Jumat, 11 Februari 2022

ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA (PARTAI LOKAL ACEH DALAM SEJARAH KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA)

 

Jurnal Ini Telah terbit di Jurnal Of Indonesian Law IAIN Salatiga tahun 2021

Silahkan kutip/sitasi dengan Judul dibawah Ini:

Ali Geno Berutu, Aceh Local Parties In The History Of Republic Of Indonesia, Journal Of Indonesian Law, Vol. 2 No. 2 tahun 2021, hal 202-225

 

Ali Geno Berutu

Fakultas Syariah IAIN Salatiga

Kampus II IAIN Salatiga, Jl. Nakula Sadewa IV-A No. 9 Kembang Arum

Kota Salatiga, Jawa Tengah

email: ali_geno@ymail.com

 

 

Abstract

Aceh local party is a party that was born from the womb of a prolonged conflict in Aceh. The existence of the Aceh Local party is inseparable from the actions of GAM leaders in maintaining their existence in the land of the Veranda of Mecca. On the other hand the Government of the Republic of Indonesia also does not want what happened to the East-East province to occur in the Aceh province, so various efforts were made to maintain the sovereignty of the Unitary State of the Republic of Indonesia. Efforts by the Indonesian government include military and civil emergency operations that have been implemented in Aceh, although these efforts have proven unable to eliminate GAM's influence in Aceh, so that in the end the peace route was adopted with the signing of the Helsinki MoU in 2005 which signaled an end to the armed conflict in Aceh for forever. This research is a legal research using a law in concrete sense suppressor where law functions or is implemented (law in action) or law that is always moving (recht in beweging).

 

Keywords: Local party, GAM, Helsinki MoU, Aceh

 

Abstrak

Partai lokal Aceh adalah partai yang lahir dari rahim konflik yang berkepanjangan di Aceh. Keberadaan partai Lokal Aceh tidak lepas dari sepak terjang para tokoh GAM dalam mempertahankan eksistensi mereka di tanah Serambi Mekah. Disisi lain Pemerintah Republik Indonesia juga tidak mengingkan apa yang terjadi pada provinsi Timur-Timur terjadi pada provinsi Aceh, sehingga berbagai upaya-upaya dilakukan guna untuk mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia meliputi operasi militer dan darurat sipil yang pernah diterapkan di Aceh, walaupun upaya tersebut terbukti tidak bisa menghilangkan pengaruh GAM di Aceh, sehingga pada akhirnya jalur damaipun ditempuh dengan penandatanganan MoU Helsinki pada tahun 2005 yang menandakan pengakhiran konflik bersejata di Aceh untuk selamanya. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekan law in concrete sense dimana hukum berfungsi atau dilaksanakan (law in action) atau hukum yang selalu bergerak (recht in beweging).

Kata Kunci: Partai lokal, GAM, MoU Helsinki, Aceh

 

 

PENDAHULUAN

Sebagai negara demokrasi, Indonesia menjamin setiap warganegranya secara bebas dan terbuka dalam menajalankan aktifitas politik tanpa diskriminasi tetapi tetap dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai acuan. (Nuna & Moonti, 2019) Masyarakat Indonesia mempunyai hak dan kebebasan untuk menyampaikan gagasan dan aspirasi yang dimilikinya bertujuan untuk membangun dan memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, maka diperlukan alat atau sarana untuk penyampain gagasan atau aspirasi tersebut sehingga kehendak warga negara dapat tersalurkan dengan baik dan benar.(Abdul Rahman Al Fikhi, 2014)

Salah satu sarana demokrasi dalam menghimpun aspirasi warga negara dikenal denagn partai politik, yang mana partai politik merupakan sarana dalam menghimpun aspirasi publik dalam demokrasi jaman sekarang (moderen) berupa sistem yang sering kita disebut keterwakilan, baik keterwakilan rakyat dalam Lembaga formal dalam sebuah negara (DPR, DPRD) maupun keterwakilan aspirasi rakyat dalam institusi sebuah partai.(Pasaribu, 2017)

Jika kita menelaah kebelakang mengenai keberadaan parati politik di Indonesia, keberadaan Indische Partij pada tahun 1912 merupakan cikal bakal partai politik di negeri ini. Indische Partij  yang di dirikan oleh Ki Hadjar Dewantara,  Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkoesoemo mempunyai gagasan mulia yakni menumbuhkan kesadaran masyarakat pribumi akan hak-haknya sebagai manusia dapat terpenuhi dengan dicapainya kemerdekan bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan bangsa asing di bumi pertiwi. (Solikhin, 2017) Sudah barang tentu semangat utama Indische Partij  dengan partai politik sekarang sudah tidak sama lagi, seiring dengan telah usainya masa-masa kelam bangsa Indonesia dibawah penajahan bangsa asing, maka semangat partai politikpun telah berevolusi menjadi alat mempertahankan kedaulatan negara dan mensejahterakan kehidupan rakyat sesuai dengan yang di amanahkan UUD.

Pemilihan umum di Indonesia telah terlaksana sebanyak 12 pemilu kali dalam rentang tahun 1955-2019.(KPU, 2016) Pada medio tahun 1955-2004 semua peserta parpol pemilu merupakan kontestan dari partai nasional, tapi sejak pemilu pada tahun 2009 peserta parpol tidak hanya dari kalangan partai politik yang bersekala nasional tapi juga diikuti oleh partai bersekala lokal yakni “partai politik lokal Aceh”.(AW, 2014) Keikutsertaan partai lokal Aceh ini sempat menghebohkan dunia politik tanah air, bagaimana tidak Aceh yang berstatus sebagi salah satu provinsi Indonesia memiliki hak khusus dalam tatanan perpolitikan di tanah air. Terhitung ada 6 partai lokal Aceh yang lolos verifikasi dari KPU Pusat untuk ikut menjadi partai yang ikut bertarung pada tahun 2009. Keenam partai tersebut yakni Partai Aceh (PA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA)dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (P-SIRA).(“Daftar Parpol Peserta Pemilu 2009,” n.d.)

Kehadiran partai loka Aceh sebagai bentuk pengimplementasian MoU Helsinki diharapkan dapat memberikan perubahan yang berarti dalam tatanan kehidupan masyarkat Aceh. Khususnya dalam hal keamanan dan kebebasan masyarkat sipil dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Disamping itu partai lokal Aceh juga diharapkan mampu mengaflikasikan semua point-point perjanjian Helsinki untuk kemakmuran masyarkat Aceh, sehingga ketertinggalan rakyat Aceh dari segala aspek dengan daerah lainnya di Indonesia akibat konflik yang berkepanjangan dapat terwujudkan.(Ali Geno Berutu, 2016)

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran terkait kekhususn Aceh dalam hal politik, sehingga menjadi kemakluman bagi setiap warga masyarkat Indonesia mengenai keberadaan partai lokal tersebut. Latar belakang sejarah memang harus selalu digaungkan supaya tidak menimbulkan kegaduhan di daerah lainnya karena keinginan yang sama untuk mendirikan partai politik bebasi di lokal di daerahnya, sehingga ketentaraman dalam bernegara akan menjadi hak milik setiap warga negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.


METODE PENELITIAN

Dari uraian pendahuluan tersebut, penulis akan menguraikan mengenai sejarah partai lokal Aceh dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, dengan rumusan masalah bagaimanakah sejarah keberadaan dan legalistas partai lokal Aceh dalam ketatanegaraan di Indonesia? Inilah yang menjadi pertanyaan utama dalam tulisan ini. Tulisan ini menggunakan metodologi kualitatif dengan kajian pustka (library research), pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah law in concrete sense atau penelitian hukum yang tampak secara kongkrit dimana hukum berfungsi atau dilaksanakan (law in action) atau hukum yang selalu bergerak (recht in beweging). (Muhdlor, 2012)  Penelitian ini menjadikan peraturan perundang-undangan dan Nota kesepahaman MoU Helsinki sebagai bahan primer, sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku hukum yang relepan, jurnal-jurnal kajian hukum dan sumber-sumber online.

 

PARTAI LOKAL ACEH DALAM CATATN SEJARAH PEMILU INDONESIA

Partai politik adalah sekumpulan orang yang terorganisasi yang memilik orientasi yang sama satu dengan lainnya dengan tujuan memperoleh kekuasaan yang sesuai dengan konstitusi dan undang-undang dasar dalam suatu negara.(Muttaqin, 2019) Sedangkan kata “lokal” mengartikan bahwa pembatasan pemberlakuan pada satu daerah tertentu atau suatu yang berasal dari daerah asli. Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa partai lokal Aceh adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang yang terorgansir untuk menggapai kekuasaan unntuk menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tapi hanya sebatas di wilayah Aceh saja.

Partai lokal Aceh merupakan organisasi politik yang didirikan oleh sekelompok warga Negara Indonesia yang berdomisili di provinsi Aceh dengan dasar sukarela dan adanya persamaan cita-cita untuk memperjuangankan hak-hak atau kepentingan anggota masyarakat, bangsa dan negara melalui proses pemilihan umum (pemilu) yang demokratis untuk memilih keterwakilan masyarakatnya pada lembaga legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Kab/Kota (DPRK), Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), pemilihan bupati dan wakil bupati /walikota dan wakil wali kota serta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh.(Hajad, 2016)

Partai lokal Aceh yang nenjadi peserta pemilu di Indonesia mulai tahun 2009 tidaklah serta-merta diberikan begitu saja oleh pemerintah pusat kepada Aceh. Tapi ada berbagai macam faktor yang melatar belakangi kehadirannya dalam kancah perpolitikan di tanah air, untuk itu perlu ditelaah kemabli rentetan sejarah panjang yang melatar belakangi keberadaan partai lokal tersebut.

Keberadaan partai lokal di Aceh bermula dari konflik yang berkepanjangan di Aceh yang kunjung terselesaikan sejak berdirinya Republik Indonesia. Sebagai catatan sejarah konflik pertama yang terjadi Aceh adalah Gerakan DI/TII yang diplopori oleh Tgk. M. daud Beureu’eh pada tahun 1953.(Priyotomo, 2005) Gerakan ini ditcetuskan sebagai bentuk kekecewaan rakyat Aceh kepada Presiden Soekarno yang tak kunjung memberikan status istimewa bagi Aceh sesuai dengan janji yang diberikan saat melakukan safari politik ke Aceh pada tahun 1947 guna untuk memperkuat kedaulatan Negara Ksatuan Republik Indonesia. (Schulze, 2004)

Setelah kasus DI/TII terselesaikan dengan damai di Aceh yang ditandai dengan pengesahan UU No. 18 tahun 1965 dengan pemberian otonomi daerah dalam bidang agama, Pendidikan dan adat-istiadat. Ternyata pemberian Otonomi Daerah untuk Aceh pada tahun 1965 tidak serta-merta menghilangkan benih-benih konflik sampai keakar-akarnya, terbukti pada tahun 1977 Hasan Tiro sebagai tokoh sentral dalam pergerakan ini mendeklarasikan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Pidie dengan tujuan akhir dari pergerakan ini adalah memisahkan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Ti Aisyah dkk, 2008) Keputusan Hasan Tiro melakukan pergerakan GAM di Aceh dilatarbelakangi oleh terjadinya ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat khususnya Aceh, padahal menurut Hasan Tiro Aceh memerikan sumbangsih yang begitu besar kepada negra Indonesia melalui kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, tetapi Aceh jauh dari kata makmur bahkan bila dibnadingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.(Jayanti, 2013)

Gerakan Aceh Merdekan berlangsung dalam waktu yang sangat panjang dalam rentang sejarah pergolakan Aceh. GAM sejak berdiri pada tahun 1977 baru bisa diselesaikan pada tahun 2005 ditandai dengan adanya penandatanganan MoU Helsinki atau yang dikenal dengan kesepahaman antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2005.(Basri, 2014) Tercatat 5 presiden Indonesia yang menjabat secara bergantian baru permasalah konflik di Aceh dapat terselesaikan dengan damai melalui perundingan.

Dalam kurun waktu 1977 sampai 2005, pemerintah pusat telah melakukan banyak kebijakan di Aceh untuk menekan dan memberangus para pemberontak kedaulan NKRI di Aceh, tapi semua kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat tidak dapat menghentikan GAM yang sudah mengakar di hati masyarakat Aceh. Terbukti kebijakan-kebijakan tersebut hanya menyisakan luka bagi rakyat Aceh dan sejarah kelam Hak Asasi Manusia bagi bangsa Indonesia. (Jiwon, 2015) Berikut ini beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat di Aceh selama konflik GAM:

1.     1990-1998 Pelaksanaan Operasi Jaring Merah yang menjadikan Aceh sebagai DOM (daerah operasi militer);

2.     2003-2004 Operasi militer Indonesia di Aceh;

3.     2004 Darurat Sipil.(Atthahara et al., 2018)

Serangkaian tidakan represif yang dilakukan pemerintah pusat di Aceh disamping memakan korban yang banyak juga sangat membebani keuangan negara. Pemberontakan demi pembrontakan yang terjadi di Aceh, telah membuat Aceh tertinggal dari segala lini dengan daerah lain di Indonesia, hal ini tentunya menambah suram catatan sejarah perjalanan Aceh selama pasca kemererdekaan Republik Indonesia pada Tahun 1945.(Amin, 2018) Sampai pada akhirnya musibah tsunami menimpa Aceh di penghujung tahun 2004 yang sedikit banyaknya mempengaruhi peta politik Aceh dikemudian hari.

ACEH BARU PASCA TSUNAMI DAN MoU HELSINKI

Konflik berkepanjangan yang melandan provinsi paling barat Indonesia ini sejak tahun 1953 samapai pada masa reformasi pasca tumbangnya rezim Orde Baru akhirnya secara tatanan geo politik berubah setelah Aceh dilanda musibah air bah tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Mungkin inilah makna yang tersirat (damai) dari musibah tusunami tersebut dan hal ini juga selaras dengan QS. Al-Insyirah [94]: 5-6 yang sangat jelas menyatakan bahwa sesungguhnya bersamaan dengan kesulitan itu ada kemudahan dengannya.

Berbagai upaya negosisasi yang dilakukan pemerintah pusat dengan GAM untuk mengakhiri konflik yang tak berkesudahan tersebut selalu gagal. Tercatat upaya yang dilakukan pemerintah pusat untuk melakukan perundingan denga GAM dimulai dari penunjukan Henri  Dunant  Centre (HDC) sebagai Lembaga organisasi internasional yang menjadi mediator melalui dialog dimeja perundingan di Jenewa Swiss.(Cut Annysa Mailika, 2013) Langkah pertama yang ditempuh HDC dalam mengambil perannya di Aceh adalah penandatangan kesepakatan bersama anatar Indonesia dan GAM pada 12 mei 2000 yang dikenal dengan “Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh”  Jeda kemanusiaan ini ditempuh untuk penyediaan bantuan kemanusiaan di Aceh, mengurangi tensi ketengangan dan mempersiapkan perangkat kemanan di Aceh untuk menuju perdamaian/pengakhiran koflik.(Zainal, 2015)

Perundingan selanjutnya dilakukan pada tanggal 9 Desember 2002 dengan disepakatinya perjanjian Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) dimana peerjanjian ini masih diprakarsai oleh Henri Dunant Centre di Jenewa Swiss.(Pratiwi, 2019) Perjanjian damai ini disepakati dengan empat agenda utama, yakni agenda bidang militer; bantuan kemanusiaan; rekonstruksi pasca konflik dan reformasi sipil.(Berutu, 2016) Kesepakatan ini juga memberikan peran kepada negara luar sebagai pemantau perdamaian di Aceh, Joint Security Committee (JSC). JSC ini dipimpin secara tripartite oleh Mayor Jendral Tanongsuk Tivinum, perwira senior dari militer Thailand, Brigadir Jendral Safzen Noerdin dari pihak TNI; dan dari GAM dawakili Sofyan Ibrahim Tiba.(Dunia, 2008)

Pada kenyataannya semua upaya perdamaian yang telah ditempuh kedua belah pihak berakhir dengan kebutuntuan disebabkan tidak ketidakpuasaan kedua belah pihak, khususnya GAM mengenai tawaran yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia. Dengan terjadiaanya kebuntuan perundinagn perdamaian Aceh membuat pemerintah pusat kembali melakukan pendekatan prepentif dan represif dalam menangani kasus Aceh dengan dikeluarkannya Keppres No.  28 tahun 2003 tanggal 9 Mei 2003 yang menetapkan status Darurat Militer untuk Aceh.(Siregar, 2012)

Berbagai upaya negosiasi perdamaian Aceh yang selalu gagal, hingga pada tahun 2004 musibah besar tsunami melanda kaswasan Asia Pasifik dimana Aceh merupakan daerah yang paling terdanpak dari musibah tersebut dengan korban jiwa lebih dari seratus ribu orang.(Theresita Herni Setiawan, 2007) Berita bencana tsunami yang dasyat di Aceh akhirnya sampai kepda petinggi-petinggi GAM yang berda diluar negeri dalam pengasingannya. Melihat Aceh yang porak-poranda pemimpin GAM diswesia memerintahkan untuk melakukan genjatan senjata sebelah pihak (unilateral ceasefire) hal ini guna untuk memberikan ruang kepada berbagai pihak untuk memberikan bantuan kemanusia dalam penangan tsunami di Aceh, karena pada tahun 2004 Aceh masih dalam status darurat militer sehingga tidak semua dengan bebas melakukan aktifitas di Aceh.(Theresita Herni Setiawan, 2007)

Setalah musibah tsunami ditangani pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dimana SBY menggunakan istilah dalam tanggap darurat tsunami Aceh dengan 3 Quick, "Quick to see, quick to decide, quick to act”. Barulah pada awal tahun 2005 proses negosiasi kebali lagi dijalankan, mediasi kali ini dilakukan oleh Crisis Management Initiative (CMI) sebagai mediator dimana mantan presiden Finlandia Marti Ahtisaari sebagai ketua perundingan, Marti Ahtisaari mengubah pola negosiasi dengan memprioritaskan status politik Aceh terlebih dahulu. Dengan menggunakan rumus bahwa “nothing is agreed until everything is agreed” (tidak ada kesepakatan sampai semuanya disepakati) menghendaki kedua belah pihak untuk menyepakati formula politik sebelum gencatan senjata dan pengaturan keamanan dibicarakan. Pada akhirnya tanggal 15 Agustus 2005 kedua belah pihak sepakat mengenai poin-poin perdamaian dan sekaligus mengakhiri konflik GAM di Aceh.(M. Ya’kub Aiyub Kadir, 2019)

MoU HELSINKI SEBAGAI PONDASI PARTAI POLITIK LOKAL ACEH

Sejak disepakatinya nota perdamaian MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 telah memberikan angin segar kepada masyarakat Aceh yang selama ini hidup ditengah ketidakpastian dari segala hal. Bagaimana tidak selama konflik masyarkat dirundung ketakutan untuk melakukan segala aktifitas karena selalu berbenturan dengan kemanan dan ancaman. Disamping itu kesepahaman ini juga memberikan baru buat para kombatan GAM untuk dapat berperan aktif dan berkontribusi langsung dalam pembangunan Aceh kedepannya, khususnya bagi para kombatan GAM yang sedang dalam penghukuman yang tersebar dipenjara-penjara Pemerintah Indonesia baik di Aceh maupun di luar Aceh akan mendapatkan kebebasan dari masa tahanan yang telah dipustkan pengadilan.(“Farid Husain Merintis Perdamaian GAM-RI lewat Perjanjian Helsinki - Tirto.ID,” n.d.)

Ada 6 poin besar dalam kesepahaman penghentian pertikaian antara GAM dan RI yang ditandatangai di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.(Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, 2005)

Tabel 1. Poin-poin MoU Helsinki anatara GAM dan RI

 

NO

POINT PERJANJIAN

URAIAN

Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

 

Poin 1.1 ini terdiri dari poin 1.1 – 1.1.7 yang memuat tentang keharusan bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengimplementasikan hasil dari kesepakatan perdamian Helsinki dalam bentuk UU yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh selambat-lambatnya pada tanggal 31 Maret 2006. Pembentukan Wali Nanggroe dengan segala perangkatnya, pengaktifan kembali Qanun Aceh sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah Islam di Aceh. Kewenangan Aceh dalam menggunakan simbol-simbol seperti bendera, lambing, himne dan perbatasan Aceh merujuk kepada perbatasan 1 Juli 1956.

 

Partisipasi Politik

Poin 1.2 terdiri dari poin 1.2 – 1.2.8. Keharusan bagi Pemerintah RI untuk memfasilitasi pembentukan partai-partai lokal di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional dalam tempo satu tahun atau paling lama delapan belas bulan sejak MoU ini disepakati, dimana partisipasi penuh masyarakat Aceh dalam memilih partai lokal maupun nasional dijamin sesuai dengan konstitusi Indonesia.

 

Ekonomi

Poin 1.3 terdiri dari poin 1.3 – 1.3.9. Aceh memiliki hal untuk medapatkan dana melalui hutang luar negeri. Aceh juga memiliki hak untuk memungut dan menetapkan pajak daerah guna untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh. Menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa adanya hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya dan GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).

 

Peraturan Perundang-undangan

Poin 1.4 terdiri dari poin 1.4 – 1.4.5. Legislatif Aceh merumuskan hukum yang berlaku di Aceh yang berdasarkan kepada prinsip-prinsip universal Hak Asasi Manusia sebagaimana termuat dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2

Hak Asasi Manusia

Poin 2 terdiri dari poin 2.1 – 2.3. Pemerintah Republik Indonesia akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dan membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk Aceh. Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

3

Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat

Poin 3 terdiri dari poin 3.1 – 3.2.7. Pemerintah Republik Indonesia akan memberikan pengampunan (amnesti) kepada setiap orang yang terkait GAM sesuai dengan ketentuan konstitusi dengan batas tidak lebih dari 15 hari sejak penandatangan kesepemahan yang dimaksud.  Tahan politik akan dilepaskan tanpa syarat secepat mungkin sebelum 15 hari sejak perjanjian Helsinki. Semua orang yang terlibat dengan GAM yang telah dibebaskan dari tahanan negara akan mendapatkan hak-hak sosial dimasyarkat, politik, ekonomi dan suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk. Pemerintah Republik Indonesia akan mengalokasikan sejumlah dana untuk rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh. Pemerintah Republik Indonesia juga mengalokasikan sejumlah tanah pertanian serta dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan melancarkan proses reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak.

4

Pengaturan Keamanan

Poin 4 terdiri dari poin 4.1 – 4.12. Semua aksi kekerasan antar kedua belah pihal akan berakhir paling lambat pada saat penandatanganan nota Kesepahaman Helsinki. GAM harus melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak diperkenankan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. GAM harus melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh anggota dalam kegiatan GAM yang dibantu oleh Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM bersepakat untuk menyerahkan 840 pucuk buah senjata. Penyerahan persenjataan GAM dimulai dilakukan pada tanggal 15 September 2005, penyerahan ini dilaksanakan dalam empat tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005. Relokasi tentara dan polisi non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan dilaksanakan dalam empat tahapan juga sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.

5

Pembentukan Misi Monitoring Aceh

Poin 5 terdiri dari poin 5.1 – 4.15. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud. GAM dan Pemerintah RI akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM dan Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.

6

Penyelesaian perselisihan

Poin 6 terdiri dari poin 6.1 – 6.1a-c. Poin berbicara mengenai penyelesaian jika perselisihan terjadi dikemudian hari. Jika terjadi perselisihan segera diselesaikan dengan cara berikut:

a.     Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

b.     Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

c.     Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.

Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini.

 

Dari hasil Mou Helsinki inilah Pemerintah Indonesia meresponnya dengan dilakukan penggodokan dan pengesahan Undang-Uundang Pemerintahan Aceh (UUPA) yakni UU No. 11 Tahun 2006. Dimana UU ini memberikan kesempatan sangat luas bagi Aceh untuk mengelola, mengembangkan dan mensejahterakan rakyatnya dari berabagai aspek termasuk dalam hal politik, yakni dengan kehadiran partai lokal sebagai basis politik bagi para eks GAM di Aceh. Dalam pasal 75 ayat 1 dan 2 UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa masyarkat di Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang dibentuk oleh paling sedikit 50 orang Warga Negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun dan berdomisili tetap di Aceh.(UU No. 11 TAHUN 2006)

Selain UUPA No. 11 Tahun 2006 sebagai landasar yuridis pendirian partai lokal di Aceh, juga telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 2007 Tentang Partai Lokal Aceh dimana pada pasal 1 angka 2 diterangkan “Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota”.(“PP 20-2007::partai politik lokal di Aceh,” n.d.)

Selain kedua peraturan di atas, pemerintah Aceh juga telah mengesahkan Qanun No. 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dimana dijelaskan bahwa keikutsertaan partai lokal dalam pemilihan umum di Aceh menganut azas yang sama dengan pemilihan umum sekala nasional yakin, langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Partai lokal dapat menjadi peserta pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kab/Kota (DPRK) jika telah berbadan hukum dan terdaftar di Kantor Wilayah departemen Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, ketentuan ini termaktup dalam pasal 2 dan 3 Qanun No. 3 Tahun 2008.(QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2008, 2008)

Inilah tiga landasan hukum bagi Aceh untuk membuat partai lokal. Keberadaan partai lokal di Aceh merupakan sarana memperjuangkan eksistensi bagi para mantan kombatan GAM atau kata halusnya sebagai bentuk kesadaran masyarakat Aceh menegai perlunya suatu organisasi yang terstruktur untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat dijaman modern sekrang ini. Dengan demikian kehadiran partai lokal di Aceh dapat memberikan dampak yang positif bagi kemajuan Aceh kedepannya, karena partai lokal diharapkan lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat Serambi Mekah bila dibandingkan dengan partai nasional.(Bahrum, 2016)

Sejarah keikutsertaan partai lokal Aceh dalam pemilihan umum di Indonesia telah berlangsung selam tiga masa pemilihan umum, yakni pemilu tahun 2009, 2014 dan 2019. Keikutsertaan partai lokal dalam kontestasi politik ditanah air tidaklah mudah, karena syarat keikutsertaan partai lokal juga harus lolos verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di Jakarta.

Dalam pemili tahun 2009 sebagai keikutsertaan perdana partai lokal Aceh dalam pemilu di Indonesia, tercatat ada enam partai lokal lolos verifikasi dan menjadi peserta pemilu 2009 yakini, Partai Aceh (PA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA) dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Partai lokal yang lolos perivikasi peserta pemilu 2014 hanya tiga pertain lokal yakni Partai Aceh (PA), Partai Daulat Aceh (PDA) dan Partai Nasional Aceh (PNA). Dan keikutsertaan partai lakal Aceh dalam pemilu 2019 diikuti oleh empat partai lokal yang lolos verifikasi yakni, Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Daulat Aceh (PDA) dan Partai Nasional Aceh (PNA).

Dominasi partai lokal dan eks GAM di Aceh pasca MoU Helsinki sangan dominan, partai Aceh adalah kekuatan politik baru di Aceh, terbukti selama mengikuti tiga kali proses pemilu parati Aceh selalu menjadi penguasa di parlemen Aceh, walaupun perolehan suara dan keterwakilannya diparlemen Aceh selalu berkurang dari pemilu-pemilu sebelumnya. Dengan demikian para eks GAM yang dulunya bergerilia dibelantaran hutan Aceh kini mendapat berkah berkat kesepaham di Helsinki pada tahun 2005.(“Aceh Pilih Partai Aceh - ANTARA News,” n.d.)

Dominasi partai lokal Aceh tidak hanya sebatas di legislatif saja, akan tetapi juga merajai di ranah eksekutif, terlihat dari daftar peminpin Aceh pasca penandatangan MoU Helsinki pada tahun 2005 dan disahkannya UUPA No. 11 Tahun 2006.(Nurhasim, 2012) Sejak saat Aceh damai, Aceh telah melaksankan tiga kali pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Pilgub 2006 dimenangkan oleh drh. Irwandi Yusuf, M.Sc dan Muhammad Nazar, S.Ag. Irwandi Yusuf adalah mantan pejabat GAM dan salah satu orang yang terlibat dalam negosiasi perdamain Aceh. Semnetara Pilgub pada tahun 2012 dimenangkan oleh pasangan dr. Zaini Abdullah - Muzakkir Manaf. Zaini Abdullah adalah mantan Menteri Kesehatan dan Menteri Luar Negeri GAM dimasa Aceh bergejolak. Dan Pilgub paling terbaru adalah pilgub yang dilaksanakan pada tahun 2017 yang memilih Irwandi Yusuf kemabali sebagai Gubernur Aceh untuk periode 2017-2022.

 

KOMPETISI PARTAI LOKAL DAN PARTAI NASIONAL DALAM PEMILU DI ACEH

Seperti kita ketahui bersama bahwa keberadaan organisasi partai politik adalah untuk memikat hati masyarakat dengan progam-progam pembangunan yang dijanjikan dalam memenuhi kesejahteraan masyarakat.  Partai lokal Aceh dalam dalam mempungsikan partai sebagai pengerek suara dalam pemilu di Aceh tidak kalah dengan partai-partai dalam skala nasional, bahkan keberadaan paratai lokal Aceh dalam beberapa putaran pemilu yang telah diikuti partai lokal Aceh terbukti mampu menjadi mesin peraih suara terbanyak dalam pemilihan legislative pada tahun 2009, 2014 dan 2019.

Pemilu tahun 2009 yang mejadikan pemilu pertama dalam kepesertaan paratai lokal Aceh telah memberikan warna tersendiri dalam demokrasi di Aceh. Partai lokal yang lahir dari hasil kesepakan damai antara GAM-RI di jenewa ternyata mampu memikat para pemilih untuk memberikan hak suaranya kepada partai lokal. Hal ini bisa dilihat dari hasil perolehan kursi legislative Aceh (DPRA) 2009 dimana partai Aceh (PA) berhasil mearaup suara terbanyak di Aceh dengan perolehan suara 41,91% menjadikan partai Aceh sebagai partai penguasa di legislative Aceh dengan 33 kursi keterwakilan diparlemen.

Begitu juga dengan pemilu tahun 2014 dan 2019, walaupun secara presentasi perolehan suara partai lokal menurun dari pemilu 2009, tapi partai lokal tetap menjadi pemenang pada tiga kali periode pemilihan legislatif di Aceh. Lalu yang menarik kita lihat adalah bagaimana prestasi partai nasional di bumi serambi mekah ini? Dari data Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh pada tahun 2014 tidak ada satu partai nasionalpun yang domina di Aceh, rata-rata perolehan suara parpol nasional di Aceh berada dibawah 10%. Suara terbanyak diperoleh Partai Golkar dengan raihan suara 9.07% lalu disusul oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dan Nasdem masing-masing memperoleh suara 7.58% dan 7.03%. Hasil ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan hasil pemilu pada tahun 2009 dimana partai lokal dalam hal ini Partai Aceh (PA) masih mendominasi perolehan suara di Aceh. Hal ini menunjukkan kepercayaan masyarkat Aceh terhadap partai lokal untuk dapat berbuat lebih banyak tentang pembangunan Aceh masih sangat besar.   

      Tabel 2. Daftar perolehan suara pemilu Legislatif Aceh tahun 2014

No

 

Partai

Suara Sah

(%)

1

 

NasDem

168,753

 

7.03%

2

 

PKB

80,389

 

3.35%

3

 

PKS

121,494

 

5.06%

4

 

PDIP

63,124

 

2.63%

5

 

GOLKAR

217,622

 

9.07%

6

 

GERINDRA

102,674

 

4.28%

7

 

DEMOKRAT

156,303

 

6.51%

8

 

PAN

181,820

 

7.58%

9

 

PPP

132,351

 

5.52%

10

 

HANURA

45,515

 

1.90%

11

 

PDA

72,721

 

3.03%

12

 

PNA

113,452

 

4.73%

13

 

PA

847,956

 

35.34%

14

 

PBB

60,803

 

2.53%

15

 

PKPI

34,184

 

1.42%

 

 

Total

             2,399,161

 

 

 

 

 

          

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  Sumber: Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh

 

Sementara itu pemilu yang baru saja dilangsungkan pada tahun 2019 menunjukkan ada gairah partai nasional di Aceh, hal ini juga ditandai dengan penurunan suara yang diperolah secara derastis oleh Partai Aceh dalam pemilu legislatif Aceh tahun 2019. Tercata partai nasional sudah mampu menembus perolehan suara di atas 10% hal ini tenntu sangat berbeda jauh dengan perolehan suara pada tahun 2009 dan 2014. Pemilu DPRA pada tahun 2019 menempatkan partai Demokrat sebagai partai nasional dengan perolehan suara terbanyak dalam pileg di Aceh dengan Raihan 11,19% kemudian partai Golkar dan Gerindra dengan raihan suara 9,53% dan 8,87%.

Gambar 1. Raihan suara partai dalam Pemilu 2019

Sumber tabel: https://kumparan.com/(“Partai Aceh, Demokrat dan Golkar Peroleh Suara Terbanyak di Aceh - kumparan.com,” n.d.)

Kompisis kursi keterwakilan partai nasional di Aceh pada tahun 2014 dimana partai Golkar memperoleh 9 kursi dimana peroleh ini bertambah satu kursi bila dibandingkan dengan perolehan pileg pada tahun 2009. Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Demokrat masing-masing memperoleh 8 kursi. Kemudian Partai Amanat Nasional (PAN) memperoleh 7 kursi yang mana peroleh 7 kursi ini juga terjadi penambahan bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya hanya merai 5 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh 6 kursi dari sebelumnya pemilu 2009 memperoleh 4 kursi. Partai Keadilan Sejahtera 4 kursi, Partai Gerindra 3 kursi, PKB, PBB, PKPI masing-masing memperoleh 1 kursi. Sedangkan partai Hanura dan PDI Perjuangan tidak mendapatkan kursi sama sekali di legislative Aceh pada pemilu 2014.“PA Raih 29 Kursi DPRA - Serambi Indonesia,” diakses 8 Januari 2020, https://aceh.tribunnews.com /2014/04/27/pa-raih-29-kursi-dpra.

Raihan kursi pada pemilihan legislatif Aceh tahun 2019 partai nasional mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2014 hal ini selaras dengan kemorosotan perolehan suara Partai Aceh yang hanya memperoleh 18 kursi dari 35 kursi target partai eks GAM tersebut.(Wildan, n.d.) Peroleh kursi terbanyak partai nasional di legislative Aceh adalah Partai Demokrat dengat Raihan 10 kursi, pencapian 2019 lebih baik dari pada pemilu 2014 dengan raihan 8 kursi, disusul Partai Golkar dengan 9 kursi, Partai Gerindra 8 kursi, PAN, PKS dan PPP masing-masing memperoleh 6 kursi, PKB 3 kursi, NasDem 3 kursi, PKPI 1 kursi. Sedangkan Partai Hanura dan PDI Perjuangan yang pada pemilu 2014 tidak mendapatkan perwakilan di DPRA Aceh pada pemilu 2019 ini masing-masing meraih 1 kursi. Pada pemilu 2019 ini bukan hanya Partai Aceh saja yang kehilangan banyak wakilnya di DPRA Aceh tetapi partai Nasional Demokrat juga mengalami penurunan suara yang berakibat berkurangnya wakil partai di DPRA, tercatat pada pemilu 2014 NasDem memperoleh 8 kursi sedangkan pada pemilihan legislative 2019 NasDem hanya meraih 2 kursi keterwakilannya di DPRA.

 

KESIMPULAN

Pergulatan panjang proses perdamaian Aceh telah melahirkan berbagai kesepakan dan kebijakan, baik dari Perintah Pusat di Jakarta maupun dari pihak GAM. Dengan adanya keinginan yang kuat dari kedua belah pihak untuk mengakhiri krisis politik dan keamanan di Aceh telah mengubah wajah Aceh pada saat ini dan tentunya untuk kemudian hari. Walaupun kebijakan terhadap Aceh dengan Otonomi Khususnya yang berdasarkan kepada Undang-undang Pemerintah Aceh No. 11 tahun 2006 diangkap terlalu berlebihan oleh berbagai kalangan, karena dianggap Aceh terlalu memiliki kekuasaan yang sangat luas bila dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, tapi demi kemanan dan kelangsungan perdamian Aceh serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia hal ini menjadi suatu kewajaran mengingat peran Aceh dalam kemerdekaan Indonesia juga tidak bias dipandang sebelah mata belum lagi kekayaan alam Aceh yang melimpah sedikit banyaknya telah berkontribusi  dalam proses pembangunan nasional Indonesia sejak Indonesia merdeka. Maka wajar sekali ketika presiden pertam Indonesia mengatakan bahwa Aceh adalah sebagai daerah Modal.

Keberadaan partai lokal di Aceh sudah seharusnya menjadi media politik yang santun dan berwibawa bagi Aceh dalam mengemban tugas pembangunan di Aceh. Bagaimanapun konplik dan tsunami telah menyeret Aceh kedalam lembah kesengsaraan dan keterbelakangan Aceh dari daerah lainnya di Indonesai. Partai lokal Aceh walaupun diinisiasi oleh eks kombatan GAM juga harus menyentuh dan merata dalam pembangunan di Aceh tanpa harus memilah dan memilih daerah basis GAM pada masa-masa konflik terkhusus bagi wilayah Barat dan selatan Aceh.

 

 

PUSTAKA RUJUKAN

Aisyah, Ti, Subhani, Al Chaidar. Darul Islam Di Aceh:Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964. Lhokseumawe: Unimal Press Lhokseumawe NAD, 2008.

Berutu, Ali Geno. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Purwokweto: Penerbit CV. Pena Persada, 2020.

Ibrahim, Muhammad. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. DEPDIKBUD Direktorat Jendral Sejarah dan Nilai Tradisional Jakarta, 1991.

Priyotomo, Agus Budi Wibowo. Irini Dewi Wanti. Iskandar Eko. Dinamika dan Peran Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh. Banda Aceh: Aceh, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Banda, 2005.

Schulze, Kirsten E. The Free Aceh Movement ( GAM ): Anatomy of a Separatist Organization. Washington: East-West Center Washington, 2004.

Abdul Rahman Al Fikhi. (2014). Fungsi Partai Politik Sebagai Sarana Penyerap, Penghimpun, Dan Penyalur Aspirasi Politik Masyarakat Dalam Merumuskan Dan Menetapkan Kebijakan Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik Atas Perubahan (Juncto) Undang-Undang .

Aceh Pilih Partai Aceh - ANTARA News. (n.d.). Diambil 5 Januari 2020, dari https://www.antaranews.com/berita/138661/aceh-pilih-partai-aceh

 

Amin, K. (2018). Pengaruh Konflik Terhadap Pembangunan Pendidikan Di Aceh. Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, 1(2), 159–176.

Atthahara, H., Studi, P., Pemerintahan, I., Singaperbangsa, U., Jalan, K., Ronggowaluyo Teluk, H. S., … Karawang, K. (2018). Perempuan dan Kekuasaan: Studi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan oleh TNI di Aceh Pada Masa Darurat Militer dan Darurat Sipil Tahun 2003-2005. Jurnal Politikom Indonesiana, Vol. 3 No. 2, 3(Desember), 104–115.

AW, M. J. (2014). Asas Demokrasi dan Partai Politik Lokal Di Provinsi Aceh. Jurnal NIAGARA, 7(2), 122–139.

Bahrum, S. (2016). Dinamika Partai Politik Lokal (Analisis Partai Aceh dan Penerapan Syari’at Islam). Al-Lubb, 1(1), 136–140.

Basri, H. (2014). Konflik Pemerintah Aceh Dan Pemerintah Pusat Pasca Mou Helsinki : Self-Government. POLITIKA (Vol. 5).

Cut Annysa Mailika. (2013). The Roles Of Henry Dunant Centre In Promoting Peace Making And Peace Building In The Province Of Aceh (Presiden university). Diambil dari http://repository.president.ac.id/bitstream/handle/123456789/1551/016200900009.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Daftar Parpol Peserta Pemilu 2009. (n.d.). Diambil 3 Januari 2020, dari https://nasional.kompas.com/read/2008/07/07/23212471/daftar.parpol.peserta.pemilu.2009


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda