga hukum formal yang menangani pelanggaran syariat Islam, juga terdapat lembaga informal yaitu lembaga adat yang sangat berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat Aceh. Lembaga adat memiliki landasan hukum yakni Qanun No. 9 Tahun 2008 tentan Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Kedua qanun tersebut di satu sisi menjadi indikasi keseriusan Pemerintah Aceh dalam upaya menjadikan adat yang ada di Aceh berlaku kembali dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan Aceh. Di sisi lain ini juga dapat menjadi sebuah “sentralisasi” yang dilakukan Pemerintah Aceh terhadap pluralitas adat yang ada di berbagai kabupaten di Aceh. Saat ini Aceh memiliki 23 kabupaten/kota yang setiap kabupaten/kota memiliki perkembangan adat tersendiri. Di daerah yang mayoritas dihuni oleh suku Aceh, sekalipun memiliki adat yang khas. Misalnya perkembangan adat yang ada di Aceh Tenggara berbeda dengan adat di Aceh Timur, meskipun pada dasarnya mereka sama-sama Aceh.[40]

Penyelenggaraan kehidupan dalam adat istiadat, daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Kemudian daerah juga dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kemukiman dan kelurahan/desa (gampong).

Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat pada masing-masing daerah, kabupaten, kota, kecamatan, mukim dan gampong.

Adapun lembaga-lembaga adat di Aceh[41] adalah sebagai berikut:

a.     Majelis Adat Aceh;

b.     Imeum Mukim atau nama lain;

c.     Imeum Chik atau nama lain;

d.    Keuchik atau nama lain;

e.     Tuha Peut atau nama lain;

f.      Tuha Lapan atau nama lain;

g.     Imeum Meunasah atau nama lain;

h.    Keujruen Blang atau nama lain;

i.      Panglima Laot atau nama lain;

j.      Pawang Glee/uteun atau nama lain;

k.     Petua Seuneubok atau nama lain;

l.      Haria Peukan atau nam lain; dan

m.   Syahbanda atau nama lain.

Pasal 89 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 menyebutkan bahwa: Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Dalam ayat (2) dijelaskan penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Pasal 99 dijelaskan bahwa: (1) Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe; (2) Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

 

a.     Wewenang Peradilan Adat

Kewenangan atau kompetensi yang dimiliki oleh peradilan adat di Aceh tentu saja tidak setara dengan kompetensi yang dimiliki oleh peradilan negara. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kompetensi Peradilan Adat di Aceh lebih kepada aspek umum dan tidak membedakan jenis perkara perdata dan pidana.[42] Sesuai dengan adanya peran serta dari lembaga adat dalam mewujudkan suatu kesejahteraan bagi masyarakat Aceh, yang telah ada ketentuan yang mengatur sampai dimana lembaga adat boleh mengambil suatu kebijakan untuk menyelesaiakn kasus yang terjadi dalam masyarakat. Kebijakan yang dilakukan oleh lembaga adat tersebut berupa larangan-larangan kepada warga yang melakukan pelanggaran syariat, dalam menyelesaikan sebuah kasus lembaga adat lebih memilih untuk diselesaikan secara kekeluargaan.

Sebagai tindaklanjut berlakunya UUPA telah disahkan Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Qanun tersebut memberikan alternatif untuk mengeleminir kesulitan- kesulitan dalam penyelesaian perkara, yaitu melalui peradilan hukum adat gampong.[43] Penyelesaian semacam ini dalam bahasa sehari-hari disebut dengan penyelesaian secara adat. Lahirnya qanun tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa adat dan adat istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang melahirkan nilai-nilai budaya, norma adat dan aturan yang sejalan dengan syariat Islam yang merupakan kekayaan budaya yang perlu dibina, dikembangkan dan dilestarikan. Upaya-upaya tersebut perlu dilaksanakan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya sehingga dapat memahami nilai-nilai adat dan budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintah Gampong, yang telah menegaskan bahwa salah satu fungsi gampong adalah penyelesaian permasalahan hukum dalam hal adanya persengketaan atau perkara-perkara adat dan adat istiadat di gampong, dimana keuchiek karena jabatannya  (ex officio) bertindak selaku ketua majelis hakim persidangan pada tingkat gampong.

Dalam Qanun No. 9 Tahun 2008 telah diatur secara tegas dalam bab tersendiri mengenai penyelesaian sengketa dan mekanismenya. Pasal 13 ayat (1), ditegaskan bahwa jenis sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi:

1.     perselisihan dalam rumah tangga;

2.     sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;

3.     perselisihan antar warga;

4.     khalwat/meusum;

5.     perselisihan tentang hak milik;

6.     pencurian dalam keluarga  (pencurian ringan);

7.     perselisihan harta sehareukat;

8.     pencurian  ringan;

9.     pencurian ternak  peliharaan;

10.  pelanggaran adat tentang ternak,  pertanian, dan hutan;

11.  persengketaan di laut;

12.  persengketaan di pasar;

13.  penganiayaan ringan;

14.  pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);

15.  pelecehan,  fitnah, hasut, dan pencemaran nama  baik;

16.  pencemaran lingkungan (skala ringan);

17.  ancam  mengancam  (tergantung dari jenis ancaman); dan

18.  perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

Dari pasal di atas, secara tegas telah ditentukan 18 macam perkara yang dapat diselesaikan melalui peradilan adat gampong. Sebagaimana lazimnya dalam paradigma hukum adat, jenis-jenis perkara tidak dibedakan dalam kelompok bidang hukum publik , administratif maupun hukum privat, bagi hukum adat semua jenis perkara adalah bersifat publik atau communal.

 

b.    Bentuk-Bentuk Sanksi Adat

Adapun jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam  penyelesaian sengketa adat menurut Pasal 16 Qanun No. 9 Tahun 2008 adalah nasehat, teguran, pernyataan maaf, sayam,[44]diyat, ganti rugi, dikucilkan oleh masyarakat atau nama lain, dikeluarkan dari masyarakat atau nama lain, pencabutan gelar adat dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat. Satu hal lagi yang membedakan sistem penyelesaian perkara menurut hukum adat Aceh bila di bandingan dengan sistem hukum nasional  adalah ditegaskannya tanggung jawab  keluarga pelanggar atas terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan kepada anggota keluarganya (Pasal 16). Ketentuan tersebut telah mengembangkan paham tanggung jawab sebagaimana selama ini dipraktekkan dalam sistem hukum pidana nasional.  Selama ini, kecuali dalam pidana korporasi, semua tanggungjawab pidana dibebankan secara pribadi pada si terpidana, sebagai tanggung jawab masing-masing atas segala kesalahan atau kejahatannya, tidak dibebankan pada keluarganya.

 

C.    Kesimpulan

Penegakan Syariat Islam di Aceh adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat Aceh secara bersama-sama. Hadirnya lembaga-lemabaga penegak syariat Islam di Aceh bukan berarti tugas penegakan syariat Islam hanya lembaga pemerintahan saja. Keberadaan Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah dan Mahkamah Syar’iyah di Aceh sanagt vital dalam efektifitas penegakan hukum bernuansa syariat di bumi Serambi Mekah. Hal ini menjadikan ketiga lembaga tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam proses penegakan syariat Islam di Aceh, ketiga bersinergi guna untuk memastikan keberlangsungan syariat Islam di Aceh seperti yang telah diamanhkan dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Disamping ketiga lemabag tersebut, tentu masih ada lembaga penegak hukum lainnya di Aceh yang keberadaannya juga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Lembaga tersebut adalah Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Mahkamag Adat Aceh (MAA). Kepolisian Republik Indoneisa melalui Qanun No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Polri diberikan amanat untuk mengawal penegakan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kejaksaan Republik Indonesia juga diberikan peran penting dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku pelanggar Qanun Jinayat di Aceh. Hal tersebut dijelaskan dalam Qanun No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam dalam bidang Aqidah, Ibadah, Syi’ar Islam. Pasal 16 (1) dijelaskan bahwa penuntut umum adalah jaksa. Sedangkan Mahkamah Adat Aceh (MAA) diberikan peran yang lebih luas lagi dalam penegakan syariat Islam di Aceh. Dalam setiap kasus pelanggaran di Aceh yang masuk dalam kategori wewenang peradilan adat (18 kasus) harus diselesaikan terlebih dahulu ditingkat adat sebelum ditindak berdasarkan ketentuan perundang-undangan (qanun) yang berlaku.

D.   Daftar Pustaka

Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.

Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage2(1), pp.87-106.

Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.

Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam16(2).

Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.

Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO4(2), pp.31-46.

Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum14(2), pp.148-169.

Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).

Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam7.

Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.

Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law2(2), pp.202-225.

Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.

Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah9(2).

Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).

Abu Bakar, Al Yasa’. Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja Dengan Kewenangan Khusus di Aceh. Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009.

Abubakar, Al Yasa’. Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005.

Abubakar, Alyasa’. Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2008.

Akli, Zul. “Eksekusi Tindak Pidana Perjudian (Maisir) Di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2.

Aripin, Jaenal. Himpunan UU Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Ali Geno Berutu, Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum IslamVolume 7, Nomor 2, November 2019: 235-258.


Basri, Hasan. “A. Hasjmy (1914-1998) Kajian Sosial-Intlektual Pemikiran Tentang Politik Islam”. Disertasi Sps UIN Jakarta, 2008.

Brotodirejo, Soebroto dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri. Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997.

Djuned, T. Majalah Hukum Kanun: Kanun Arti dan Perkembangnanya. Banda Ach: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 1994.

Fahmi, Chairul. “Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat di Aceh (Kajian terhadap UU No.11 Tahun 2006” Jurnal Tsaqafah, Vol. 8, No. 2, Oktober 2012.

Halim, Marah. “Eksistensi Wilayatul Hisbah Dalam Sistem Pemerintahan Islam”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol.  X, No. 2, Februari 2011.

Hendra, MR,Dede. ”Eksitensi Pelanggar Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam di Propinsi Aceh”. Depok: Tesis UI, 2012.

Hikmawati, Puteri. “Relevansi Pelaksanaan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dengan Hukum Pidana Nasional”, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR-RI, 2007.

Husein, Muhammad. Adat Atjeh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970.

Juniarti, “Peran Strategis Peradilan Adat Di Aceh Dalam Memberikan Keadilan Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal”, Anual International Conference Islamic Studies. AICIS XII.

Kamil, Sukron dkk. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim. Ciputat:CSRS UIN Jakarta, 2007.

Mahdi, “Eksistensi Peradilan Adat Di Aceh”,  Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 2, Desember 2011.

Pemerintah Aceh. Perda No. 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Pemerintah Aceh. Qanun No. 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat Aceh.

Pemerintah Aceh. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.

Pemerintah Aceh. Qanun No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.

Pemerintah Aceh. Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat.

Pol PP dan WH Kota Subulussalam, Kompilasi Hukum Formil dan Materil Tentang Syariat Islam di Aceh. Subulussalam: Pol PP dan WH Kota Subulussalam, 2014.

Republik Indonesia. Uundang-undang  No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Republik Indonesia. Uundang-undang  No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.

Republik Indonesia. Uundang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Smith, Anthony L,. “Aceh: Democratic Times, Authoritarian Solutions”, New Zealand Journal of Asian Studies 4. 2 December, 2002.

Srimulyani, Eka. “Islam, Adat And The State: Matrifocality in Aceh Revisited”, al-Jami‘ah, Vol. 48, No. 2, 2010 M/1431 H, 334.

Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh, Bagian Kedua. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004.

Sugono, Dendi dkk. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Yunus,  Muhammad. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.

 


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda