ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA (PARTAI LOKAL ACEH DALAM SEJARAH KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA)
Jurnal Ini Telah terbit di Jurnal Of Indonesian Law IAIN Salatiga tahun 2021
Silahkan kutip/sitasi dengan Judul dibawah Ini:
Ali Geno Berutu, Aceh Local Parties In The History Of Republic Of Indonesia, Journal Of Indonesian Law, Vol. 2 No. 2 tahun 2021, hal 202-225
Ali Geno Berutu
Fakultas Syariah IAIN Salatiga
Kampus II IAIN Salatiga, Jl. Nakula Sadewa IV-A No. 9
Kembang Arum
Kota Salatiga, Jawa Tengah
email: ali_geno@ymail.com
Abstract
Aceh
local party is a party that was born from the womb of a prolonged conflict in
Aceh. The existence of the Aceh Local party is inseparable from the actions of
GAM leaders in maintaining their existence in the land of the Veranda of Mecca.
On the other hand the Government of the Republic of Indonesia also does not
want what happened to the East-East province to occur in the Aceh province, so
various efforts were made to maintain the sovereignty of the Unitary State of
the Republic of Indonesia. Efforts by the Indonesian government include
military and civil emergency operations that have been implemented in Aceh,
although these efforts have proven unable to eliminate GAM's influence in Aceh,
so that in the end the peace route was adopted with the signing of the Helsinki
MoU in 2005 which signaled an end to the armed conflict in Aceh for forever.
This research is a legal research using a law in concrete sense suppressor
where law functions or is implemented (law in action) or law that is always
moving (recht in beweging).
Keywords:
Local party, GAM, Helsinki MoU, Aceh
Abstrak
Partai
lokal Aceh adalah partai yang lahir dari rahim konflik yang berkepanjangan di
Aceh. Keberadaan partai Lokal Aceh tidak lepas dari sepak terjang para tokoh
GAM dalam mempertahankan eksistensi mereka di tanah Serambi Mekah. Disisi lain
Pemerintah Republik Indonesia juga tidak mengingkan apa yang terjadi pada
provinsi Timur-Timur terjadi pada provinsi Aceh, sehingga berbagai upaya-upaya
dilakukan guna untuk mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia meliputi operasi militer
dan darurat sipil yang pernah diterapkan di Aceh, walaupun upaya tersebut
terbukti tidak bisa menghilangkan pengaruh GAM di Aceh, sehingga pada akhirnya
jalur damaipun ditempuh dengan penandatanganan MoU Helsinki pada tahun 2005
yang menandakan pengakhiran konflik bersejata di Aceh untuk selamanya.
Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekan law in
concrete sense dimana hukum berfungsi atau dilaksanakan (law in action) atau
hukum yang selalu bergerak (recht in beweging).
Kata
Kunci: Partai lokal, GAM, MoU Helsinki, Aceh
PENDAHULUAN
Sebagai
negara demokrasi, Indonesia menjamin setiap warganegranya secara bebas dan
terbuka dalam menajalankan aktifitas politik tanpa diskriminasi tetapi tetap
dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai acuan. (Nuna & Moonti, 2019) Masyarakat
Indonesia mempunyai hak dan kebebasan untuk menyampaikan gagasan dan aspirasi
yang dimilikinya bertujuan untuk membangun dan memajukan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Oleh sebab itu, maka diperlukan alat atau sarana untuk
penyampain gagasan atau aspirasi tersebut sehingga kehendak warga negara dapat
tersalurkan dengan baik dan benar.(Abdul Rahman Al Fikhi, 2014)
Salah
satu sarana demokrasi dalam menghimpun aspirasi warga negara dikenal denagn
partai politik, yang mana partai politik merupakan sarana dalam menghimpun
aspirasi publik dalam demokrasi jaman sekarang (moderen) berupa sistem yang sering
kita disebut keterwakilan, baik keterwakilan rakyat dalam Lembaga formal dalam
sebuah negara (DPR, DPRD) maupun keterwakilan aspirasi rakyat dalam institusi sebuah
partai.(Pasaribu, 2017)
Jika
kita menelaah kebelakang mengenai keberadaan parati politik di Indonesia,
keberadaan Indische Partij pada tahun 1912 merupakan cikal bakal partai
politik di negeri ini. Indische Partij
yang di dirikan oleh Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkoesoemo
mempunyai gagasan mulia yakni menumbuhkan kesadaran masyarakat pribumi akan
hak-haknya sebagai manusia dapat terpenuhi dengan dicapainya kemerdekan bangsa
Indonesia dari segala bentuk penjajahan bangsa asing di bumi pertiwi. (Solikhin, 2017) Sudah barang
tentu semangat utama Indische Partij
dengan partai politik sekarang sudah tidak sama lagi, seiring dengan
telah usainya masa-masa kelam bangsa Indonesia dibawah penajahan bangsa asing,
maka semangat partai politikpun telah berevolusi menjadi alat mempertahankan
kedaulatan negara dan mensejahterakan kehidupan rakyat sesuai dengan yang di amanahkan
UUD.
Pemilihan
umum di Indonesia telah terlaksana sebanyak 12 pemilu kali dalam rentang tahun
1955-2019.(KPU, 2016) Pada medio tahun
1955-2004 semua peserta parpol pemilu merupakan kontestan dari partai nasional,
tapi sejak pemilu pada tahun 2009 peserta parpol tidak hanya dari kalangan
partai politik yang bersekala nasional tapi juga diikuti oleh partai bersekala
lokal yakni “partai politik lokal Aceh”.(AW, 2014) Keikutsertaan
partai lokal Aceh ini sempat menghebohkan dunia politik tanah air, bagaimana
tidak Aceh yang berstatus sebagi salah satu provinsi Indonesia memiliki hak
khusus dalam tatanan perpolitikan di tanah air. Terhitung ada 6 partai lokal
Aceh yang lolos verifikasi dari KPU Pusat untuk ikut menjadi partai yang ikut
bertarung pada tahun 2009. Keenam partai tersebut yakni Partai Aceh (PA),
Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat
Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA)dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh
(P-SIRA).(“Daftar Parpol Peserta Pemilu 2009,” n.d.)
Kehadiran
partai loka Aceh sebagai bentuk pengimplementasian MoU Helsinki diharapkan
dapat memberikan perubahan yang berarti dalam tatanan kehidupan masyarkat Aceh.
Khususnya dalam hal keamanan dan kebebasan masyarkat sipil dalam melakukan
aktifitas sehari-hari. Disamping itu partai lokal Aceh juga diharapkan mampu
mengaflikasikan semua point-point perjanjian Helsinki untuk kemakmuran
masyarkat Aceh, sehingga ketertinggalan rakyat Aceh dari segala aspek dengan
daerah lainnya di Indonesia akibat konflik yang berkepanjangan dapat
terwujudkan.(Ali Geno Berutu, 2016)
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran terkait kekhususn Aceh dalam hal politik, sehingga menjadi kemakluman bagi setiap warga masyarkat Indonesia mengenai keberadaan partai lokal tersebut. Latar belakang sejarah memang harus selalu digaungkan supaya tidak menimbulkan kegaduhan di daerah lainnya karena keinginan yang sama untuk mendirikan partai politik bebasi di lokal di daerahnya, sehingga ketentaraman dalam bernegara akan menjadi hak milik setiap warga negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
METODE
PENELITIAN
Dari
uraian pendahuluan tersebut, penulis akan menguraikan mengenai sejarah partai
lokal Aceh dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, dengan rumusan masalah bagaimanakah
sejarah keberadaan dan legalistas partai lokal Aceh dalam ketatanegaraan di
Indonesia? Inilah yang menjadi pertanyaan utama dalam tulisan ini. Tulisan ini
menggunakan metodologi kualitatif dengan kajian pustka (library
research), pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah law in
concrete sense atau penelitian hukum yang tampak secara kongkrit dimana
hukum berfungsi atau dilaksanakan (law in action) atau hukum yang selalu
bergerak (recht in beweging). (Muhdlor, 2012) Penelitian ini menjadikan peraturan
perundang-undangan dan Nota kesepahaman MoU Helsinki sebagai bahan primer,
sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku hukum yang
relepan, jurnal-jurnal kajian hukum dan sumber-sumber online.
PARTAI
LOKAL ACEH DALAM CATATN SEJARAH PEMILU INDONESIA
Partai
politik adalah sekumpulan orang yang terorganisasi yang memilik orientasi yang
sama satu dengan lainnya dengan tujuan memperoleh kekuasaan yang sesuai dengan
konstitusi dan undang-undang dasar dalam suatu negara.(Muttaqin, 2019) Sedangkan kata
“lokal” mengartikan bahwa pembatasan pemberlakuan pada satu daerah tertentu
atau suatu yang berasal dari daerah asli. Dari pengertian di atas dapat kita
simpulkan bahwa partai lokal Aceh adalah suatu upaya yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang terorgansir untuk menggapai kekuasaan unntuk menjalankan
pemerintahan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia tapi hanya sebatas di wilayah Aceh saja.
Partai
lokal Aceh merupakan organisasi politik yang didirikan oleh sekelompok warga Negara
Indonesia yang berdomisili di provinsi Aceh dengan dasar sukarela dan adanya persamaan
cita-cita untuk memperjuangankan hak-hak atau kepentingan anggota masyarakat,
bangsa dan negara melalui proses pemilihan umum (pemilu) yang demokratis untuk
memilih keterwakilan masyarakatnya pada lembaga legislatif Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh Kab/Kota (DPRK), Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), pemilihan
bupati dan wakil bupati /walikota dan wakil wali kota serta pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Aceh.(Hajad, 2016)
Partai
lokal Aceh yang nenjadi peserta pemilu di Indonesia mulai tahun 2009 tidaklah
serta-merta diberikan begitu saja oleh pemerintah pusat kepada Aceh. Tapi ada
berbagai macam faktor yang melatar belakangi kehadirannya dalam kancah
perpolitikan di tanah air, untuk itu perlu ditelaah kemabli rentetan sejarah
panjang yang melatar belakangi keberadaan partai lokal tersebut.
Keberadaan
partai lokal di Aceh bermula dari konflik yang berkepanjangan di Aceh yang
kunjung terselesaikan sejak berdirinya Republik Indonesia. Sebagai catatan
sejarah konflik pertama yang terjadi Aceh adalah Gerakan DI/TII yang diplopori
oleh Tgk. M. daud Beureu’eh pada tahun 1953.(Priyotomo, 2005) Gerakan ini
ditcetuskan sebagai bentuk kekecewaan rakyat Aceh kepada Presiden Soekarno yang
tak kunjung memberikan status istimewa bagi Aceh sesuai dengan janji yang
diberikan saat melakukan safari politik ke Aceh pada tahun 1947 guna untuk
memperkuat kedaulatan Negara Ksatuan Republik Indonesia. (Schulze, 2004)
Setelah
kasus DI/TII terselesaikan dengan damai di Aceh yang ditandai dengan pengesahan
UU No. 18 tahun 1965 dengan pemberian otonomi daerah dalam bidang agama,
Pendidikan dan adat-istiadat. Ternyata pemberian Otonomi Daerah untuk Aceh pada
tahun 1965 tidak serta-merta menghilangkan benih-benih konflik sampai
keakar-akarnya, terbukti pada tahun 1977 Hasan Tiro sebagai tokoh sentral dalam
pergerakan ini mendeklarasikan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Pidie dengan
tujuan akhir dari pergerakan ini adalah memisahkan Aceh dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.(Ti Aisyah dkk, 2008) Keputusan Hasan
Tiro melakukan pergerakan GAM di Aceh dilatarbelakangi oleh terjadinya
ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat khususnya Aceh, padahal menurut
Hasan Tiro Aceh memerikan sumbangsih yang begitu besar kepada negra Indonesia
melalui kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, tetapi Aceh jauh dari kata
makmur bahkan bila dibnadingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.(Jayanti, 2013)
Gerakan
Aceh Merdekan berlangsung dalam waktu yang sangat panjang dalam rentang sejarah
pergolakan Aceh. GAM sejak berdiri pada tahun 1977 baru bisa diselesaikan pada
tahun 2005 ditandai dengan adanya penandatanganan MoU Helsinki atau yang
dikenal dengan kesepahaman antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2005.(Basri, 2014) Tercatat 5
presiden Indonesia yang menjabat secara bergantian baru permasalah konflik di
Aceh dapat terselesaikan dengan damai melalui perundingan.
Dalam
kurun waktu 1977 sampai 2005, pemerintah pusat telah melakukan banyak kebijakan
di Aceh untuk menekan dan memberangus para pemberontak kedaulan NKRI di Aceh,
tapi semua kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat tidak dapat menghentikan
GAM yang sudah mengakar di hati masyarakat Aceh. Terbukti kebijakan-kebijakan
tersebut hanya menyisakan luka bagi rakyat Aceh dan sejarah kelam Hak Asasi
Manusia bagi bangsa Indonesia. (Jiwon, 2015) Berikut ini
beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat di Aceh selama konflik GAM:
1.
1990-1998 Pelaksanaan Operasi Jaring Merah yang menjadikan
Aceh sebagai DOM (daerah operasi militer);
2.
2003-2004 Operasi militer Indonesia di Aceh;
3.
2004 Darurat Sipil.(Atthahara et al., 2018)
Serangkaian
tidakan represif yang dilakukan pemerintah pusat di Aceh disamping memakan
korban yang banyak juga sangat membebani keuangan negara. Pemberontakan demi
pembrontakan yang terjadi di Aceh, telah membuat Aceh tertinggal dari segala
lini dengan daerah lain di Indonesia, hal ini tentunya menambah suram catatan
sejarah perjalanan Aceh selama pasca kemererdekaan Republik Indonesia pada
Tahun 1945.(Amin, 2018) Sampai pada
akhirnya musibah tsunami menimpa Aceh di penghujung tahun 2004 yang sedikit
banyaknya mempengaruhi peta politik Aceh dikemudian hari.
ACEH
BARU PASCA TSUNAMI DAN MoU HELSINKI
Konflik
berkepanjangan yang melandan provinsi paling barat Indonesia ini sejak tahun
1953 samapai pada masa reformasi pasca tumbangnya rezim Orde Baru akhirnya
secara tatanan geo politik berubah setelah Aceh dilanda musibah air bah tsunami
pada tanggal 26 Desember 2004. Mungkin inilah makna yang tersirat (damai) dari
musibah tusunami tersebut dan hal ini juga selaras dengan QS. Al-Insyirah
[94]: 5-6 yang sangat jelas menyatakan bahwa sesungguhnya bersamaan dengan
kesulitan itu ada kemudahan dengannya.
Berbagai
upaya negosisasi yang dilakukan pemerintah pusat dengan GAM untuk mengakhiri
konflik yang tak berkesudahan tersebut selalu gagal. Tercatat upaya yang
dilakukan pemerintah pusat untuk melakukan perundingan denga GAM dimulai dari
penunjukan Henri Dunant Centre (HDC) sebagai Lembaga organisasi
internasional yang menjadi mediator melalui dialog dimeja perundingan di Jenewa
Swiss.(Cut Annysa Mailika, 2013) Langkah pertama
yang ditempuh HDC dalam mengambil perannya di Aceh adalah penandatangan
kesepakatan bersama anatar Indonesia dan GAM pada 12 mei 2000 yang dikenal
dengan “Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh” Jeda kemanusiaan ini ditempuh untuk penyediaan
bantuan kemanusiaan di Aceh, mengurangi tensi ketengangan dan mempersiapkan
perangkat kemanan di Aceh untuk menuju perdamaian/pengakhiran koflik.(Zainal, 2015)
Perundingan
selanjutnya dilakukan pada tanggal 9 Desember 2002 dengan disepakatinya
perjanjian Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) dimana peerjanjian
ini masih diprakarsai oleh Henri Dunant Centre di Jenewa Swiss.(Pratiwi, 2019) Perjanjian damai
ini disepakati dengan empat agenda utama, yakni agenda bidang militer; bantuan
kemanusiaan; rekonstruksi pasca konflik dan reformasi sipil.(Berutu, 2016) Kesepakatan ini
juga memberikan peran kepada negara luar sebagai pemantau perdamaian di Aceh, Joint
Security Committee (JSC). JSC ini dipimpin secara tripartite oleh Mayor
Jendral Tanongsuk Tivinum, perwira senior dari militer Thailand, Brigadir
Jendral Safzen Noerdin dari pihak TNI; dan dari GAM dawakili Sofyan Ibrahim
Tiba.(Dunia, 2008)
Pada
kenyataannya semua upaya perdamaian yang telah ditempuh kedua belah pihak
berakhir dengan kebutuntuan disebabkan tidak ketidakpuasaan kedua belah pihak,
khususnya GAM mengenai tawaran yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia. Dengan
terjadiaanya kebuntuan perundinagn perdamaian Aceh membuat pemerintah pusat
kembali melakukan pendekatan prepentif dan represif dalam menangani kasus Aceh
dengan dikeluarkannya Keppres No. 28
tahun 2003 tanggal 9 Mei 2003 yang menetapkan status Darurat Militer untuk Aceh.(Siregar, 2012)
Berbagai
upaya negosiasi perdamaian Aceh yang selalu gagal, hingga pada tahun 2004
musibah besar tsunami melanda kaswasan Asia Pasifik dimana Aceh merupakan
daerah yang paling terdanpak dari musibah tersebut dengan korban jiwa lebih
dari seratus ribu orang.(Theresita Herni Setiawan, 2007) Berita bencana
tsunami yang dasyat di Aceh akhirnya sampai kepda petinggi-petinggi GAM yang
berda diluar negeri dalam pengasingannya. Melihat Aceh yang porak-poranda pemimpin
GAM diswesia memerintahkan untuk melakukan genjatan senjata sebelah pihak (unilateral ceasefire) hal ini
guna untuk memberikan ruang kepada berbagai pihak untuk memberikan bantuan
kemanusia dalam penangan tsunami di Aceh, karena pada tahun 2004 Aceh masih
dalam status darurat militer sehingga tidak semua dengan bebas melakukan
aktifitas di Aceh.(Theresita Herni Setiawan, 2007)
Setalah
musibah tsunami ditangani pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
dimana SBY menggunakan istilah dalam tanggap darurat tsunami Aceh dengan 3 Quick, "Quick to see, quick
to decide, quick to act”. Barulah pada
awal tahun 2005 proses negosiasi kebali lagi dijalankan, mediasi kali ini
dilakukan oleh Crisis Management Initiative (CMI) sebagai mediator dimana
mantan presiden Finlandia Marti Ahtisaari sebagai ketua perundingan, Marti
Ahtisaari mengubah pola negosiasi dengan memprioritaskan status politik Aceh
terlebih dahulu. Dengan menggunakan rumus bahwa “nothing is agreed until
everything is agreed” (tidak ada kesepakatan sampai semuanya disepakati)
menghendaki kedua belah pihak untuk menyepakati formula politik sebelum
gencatan senjata dan pengaturan keamanan dibicarakan. Pada akhirnya tanggal 15
Agustus 2005 kedua belah pihak sepakat mengenai poin-poin perdamaian dan
sekaligus mengakhiri konflik GAM di Aceh.(M. Ya’kub Aiyub Kadir, 2019)
MoU HELSINKI SEBAGAI PONDASI PARTAI POLITIK LOKAL ACEH
Sejak disepakatinya nota perdamaian MoU
(Memorandum of Understanding) Helsinki, Finlandia pada tanggal 15
Agustus 2005 telah memberikan angin segar kepada masyarakat Aceh yang selama
ini hidup ditengah ketidakpastian dari segala hal. Bagaimana tidak selama
konflik masyarkat dirundung ketakutan untuk melakukan segala aktifitas karena
selalu berbenturan dengan kemanan dan ancaman. Disamping itu kesepahaman ini
juga memberikan baru buat para kombatan GAM untuk dapat berperan aktif dan
berkontribusi langsung dalam pembangunan Aceh kedepannya, khususnya bagi para
kombatan GAM yang sedang dalam penghukuman yang tersebar dipenjara-penjara
Pemerintah Indonesia baik di Aceh maupun di luar Aceh akan mendapatkan
kebebasan dari masa tahanan yang telah dipustkan pengadilan.(“Farid Husain Merintis Perdamaian GAM-RI lewat
Perjanjian Helsinki - Tirto.ID,” n.d.)
Ada 6 poin besar dalam kesepahaman penghentian pertikaian antara GAM dan RI yang ditandatangai di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.(Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, 2005)
Tabel
1. Poin-poin MoU Helsinki anatara GAM dan RI
NO |
POINT PERJANJIAN |
URAIAN |
Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh |
|
Poin
1.1 ini terdiri dari poin 1.1 – 1.1.7 yang memuat tentang keharusan bagi pemerintah Indonesia untuk
segera mengimplementasikan hasil dari kesepakatan perdamian Helsinki dalam
bentuk UU yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh
selambat-lambatnya pada tanggal 31 Maret 2006. Pembentukan Wali Nanggroe
dengan segala perangkatnya, pengaktifan kembali Qanun Aceh sebagai bentuk
penghormatan terhadap sejarah Islam di Aceh. Kewenangan Aceh dalam
menggunakan simbol-simbol seperti bendera, lambing, himne dan perbatasan Aceh
merujuk kepada perbatasan 1 Juli 1956. |
|
Partisipasi
Politik |
Poin
1.2 terdiri dari poin 1.2 – 1.2.8. Keharusan bagi Pemerintah
RI untuk memfasilitasi pembentukan partai-partai lokal di Aceh yang memenuhi
persyaratan nasional dalam tempo satu tahun atau paling lama delapan belas
bulan sejak MoU ini disepakati, dimana partisipasi penuh masyarakat Aceh
dalam memilih partai lokal maupun nasional dijamin sesuai dengan konstitusi
Indonesia. |
|
Ekonomi |
Poin
1.3 terdiri dari poin 1.3 – 1.3.9. Aceh memiliki hal untuk medapatkan dana melalui hutang luar
negeri. Aceh juga memiliki hak untuk memungut dan menetapkan pajak daerah guna
untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh memiliki
kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar
Aceh. Menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia
tanpa adanya hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya dan GAM akan
mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua
tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi
pasca-Tsunami (BRR). |
|
Peraturan
Perundang-undangan |
Poin
1.4 terdiri dari poin 1.4 – 1.4.5. Legislatif Aceh
merumuskan hukum yang berlaku di Aceh yang berdasarkan kepada prinsip-prinsip
universal Hak Asasi Manusia sebagaimana termuat dalam Kovenan Internasional
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial
dan Budaya. |
2 |
Hak
Asasi Manusia |
Poin
2 terdiri dari poin 2.1 – 2.3. Pemerintah Republik Indonesia akan mematuhi Kovenan Internasional
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial
dan budaya dan membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk Aceh. Membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya
rekonsiliasi. |
3 |
Amnesti
dan reintegrasi ke dalam masyarakat |
Poin
3 terdiri dari poin 3.1 – 3.2.7. Pemerintah Republik Indonesia
akan memberikan pengampunan (amnesti) kepada setiap orang yang terkait GAM
sesuai dengan ketentuan konstitusi dengan batas tidak lebih dari 15 hari
sejak penandatangan kesepemahan yang dimaksud. Tahan politik akan dilepaskan tanpa syarat
secepat mungkin sebelum 15 hari sejak perjanjian Helsinki. Semua orang yang
terlibat dengan GAM yang telah dibebaskan dari tahanan negara akan
mendapatkan hak-hak sosial dimasyarkat, politik, ekonomi dan suatu Dana
Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk. Pemerintah Republik
Indonesia akan mengalokasikan sejumlah dana untuk rehabilitasi harta benda
publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola
oleh Pemerintah Aceh. Pemerintah Republik Indonesia juga mengalokasikan sejumlah
tanah pertanian serta dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan
melancarkan proses reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat
dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. |
4 |
Pengaturan
Keamanan |
Poin
4 terdiri dari poin 4.1 – 4.12. Semua aksi kekerasan antar kedua belah pihal akan berakhir paling
lambat pada saat penandatanganan nota Kesepahaman Helsinki. GAM harus
melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM
tidak diperkenankan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol
militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. GAM harus melakukan decommissioning
semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh anggota dalam
kegiatan GAM yang dibantu oleh Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM bersepakat
untuk menyerahkan 840 pucuk buah senjata. Penyerahan persenjataan GAM dimulai
dilakukan pada tanggal 15 September 2005, penyerahan ini dilaksanakan dalam
empat tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005. Relokasi tentara
dan polisi non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan dilaksanakan
dalam empat tahapan juga sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera
setelah setiap tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember
2005. |
5 |
Pembentukan
Misi Monitoring Aceh |
Poin
5 terdiri dari poin 5.1 – 4.15. Misi Monitoring Aceh
(AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta
dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman
ini. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan
ditandatangani setelah Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA
mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM dan
anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah diundang
oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan kepatuhan mereka
terhadap SoMA dimaksud. GAM dan Pemerintah RI akan memberikan semua
dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM dan Pemerintah
RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut
serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM. |
6 |
Penyelesaian
perselisihan |
Poin
6 terdiri dari poin 6.1 – 6.1a-c. Poin berbicara mengenai penyelesaian jika perselisihan terjadi
dikemudian hari. Jika terjadi perselisihan segera diselesaikan dengan
cara berikut: a.
Sebagai
suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini
akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para
pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala
Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak. b.
Jika
Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat
diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan
dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap
pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan
mengikat para pihak. c.
Dalam
kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu
cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan
secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis
Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni
Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis
Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak. Pemerintah
RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan
atau semangat Nota Kesepahaman ini. |
Dari
hasil Mou Helsinki inilah Pemerintah Indonesia meresponnya dengan
dilakukan penggodokan dan pengesahan Undang-Uundang Pemerintahan Aceh (UUPA)
yakni UU No. 11 Tahun 2006. Dimana UU ini memberikan kesempatan sangat luas
bagi Aceh untuk mengelola, mengembangkan dan mensejahterakan rakyatnya dari
berabagai aspek termasuk dalam hal politik, yakni dengan kehadiran partai lokal
sebagai basis politik bagi para eks GAM di Aceh. Dalam pasal 75 ayat 1 dan 2 UU
Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa masyarkat di Aceh dapat
membentuk partai politik lokal yang dibentuk oleh paling sedikit 50 orang Warga
Negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun dan berdomisili tetap di Aceh.(UU No. 11 TAHUN
2006)
Selain
UUPA No. 11 Tahun 2006 sebagai landasar yuridis pendirian partai lokal di Aceh,
juga telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun
2007 Tentang Partai Lokal Aceh dimana pada pasal 1 angka 2 diterangkan “Partai
politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil
Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota”.(“PP 20-2007::partai politik lokal di Aceh,” n.d.)
Selain
kedua peraturan di atas, pemerintah Aceh juga telah mengesahkan Qanun No. 3
Tahun 2008 tentang Partai Politik, dimana dijelaskan bahwa keikutsertaan partai
lokal dalam pemilihan umum di Aceh menganut azas yang sama dengan pemilihan
umum sekala nasional yakin, langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Partai
lokal dapat menjadi peserta pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Kab/Kota (DPRK) jika telah berbadan hukum dan terdaftar
di Kantor Wilayah departemen Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, ketentuan ini termaktup dalam pasal 2 dan 3 Qanun No. 3 Tahun 2008.(QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2008, 2008)
Inilah
tiga landasan hukum bagi Aceh untuk membuat partai lokal. Keberadaan partai
lokal di Aceh merupakan sarana memperjuangkan eksistensi bagi para mantan
kombatan GAM atau kata halusnya sebagai bentuk kesadaran masyarakat Aceh
menegai perlunya suatu organisasi yang terstruktur untuk mengakomodasi
kepentingan masyarakat dijaman modern sekrang ini. Dengan demikian kehadiran
partai lokal di Aceh dapat memberikan dampak yang positif bagi kemajuan Aceh
kedepannya, karena partai lokal diharapkan lebih peka terhadap kebutuhan
masyarakat Serambi Mekah bila dibandingkan dengan partai nasional.(Bahrum, 2016)
Sejarah
keikutsertaan partai lokal Aceh dalam pemilihan umum di Indonesia telah
berlangsung selam tiga masa pemilihan umum, yakni pemilu tahun 2009, 2014 dan
2019. Keikutsertaan partai lokal dalam kontestasi politik ditanah air tidaklah
mudah, karena syarat keikutsertaan partai lokal juga harus lolos verifikasi
dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di Jakarta.
Dalam
pemili tahun 2009 sebagai keikutsertaan perdana partai lokal Aceh dalam pemilu
di Indonesia, tercatat ada enam partai lokal lolos verifikasi dan menjadi
peserta pemilu 2009 yakini, Partai Aceh (PA), Partai Aceh Aman Sejahtera
(PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh
(PRA) dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Partai lokal yang lolos
perivikasi peserta pemilu 2014 hanya tiga pertain lokal yakni Partai Aceh (PA),
Partai Daulat Aceh (PDA) dan Partai Nasional Aceh (PNA). Dan keikutsertaan
partai lakal Aceh dalam pemilu 2019 diikuti oleh empat partai lokal yang lolos
verifikasi yakni, Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA),
Daulat Aceh (PDA) dan Partai Nasional Aceh (PNA).
Dominasi
partai lokal dan eks GAM di Aceh pasca MoU Helsinki sangan dominan, partai Aceh
adalah kekuatan politik baru di Aceh, terbukti selama mengikuti tiga kali
proses pemilu parati Aceh selalu menjadi penguasa di parlemen Aceh, walaupun
perolehan suara dan keterwakilannya diparlemen Aceh selalu berkurang dari
pemilu-pemilu sebelumnya. Dengan demikian para eks GAM yang dulunya bergerilia
dibelantaran hutan Aceh kini mendapat berkah berkat kesepaham di Helsinki pada
tahun 2005.(“Aceh Pilih Partai Aceh - ANTARA News,” n.d.)
Dominasi
partai lokal Aceh tidak hanya sebatas di legislatif saja, akan tetapi juga
merajai di ranah eksekutif, terlihat dari daftar peminpin Aceh pasca
penandatangan MoU Helsinki pada tahun 2005 dan disahkannya UUPA No. 11 Tahun
2006.(Nurhasim, 2012) Sejak saat Aceh
damai, Aceh telah melaksankan tiga kali pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Pilgub 2006 dimenangkan oleh drh.
Irwandi Yusuf, M.Sc dan Muhammad Nazar, S.Ag. Irwandi Yusuf adalah mantan
pejabat GAM dan salah satu orang yang terlibat dalam negosiasi perdamain Aceh.
Semnetara Pilgub pada tahun 2012 dimenangkan oleh pasangan dr. Zaini Abdullah - Muzakkir Manaf.
Zaini Abdullah adalah mantan Menteri Kesehatan dan Menteri Luar Negeri GAM
dimasa Aceh bergejolak. Dan Pilgub paling terbaru adalah pilgub yang
dilaksanakan pada tahun 2017 yang memilih Irwandi Yusuf kemabali sebagai
Gubernur Aceh untuk periode 2017-2022.
KOMPETISI PARTAI LOKAL DAN PARTAI NASIONAL
DALAM PEMILU DI ACEH
Seperti
kita ketahui bersama bahwa keberadaan organisasi partai politik adalah untuk
memikat hati masyarakat dengan progam-progam pembangunan yang dijanjikan dalam
memenuhi kesejahteraan masyarakat.
Partai lokal Aceh dalam dalam mempungsikan partai sebagai pengerek suara
dalam pemilu di Aceh tidak kalah dengan partai-partai dalam skala nasional,
bahkan keberadaan paratai lokal Aceh dalam beberapa putaran pemilu yang telah
diikuti partai lokal Aceh terbukti mampu menjadi mesin peraih suara terbanyak
dalam pemilihan legislative pada tahun 2009, 2014 dan 2019.
Pemilu
tahun 2009 yang mejadikan pemilu pertama dalam kepesertaan paratai lokal Aceh
telah memberikan warna tersendiri dalam demokrasi di Aceh. Partai lokal yang
lahir dari hasil kesepakan damai antara GAM-RI di jenewa ternyata mampu memikat
para pemilih untuk memberikan hak suaranya kepada partai lokal. Hal ini bisa
dilihat dari hasil perolehan kursi legislative Aceh (DPRA) 2009 dimana partai
Aceh (PA) berhasil mearaup suara terbanyak di Aceh dengan perolehan suara
41,91% menjadikan partai Aceh sebagai partai penguasa di legislative Aceh
dengan 33 kursi keterwakilan diparlemen.
Begitu
juga dengan pemilu tahun 2014 dan 2019, walaupun secara presentasi perolehan
suara partai lokal menurun dari pemilu 2009, tapi partai lokal tetap menjadi
pemenang pada tiga kali periode pemilihan legislatif di Aceh. Lalu yang menarik
kita lihat adalah bagaimana prestasi partai nasional di bumi serambi mekah ini?
Dari data Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh pada tahun 2014 tidak ada satu
partai nasionalpun yang domina di Aceh, rata-rata perolehan suara parpol
nasional di Aceh berada dibawah 10%. Suara terbanyak diperoleh Partai Golkar
dengan raihan suara 9.07% lalu disusul oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dan
Nasdem masing-masing memperoleh suara 7.58% dan 7.03%. Hasil ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan
hasil pemilu pada tahun 2009 dimana partai lokal dalam hal ini Partai Aceh (PA)
masih mendominasi perolehan suara di Aceh. Hal ini menunjukkan kepercayaan
masyarkat Aceh terhadap partai lokal untuk dapat berbuat lebih banyak tentang
pembangunan Aceh masih sangat besar.
Tabel 2. Daftar perolehan suara pemilu Legislatif Aceh tahun 2014
No |
|
Partai |
(%) |
||
1 |
|
NasDem |
168,753 |
|
7.03% |
2 |
|
PKB |
80,389 |
|
3.35% |
3 |
|
PKS |
121,494 |
|
5.06% |
4 |
|
PDIP |
63,124 |
|
2.63% |
5 |
|
GOLKAR |
217,622 |
|
9.07% |
6 |
|
GERINDRA |
102,674 |
|
4.28% |
7 |
|
DEMOKRAT |
156,303 |
|
6.51% |
8 |
|
PAN |
181,820 |
|
7.58% |
9 |
|
PPP |
132,351 |
|
5.52% |
10 |
|
HANURA |
45,515 |
|
1.90% |
11 |
|
PDA |
72,721 |
|
3.03% |
12 |
|
PNA |
113,452 |
|
4.73% |
13 |
|
PA |
847,956 |
|
35.34% |
14 |
|
PBB |
60,803 |
|
2.53% |
15 |
|
PKPI |
34,184 |
|
1.42% |
|
|
Total |
2,399,161 |
|
|
Sumber: Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh
Sementara
itu pemilu yang baru saja dilangsungkan pada tahun 2019 menunjukkan ada gairah
partai nasional di Aceh, hal ini juga ditandai dengan penurunan suara yang
diperolah secara derastis oleh Partai Aceh dalam pemilu legislatif Aceh tahun
2019. Tercata partai nasional sudah mampu menembus perolehan suara di atas 10%
hal ini tenntu sangat berbeda jauh dengan perolehan suara pada tahun 2009 dan
2014. Pemilu DPRA pada tahun 2019 menempatkan partai Demokrat sebagai partai
nasional dengan perolehan suara terbanyak dalam pileg di Aceh dengan Raihan
11,19% kemudian partai Golkar dan Gerindra dengan raihan suara 9,53% dan 8,87%.
Gambar 1. Raihan suara partai dalam Pemilu 2019
Sumber
tabel: https://kumparan.com/(“Partai Aceh, Demokrat dan Golkar Peroleh Suara
Terbanyak di Aceh - kumparan.com,” n.d.)
Kompisis
kursi keterwakilan partai nasional di Aceh pada tahun 2014 dimana partai Golkar
memperoleh 9 kursi dimana peroleh ini bertambah satu kursi bila dibandingkan
dengan perolehan pileg pada tahun 2009. Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan
Partai Demokrat masing-masing memperoleh 8 kursi. Kemudian Partai Amanat
Nasional (PAN) memperoleh 7 kursi yang mana peroleh 7 kursi ini juga terjadi
penambahan bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya hanya merai 5 kursi.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh 6 kursi dari sebelumnya pemilu
2009 memperoleh 4 kursi. Partai Keadilan Sejahtera 4 kursi, Partai Gerindra 3
kursi, PKB, PBB, PKPI masing-masing memperoleh 1 kursi. Sedangkan partai Hanura
dan PDI Perjuangan tidak mendapatkan kursi sama sekali di legislative Aceh pada
pemilu 2014.“PA Raih 29 Kursi DPRA - Serambi Indonesia,” diakses 8
Januari 2020, https://aceh.tribunnews.com /2014/04/27/pa-raih-29-kursi-dpra.
Raihan
kursi pada pemilihan legislatif Aceh tahun 2019 partai nasional mengalami
peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2014 hal ini selaras dengan
kemorosotan perolehan suara Partai Aceh yang hanya memperoleh 18 kursi dari 35
kursi target partai eks GAM tersebut.(Wildan, n.d.) Peroleh kursi
terbanyak partai nasional di legislative Aceh adalah Partai Demokrat dengat
Raihan 10 kursi, pencapian 2019 lebih baik dari pada pemilu 2014 dengan raihan
8 kursi, disusul Partai Golkar dengan 9 kursi, Partai Gerindra 8 kursi, PAN,
PKS dan PPP masing-masing memperoleh 6 kursi, PKB 3 kursi, NasDem 3 kursi, PKPI
1 kursi. Sedangkan Partai Hanura dan PDI Perjuangan yang pada pemilu 2014 tidak
mendapatkan perwakilan di DPRA Aceh pada pemilu 2019 ini masing-masing meraih 1
kursi. Pada pemilu 2019 ini bukan hanya Partai Aceh saja yang kehilangan banyak
wakilnya di DPRA Aceh tetapi partai Nasional Demokrat juga mengalami penurunan
suara yang berakibat berkurangnya wakil partai di DPRA, tercatat pada pemilu
2014 NasDem memperoleh 8 kursi sedangkan pada pemilihan legislative 2019 NasDem
hanya meraih 2 kursi keterwakilannya di DPRA.
KESIMPULAN
Pergulatan
panjang proses perdamaian Aceh telah melahirkan berbagai kesepakan dan
kebijakan, baik dari Perintah Pusat di Jakarta maupun dari pihak GAM. Dengan
adanya keinginan yang kuat dari kedua belah pihak untuk mengakhiri krisis
politik dan keamanan di Aceh telah mengubah wajah Aceh pada saat ini dan
tentunya untuk kemudian hari. Walaupun kebijakan terhadap Aceh dengan Otonomi
Khususnya yang berdasarkan kepada Undang-undang Pemerintah Aceh No. 11 tahun
2006 diangkap terlalu berlebihan oleh berbagai kalangan, karena dianggap Aceh
terlalu memiliki kekuasaan yang sangat luas bila dibandingkan dengan provinsi
lainnya di Indonesia, tapi demi kemanan dan kelangsungan perdamian Aceh serta
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia hal ini menjadi suatu
kewajaran mengingat peran Aceh dalam kemerdekaan Indonesia juga tidak bias
dipandang sebelah mata belum lagi kekayaan alam Aceh yang melimpah sedikit
banyaknya telah berkontribusi dalam
proses pembangunan nasional Indonesia sejak Indonesia merdeka. Maka wajar
sekali ketika presiden pertam Indonesia mengatakan bahwa Aceh adalah sebagai
daerah Modal.
Keberadaan
partai lokal di Aceh sudah seharusnya menjadi media politik yang santun dan
berwibawa bagi Aceh dalam mengemban tugas pembangunan di Aceh. Bagaimanapun
konplik dan tsunami telah menyeret Aceh kedalam lembah kesengsaraan dan
keterbelakangan Aceh dari daerah lainnya di Indonesai. Partai lokal Aceh
walaupun diinisiasi oleh eks kombatan GAM juga harus menyentuh dan merata dalam
pembangunan di Aceh tanpa harus memilah dan memilih daerah basis GAM pada
masa-masa konflik terkhusus bagi wilayah Barat dan selatan Aceh.
PUSTAKA RUJUKAN
Aisyah, Ti, Subhani, Al Chaidar. Darul Islam Di
Aceh:Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964.
Lhokseumawe: Unimal Press Lhokseumawe NAD, 2008.
Berutu,
Ali Geno. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional.
Purwokweto: Penerbit CV. Pena Persada, 2020.
Ibrahim, Muhammad. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh. DEPDIKBUD Direktorat Jendral Sejarah dan Nilai Tradisional Jakarta,
1991.
Priyotomo, Agus Budi Wibowo. Irini Dewi Wanti. Iskandar Eko. Dinamika
dan Peran Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Aceh. Banda Aceh: Aceh, Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisonal Banda, 2005.
Schulze, Kirsten E. The Free Aceh Movement ( GAM ):
Anatomy of a Separatist Organization. Washington: East-West Center
Washington, 2004.
Abdul Rahman Al Fikhi. (2014). Fungsi Partai Politik
Sebagai Sarana Penyerap, Penghimpun, Dan Penyalur Aspirasi Politik Masyarakat
Dalam Merumuskan Dan Menetapkan Kebijakan Negara Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik Atas Perubahan (Juncto) Undang-Undang
.
Aceh Pilih Partai Aceh - ANTARA News. (n.d.). Diambil 5
Januari 2020, dari
https://www.antaranews.com/berita/138661/aceh-pilih-partai-aceh
Amin, K. (2018). Pengaruh Konflik Terhadap Pembangunan
Pendidikan Di Aceh. Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, 1(2),
159–176.
Atthahara, H., Studi, P., Pemerintahan, I., Singaperbangsa,
U., Jalan, K., Ronggowaluyo Teluk, H. S., … Karawang, K. (2018). Perempuan dan
Kekuasaan: Studi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan oleh TNI di Aceh Pada Masa
Darurat Militer dan Darurat Sipil Tahun 2003-2005. Jurnal Politikom
Indonesiana, Vol. 3 No. 2, 3(Desember), 104–115.
AW, M. J. (2014). Asas Demokrasi dan Partai Politik Lokal Di
Provinsi Aceh. Jurnal NIAGARA, 7(2), 122–139.
Bahrum, S. (2016). Dinamika Partai Politik Lokal (Analisis
Partai Aceh dan Penerapan Syari’at Islam). Al-Lubb, 1(1),
136–140.
Basri, H. (2014). Konflik Pemerintah Aceh Dan Pemerintah
Pusat Pasca Mou Helsinki : Self-Government. POLITIKA (Vol. 5).
Cut Annysa Mailika. (2013). The Roles Of Henry Dunant
Centre In Promoting Peace Making And Peace Building In The Province Of Aceh
(Presiden university). Diambil dari
http://repository.president.ac.id/bitstream/handle/123456789/1551/016200900009.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Daftar Parpol Peserta Pemilu 2009. (n.d.). Diambil 3 Januari
2020, dari
https://nasional.kompas.com/read/2008/07/07/23212471/daftar.parpol.peserta.pemilu.2009
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda