QANUN ACEH NO. 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT DALAM PANDANGAN FIK{IH DAN KUHP
Tulisan ini telah terbit di jurnal Muslim Heritage tahun 2017
Silahkan kutip/sitasi dengan mencantumkan judul dibawah ini:
Ali Geno Berutu, Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, Vol. 2 No. 1 Tahun 2017, hal 87-106.
Ali
Geno Berutu
Sekolah
Pascasarjana (SPs)
UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Email:
ali_geno@ymail.com
Abstrak
Larangan khalwat merupakan pencegahan dini terhadap perbuatan
zina, karena perbuatan zina pada dasarnya
di mulai dari hal-hal yang mengarah kepadanya. Pengesahan Qanun No. 14 Tahun
2003 tentang Khalwat pada
awal penerapan syariat Islam di Aceh sebagai qanun dalam bidang jina>ya>t
bukannya tanpa alasan, pemilihan qanun tersebut sekurang-kurangnya memiliki dua
alasan. Alasan yang pertama, perbuatan khalwat mmerupakan bentuk maksiat
(haram) dalam syariat Islam dan sangat meresakan masyarakat namun belum
tertangani dengan baik. Kedua, adanya euforia di dalam lapisan
masyarakat dalam bentuk “peradilan rakyat” terhadap jenis yang diatur
dalam qanun jina>ya>t ini, guna untuk menghindari main hakim
sendiri ditengah-tengah masyarakat, maka Pemerintah Aceh mensahkan Qanun No. 14
Tahun 2003 sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai kekacauan
ditengah-tengah lapisan masyarakat Aceh.
Kata Kunci: Aceh, Qanun, Syariat Islam, Khalwat.
A.
Latar Belakang
Syariat Islam secara formal diimplementasikan di
Aceh setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 44 tahun 1999[1]
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
dikuatkan kembali dalam UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah
Aceh[2]
dan UU No. 11 tentang Pemerintahan Aceh. Berlandaskan UU No. 44 tahun 1999 dan
UU No. 18 tahun 2001, adanya legalitas bagi pemerintah Aceh dalam memformalkan
hukum Islam di daerahnya yang berakibat lahirlah berbagai peraturan daerah yang
populer disebut dengan “Qanun” dalam rangka terlaksananya syariat Islam secara kaffah di Aceh.
Pada awal formalisasi
pemberlakuan syariat Islam di Aceh, Pemerintah Aceh telah mengesahkan tiga
Qanun Jinayat sebagai langkah awal penerapan syariat Islam di Aceh. Ketiga
Qanun Tersebut adalah, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar (miras),
Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir (judi) dan Qanun No. 14 Tahun
2003 Tentang Khalwat (mesum). Pemilihan ketiga qanun tersebut setidaknya
memiliki alasan mendasar bagi pemerintah Aceh, yakni ketiga perbuatan yang
diatur tersebut, merupakan tindakan atau perbuatan yang sering ditemui di
kalangan masrakat, sehingga untuk menghindari main hakim sendiri yang dilakukan
masyarakat kepada pelaku, maka pemerintah Aceh merasa perlu mengaturnya dalam
bentuk qanun, karena pada awal penerapan syariat Islam eupooria masyarakat
begitu besar.
Qanun No. 14 Tahun 2003 merupan salah
satu perbuatan yang dilarang di Aceh dan hukunya haram untuk dilakukan setiap
orang yang berdiam di Aceh. Istilah khalwat berasal dari khulwah dari akar kata khala
yang berarti sunyi atau sepi. Sedangkan menurut istilah, khalwat
adalah keadaan seseorang yang menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain. Khalwat/mesum
adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau
lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi.[3] Sedangkan pengertian khalwat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah berdua-duaan antara laki-laki
dan perempuan yg bukan muhrim di tempat sunyi atau tersembunyi.[4] Adapun khalwat menurut Qanun Nomor
14 Tahun 2003 adalah perbuatan bersunyi-sunyian antara dua orang mukallaf
atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan
perkawinan.[5]
Khalwat (mesum) adalah perbuatan yang dilakukan oleh
dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah (bukan muhrim)
pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di
bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan. Islam dengan
tegas melarang melakukan zina. Sementara khalwat (mesum) merupakan was}ilah atau peluang
untuk terjadinya zina[6],
maka khalwat (mesum) juga termasuk salah satu jari>mah (perbuatan pidana) dan diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r.
Dalam perkembangannya khalwat (mesum) tidak hanya terjadi di tempat-tempat
tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi juga dapat terjadi di
tengah keramaian atau di jalanan atau di tempat-tempat lain, seperti dalam
mobil atau kenderaan lainnya, dimana laki-laki dan perempuan berasyik maksyuk
tanpa ikatan nikah atau hubungan mahram.[7]
Perilaku tersebut juga dapat menjurus pada terjadinya perbuatan zina. Qanun tentang larangan khalwat (mesum) ini
dimaksudkan sebagai upaya preemtif, preventif dan pada tingkat optimum
remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqu>ba>t dalam
bentuk ‘uqu>ba>t ta’zi>r yang
dapat berupa ‘uqu>ba>t cambuk dan ‘uqu>ba>t
denda (g}aramah).
Qanun Khalwat (Mesum) ini, bila dilihat dari
jenis perbuatan melawan hukumnya, bukan suatu hal yang baru. Hal yang sama
ditemui dalam aturan kesusilaan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Terlepas dari kontroversi yang
dimilikinya, KUHP produk kolonial ini jauh-jauh hari telah mengatur soal
kesusilaan. Bahkan jauh lebih rinci dibanding Qanun Khalwat. Dalam qanun
tersebut, khalwat didefinisikan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi
antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim
atau tanpa ikatan perkawainan. Sementara dalam KUHP, hal-hal “kecil” yang
merupakan perbuatan asusila bahkan mendapat hukuman. Pandangan seperti ini
dikemukakan oleh Muhammad Yani dalam tesisnya yang berjudul Pelaksanaan Hukum
Jinayat di Aceh Perspektif Fik}ih dan HAM yang di kutip dari
Komnas Perempuan.[8]
Namun demikian, keduanya tetap memiliki
perbedaan orientasi hukum. Perbuatan khalwat akan
tetap ditindak baik dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun di tempat
tertutup. Artinya, orientasi hukum pengaturan khalwat adalah untuk
kemaslahatan dan kemanfaatan pribadi seseorang dan juga orang lain. Manfaat
pribadi agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan
zina yang
dilarang oleh agama dan mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari.
Sementara manfaat bagi orang lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai
bentuk kegiatan dan atau perbuatan yang merusak kehormatan. Sebagaimana
dikemukakan pada Pasal 3 Qanun Nomor
14 Tentang Khalwat, tujuan larangan khlawat adalah untuk
melindungi masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah
kepada zina dan merusak kehormatan dan melindungi masyarakat dari berbagai
bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan.
Dari latar belakang masalah di atas, maka
permasalah utama dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana
dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 bila ditinjau dari konsep fik{ih dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?
A.
Metodologi
Penelitian
Penelitian ini bersumber dari penelitian lapangan (field
research) dan penelitian kepustakaan (library research) dengan
metode kualitatif dan menggunakan pendekatan sosio-legal-historis.
Pendekatan sosiologis digunakan untuk mengamati dan mengetahui bagaimana
peran hukum terhadap perilaku sosial ditengah masyarakat, pendekatan yuridis/legal
digunakan untuk melihat hukum sebagai law in action, dideskripsikan
sebagai gejala sosial yang empiris. Dengan demikian hukum tidak sekedar
diberikan arti sebagai jalinan nilai-nilai, keputusan pejabat, jalinan kaidah
dan norma, hukum positif tertulis, tetapi juga dapat diberikan makna sebagai
sistem ajaran tentang kenyataan, perilaku yang teratur dan ajeg atau
hukum dalam arti petugas. Penelitian hukum empiris ini tidak hanya
tertujuan pada warga-warga masyarakat, akan tetapi juga pada penegak hukum dan
fasilitas yang diharapkan menunjang pelaksanaan peraturan tersebut.[9] Pendekatan historis
digunakan sebagai perbandingan terhadap pemberlakuan Qanun Aceh di Kota
Subulussalam, sebelum dan sesudah pemberlakuan UU No. 44 tahun 1999 sebagai
dasar penerapan syariat Islam di Aceh.
PEMBAHASAN
B.
Khalawat Dalam Pandangan Fik}ih
Bila kita
mengkaji kepada hukum Islam (fik}ih) pelanggaran zina merupakan salah
satu prinsip dasar (al-huqu>q al-isla>mi>yah) yang memiliki
kaitan dengan hak asasi manusia (yakni hak atas setiap manusia untuk tumbuh dan
berkembang secara layak) dan jaminan untuk setiap manusia atas kehidupan, masa
depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas (hifz}
al-nasl).[10]
Islam dengan tegas melarang melakukan zina, sementara khalwat/mesum
merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina, hal ini mengindikasikan bahwa
perbuatan zina terjadi disebabkan adanya perbuatan lain yang menjadi
penyebab terjadinya zina,[11] maka khalwat
(mesum) juga termasuk salah satu jari>mah (perbuatan
pidana) dan diancam dengan ‘uqu>bat ta’zi>r. Khalwat dilarang dalam Islam karena perbuatan ini bisa menjerumuskan
orang kepada zina, yakni hubungan suami istri di luar perkawinan yang
sah.[12] Larangan zina terdapat dalam
surat al-Isra’ ayat 32:
...dan janganlah
kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Ayat di atas mengharamkan dua hal
sekaligus: (a) zina;
dan (b) segala perilaku yang mendekati perbuatan zina termasuk di
antaranya adalah berduaan antara dua lawan jenis yang bukan mahram yang
disebut dalam istilah bahasa Arab dengan khalwat dengan yang selain mahram.[13] Dalam beberapa hadist, Nabi Muhammad s.a.w juga
menunjukkan batas-batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya.
adapun hadist tentang larangan berduan yang bukan muhrim adalah sebagai
berikut:
a.
Larangan nabi terhadap
seorang perempuan berhubungan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya
tanpa ditemani oleh muhrim si wanita.
Dari
ibnu Abbas RA, Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah sekali-kali salah
seorang di antara kalian berkhalwat (berduaan) dengan perempuan lain, kecuali
disertai muhrimnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
b.
Nabi melarang khalwat dengan wanita yang sudah dipinang, meski Islam
membolehkan laki-laki memandang perempuan yang dipinangnya untuk meyakinkan
dan memantapkan hatinya.
Diriwayatkan
dari Ibn ‘Umar r.a: Nabi Saw melarang seseorang berusaha membatalkan
persetujuan yang telah dibuat diantara sejumlah orang dengan menawarkan barang
dagangannya. Dan seorang leki-laki tidak boleh meminang perempuan yang telah
dipinang oleh saudaranya sesama Muslim, kecuali apabila ia meninggalkan
pinangannya atau mengizinkan ia meminangnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
c.
Nabi melarang seorang
laki-laki masuk ke rumah wanita yang tidak bersama muhrimnya atau orang
lainnya.
Diriwayatkan
dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.a Rasulullah Saw bersabda , “ hati-hatilah masuk ke
rumah seorang perempuan.” Bagaimana dengan Al-Hamu?” Nabi Saw, bersabda,
“al-hamu (kakak ipar istri) adalah maut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
d.
Larangan nabi tentang
berduaan tanpa didampingi muhrim.
لَا يَخْلُوَنَّ
أَحَدُكُمْ بِاِمْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua”.
Berkata Al-Munawi mengenai hal ini,
menurut beliau maksudnya adalah syaitan menjadi penengah (orang ketiga)
diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan
menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu
dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah di
hadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaithan pun menyatukan mereka berdua
dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada
perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina
yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinaan.[16]
As-Syaukani berkata, sebabnya
adalah lelaki senang kepada wanita karena demikanlah ia telah diciptakan
memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena sifat yang telah
dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang
kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam
dirinya. Oleh karena itu shaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat
yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.[17]
Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang
diperbolehkan,
1.
Khalwat
yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi s.a.w bersama
seorang wanita,[18]
yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak
tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan
Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi s.a.w berkhalwat dengan wanita tersebut
hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi s.a.w tatkala itu, namun
Nabi s.a.w berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang
disekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang
berlangsung antara Nabi s.a.w dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas
mendengar akhir dari pembicaraan Nabi s.a.w dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya
(meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara
Nabi s.a.w dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya”.[19]
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini (yaitu
hadits Anas di atas) menunjukan akan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang
wanita ajnabiah (bukan mahram) dengan pembicaraan rahasia (diam-diam), dan hal
ini bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika ia aman dari
fitnah. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Aisyah وأيكم يملك
إربه كما كان النبي يملك إربه
“Dan siapakah dari kalian yang mampu menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menahan syahwatnya”[20]
2.
Khalwat
yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita
sehingga tertutup dari pandangan manusia.[21] Syaikh Sholeh Alu Syaikh
berkata: “Khalwat yang diharamkan adalah jika
disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang
semisalnya atau tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang
terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya.”
Jadi khalwat yang diharamkan ada dua bentuk sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dan bukanlah merupkan kelaziman bahwa
ruangan yang tertutup melazimkan juga tertutupnya dari pandangan khalayak. Khalwat merupakan penyakit sosial yang selalu ada
disetiap ruang dan waktu kehidupan manusia, namun demikian hal itu dapat
ditekan setidaknya dengan cara-cara sebagai berikut:[22]
1.
Memberikan pendidikan moral bagi kaum perempuan, khususnya remaja
putri yang dapat menebalkan keimanan dan ketebalan mental mereka;
2.
Pemerintah harus menegakkan hukum sebagaimana mestinya, jika sanksi hukum
positif terlalu ringan sehingga tidak dapat menimbulkan efek jera, maka sudah
selayaknya untuk menjadikan konsef hukum pidana Islam sebagai pedoman.
Prilaku merupakan bentuk karakter yang
diperankan oleh setiap individu yang di pilih, tidak muncul kebetulan untuk
memperoleh,[23] setiap prilaku yang diperankan oleh setiap
individu adalah perwujudan dan akumulasi dari pengetahuan, norma, nilai dari
lingkungannya. Pada karakter ini remaja seringkali memposisikan dirinya sebagai
bagian dari kelompoknya baik dalam bergaul, belajar dan dalam berbagai
kecendrungan berprilaku akibat pengaruh external.
C.
Khalwat Dalam Pandangan KUHP
Dalam KUHP perbuatan asusila akan ditindak sebagai
pelanggaran hukum ketika
dilakukan di muka umum. Sementara jika dilakukan ditempat tertutup tidak lagi
menjadi obyek hukum. Orientasi hukum pidana tentang pengaturan kesusilaan ini
mengarah pada upaya melindungi orang lain untuk tidak terganggu atau
terpengaruh oleh tindakan yang menyebabkan timbulnya birahi orang lain.
Perbandingan antara Qanun Khalwat
dan KUHP itu menunjukkan bahwa secara materil pengaturan khalwat tidak
memiliki justifikasi dari produk perundang-undangan di atasnya. Bahkan
dalam konsideran qanun tersebut tidak disebutkan KUHP sebagaimana ulasan
di atas, padahal KUHP juga mengatur hal serupa. Konsideran utama yang
disebutkan qanun itu adalah al-Qur’an dan
Sunnah serta Qanun No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Karena
itu, secara materil qanun ini hanya memiliki justifikasi syariat
Islam semata, meskipun ia tetap tidak bisa
dipersoalkan (uji materil) karena berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No.
18 Tahun 2001, Aceh ditetapkan sebagai daerah yang diperintahkan
oleh hukum untuk menjalankan syariat Islam.[24]
Jika Qanun Khamar
dan Maisir dianggap tidak mengalami kontradiksi dengan
perundang-undangan lainnya, maka Qanun Khalwat mengalami kontradiksi
dengan perundang-undangan lainnya. Pembatasan jenis tindak pidana khalwat yang
sangat luas berimplikasi pada penafsiran hukum yang
sangat liar. Pengaturan khalwat ini jika dihadapkan pada UU tentang Hak
Asasi Manusia, UU Ratifikasi CEDAW jelas-jelas mengalami kontradiksi
yang signifikan.[25]
Jika di satu sisi kehadiran Qanun Khlawat
dianggap memiliki justifikasi politik, karena ia merupakan manifestasi dari
pendelegasian kewenangan dalam penyusunanan peraturan daerah, sebagaimana
diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001 Tentang OTSUS bagi
Aceh, maka di sisi lain ruang untuk mempersoalkan
kontradiksi yang diidap dalam qanun juga dibenarkan oleh UU yang sama.
UU OTSUS memang tidak membatasi secara tegas kewenangan penyusunan peraturan
daerah oleh otoritas Aceh, misalnya dengan memagari bahwa setiap produk
peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan UU HAM, UU Ratifikasi CEDAW
dan lain sebagainya. Tapi sebagaimana ditetapkan dalam Ketentuan Peralihan
dalam Pasal 29 UU OTSUS, dijelaskan bahwa “semua peraturan perundang- undangan
yang ada sepanjang tidak diatur dengan undang-undang ini dinyatakan tetap
berlaku di Aceh”. Hal ini menunjukkan bahwa, masih banyak produk hukum nasional yang dapat dijadikan alat penilai
bagi qanun yang disusun oleh otoritas Aceh. Jika mengacu pada argumen ini, maka
kontradiksi yang diidap oleh qanun khalwat ini
semakin terbuka untuk dipersoalkan. Dari uraian di atas, terlihat bahwa salah
satu akar masalah kontradiksi ini juga diidap oleh UU OTSUS itu sendiri
yang tidak holistik mengatur soal-soal kewenangan otoritas Pemerintahan
Aceh.
1.
Ketentuan Uqu>ba>t Terhadap Pelanggar Qanun 14 Tahun 2003
Bentuk ancaman ‘uqu>ba>t terhadap pelaku jari>mah klalwat
(mesum), dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan
sekaligus menjadi peringatan bagi anggota masyarkat lainnya untuk tidak
melakukan jari>mah khalwat. Di samping itu ‘uqu>ba>t (cambuk) akan lebih efektif dengan memberi rasa malu
dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarga. Jenis ‘uqu>ba>t cambuk
juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah
dibandingkan dengan jenis ‘uqu>ba>t lainnya seperti yang dikenal
dalam KUHP sekarang ini.[26]
Mengenai ‘uqu>ba>t terhadap pelanggar qanun ini dijelaskan dalam
Bab VII , pada pasal 22 ayat 1- 2 disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4[27]
diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa
cambuk paling
banyak 9 (sembilan) kali dan paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau dendan paling
banyan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikt Rp. 2.500.000,-
(dua juta lima ratus ribu rupiah); Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5[28]
diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6
(enam) bulan dan paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5000.000,- (lima
juta rupiah).[29]
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqu>ba>tnya
dijatuhkan kepada penanggung jawab. Jika ada hubungan dengan kegiatan usahanya,
maka selain ‘uqu>ba>t sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1)
dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t administratif.[30]
Sedangkann pengulangan pelanggaran (residivist) terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22 ‘uqu>batnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqu>bat
maksimal.[31]
Tabel
Rumusan
Delik Dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003
Subyek Delik |
Delik/Tindak
Pidana |
Pidana |
Setiap orang |
Dilarang melakukan khalwat/mesum. |
Diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r, berupa dicambuk paling banyak 9
(sembilan) kali, paling sedikit 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 2.500.000’-
(dua juta lima ratus ribu rupiah). |
Setiap orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerindah atau
badan usaha. |
Dilarang, memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang yang
melakukan khalwat/mesum. |
Diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan
dan paling singkat 2 (dua) bulan, dan/atau denda paling banyak paling banyak
Rp. 15.000.000’- (lima belas juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5.000.000’-
(lima juta rupiah). |
Mengulangi pelanggaran |
Perorangan dan badan |
Ditambah 1/3 dari uqu>ba>t
maksimal |
Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi
antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim
atau tanpa ikatan perkawinan. Dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 dijelaskan bahwa hukum khalwat adalah haram dan melarang kepada setiap
orang untuk melakukan khalwat, larangan yang sama juga ditujukan kepada
orang atau kelompok masayarakat atau aparatur pemerintah atau badan usaha
dilarang untuk memberikan fasilitas kemudahan atau melindungi orang yang
berbuat khalwat.[32]
Sementara itu mengenai sanknsi (Qanun 14/2003) yang dijatuhkan apabila
seseorang/kelompok masyarakat/apaaratur pemerintas/badan usaha melanggar
ketentuan-ketentauan diatas maka diancam dengan:[33]
a.
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqu>bat ta’zi>r berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan)
kali, paling sedikit 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta
lima ratus ribu rupiah).
b.
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan,
paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
(lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Sedngkan dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jina>ya>t dijelaskan bahwa, setiap orang yang dengan sengaja melakukan jari>mah khalwat, diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda
paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10
(sepuluh) bulan. Pada qanun ini terdapat penambahan 1 (satu) kali cambukan bila
dibandingkan dengan Qanun No. 14/2003 yang hanya memberikan 9 (sembilan) kali
cambukan. Selain itu adanya bentuk hukum alternatif selain denda yakni berupa penjara
selama 10 (sepuluh) bulan, diman dalam Qanun 14/2003 ketentuan penjara bagi
pelanggar khalwat tidak diatur.
Mengenai orang yang menyelenggarakan,
menyediakan fasilitas atau mempromosikan jari>mah khalwat, diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau
denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara
paling lama 15 (lima belas) bulan. Dimana dalam qanun sebelumnya hanya berupa
kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit
Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Sedangkan mengenai pengulangan jari>mah dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 hal ini tidak diatur,
sedangkan dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 dikenakan tambahan hukuman 1/3 dari
hukuman pokok, begitu juga mengenai sanksi administratif berupa pencabutan izin
usaha, dalam qanun 6/2014 hal ini tidak diatur.
Satu hal yang sangat berbeda dalam
Qanun Jina>ya>t ini, yaitu berupa adanya
penjelasan megenai kewenangan peradilan adat, dimana dalam qanun Nomor 14 Tshun
2003 penjelasan seperti ini tidak ditemukan sehingga terjadi kerancauan dalam
menangani kasus khalwat di Aceh. Dalam Pasal 24 Qanun Nomor 6 Tahun
2014 dijelaskan bahwa jari>mah khalwat yang menjadi kewenangan peradilan adat
dan diselesaikan menurut ketentuan dalam Qanun Aceh tentang Pembinaan Kehidupan
Adat dan Adat Istiadat dan/atau peraturan perundang-perundangan lainnya
mengenai adat istiadat.[34]
Tabel
Rumusan Delik Khalwat Dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Hukum Jina>ya>t
Subyek |
Delik |
Pidana |
Setiap
Orang |
Melakukan
jari>mah khalwat |
Diancam
dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda
paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10
(sepuluh) bulan. |
Setiap
Orang |
Dengan sengaja
menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan khalwat |
Diancam
dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banya 15 (lima belas) kali atau denda
paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas musrni atau penjara paling
lama 15 (lima belas) bulan. |
Sedangkan bila kita melihat kasus khalwat (mesum) dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dapat kita temui dalam BAB XIV Buku
II tentang Kejahatan dan BAB VI Buku III tentang Pelanggaran. Khalwat dalam
pandangan KUHP dikenal dengan istilah pelanggaran asusila.
Pasal 281 KUHP
Diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1.
Barang siapa dengan sengaja
dan terbuka melanggar kesusilaan;
2. Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Pasal
284 KUHP
Diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan apabila seorang pria yang
telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; Seorang
wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27
BW berlaku baginya; Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; Seorang wanita yang
telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya
bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.[35]
Dalam
Fik{ih, khalwat dikategorikan sebagai Ta’zi>r yang merupakan bentuk atau
washilah untuk berbuat zina, oleh karena itu, ulama telah sepakat untuk
menjatuhkan hukuman ta’zi>r kepada setiap orang yang melakukan perbuatan
khalawat, walaupun dalam jumlah dan bentuk hukumnya ulama mazhab mamiliki
perbedaan pandangan satu sama lain.
Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa ketentuan ta’zi>r
tidak mempunyai dalil al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw secara eksplisit
(tapi secara khusus al-Qur’an surat an-Nisa’: 15 menyebutkan sanksi ta’zi>r bagi para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, yaitu tentang saksi) yang menjadi dasar tentang
pensyari’atan hukuman ta’zi>r,
melainkan ia merupakan sebagai suatu tindakan edukatif terhadap
orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan
perilaku kehidupan masyarakat.
Ulama
berbeda pendapat mengenai hukum sanksi ta’zi>r
adalah sebagai berikut: Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta’zi>r hukumnya wajib.
Sebagaimana h}udu>d karena merupakan teguran yang disyari’atkan untuk
menegakkan hak Allah dan seseorang kepada negara atau kepala daerah tidak boleh
mengabaikannnya. Sementara Menurut Mazhab Syafi’i>, ta’zi>r hukumnya tidak wajib.
Seorang kepala negara atau kepala daerah boleh meninggalkan jika hukum itu
tidak menyangkut hak adami. Dan Menurut mazhab Hanafiyah, ta’zi>r hukumnya wajib apabila berkaitan dengan hak adami.
Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak dapat digugurkan,
kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika berkenaan dengan hak Allah,
keputusannya terserah hakim. Jika hakim berpendapat ada kebaikan dalam
penegakan maka ia melaksanakan keputusan itu. Akan tetapi, jika menurut hakim
tidak ada maslahat maka boleh meninggalkannya. Artinya, si pelaku mendapatkan
ampunan dari hakim. Sejalan dengan ini Ibnu
Al-Hamam berpendapat, Apa yang diwajibkan kepada imam untuk menjalankan
hukum ta’zi>r berkenaan dengan hak Allah adalah
kewajiban yang menjadi wewenangnya dan ia tidak boleh meninggalkannya, kecuali
tidak ada maslahat bagi pelaku kejahatan.[36]
Ta’zi>r
dilakukan untuk menegur atau memberikan pelajaran. Oleh karena itu, keringanan
dalam cambukan hanya terdapat pada jumlahnya, bukan meniadakannya sama sekali.
Di samping tindakan Nabi Saw yang disebutkan di atas, Imam al-Muslim dalam
al-Hadith lain meriwayatkan:
عن ابي بردة بن نيار أنه سمع رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول : لا يجلد احد فوق عشرة أسواط إلا فى حد حدود الله (رواه
مسلم)[37]
Artinya:
Dari Abi Burdah bin Nayyar bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah Saw
bersabda: Janganlah kamu melakukan pemukulan lebih dari sepuluh kali
cambukan, kecuali hanya dalam pelaksanaan hukuman had yang telah mendapat restu
dari Allah Swt”. (H. R. Muslim).
Menyangkut
pemberlakuan hukuman ta’zi>r,
maka pada dasarnya terdapat perbedaan dari hukuman had walaupun hikmah
keduanya mempunyai kesamaan.[38] Adapun perbedaan dimaksud sebagai berikut:[39]
- Memberikan
sanksi ta’zi>r kepada orang yang baik-baik itu lebih ringan dari pada
sanksi ta’zi>r kepada orang yang sering melakukan kejahatan, sedangkan
dalam hu>du>d tidak ada perbedaan.
- Dalam
hu>du>d tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam ta’zi>r ada,
kemungkinan pemberian maaf.[40]
- Had}
itu memungkinkan bisa menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa terhukum,
sedangkan dalam ta’zi>r terhukum tidak boleh sampal mengalami kerusakan
itu. Hal seperti ini pernah terjadi di mana Khalifah ‘Umar bin al-
Khatthab menakut-nakuti seorang wanita, sehingga wanita tersebut mengalami
keguguran (saking takutnya), akhirnya ‘Umar r.a menanggung dia>t
janinnya.
Secara
ringkas dapat di jelaskan bahwa jari>mah ta’zi>r adalah hukuman
yang belum ditetapkan oleh syara’ akan tetapi diserahkan kepada hakim,
baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman ta’zi>r,
hakim hanya menetapkan secara umum, artinya pembuat undang-undang tidak
menetapkan hukuman untuk masing-masing jari>mah ta’zi>r, melainkan
hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai
seberat-seberatnya.[41] Pengertian ta’zi>r juga
dapat dipahami sebagai perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman
had atau kaffarat. Bentuk hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa atau hakim. Hukuman dalam jari>mah ta’zi>r tidak
ditentukan berapa ukuran dan kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah
dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian,
syariah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman
kepada pelaku jari>mah.[42]
Adapun
bentuk sanksi ta’zi>r bisa
beragam, sesuai keputusan hakim. Secara garis besar Jari>mah Ta’zi>r
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya, hukuman mati bisa
dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk,
hukuman penjara, hukuman pengasingan,[43] menyita harta pelaku,
mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat,
hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.[44]
D.
Kesimpulan
Kesimpulan besar yang dapat di ambil dari
penjelasan di atas adalah, bahwa pada dasarnya pengaturan pelarangan khalwat (mesum) di Aceh melalui Qanun Nomor
14 Tahun 2003 selaras dengan apa yang telah diatur dalam ketentuan fik}ih maupun
KUHP. Qanun No 14 Tahun 2003 pada kenyataannya
melengkapai apa yang telah diatur dalam KUHP, karena selama ini perbuatan khalwat
yang terjadi dalam masyarakat tidak bisa ditindak karena dalam KUHP hanya
mengatur tindakan asusila yang dilakukan secara terbuka dan mengganggu
ketentraman masyarakat. KUHP lebih menekankan/berorientasi kepada ketentraman
masyarakat, sedangkan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 melarang perbuatan khalwat
berorientasi kepada perlindungan masyarakat dari efek negatif yang di timbulkan
oleh khalwat (hifz} al-nasb), karena khalwat merupakan
was}ilah untuk berbuat zina.
Begitu
juga dengan fik{ih, Pelaksanaan Qanun jina>ya>t No. 14 Tahun 2003
memiliki kesesuaian. Qanun No. 14 Tahun 2003 yang ditetapkan qanun tidak
melenceng dari ketentuan Fik{ih Islam (mazhab sunni) yang dianggap mu‘tabar
oleh dunia Islam pasca peruntuhan Bagdad oleh Holago Khan tahun 1258.
Keseluruhan penghukuman dianggagap sesuai dengan Fik{ih baik penghukuman dalam
kategori h}add (seperti
yang dijatuhkan atas peminum khamar) maupun ta‘zi>r. Pada dasarnya Fik}ih Islam tidak
membicarakan tentang hukuman tertentu yang dijatuhkan kepada pelaku khalwat,
namun dalam
rangka menghindari pencampuran laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di
tempat yang sepi dan dikhawatirkan akan terjadinya perzinaan maka al-Qur’a>n
telah menyatakan perlunya h}ija>b (pembatas)
antara laki-laki dan perempuan baik di tempat yang sepi maupun di tempat-tempat
umum.
E.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawi,
Abdurrouf. Faidul Qodir, juz. 3. Kairo:
Al-Maktabah At-Tijariah t.t.
Abu bakar, Al Yasa’. Hukum Pidana Islam di Provinsi
NAD. Banda Aceh:
Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.
al-Hafidz,
Abi Abdillah Muhammad bin Yaziz al-Qazwani. Sunan Ibnu Majah, Juz II.
Semarang: Karya
Thaha Putera, t.t.
Ayu,
Ummu Khaulah. “Ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan
wanita yang bukan mahram) http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/kehormatanmu-wahai-saudaraku-4.html (diakses
pada tanggal 16 Mei 2015).
Bin
Syaukani, Muhammad Bin Ali. Nailul Autor: Syarah Muntaq al-Akhbar Min
Ahadisi al-Akhyar. Kairo: Dar Al Fikr, 2010.
Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
Cronbach, Lee J. Educational Psycology. USA: Harcourt, Brace and Company Inc, 1970.
Dede Hendra Mr. Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk
Terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam Di Provinsi Aceh. Depok: Tesis Fak. Hukum UI, 2012.
Djazuli,
H.A. Fiqh Jinayat Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000.
HR
Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat shahih Ibnu Hibban 1/436), At-Thabrani dalam
Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184 , dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no 430.
Imam
Abi Husain Muslim Ibn al-Hajjaj bin Muslim al-Qusairi al-Naisaburi, Sahih
Musim, Cet. I, Riyadh: Dar al-Salam, 1998.
Imam
Nawawi. Shahih Riyadhush-Shalihin Buku ke-2, Penerjemah, Team KMPC,
Editor, Team Azzam (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.
Komnas
Perempuan. Analisi Terhadap Qanun Nangroe Aceh Darussalam. http://www.
academia. edu/8145409/Analisis-terhadap-qanun-nangroe-aceh-darussalam (diakses 30 September 2015).
KSI
AL- Khoirat. “Hukum Khalwat Dalam Islam” http://www.alkhoirot.
Net/2011/09/ hukum-khalwat-dalam-islam.html#1(diakases
pada tanggal 16 Mei 2015).
Melayu,
Husnul Arifin. Hukum Cambuk dan Pengaruhnya Terhadap Kasus Khalwat di Aceh,
Jurnal Ar-Raniry, Media Kajian Keislaman Edisi I No. 87, 2011.
Munawaroh,
Hifdhotul. Mediasi Adat Aceh Dalam Penyelesaian sengketa Perspektif Hukum
Positif dan Hukum Islam. UIN Jakarta: Tesis SPs UIN Jakarta,
2013.
Nassir,
Haidar. Islam Syari’at : Reprodukdi Salafiyah Idiologis di Indonesia. Bandung:
Mizan, 2013.
Santoso,
Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan
Agenda. Jakarta: GIP, 2003.
Soekanto, Sorjono. Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 2005.
Suyanta,
Sri. Buku Pelaksanaan Panduan Syari’at Islam Untuk Remaja dan Mahasiswa,
Cet. II. Banda Aceh:
Dinas Syari'at Islam Provinsi NAD dan IAIN ar-Raniry, 2008.
Yani,
Muhammad. Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh Perspektif Fik}ih dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13 dan 14 Tahun 2003.
SPs UIN Jakarta: Tesis, 2011.
Zuhaili,
Wahbah. Al-fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989.
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda