Jumat, 11 Februari 2022

QANUN ACEH NO. 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT DALAM PANDANGAN FIK{IH DAN KUHP

 

Tulisan ini telah terbit di jurnal Muslim Heritage tahun 2017

Silahkan kutip/sitasi dengan mencantumkan judul dibawah ini:

Ali Geno Berutu, Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, Vol. 2 No. 1 Tahun 2017, hal 87-106.


 

Ali Geno Berutu

Sekolah Pascasarjana (SPs)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: ali_geno@ymail.com

 

Abstrak

Larangan khalwat merupakan pencegahan dini terhadap perbuatan zina, karena perbuatan zina pada dasarnya di mulai dari hal-hal yang mengarah kepadanya. Pengesahan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat pada awal penerapan syariat Islam di Aceh sebagai qanun dalam bidang jina>ya>t bukannya tanpa alasan, pemilihan qanun tersebut sekurang-kurangnya memiliki dua alasan. Alasan yang pertama, perbuatan khalwat mmerupakan bentuk maksiat (haram) dalam syariat Islam dan sangat meresakan masyarakat namun belum tertangani dengan baik. Kedua, adanya euforia di dalam lapisan masyarakat dalam bentuk “peradilan rakyat” terhadap jenis yang diatur dalam qanun jina>ya>t ini, guna untuk menghindari main hakim sendiri ditengah-tengah masyarakat, maka Pemerintah Aceh mensahkan Qanun No. 14 Tahun 2003 sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai kekacauan ditengah-tengah lapisan masyarakat Aceh.


Kata Kunci: Aceh, Qanun, Syariat Islam, Khalwat.

 

 

A.   Latar Belakang 

Syariat Islam secara formal diimplementasikan di Aceh setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 44 tahun 1999[1] tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dikuatkan kembali dalam UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Aceh[2] dan UU No. 11 tentang Pemerintahan Aceh. Berlandaskan UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, adanya legalitas bagi pemerintah Aceh dalam memformalkan hukum Islam di daerahnya yang berakibat lahirlah berbagai peraturan daerah yang populer disebut dengan “Qanun” dalam rangka terlaksananya  syariat Islam secara kaffah di Aceh.

Pada awal formalisasi pemberlakuan syariat Islam di Aceh, Pemerintah Aceh telah mengesahkan tiga Qanun Jinayat sebagai langkah awal penerapan syariat Islam di Aceh. Ketiga Qanun Tersebut adalah, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar (miras), Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir (judi) dan Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum). Pemilihan ketiga qanun tersebut setidaknya memiliki alasan mendasar bagi pemerintah Aceh, yakni ketiga perbuatan yang diatur tersebut, merupakan tindakan atau perbuatan yang sering ditemui di kalangan masrakat, sehingga untuk menghindari main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat kepada pelaku, maka pemerintah Aceh merasa perlu mengaturnya dalam bentuk qanun, karena pada awal penerapan syariat Islam eupooria masyarakat begitu besar.

Qanun No. 14 Tahun 2003 merupan salah satu perbuatan yang dilarang di Aceh dan hukunya haram untuk dilakukan setiap orang yang berdiam di Aceh. Istilah khalwat berasal dari khulwah dari akar kata khala yang berarti sunyi atau sepi. Sedangkan menurut istilah, khalwat adalah keadaan seseorang yang menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain. Khalwat/mesum adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi.[3] Sedangkan pengertian khalwat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yg bukan muhrim di tempat sunyi atau tersembunyi.[4] Adapun khalwat menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003 adalah perbuatan bersunyi-sunyian antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.[5]

Khalwat (mesum) adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah (bukan muhrim) pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan. Islam dengan tegas melarang melakukan zina. Sementara khalwat (mesum) merupakan was}ilah atau peluang untuk terjadinya zina[6], maka khalwat (mesum) juga termasuk salah satu jari>mah (perbuatan pidana) dan diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r.

Dalam perkembangannya khalwat (mesum) tidak hanya terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi juga dapat terjadi di tengah keramaian atau di jalanan atau di tempat-tempat lain, seperti dalam mobil atau kenderaan lainnya, dimana laki-laki dan perempuan berasyik maksyuk tanpa ikatan nikah atau hubungan mahram.[7] Perilaku tersebut juga dapat menjurus pada terjadinya perbuatan zina. Qanun tentang larangan khalwat (mesum) ini dimaksudkan sebagai upaya preemtif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqu>ba>t dalam bentuk ‘uqu>ba>t ta’zi>r yang dapat berupa ‘uqu>ba>t cambuk dan ‘uqu>ba>t denda (g}aramah).

Qanun Khalwat (Mesum) ini, bila dilihat dari jenis perbuatan melawan hukumnya, bukan suatu hal yang baru. Hal yang sama ditemui dalam aturan kesusilaan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Terlepas dari kontroversi yang dimilikinya, KUHP produk kolonial ini jauh-jauh hari telah mengatur soal kesusilaan. Bahkan jauh lebih rinci dibanding Qanun Khalwat. Dalam qanun tersebut, khalwat didefinisikan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawainan. Sementara dalam KUHP, hal-hal “kecil” yang merupakan perbuatan asusila bahkan mendapat hukuman. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Muhammad Yani dalam tesisnya yang berjudul Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh Perspektif Fik}ih dan HAM yang di kutip dari Komnas Perempuan.[8]

Namun demikian, keduanya tetap memiliki perbedaan orientasi hukum. Perbuatan khalwat akan tetap ditindak baik dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun di tempat tertutup. Artinya, orientasi hukum pengaturan khalwat adalah untuk kemaslahatan dan kemanfaatan pribadi seseorang dan juga orang lain. Manfaat pribadi agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan zina yang dilarang oleh agama dan mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari. Sementara manfaat bagi orang lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan atau perbuatan yang merusak kehormatan. Sebagaimana dikemukakan pada Pasal 3 Qanun Nomor 14 Tentang Khalwat, tujuan larangan khlawat adalah untuk melindungi masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina dan merusak kehormatan dan melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan.

Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalah utama dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 bila ditinjau dari konsep fik{ih dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?

 

A.   Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersumber dari penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research) dengan metode kualitatif dan menggunakan pendekatan sosio-legal-historis. Pendekatan sosiologis digunakan untuk mengamati dan mengetahui bagaimana peran hukum terhadap perilaku sosial ditengah masyarakat, pendekatan yuridis/legal digunakan untuk melihat hukum sebagai law in action, dideskripsikan sebagai gejala sosial yang empiris. Dengan demikian hukum tidak sekedar diberikan arti sebagai jalinan nilai-nilai, keputusan pejabat, jalinan kaidah dan norma, hukum positif tertulis, tetapi juga dapat diberikan makna sebagai sistem ajaran tentang kenyataan, perilaku yang teratur dan ajeg atau hukum dalam arti petugas. Penelitian hukum empiris ini tidak hanya tertujuan pada warga-warga masyarakat, akan tetapi juga pada penegak hukum dan fasilitas yang diharapkan menunjang pelaksanaan peraturan tersebut.[9] Pendekatan historis digunakan sebagai perbandingan terhadap pemberlakuan Qanun Aceh di Kota Subulussalam, sebelum dan sesudah pemberlakuan UU No. 44 tahun 1999 sebagai dasar penerapan syariat Islam di Aceh.

 

PEMBAHASAN

B.   Khalawat Dalam Pandangan Fik}ih

Bila kita mengkaji kepada hukum Islam (fik}ih) pelanggaran zina merupakan salah satu prinsip dasar (al-huqu>q al-isla>mi>yah) yang memiliki kaitan dengan hak asasi manusia (yakni hak atas setiap manusia untuk tumbuh dan berkembang secara layak) dan jaminan untuk setiap manusia atas kehidupan, masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas (hifz} al-nasl).[10]

Islam dengan tegas melarang melakukan zina, sementara khalwat/mesum  merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina, hal ini mengindikasikan bahwa perbuatan zina terjadi disebabkan adanya perbuatan lain yang menjadi penyebab terjadinya zina,[11] maka khalwat (mesum) juga termasuk salah satu jari>mah (perbuatan pidana) dan diancam dengan ‘uqu>bat ta’zi>r. Khalwat dilarang dalam Islam karena perbuatan ini bisa menjerumuskan orang kepada zina, yakni hubungan suami istri di luar perkawinan yang sah.[12] Larangan zina terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 32:

   

...dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Ayat di atas mengharamkan dua hal sekaligus: (a) zina; dan (b) segala perilaku yang mendekati perbuatan zina termasuk di antaranya adalah berduaan antara dua lawan jenis yang bukan mahram yang disebut dalam istilah bahasa Arab dengan khalwat dengan yang selain mahram.[13] Dalam beberapa hadist, Nabi Muhammad s.a.w juga menunjukkan batas-batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. adapun hadist tentang larangan berduan yang bukan muhrim adalah sebagai berikut:

a.      Larangan nabi terhadap seorang perempuan berhubungan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya tanpa ditemani oleh muhrim si wanita.

Dari ibnu Abbas RA, Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian berkhalwat (berduaan) dengan perempuan lain, kecuali disertai muhrimnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

b.     Nabi melarang khalwat dengan wanita yang sudah dipinang, meski Islam membolehkan laki-laki me­mandang perempuan yang dipinangnya untuk meya­kinkan dan memantapkan hatinya.

Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a: Nabi Saw melarang seseorang berusaha membatalkan persetujuan yang telah dibuat diantara sejumlah orang dengan menawarkan barang dagangannya. Dan seorang leki-laki tidak boleh meminang perempuan yang telah dipinang oleh saudaranya sesama Muslim, kecuali apabila ia meninggalkan pinangannya atau mengizinkan ia meminangnya. (HR. Bukhari dan Muslim).

c.      Nabi melarang seorang laki-laki masuk ke rumah wanita yang tidak bersama muhrimnya atau orang lainnya.

Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.a Rasulullah Saw bersabda , “ hati-hatilah masuk ke rumah seorang perempuan.” Bagaimana dengan Al-Hamu?” Nabi Saw, bersabda, “al-hamu (kakak ipar istri) adalah maut.” (HR. Bukhari dan Muslim).

d.     Larangan nabi tentang berduaan tanpa didampingi muhrim.

لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِاِمْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua”.

 

Berkata Al-Munawi mengenai hal ini, menurut beliau maksudnya adalah syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah di hadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaithan pun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinaan.[16]

As-Syaukani berkata, sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu shaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.[17]

Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan,

1.     Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi s.a.w bersama seorang wanita,[18] yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi s.a.w  berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi s.a.w tatkala itu, namun Nabi s.a.w berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang disekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi s.a.w dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi s.a.w dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi s.a.w dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya”.[19]

Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini (yaitu hadits Anas di atas) menunjukan akan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang wanita ajnabiah (bukan mahram) dengan pembicaraan rahasia (diam-diam), dan hal ini bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika ia aman dari fitnah. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Aisyah وأيكم يملك إربه كما كان النبي يملك إربه  “Dan siapakah dari kalian yang mampu menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menahan syahwatnya”[20]

2.     Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia.[21] Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata: “Khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang semisalnya atau tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya.”

Jadi khalwat yang diharamkan ada dua bentuk sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dan bukanlah merupkan kelaziman bahwa ruangan yang tertutup melazimkan juga tertutupnya dari pandangan khalayak. Khalwat merupakan penyakit sosial yang selalu ada disetiap ruang dan waktu kehidupan manusia, namun demikian hal itu dapat ditekan setidaknya dengan cara-cara sebagai berikut:[22]

1.     Memberikan pendidikan moral bagi kaum perempuan, khususnya remaja putri yang dapat menebalkan keimanan dan ketebalan mental mereka;

2.     Pemerintah harus menegakkan hukum sebagaimana mestinya, jika sanksi hukum positif terlalu ringan sehingga tidak dapat menimbulkan efek jera, maka sudah selayaknya untuk menjadikan konsef hukum pidana Islam sebagai pedoman.

Prilaku merupakan bentuk karakter yang diperankan oleh setiap individu yang di pilih, tidak muncul kebetulan untuk memperoleh,[23] setiap prilaku yang diperankan oleh setiap individu adalah perwujudan dan akumulasi dari pengetahuan, norma, nilai dari lingkungannya. Pada karakter ini remaja seringkali memposisikan dirinya sebagai bagian dari kelompoknya baik dalam bergaul, belajar dan dalam berbagai kecendrungan berprilaku akibat pengaruh external.

 

C.   Khalwat Dalam Pandangan KUHP

Dalam KUHP perbuatan asusila akan ditindak sebagai pelanggaran hukum ketika dilakukan di muka umum. Sementara jika dilakukan ditempat tertutup tidak lagi menjadi obyek hukum. Orientasi hukum pidana tentang pengaturan kesusilaan ini mengarah pada upaya melindungi orang lain untuk tidak terganggu atau terpengaruh oleh tindakan yang menyebabkan timbulnya birahi orang lain. Perbandingan antara Qanun Khalwat dan KUHP itu menunjukkan bahwa secara materil pengaturan khalwat tidak memiliki justifikasi dari produk perundang-undangan di atasnya. Bahkan dalam konsideran qanun tersebut tidak disebutkan KUHP sebagaimana ulasan di atas, padahal KUHP juga mengatur hal serupa. Konsideran utama yang disebutkan qanun itu adalah al-Qur’an dan Sunnah serta Qanun No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Karena itu, secara materil qanun ini hanya memiliki justifikasi syariat Islam semata, meskipun ia tetap tidak bisa dipersoalkan (uji materil) karena berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001, Aceh ditetapkan sebagai daerah yang diperintahkan oleh hukum untuk menjalankan syariat Islam.[24]

Jika Qanun Khamar dan Maisir dianggap tidak mengalami kontradiksi dengan perundang-undangan lainnya, maka Qanun Khalwat mengalami kontradiksi dengan perundang-undangan lainnya. Pembatasan jenis tindak pidana khalwat yang sangat luas berimplikasi pada penafsiran hukum yang sangat liar. Pengaturan khalwat ini jika dihadapkan pada UU tentang Hak Asasi Manusia, UU Ratifikasi CEDAW jelas-jelas mengalami kontradiksi yang signifikan.[25]

Jika di satu sisi kehadiran Qanun Khlawat dianggap memiliki justifikasi politik, karena ia merupakan manifestasi dari pendelegasian kewenangan dalam penyusunanan peraturan daerah, sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001 Tentang OTSUS bagi Aceh, maka di sisi lain ruang untuk mempersoalkan kontradiksi yang diidap dalam qanun juga dibenarkan oleh UU yang sama. UU OTSUS memang tidak membatasi secara tegas kewenangan penyusunan peraturan daerah oleh otoritas Aceh, misalnya dengan memagari bahwa setiap produk peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan UU HAM, UU Ratifikasi CEDAW dan lain sebagainya. Tapi sebagaimana ditetapkan dalam Ketentuan Peralihan dalam Pasal 29 UU OTSUS, dijelaskan bahwa “semua peraturan perundang- undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku di Aceh”. Hal ini menunjukkan bahwa, masih banyak produk hukum nasional yang dapat dijadikan alat penilai bagi qanun yang disusun oleh otoritas Aceh. Jika mengacu pada argumen ini, maka kontradiksi yang diidap oleh qanun khalwat ini semakin terbuka untuk dipersoalkan. Dari uraian di atas, terlihat bahwa salah satu akar masalah kontradiksi ini juga diidap oleh UU OTSUS itu sendiri yang tidak holistik mengatur soal-soal kewenangan otoritas Pemerintahan Aceh.

1.    Ketentuan Uqu>ba>t Terhadap Pelanggar Qanun 14 Tahun 2003

Bentuk ancaman ‘uqu>ba>t terhadap pelaku jari>mah klalwat (mesum), dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi anggota masyarkat lainnya untuk tidak melakukan jari>mah khalwat. Di samping itu ‘uqu>ba>t  (cambuk) akan lebih efektif dengan memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarga. Jenis ‘uqu>ba>t cambuk juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis ‘uqu>ba>t lainnya seperti yang dikenal dalam KUHP sekarang ini.[26]

Mengenai ‘uqu>ba>t terhadap pelanggar qanun ini dijelaskan dalam Bab VII , pada pasal 22 ayat 1- 2 disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4[27] diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 9 (sembilan) kali dan paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau dendan paling banyan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikt Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah); Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5[28] diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah).[29]

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqu>ba>tnya dijatuhkan kepada penanggung jawab. Jika ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain ‘uqu>ba>t sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t administratif.[30] Sedangkann pengulangan pelanggaran (residivist) terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ‘uqu>batnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqu>bat maksimal.[31]

 

Tabel  

Rumusan Delik Dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003

 

Subyek Delik

Delik/Tindak Pidana

Pidana

Setiap orang

Dilarang melakukan khalwat/mesum.

Diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r, berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan) kali, paling sedikit 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 2.500.000’- (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Setiap orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerindah atau badan usaha.

Dilarang, memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan khalwat/mesum.

Diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan paling singkat 2 (dua) bulan, dan/atau denda paling banyak paling banyak Rp. 15.000.000’- (lima belas juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5.000.000’- (lima juta rupiah).

Mengulangi pelanggaran

Perorangan dan badan

Ditambah 1/3 dari uqu>ba>t maksimal

 

Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 dijelaskan bahwa hukum khalwat adalah haram dan melarang kepada setiap orang untuk melakukan khalwat, larangan yang sama juga ditujukan kepada orang atau kelompok masayarakat atau aparatur pemerintah atau badan usaha dilarang untuk memberikan fasilitas kemudahan atau melindungi orang yang berbuat khalwat.[32]

Sementara itu mengenai sanknsi (Qanun 14/2003) yang dijatuhkan apabila seseorang/kelompok masyarakat/apaaratur pemerintas/badan usaha melanggar ketentuan-ketentauan diatas maka diancam dengan:[33]

a.     Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqu>bat ta’zi>r berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan) kali, paling sedikit 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). 

b.     Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Sedngkan dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jina>ya>t dijelaskan bahwa, setiap orang yang dengan sengaja melakukan jari>mah khalwat, diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan. Pada qanun ini terdapat penambahan 1 (satu) kali cambukan bila dibandingkan dengan Qanun No. 14/2003 yang hanya memberikan 9 (sembilan) kali cambukan. Selain itu adanya bentuk hukum alternatif selain denda yakni berupa penjara selama 10 (sepuluh) bulan, diman dalam Qanun 14/2003 ketentuan penjara bagi pelanggar khalwat tidak diatur.

Mengenai orang yang menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan jari>mah khalwat, diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan. Dimana dalam qanun sebelumnya hanya berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Sedangkan mengenai pengulangan jari>mah dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 hal ini tidak diatur, sedangkan dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 dikenakan tambahan hukuman 1/3 dari hukuman pokok, begitu juga mengenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha, dalam qanun 6/2014 hal ini tidak diatur.

Satu hal yang sangat berbeda dalam Qanun Jina>ya>t ini, yaitu berupa adanya penjelasan megenai kewenangan peradilan adat, dimana dalam qanun Nomor 14 Tshun 2003 penjelasan seperti ini tidak ditemukan sehingga terjadi kerancauan dalam menangani kasus khalwat di Aceh. Dalam Pasal 24 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 dijelaskan bahwa jari>mah khalwat yang menjadi kewenangan peradilan adat dan diselesaikan menurut ketentuan dalam Qanun Aceh tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan/atau peraturan perundang-perundangan lainnya mengenai adat istiadat.[34]

Tabel

Rumusan Delik Khalwat Dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Hukum Jina>ya>t

 

Subyek

Delik

Pidana

Setiap Orang

Melakukan jari>mah khalwat 

Diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan.

Setiap Orang

Dengan sengaja menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan khalwat

Diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banya 15 (lima belas) kali atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas musrni atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan.

 

Sedangkan bila kita melihat kasus khalwat (mesum) dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat kita temui dalam BAB XIV Buku II tentang Kejahatan dan BAB VI Buku III tentang Pelanggaran. Khalwat dalam pandangan KUHP dikenal dengan istilah pelanggaran asusila.

Pasal 281 KUHP

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1.     Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;

2.     Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Pasal 284 KUHP

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan apabila seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal  diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.[35]

Dalam Fik{ih, khalwat dikategorikan sebagai Ta’zi>r yang merupakan bentuk atau washilah untuk berbuat zina, oleh karena itu, ulama telah sepakat untuk menjatuhkan hukuman ta’zi>r kepada setiap orang yang melakukan perbuatan khalawat, walaupun dalam jumlah dan bentuk hukumnya ulama mazhab mamiliki perbedaan pandangan satu sama lain.

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa ketentuan ta’zi>r tidak mempunyai dalil al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw secara eksplisit (tapi secara khusus al-Qur’an surat an-Nisa’: 15 menyebutkan sanksi ta’zi>r bagi para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, yaitu tentang saksi) yang menjadi dasar tentang pensyari’atan hukuman ta’zi>r, melainkan ia merupakan sebagai suatu tindakan edukatif terhadap orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan perilaku kehidupan masyarakat.

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum sanksi ta’zi>r adalah sebagai berikut: Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta’zi>r hukumnya wajib. Sebagaimana h}udu>d karena merupakan teguran yang disyari’atkan untuk menegakkan hak Allah dan seseorang kepada negara atau kepala daerah tidak boleh mengabaikannnya. Sementara Menurut Mazhab Syafi’i>, ta’zi>r hukumnya tidak wajib. Seorang kepala negara atau kepala daerah boleh meninggalkan jika hukum itu tidak menyangkut hak adami. Dan Menurut mazhab Hanafiyah, ta’zi>r  hukumnya wajib apabila berkaitan dengan hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak dapat digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika berkenaan dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim berpendapat ada kebaikan dalam penegakan maka ia melaksanakan keputusan itu. Akan tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka boleh meninggalkannya. Artinya, si pelaku mendapatkan ampunan dari hakim. Sejalan dengan ini Ibnu  Al-Hamam berpendapat, Apa yang diwajibkan kepada imam untuk menjalankan hukum ta’zi>r berkenaan dengan hak Allah adalah kewajiban yang menjadi wewenangnya dan ia tidak boleh meninggalkannya, kecuali tidak ada maslahat bagi pelaku kejahatan.[36]

Ta’zi>r dilakukan untuk menegur atau memberikan pelajaran. Oleh karena itu, keringanan dalam cambukan hanya terdapat pada jumlahnya, bukan meniadakannya sama sekali. Di samping tindakan Nabi Saw yang disebutkan di atas, Imam al-Muslim dalam al-Hadith lain meriwayatkan:

عن ابي بردة بن نيار أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لا يجلد احد فوق عشرة أسواط إلا فى حد حدود الله (رواه مسلم)[37]

            Artinya: Dari Abi Burdah bin Nayyar bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: Janganlah kamu melakukan pemukulan lebih dari sepuluh kali cambukan, kecuali hanya dalam pelaksanaan hukuman had yang telah mendapat restu dari Allah Swt”. (H. R. Muslim).

Menyangkut pemberlakuan hukuman ta’zi>r, maka pada dasarnya terdapat perbedaan dari hukuman had walaupun hikmah keduanya mempunyai kesamaan.[38] Adapun perbedaan dimaksud sebagai berikut:[39]

  1. Memberikan sanksi ta’zi>r kepada orang yang baik-baik itu lebih ringan dari pada sanksi ta’zi>r kepada orang yang sering melakukan kejahatan, sedangkan dalam hu>du>d tidak ada perbedaan.
  2. Dalam hu>du>d tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam ta’zi>r ada, kemungkinan pemberian maaf.[40]
  3. Had} itu memungkinkan bisa menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa terhukum, sedangkan dalam ta’zi>r terhukum tidak boleh sampal mengalami kerusakan itu. Hal seperti ini pernah terjadi di mana Khalifah ‘Umar bin al- Khatthab menakut-nakuti seorang wanita, sehingga wanita tersebut mengalami keguguran (saking takutnya), akhirnya ‘Umar r.a menanggung dia>t janinnya.

Secara ringkas dapat di jelaskan bahwa jari>mah ta’zi>r adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ akan tetapi diserahkan kepada hakim, baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman ta’zi>r, hakim hanya menetapkan secara umum, artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jari>mah ta’zi>r, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya.[41] Pengertian ta’zi>r juga dapat dipahami sebagai perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Bentuk hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jari>mah ta’zi>r tidak ditentukan berapa ukuran dan kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syariah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jari>mah.[42]

Adapun bentuk sanksi  ta’zi>r bisa beragam, sesuai keputusan hakim. Secara garis besar Jari>mah Ta’zi>r dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya, hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan,[43] menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.[44]

D.   Kesimpulan

Kesimpulan besar yang dapat di ambil dari penjelasan di atas adalah, bahwa pada dasarnya pengaturan pelarangan khalwat (mesum) di Aceh melalui Qanun Nomor 14 Tahun 2003 selaras dengan apa yang telah diatur dalam ketentuan fik}ih maupun KUHP. Qanun No 14 Tahun 2003 pada kenyataannya melengkapai apa yang telah diatur dalam KUHP, karena selama ini perbuatan khalwat yang terjadi dalam masyarakat tidak bisa ditindak karena dalam KUHP hanya mengatur tindakan asusila yang dilakukan secara terbuka dan mengganggu ketentraman masyarakat. KUHP lebih menekankan/berorientasi kepada ketentraman masyarakat, sedangkan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 melarang perbuatan khalwat berorientasi kepada perlindungan masyarakat dari efek negatif yang di timbulkan oleh khalwat (hifz} al-nasb), karena khalwat merupakan was}ilah untuk berbuat zina.

Begitu juga dengan fik{ih, Pelaksanaan Qanun jina>ya>t No. 14 Tahun 2003 memiliki kesesuaian. Qanun No. 14 Tahun 2003 yang ditetapkan qanun tidak melenceng dari ketentuan Fik{ih Islam (mazhab sunni) yang dianggap mu‘tabar oleh dunia Islam pasca peruntuhan Bagdad oleh Holago Khan tahun 1258. Keseluruhan penghukuman dianggagap sesuai dengan Fik{ih baik penghukuman dalam kategori h}add (seperti yang dijatuhkan atas peminum khamar) maupun ta‘zi>r. Pada dasarnya Fik}ih Islam tidak membicarakan tentang hukuman tertentu yang dijatuhkan kepada pelaku khalwat, namun dalam rangka menghindari pencampuran laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat yang sepi dan dikhawatirkan akan terjadinya perzinaan maka al-Qur’a>n telah menyatakan perlunya h}ija>b (pembatas) antara laki-laki dan perempuan baik di tempat yang sepi maupun di tempat-tempat umum.

 

E.   DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawi, Abdurrouf. Faidul Qodir, juz. 3. Kairo: Al-Maktabah At-Tijariah t.t.

Abu bakar, Al Yasa’. Hukum Pidana Islam di Provinsi NAD. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.

al-Hafidz, Abi Abdillah Muhammad bin Yaziz al-Qazwani. Sunan Ibnu Majah, Juz II. Semarang: Karya Thaha Putera, t.t.

Ayu, Ummu Khaulah. “Ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan wanita yang bukan mahram) http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/kehormatanmu-wahai-saudaraku-4.html (diakses pada tanggal 16 Mei 2015).

Bin Syaukani, Muhammad Bin Ali. Nailul Autor: Syarah Muntaq al-Akhbar Min Ahadisi al-Akhyar. Kairo: Dar Al Fikr, 2010.

Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.

Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage2(1), pp.87-106.

Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.

Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam16(2).

Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.

Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO4(2), pp.31-46.

Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum14(2), pp.148-169.

Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).

Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam7.

Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.

Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law2(2), pp.202-225.

Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.

Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah9(2).

Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).

Cronbach, Lee J. Educational Psycology. USA: Harcourt, Brace and Company Inc, 1970.

Dede Hendra Mr. Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam Di Provinsi Aceh. Depok: Tesis Fak. Hukum UI, 2012.

Djazuli, H.A. Fiqh Jinayat Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

HR Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat shahih Ibnu Hibban 1/436), At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184 , dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah  1/792 no 430.

Imam Abi Husain Muslim Ibn al-Hajjaj bin Muslim al-Qusairi al-Naisaburi, Sahih Musim, Cet. I, Riyadh: Dar al-Salam, 1998.

Imam Nawawi. Shahih Riyadhush-Shalihin Buku ke-2, Penerjemah, Team KMPC, Editor, Team Azzam (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.

Komnas Perempuan. Analisi Terhadap Qanun Nangroe Aceh Darussalam. http://www. academia. edu/8145409/Analisis-terhadap-qanun-nangroe-aceh-darussalam  (diakses 30 September 2015).

KSI AL- Khoirat. “Hukum Khalwat Dalam Islam” http://www.alkhoirot. Net/2011/09/ hukum-khalwat-dalam-islam.html#1(diakases pada tanggal 16 Mei 2015).

Melayu, Husnul Arifin. Hukum Cambuk dan Pengaruhnya Terhadap Kasus Khalwat di Aceh, Jurnal Ar-Raniry, Media Kajian Keislaman Edisi I No. 87, 2011.

Munawaroh, Hifdhotul. Mediasi Adat Aceh Dalam Penyelesaian sengketa Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam. UIN Jakarta: Tesis SPs UIN Jakarta, 2013.

Nassir, Haidar. Islam Syari’at : Reprodukdi Salafiyah Idiologis di Indonesia. Bandung: Mizan, 2013.

Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda. Jakarta: GIP, 2003.

Soekanto, Sorjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 2005.

Suyanta, Sri. Buku Pelaksanaan Panduan Syari’at Islam Untuk Remaja dan Mahasiswa, Cet. II. Banda Aceh: Dinas Syari'at Islam Provinsi NAD dan IAIN ar-Raniry, 2008.

Yani, Muhammad. Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh Perspektif Fik}ih dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13 dan 14 Tahun 2003. SPs UIN Jakarta: Tesis, 2011.

Zuhaili, Wahbah. Al-fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989.


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda