PERAN POLRI, KEJAKSAAN DAN MAHKAMAH ADAT ACEH DALAM PENEGAKAN SYARIAT ISLA DI ACEH
Ali Geno Berutu
Abstark
Lembaga
utama yaang sangat berperan dalam penegakan syariat Islam di Aceh adalah Dinas
Syariat Islam (DSI), Mahkamah Syar’iyah (MS) dan Wilayatul Hisbah (WH) baik
ditingkat provinsi Aceh maupun pada tingkatan kabupaten/kota di Aceh. Yang
menjadi pertanyaan dibenak kita selama ini adalah dimanakah peran lembaga
penegak hukum yang populer di negeri Indonesia seperti Kepolisan Republik
Indonesia dan Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa penerapan syariat Islam di Aceh masih dalam lingkup wilayah
Kesatuan Republik Indonesia. Artinya bahwa secara hukum di Aceh tidaklah
independen secara keseluruhan dalam penegakan hukum tetapi masih dalam lingkup
hukum Nasional, sehingga keberadaan Polri dan Kejaksaan tetap akan memberikan perannya
dalam penegakan hukum di Aceh khususnya hukum yang bernuansa syariah. Peran
lembaga penegak hukum di Aceh selain Mahkamah Syar’iyah dan Wilayatul Hisbah,
Polisa dan Jaksa juga disertai dengan lembaga-lembaga non pormal seperti adat
yang merupakan salah satu bentuk keistimewaan bagi masyarakat Aceh .
Kata
Kunci: Syariat Islam, Wilayatul Hisbah, Dinas Syariat Islam, Polosi, Jaksa,
MAA
A. Pendahuluan
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh secara formal
dilakukan setelah keluarnya UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001. Hal
mendasar dari kedua undang-undang ini
adalah adanya pemberian kesempatan yang luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri , meggali dan memberdayakan
sumber daya alam dan sumber daya manusia, meningkatkan peran serta masyarakat,
menggali dan mengimplementasikan tata kehidupan bermasyarakat yang
sesuai dengan nilai luhur kehidupan bermasyarakat di Aceh.[1] Pengertian syariat Islam
di Aceh menurut UU No. 44/1999 adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek
kehidupan,[2] syariat Islam dipraktekkan
secara luas mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, politik, ekonomi dan
aspek-aspek lainnya.[3]
Pemerintah Provinsi Aceh sendiri memiliki
beberapa instrumen untuk mengkodifikasi peraturan syariat Islam
secara formal, instrumen hukum tersebut terdiri dari qanun
yang membahas masalah-masalah spesifik seputar pemberlakuan syariat Islam.[4] Qanun dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) disebut kanun yang artiya undang-undang atau peraturan,[5] sedangkan pengertian qanun
dalam kamus bahasa Arab adalah undang-undang, kebiasaan atau adat.[6] Teungku Di Mulek As Said
Abdullah mengatakan:
“Hukum
Qanun empat perkara, yang pertama hukum, ke dua adat, ketiga qanun, keempat
resam. Tempat terbitnya yaitu pada Qur’an dan Hadist dan daripada Ijmak ulama
Ahlul Sunnah Waljamaah dan daripada Qiyas”.[7]
Sebagai produk perundang-undangan daerah
menyusul diberlakukannya Otonomi Khusus bagi Aceh, maka qanun-qanun tersebut
dilindungi oleh undang-undang yakni UU No. 44 tahun 1999, UU No. 18 tahun 2001
dan UU No. 11 tahun 2006.[8] UU No. 44 Tahun 1999 Pasal
12 dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan atau
tidak sesuai dengan UU tersebut dinyatakan tidak berlaku. Selain itu Qanun di
Aceh juga dilindungi oleh UU Pemerintahan Aceh. Pasal 269 dijelaskan bahwa
peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-undang Pemerintah Aceh
diundangkan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang
ini. Untuk mendukung kelangsungan pemberlakuan syariat Islam di Aceh, maka
Pemerintah Aceh telah membentuk lembaga-lembaga penegak syariat Islam di daerah
tersebut seperti, Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar’iyah, Wilayatul Hisbah,
Majelis Adat Aceh dan lembaga-lemabga pendukung lainnya.
Untuk mewujudkan peranan syariat Islam yang
dicita-citakan secara kaffah di Aceh, maka penerapan syariat Islam
diperlukan kesiapan masyarakat dan pembentukan aparat penegak hukum. Sehingga
dibentuklah wilayatul hisbah sebagai pengawas terhadap pemberlakuan syariat
Islam di Aceh agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Wilayatul
Hisbah[9] dibentuk berdasarkan
Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 01 Tahun 2004 dan mempunyai susunan organisasi yang terdiri
atas Wilayatul Hisbah Provinsi, Wilayatul Hisbah Tingkat Kabupaten/Kota,
Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamataan dan Wilayatul Hisbah Kemukiman, bahkan
memungkinkan di bentuk di Gampong dan lingkungan-lingkungan lainnya.[10]
Pada tanggal 18 Agustus 2006 telah disahkan
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, undang-undang ini sebagai
pengganti dari UU No. 18 Tahun 2001 yang telah dicabut kembali. UU No. 11 Tahun
2006 ini lahir sebagai implementasi dari nota kesepahaman antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki Finlandia
atau lebih dikenal dengan sebutan “Memorandum of Understanding (MoU)
Hensinki”.[11]
Di samping mengatur segala macam persoalan pemerintahan Aceh, undang-undang ini
juga mengatur tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga yang
independen dan Mahkamah Syar’iyah (MS) sebagai bagian dari lingkungan Peradilan
Agama.
Dari penejelasan di atas terlihat bahwa
lembaga utama yaang sangat berperan dalam penegakan syariat Islam di Aceh
adalah Dinas Syariat Islam (DSI), Mahkamah Syar’iyah (MS) dan Wilayatul Hisbah
(WH) baik ditingkat provinsi Aceh maupun pada tingkatan kabupaten/kota di Aceh.
Yang menjadi pertanyaan dibenak kita selama ini adalah dimanakah peran lembaga
penegak hukum yang populer di negeri Indonesia seperti Kepolisan Republik
Indonesia dan Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa penerapan syariat Islam di Aceh masih dalam lingkup wilayah
Kesatuan Republik Indonesia. Artinya bahwa secara hukum di Aceh tidaklah
independen secara keseluruhan dalam penegakan hukum di Aceh tetapi masih dalam
lingkup hukum Nasional, sehingga keberadaan Polri dan Kejaksaan tetap akan
memberikan perannya dalam penegakan hukum di Aceh khususnya hukum yang
bernuansa syariah.
Oleh karena itu, tulisan ini mencoba
menguraikan bagaimana
peran lembaga penegak hukum di Aceh selain Mahkamah Syar’iyah dan Wilayatul
Hisbah disertai dengan lembaga-lembaga non pormal seperti adat yang merupakan
salah satu bentuk keistimewaan bagi masyarakat Aceh. Penelitian ini dirumuskan
dengan rumusan masalah: Bagaimanakah peran Polri dan Kejaksaan serta lembaga
Adat di Aceh dalam penegakan syariat Islam?
B. Pembahasan
Lembaga utama yang paling bertanggungjawab
dalam keberhasilan penegakan syariat Islam di Aceh adalah Dinas Syariat Islam. Dinas Syariat
Islam bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan mencegah pelanggaran
terhadap qanun-qanun syariah. Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan
dan bertanggung jawab di bidang pelaksanaan syariat Islam di Aceh.[12]
Sedangkan
wewenang Dinas Syariat Islam untuk melaksanakan fungsi sebagaimana yang
dimaksud Pasal 4 adalah sebagai berikut: Merencanakan program, penelitian dan
pengembangan unsur-unsur syariat Islam; Melestarikan nilai-nilai Islam;
Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan syariat Islam yang meliputi
bidang-bidang aqidah, ibadah, mu’a>malat, akhlak, pendidikan dan
dakwah islamiyah, amarmakruf nahyi munkar, baitulma>l,
kemasyarakatan, syi’ar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat,
munakahat dan mawaris; Mengawas terhadap pelaksanaan syariat Islam; dan
Membina dan mengawasi terhadap Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ).
Lemabag kedua yang paling berperan dalam
penegakan syariat Islam di Aceh adalah Wilayatul Hisbah. Wilayatul Hisbah adalah lembaga atau
badan yang berwenang memberitahukan kepada masyarakat tentang
peraturan-peraturan yang sudah berlaku dan menyadarkan anggota masyarakat
tersebut, agar mematuhi aturan-aturan tersebut supaya tidak dikenakan sanksi
atau denda peraturan-peraturan itu (law enforcement).[13] Menurut Muhammad Mubarak,
hisbah adalah pengawasan administrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah
dengan menugaskan pejabat khusus untuk mengawasi masalah akhlak, agama,
ekonomi, tepatnya dalam lapangan sosial secara umum dalam rangka mewujudkan
keadilan dan keutamaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam
syariat Islam dan tradisi yang diakui oleh segala tempat dan zaman.[14] Sedangkan menurut Qanun No.
11 Tahun 2004 yang dimaksud dengan wilayatul hisbah adalah lembaga pembantu
tugas kepolisian yang membantu membina, melakukan advokasi dan mengawasi
pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan dapat berfungsi sebagai
polisi khusus (polsus) dan PPNS.[15]
Lalu lembaga ketiga yang tidak kalah penting
perannya dalam penegakan hukum syariah di Aceh adalah Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah di Aceh
merupakan lembaga peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama, sesuai
dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menjelaskan bahwa, peradilan syariah di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam merupakan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama
sepanjang menyangkut wewenang peradilan agama dan merupakan peradilan khusus
dalam lingkup peradilan umum sepanjang menyangkut peradilan umum.[16]
Selain ketiga lembaga di atas,
ada beberapa lembaga penegak hukum di Aceh yang keberadaannya juga sangat
mempengaruhi efektifitas penegakan syariat Islam di Aceh. Ketiga lembaga
tersebut adalah Kepolosian Republik Indonesia (POLRI), Kejakasaan dan Mahakamah
Adat Aceh (MAA).
1. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
Dalam menjalankan tugas pokok memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi memiliki tanggung jawab terciptanya
dan terbinanya suatu kondisi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat.
Menurut pendapat Subroto Brotodiredja sebagaimana disitir oleh R. Abdusslaam
mengemukakan bahwa, keamanan dan ketertiban adalah keadaan bebas dari kerusakan
atau kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan memberikan rasa
bebas dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga ada kepastian dan rasa
kepastian dari jaminan segala kepentingan atau suatu keadaan yang bebas dari
pelanggaran norma-norma hukum.[17]
Keberhasilan dan keberlanjutan penerapan
syariat Islam di Aceh tidak hanya menjadi beban lembaga-lembaga penegak hukum
daerah saja (WH, MS dan DSI), akan tetapi lembaga-lembaga penegak hukum dalam
skala nasional-pun ikut dilibatkan seperti halnya lembaga Kepolosian Republik
Indonesia melalui Kepolisan Daerah Aceh[18].
Sebagai salah satu lembaga penegak syariat Islam di Aceh, kepolisian memiliki
landasan yuridis sebagai dasar dalam menjalankan fungsinya sebagai
penegak syariat Islam. Landasan yuridis tersebut adalah Qanun No. 11 Tahun 2004
Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Ruang
lingkup pelaksanaan tugas fungsioanl kepolisian di Aceh meliputi tindakan preemtif,
preventif dan repressive non-yustisial, dan repressive
pro-yustisial di bidang tugas umum Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penegakan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam .[19]
Adapun tugas pokok kepolisian adalah,
memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[20]
Dalam konteks kepolisian di Aceh, selain mengemban tugas-tugas pokok tersebut,
terdapat juga tugas tambahan yang berkaitan dengan penegakan syariat Islam di
Aceh (tugas khusus)[21]
seperti, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana (jarimah)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, qanun bidang syariat Islam,
peradatan dan qanun terkait lainnya.[22]
Adapun wewenang kepolisian di Aceh adalah melakukan tindakan sebagaimana diatur
dalam UU Kepolisian Negara Republik Indonesia[23]
dan melakukan tindakan sebagaimana dalam qanun bidang syariat Islam dan qanun
lainnya.[24]
Dalam Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum
Acara Jinayat secara jelas disebutkan dalam Pasal 6-9 bahwa Polri diberi
wewenang bersama dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk melakukan
tindakan penyelidik dan penyidikan terhadap setiap orang yang berdiam di Aceh
(muslim dan non-muslim) yang diindikasikan telah melakukan pelanggaran terhadap
qanun-qanun syariah di Aceh. Selain menerima laporan dari masyarakat tentang
adanya jarimah, penyidik Polri juga berwenang untuk melakukan
penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.[25]
Pasal 9 Qanun Nomor 7 Tahun 2013 penyidik Polri diberi wewenang sebagai berikut[26]:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
atau penyelidik tentang adanya jarimah;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat
kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan
dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang
tersangka;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
h. Meminta keterangan ahli yang diperlukan dalam
hubungan dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Menerima salinan berkas perkara dari PPNS;
k. Mengadakan tindakan lain menurut hukum dan
bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
2. Kejaksaan Repiblik Indonesia
Kejaksaan
Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adapun
terkait kedudukan lembaga ini secara rinci diatur dalam UU No. 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.[27] Dalam
UU ini juga disebutkan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang yang selenggarakan oleh (1) Kejaksaan Agung yang
berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. (2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan
di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. (3)
Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya
meliputi daerah kabupaten/kota.
Sedangkan
tugas pokok kejaksaan di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
sebagai berikut: (a) melakukan
penuntutan; (b) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan
lepas bersyarat; (d) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang, dan (e) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk
itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.[28]
Dalam
konteks penerapan syariat Islam di Aceh kedudukan kejaksaan sebagai penuntut
umum diatur dalam Qanun No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam
dalam bidang Aqidah, Ibadah, Syi’ar Islam. Pasal 16 (1) dijelaskan bahwa
penuntut umum adalah jaksa[29] atau
pejabat lain yang diberi wewenang oleh qanun untuk melaksanakan penuntutan dan
melaksanakan putusan atau penetapan hakim mahkamah syar’iyah.[30] Adapun
wewenang jaksa dalam melakukan fungsinya sebagai penuntut di jelaskan dalam Pasal
17 Qanun No. 11 Tahun 2002 sebagai berikut:
a. Menerima
dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;
b. Mengadakan
pra-penuntutan apabila berkas perkara hasil penyidikan terdapat kekurangan
disertai petunjuk penyempurnaan;
c. Membuat
surat dakwaan;
d. Melimpahkan
perkara ke mahkamah syar’iyah;
e. Menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu perkara disidangkan yang
disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk
datang pada hari sidang yang ditentukan;
f. Melakukan
penuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;
g. Mengadakan
tindakan lain dalam lingkungan tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
menurut peraturan perundang-undangan;
h.
Melaksanakan putusan hakim.
Pasal 18
dalam qanun di atas disebutkan penuntut umum menuntut perkara pelanggaran qanun
ini yang terjadi dalam wilayah hukumnya. Pasal 19 disebutkan pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam qanun ini diperiksa dan
diputuskan oleh mahkamah syar’iyah.[31]
Sementara itu dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat
di jelaskan bahwa jaksa diberi wewenang oleh Qanun Hukum Acara Jinayat
untuk melakukan penuntutan serta melaksanakan penetapan dan putusan hakim
mahkamah[32]
dengan kewenangan sebagai berikut:
a.
Menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b.
Mengadakan pra-penuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.
Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan lanjutan
dan/atau mengubah satatus tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.
Membuat surat dakwaan;
e.
Melimpahkan perkara ke mahkamah;
f.
Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa dan
saksi tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan
surat panggilan untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g.
Melakukan penuntutan;
h.
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas
dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Qanun No. 7
Tahun 2013 dan/atau peraturan
perundang-undangan lainnya; dan
i.
Melaksanakan penetapan dan putusan hakim
mahkamah.[33]
3.
Majelis Adat Aceh (MAA)
Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang religius,
dalam melaksanakan hukum adat, masyarakat Aceh sangat memperhatikan kesesuaian
dengan syariat Islam, dalam perspektif masyarakat Aceh, adat haruslah bersendi syara’.
Selanjutnya berkenaan dengan hukum Islam, masyarakat Aceh mengamalkan seperti
pelajaran yang mereka terima dari guru agama atau ulama.[34]Adat
istiadat telah memberikan sumbangan yang tak ternilai harganya dalam kehidupan
bersosial–keagamaan di masyarakat Aceh, bahkan adat telah mendapat tempat
istimewa dalam perilaku sosial–agama diprovinsi Aceh.[35] Hal ini
dibuktikan dengan ungkapan “Hukom Ngon Adat Hanjeut Cre Lagee Zat Ngon
Sifeuet”[36]
(hukum adat dan agama tidak boleh dipisahkan, ibarat tidak bisa dipisahkannya
anatara zat Allah dan sifat-sifatNya).
Dapat dijelaskan bahwa, adat dan budaya orang
Aceh tidak lain adalah Islam itu sendiri. Budaya dan Islam di Aceh telah
beinteraksi dan ber–asimilasi secara harmonis dalam masyarakat sejak
dulu kala. Bentuk kongkrit adat dan budaya di Aceh tidak hanya sebatas sosial
saja, akan tetapi telah merambat kebidang-bidang lainnya seperti ekonomi,
politik dan hukum. Begitulah pentingnya budaya dan adat bagi masyarkat Aceh
sehingga budaya dan adat tersebut diaplikasikan kedalam bentuk hukum yang
mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, hal ini juga tertera dalam
kaidah Ushul Fiqih “al- Adat al-Muhakkamah” (adat dapat dijadikan
sebagi hukum). Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak membonsai apalagi
mengkebiri budaya adat setempat, tetapi Islam meberi ruang yang harmonis supaya
dapat tumbuh bersama selam adat dan budaya tersebut tidak menyalahi atau
bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri.[37]
Hukum adat sebagai
suatu sistem hukum yang memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa,
hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan dengan sistem
hukum lain.[38] Tradisi
penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan kepada nilai filosofis
kebersamaan, pengorbanan, nilai supernatural dan keadilan. Penyelesaian
sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung menggunakan pola adat atau dalam
istilah lain yang dikenal dengan sistem “kekeluargaan”, pola seperti ini
diterapkan bukan hanya untuk sengketa perdata saja akan tetapi pidana juga
termasuk didlamnya.[39]
Di Aceh disamping
adanya lembaga hukum formal yang menangani pelanggaran syariat Islam, juga
terdapat lembaga informal yaitu lembaga adat yang sangat berpengaruh pada pola
kehidupan masyarakat Aceh. Lembaga adat memiliki landasan hukum yakni Qanun
No. 9 Tahun 2008 tentan Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Nomor 10 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat.
Kedua
qanun tersebut di satu sisi menjadi indikasi keseriusan Pemerintah Aceh dalam
upaya menjadikan adat yang ada di Aceh berlaku kembali dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari pemerintahan Aceh. Di sisi lain ini juga dapat menjadi
sebuah “sentralisasi” yang dilakukan Pemerintah Aceh terhadap pluralitas
adat yang ada di berbagai kabupaten di Aceh. Saat ini Aceh memiliki 23
kabupaten/kota yang setiap kabupaten/kota memiliki perkembangan adat
tersendiri. Di daerah yang mayoritas dihuni oleh suku Aceh, sekalipun memiliki
adat yang khas. Misalnya perkembangan adat yang ada di Aceh Tenggara berbeda
dengan adat di Aceh Timur, meskipun pada dasarnya mereka sama-sama Aceh.[40]
Penyelenggaraan
kehidupan dalam adat istiadat, daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam
upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di
wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Kemudian daerah juga
dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai
dengan kedudukannya masing-masing di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
kemukiman dan kelurahan/desa (gampong).
Tata cara dan
syarat-syarat penyelesaian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat pada
masing-masing daerah, kabupaten, kota, kecamatan, mukim dan gampong.
Adapun lembaga-lembaga
adat di Aceh[41] adalah
sebagai berikut:
a.
Majelis Adat Aceh;
b.
Imeum Mukim atau nama lain;
c.
Imeum Chik atau nama lain;
d.
Keuchik atau nama lain;
e.
Tuha Peut atau nama lain;
f.
Tuha Lapan atau nama lain;
g.
Imeum Meunasah atau nama lain;
h.
Keujruen Blang atau nama lain;
i.
Panglima Laot atau nama lain;
j.
Pawang Glee/uteun atau nama lain;
k.
Petua Seuneubok atau nama lain;
l.
Haria Peukan atau nam lain; dan
m. Syahbanda atau nama lain.
Pasal 89 ayat (1) UU No. 11
Tahun 2006 menyebutkan bahwa: Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai
wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan
pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban
masyarakat. Dalam ayat (2) dijelaskan penyelesaian masalah sosial
kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Pasal 99 dijelaskan
bahwa: (1) Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan
perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada
nilai-nilai syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe; (2)
Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh
lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe; (3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Qanun Aceh.
a. Wewenang Peradilan Adat
Kewenangan atau kompetensi yang dimiliki oleh
peradilan adat di Aceh tentu saja tidak setara dengan kompetensi yang dimiliki
oleh peradilan negara. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kompetensi
Peradilan Adat di Aceh lebih kepada aspek umum dan tidak membedakan jenis
perkara perdata dan pidana.[42]
Sesuai dengan adanya peran serta dari lembaga adat dalam mewujudkan suatu kesejahteraan
bagi masyarakat Aceh, yang telah ada ketentuan yang mengatur sampai dimana
lembaga adat boleh mengambil suatu kebijakan untuk menyelesaiakn kasus yang
terjadi dalam masyarakat. Kebijakan yang dilakukan oleh lembaga adat tersebut
berupa larangan-larangan kepada warga yang melakukan pelanggaran syariat, dalam
menyelesaikan sebuah kasus lembaga adat lebih memilih untuk diselesaikan secara
kekeluargaan.
Sebagai tindaklanjut berlakunya UUPA telah
disahkan Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat. Qanun tersebut memberikan alternatif untuk mengeleminir
kesulitan- kesulitan dalam penyelesaian perkara, yaitu melalui
peradilan hukum adat gampong.[43]
Penyelesaian semacam ini dalam bahasa sehari-hari disebut dengan penyelesaian secara
adat. Lahirnya qanun tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa adat dan adat
istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga
sekarang melahirkan nilai-nilai budaya, norma adat dan aturan yang sejalan
dengan syariat Islam yang merupakan kekayaan budaya yang perlu dibina,
dikembangkan dan dilestarikan. Upaya-upaya tersebut perlu dilaksanakan secara
berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya sehingga dapat memahami
nilai-nilai adat dan budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 dapat dikatakan
sebagai kelanjutan dari Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintah Gampong,
yang telah menegaskan bahwa salah satu fungsi gampong adalah
penyelesaian permasalahan hukum dalam hal adanya persengketaan atau
perkara-perkara adat dan adat istiadat di gampong, dimana keuchiek
karena jabatannya (ex officio) bertindak selaku ketua majelis
hakim persidangan pada tingkat gampong.
Dalam Qanun No. 9 Tahun 2008 telah diatur
secara tegas dalam bab tersendiri mengenai penyelesaian sengketa dan
mekanismenya. Pasal 13 ayat (1), ditegaskan bahwa jenis sengketa/perselisihan
adat dan adat istiadat meliputi:
1. perselisihan
dalam rumah tangga;
2. sengketa
antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
3. perselisihan
antar warga;
4. khalwat/meusum;
5. perselisihan
tentang hak milik;
6. pencurian
dalam keluarga (pencurian ringan);
7. perselisihan
harta sehareukat;
8. pencurian
ringan;
9. pencurian
ternak peliharaan;
10. pelanggaran
adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
11. persengketaan
di laut;
12. persengketaan
di pasar;
13. penganiayaan
ringan;
14. pembakaran
hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
15. pelecehan,
fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
16. pencemaran
lingkungan (skala ringan);
17. ancam
mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
18. perselisihan-perselisihan
lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Dari pasal di atas, secara
tegas telah ditentukan 18 macam perkara yang dapat diselesaikan melalui
peradilan adat gampong. Sebagaimana lazimnya dalam paradigma hukum adat,
jenis-jenis perkara tidak dibedakan dalam kelompok bidang hukum publik ,
administratif maupun hukum privat, bagi hukum adat semua jenis
perkara adalah bersifat publik atau communal.
b. Bentuk-Bentuk Sanksi Adat
Adapun jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan
dalam penyelesaian sengketa adat menurut Pasal 16 Qanun No. 9 Tahun 2008
adalah nasehat, teguran, pernyataan maaf, sayam,[44]diyat,
ganti rugi, dikucilkan oleh masyarakat atau nama lain, dikeluarkan dari masyarakat
atau nama lain, pencabutan gelar adat dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan
adat setempat. Satu hal lagi yang membedakan sistem penyelesaian perkara
menurut hukum adat Aceh bila di bandingan dengan sistem hukum nasional
adalah ditegaskannya tanggung jawab keluarga pelanggar atas terlaksananya
sanksi adat yang dijatuhkan kepada anggota keluarganya (Pasal 16). Ketentuan
tersebut telah mengembangkan paham tanggung jawab sebagaimana selama ini
dipraktekkan dalam sistem hukum pidana nasional. Selama ini, kecuali
dalam pidana korporasi, semua tanggungjawab pidana dibebankan secara pribadi
pada si terpidana, sebagai tanggung jawab masing-masing atas segala kesalahan
atau kejahatannya, tidak dibebankan pada keluarganya.
C.
Kesimpulan
Penegakan
Syariat Islam di Aceh adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan
masyarakat Aceh secara bersama-sama. Hadirnya lembaga-lemabaga penegak syariat
Islam di Aceh bukan berarti tugas penegakan syariat Islam hanya lembaga
pemerintahan saja. Keberadaan Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah dan
Mahkamah Syar’iyah di Aceh sanagt vital dalam efektifitas penegakan hukum
bernuansa syariat di bumi Serambi Mekah. Hal ini menjadikan ketiga lembaga
tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam proses penegakan syariat
Islam di Aceh, ketiga bersinergi guna untuk memastikan keberlangsungan syariat
Islam di Aceh seperti yang telah diamanhkan dalam Undang-undang Pemerintah Aceh
(UUPA).
Disamping
ketiga lemabag tersebut, tentu masih ada lembaga penegak hukum lainnya di Aceh
yang keberadaannya juga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Lembaga tersebut
adalah Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Mahkamag
Adat Aceh (MAA). Kepolisian Republik Indoneisa melalui Qanun No. 11 Tahun 2004
Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Polri
diberikan amanat untuk mengawal penegakan syariat Islam di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Kejaksaan Republik Indonesia juga diberikan peran penting dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku pelanggar Qanun Jinayat di Aceh. Hal tersebut dijelaskan dalam Qanun No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam dalam bidang Aqidah, Ibadah, Syi’ar Islam. Pasal 16 (1) dijelaskan bahwa penuntut umum adalah jaksa. Sedangkan Mahkamah Adat Aceh (MAA) diberikan peran yang lebih luas lagi dalam penegakan syariat Islam di Aceh. Dalam setiap kasus pelanggaran di Aceh yang masuk dalam kategori wewenang peradilan adat (18 kasus) harus diselesaikan terlebih dahulu ditingkat adat sebelum ditindak berdasarkan ketentuan perundang-undangan (qanun) yang berlaku.
D.
Daftar Pustaka
Abbas,
Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
Abu
Bakar, Al Yasa’. Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja Dengan Kewenangan
Khusus di Aceh. Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009.
Abubakar, Al
Yasa’. Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma
Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2005.
Abubakar,
Alyasa’. Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam, 2008.
Akli, Zul.
“Eksekusi Tindak Pidana Perjudian (Maisir) Di Mahkamah Syar’iyah
Lhokseumawe”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2.
Aripin,
Jaenal. Himpunan UU Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010.
Ali Geno Berutu, Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, Volume 7, Nomor 2, November 2019: 235-258.
Basri, Hasan.
“A. Hasjmy (1914-1998) Kajian Sosial-Intlektual Pemikiran Tentang Politik
Islam”. Disertasi Sps UIN Jakarta, 2008.
Brotodirejo,
Soebroto dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri.
Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997.
Djuned, T. Majalah
Hukum Kanun: Kanun Arti dan Perkembangnanya. Banda Ach: Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala, 1994.
Fahmi, Chairul.
“Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat
di Aceh (Kajian terhadap UU No.11 Tahun 2006” Jurnal Tsaqafah, Vol. 8, No.
2, Oktober 2012.
Halim, Marah. “Eksistensi
Wilayatul Hisbah Dalam Sistem Pemerintahan Islam”, Jurnal Ilmiah Islam
Futura, Vol. X, No. 2, Februari 2011.
Hendra,
MR,Dede. ”Eksitensi Pelanggar Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar Qanun Syariat
Islam di Propinsi Aceh”. Depok: Tesis UI, 2012.
Hikmawati,
Puteri. “Relevansi Pelaksanaan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dengan
Hukum Pidana Nasional”, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
Setjen DPR-RI, 2007.
Husein,
Muhammad. Adat Atjeh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, 1970.
Juniarti, “Peran Strategis Peradilan Adat Di Aceh Dalam
Memberikan Keadilan Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal”, Anual International
Conference Islamic Studies. AICIS XII.
Kamil, Sukron
dkk. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil,
Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim. Ciputat:CSRS UIN Jakarta, 2007.
Mahdi, “Eksistensi Peradilan Adat Di Aceh”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.
8, No. 2, Desember 2011.
Pemerintah
Aceh. Perda No. 33 Tahun 2001
Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam
Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Pemerintah
Aceh. Qanun No. 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat Aceh.
Pemerintah
Aceh. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akidah,
Ibadah dan Syi’ar Islam.
Pemerintah
Aceh. Qanun No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam.
Pemerintah
Aceh. Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat.
Pol PP dan WH
Kota Subulussalam, Kompilasi Hukum Formil dan Materil Tentang Syariat Islam
di Aceh. Subulussalam: Pol PP dan WH Kota Subulussalam, 2014.
Republik
Indonesia. Uundang-undang No. 16 Tahun
2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Republik
Indonesia. Uundang-undang No. 18 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh
Darussalam.
Republik
Indonesia. Uundang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Smith,
Anthony L,. “Aceh: Democratic Times, Authoritarian Solutions”, New Zealand
Journal of Asian Studies 4. 2 December, 2002.
Srimulyani,
Eka. “Islam, Adat And The State: Matrifocality in Aceh Revisited”, al-Jami‘ah, Vol. 48, No. 2,
2010 M/1431 H, 334.
Sufi, Rusdi
dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh, Bagian Kedua. Banda Aceh:
Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004.
Sugono, Dendi
dkk. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008.
Yunus, Muhammad. Kamus Arab-Indonesia.
Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.
Label: HUKUM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda