Jumat, 11 Februari 2022

PENGATURAN TINDAK PIDANA DALAM QANUN ACEH: Perbandingan Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014

 

Tulisan ini telah terbit di Jurnal di Jrnal Mazahib IAIN Samarinda

Silahkan kutip/atau sitasi tulisan ini dengan mengcopy judul dibawah ini:

 Ali Geno Berutu, Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 16 No. 2 Tahun 2017

Ali Geno Berutu

Sekolah Pascasarjana (SPs)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

email: ali_geno@ymail.com

 

Abstrak: Pengaturan Tindak Pidana Dalam Qanun Aceh. Kewenangan pelaksanaan syariat Islam yang diberikan oleh Pemerintah RI kepada Pemerintah Aceh adalah syariat dalam arti yang luas, yakni tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Pengertian syariat semacam ini, kemudian diikuti dalam peraturan-peraturan qanun di Aceh. Namun pemilahan bidang-bidang syariat Islam yang luas tersebut masih berbeda-beda. Qanun No. 12 (Khamar/miras), 13 (Maisir/judi) dan 14 (Khalwat/mesum) Tahun 2003 disahkan diawal penerapan syariat Islam di Aceh sebagai qanun dalam bidang jina>ya>t, pemilihan ketiga qanun ini bukannya tanpa alasan, ketiga qanun tersebut sekurang-kurangnya memiliki dua alasan. Alasan yang pertama, ketiga jenis perbuatan tersebut merupakan bentuk maksiat (haram) dalam syariat Islam dan sangat meresahkan masyarakat namun belum tertangani dengan baik. Kedua, adanya euforia di dalam lapisan masyarakat dalam bentuk “peradilan rakyat” terhadap ketiga jenis yang diatur dalam qanun jinayat ini, guna untuk menghindari main hakim sendiri di tengah-tengah masyarakat maka disahkan ketiga qanun pidana di atas sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai kekacauan ditengah-tengah lapisan masyarakat Aceh. Penelitian ini mengkaji tentang kelemahan-kelamahan yang terdapat dalam Qanun 12, 13 dan 14 Tahun 2003 yang kemudian kelemahan tersebut tertutupi dengan disahkannya Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Qanun Jinayat Aceh.

 

Abstract: Pengaturan Tindak Pidana Dalam Qanun Aceh. Authority implementation of Islamic law granted by the Government to the Government of Aceh is the law in the broadest sense, the guidance of Islam in all aspects of life. Understanding this kind of law, followed the rules Qanun in Aceh. But sorting the fields of Islamic law which is still widely vary. Qanun 12 (Khamar/alcohol), 13 (Maisir/gambling) and 14 (Seclusion /dirty) of 2003 was passed at the beginning of the application of Islamic law in Aceh Qanun in jinayat, selection of third-Qanun is not without reason, the third qanun is at least a two reasons. The first reason, the third type is a form of immoral acts (haram) in Islam and very disturbing society but is not handled properly. Secondly, there is euphoria in society in the form of "people's justice" against the three types provided for in this jinayat Qanun, in order to avoid vigilantism in the middle of the third confirmed Qanun is a form of injustice in anticipation of the chaos the middle layer of the Acehnese. This study reviews the weaknesses found in Qanun 12, 13 and 14 of 2003 that the vulnerability is then covered with the passing of Qanun 6 Year 2014 concerning Aceh Qanun Jina>ya>t.

 

Kata Kunci: Qanun, Khamar, Maisir, Khalwat, Jina>ya>t.

 

 

 

 

A.   Pendahuluan

Reformasi yang bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 telah menjadi salah satu penguat dalam momentum penegakan syariah di Indonesia. Kalangan Islam politik beranggapan bahwa hukum warisan kolonial Belanda telah terbukti gagal dan tidak bisa menghadapi perkembangan zaman dan ketertiban dimasyarakat dan Islam dianggap sebagai satu-satunya alternatif. Tuntutan penerapan syariat Islam menjadi gejala umum di Indonesia sejak tahun 1999-2009, otonomi daerah yang merupakan buah dari reformasi sagat mempengaruhi tuntutan formalisasi syariat Islam di Indonesia.

Dengan alasan inilah seolah daerah berlomba-lomba untuk menjadikan Islam sebagai dasar hukum dalam kehidupan bermasyarakat di daerahnya. Seperti adanya larangan, penertiban dan penjualan minuman keras di Bulu Kumba, Sulawesi Selatan melalui Perda No.3/2002. Perda No. 10 tahun 2003 di Gorontalo tentang Pencegahan Maksiat, di Indramayu Jawa Tengah ada Perda No. 7 tahun 1999 tentang Prostitusi, di Tangerang ada Perda No. 8 tahun 2005 tentang pemberantasan maksiat dan masih banyak lagi daerah yang menjadikan Islam sebagai aturan moral dan etika masyarakatnya.

Aceh pada masa reformasi kembali menuntut pemberlakukan syariat Islam, tuntutan referendum kepada Aceh mendominasi tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Pemmeritah Pusat merespon tuntutan ini dengan mengundangkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistemewaan Provinsi Daerah Istimmewa Aceh. Pada Juli 2001 dimasa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2001 yang mengatur tentang Otonomi Khusus (OTSUS) bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) seperti adanya mahkamah syraiyyah (MS), qanun, lembaga daerah, zakat, wilayatul hisbah (WH), kepemimpinan adat dan lain-lain.

            Pemberlakuan syariat Islam di Aceh ditata secara legal formal dalam UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang tersebut telah menjadi dasar kuat bagi Aceh untuk menjalankan syariat Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa syariat Islam merupakan kebijakan negara yang diberlakukan di Aceh. Jadi dalam konteks penerapannya juga menjadi bagian dari tanggung jawab negara. Berarti terlaksananya syariat Islam di bumi Aceh bukan semata-mata tanggung jawab pribadi pemeluk agama Islam, tetapi telah menjadi tanggung jawab negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Aceh.

Selain pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat daerah Provinsi Aceh, di tingkat Pemerintah Pusat juga telah dilakukan perubahan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur kedudukan dan kewenangan berbagai lembaga penegak hukum, seperti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di dalam undang-undang yang disebut terakhir ini terdapat penetapan kedudukan dan fungsi lembaga wilayatul hisbah (WH) sebagai pengawas pelaksanaan syariat dan melakukan penegakan hukum atas  qanun-qanun penegakan syariat Islam. Di masa depan, WH ini diproyeksikan akan ditingkatkan perannya sebagai pelaksana fungsi penyidikan pada kasus-kasus pelanggaran  qanun menggantikan kepolisian sebagai penyidik.

Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 Pemerintah Aceh membentuk panitia untuk menghimpun bahan penetapan kerja serta menulis rancangan qanun tentang pelaksanaan syariat Islam sebagai hukum positif di Aceh, untuk itu panitia menetapkan tiga bidang penulisan rencana qanun Aceh, dimana salah satunya adalah penulisan qanun bidang jina>ya>t (pidana) materil dan formil.

Pemerintah Provinsi Aceh memiliki beberapa instrumen untuk mengkodifikasi peraturan syariat Islam secara formal, instrumen hukum tersebut terdiri dari qanun yang membahas masalah-masalah spesifik seputar pemberlakuan syariat Islam. Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut kanun yang artinya undang-undang atau peraturan, sedangkan pengertian qanun dalam kamus bahasa Arab adalah undang-undang, kebiasaan atau adat.

Qanun No. 12, 13 dan 14 yang mengatur tentang khamar, maisir dan khalwat merupakan qanun hukum pidana materil yang disahkan pada tahun 2003. Pasal 2 Qanun No. 12 Tahun 2003 menyebutkan bahwa ruang lingkup larangan minuman khamar dan sejenisnya adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan segala minuman yang memabukkan. Sementara itu Qanun No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa ruang lingkup larangan maisir dalam qanun ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemud}aratan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut.[18]  Sedangkan ruang lingkup Qanun No. 14/2003 tentang larangan khalwat/mesum adalah segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina.[19]

Ketiga qanun di atas disahkan diawal penerapan syariat Islam di Aceh dengan alasan yang paling mendaasar berupa ketiga jenis perbuatan tersebut mmerupakan bentuk maksiat (haram) dalam syariat Islam dan sangat meresakan masyarakat namun belum tertangani dengan baik,[20] serta adanya euforia di dalam lapisan masyarakat dalam bentuk “peradilan rakyat” terhadap ketiga jenis yang diatur dalam qanun jina>ya>t ini. Untuk menghindari main hakim sendiri ditengah-tengah masyarakat, maka disahkan ketiga qanun pidana di atas sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai kekacauan ditengah-tengah lapisan masyarakat Aceh.

Dalam perjalanannya, penerapan qanun yang berbasis jina>ya>t di Aceh tidak semua daerah berjalan dengan baik, ada banyak masalah dan kendala yang dihadapi dilapangan baik dari pelaksananya (pemerintah) maupun masyarakat sebagai objek hukum penerapan syariat Islam itu sendiri.[21]  Pada saat pelaksanaan ‘uqu>ba>t cambuk yang pertama di Aceh telah terlihat banyak kelemahan kepada ketiga qanun jina>ya>t tersebut, baik secara materil maupun formilnya. Memang sejak awal qanun ini ditulis lalu disahkan sudah ada rencana untuk merevisi dan menyempurnakan setelah adanya bentuk nyata pengaflikasian di lapangan, dalam arti telah ada tersangka, proses penyidikan, penuntutan, penyidangan dan pembacaan putusan.

Menurut rencana, ketiga qanun tersebut disahkan pada tahun 2003 kemudian dilakukan sosialisasi dan efektif berlaku pada tahun 2004 lalu diadakan revisi pada tahun 2005. Tapi rencana tersebut tidak bisa terlaksana disebabkan oleh beberapa faktor seperti, adanya musibah Tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004, penandatanganan MoU Helsinki pada tahun 2005 dan disahkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2006, maka revisi dan penyempurnaan ketiga qanun jina>ya>t tersebut baru bisa dibahas pada tahun 2009, tapi karena adanya perbedaan pendapat antara eksekutif dan legeslatif dan maraknya tuntutan pembatalan qanun jina>ya>t dari berbagai pihak tentang rencana pengesahan Qanun Jina>ya>t di Aceh, maka qanun tersebut tidak jadi disahkankan pada tahun 2009. Setelah itu barulah pada tahun 2014 Qanun No. 6 ini disahkan setelah semua fraksi-fraksi di DPRA menyetujuinya.[22]

Salah satu kendala mendasar dalam Qanun No. 12 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tentang Maisir dan Qanun No. 14  Tahun 2003 tentang Khalwat yang berlaku di Aceh samapai pada tahun 2013, memiliki satu kelamahan tersendiri bagai para penegak hukum syariah (WH)[23] yakni tidak adanya suatu  kewenangan yang dimiliki anggota WH untuk melakukan penahanan terhadap orang yang melanggar Qanun No. 12,13 dan 14 Tahun 2003 tersebut, sehingga menyulitkan bagi para penegak hukum (WH) untuk menindak para pelanggara Qanun syariat di Aceh. Selain kendala tersebut, masih banyak kendala lainnya yang belum disentuh oleh Qanun Jinayat terdahulu (Qanun 12, 13 dan 14/2003), seperti bentuk hukuman, objek penghukuman dan alternatif hukuman bagi pelaku jari>mah.

Bertolak dari latar belakang di atas, maka masalah pokok yang dikaji di dalam tulisan ini adalah, bagaimana pengaturan pelaksanaan tindak pidana pelanggaran Qanun No. 12, 13 dan 14 Tahun 2003 dan apakah yang menjadi pembeda dengan Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat di Aceh?

 

B.   Pembahasan

1.    Pengaturan Tindak Pidana Khamar (Qanun No. 12 Tahun 2003)

Qanun Pemerintah Aceh No. 12 tahun 2003 tentag Minuman Khamar dan Sejenisnya  menyebutkan bahwa mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya merupakan pelanggaran terhadap syariat Islam dan dapat merusak kesehatan, akal, kehidupan masyarakat serta berpeluang menimbulkan maksiat lainnya, karena maqashid syari’ah adalah menjaga akal, maka syariat Islam sangat tegas melarangnya.[24] Qanun ini disahkan pada tanggal 15 Juli 2003 dan kemudian diundangkan sehari kemudian 16 Juli 2003.[25] Yang dimaksud dengan minuman khamar dalam qanun ini adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir.[26]

Secara subtantif qanun ini tidak kontradiksi dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Produk perundang-undangan lainnya dalam konsideran qanun nomor 12 tahun 2003 ini menyebutkan bahwa secara materil melandaskankan kepada produk perundang-undangan diatasnya, yakni Keputusan Presiden (kepres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman beralkohol di Daerah.[27]

Materi muatan Qanun Nomor 12 Tahun 2003, secara umum hampir sama dengan muatan Keperes No. 3 Tahun 1997, dalam Pasal 2 Qanun No. 12 Tahun 2003 dijelaskan ruang lingkup larangan minuman khamar dan sejenisnya adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan segala minuman yang memabukkan, sedangkan Pasal 1 Kepres Yang dimaksud dengan minuman beralkohol dalam Keputusan Presiden ini adalah minuman yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi atau fermentasi yang dilanjutkan dengan penyulingan sesuai keperluan, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan alkohol atau dengan cara pengenceran minuman beralkohol, sehingga produk akhirnya berbentuk cairan yang mengandung etanol.[28]

Khamar disebut sebagai induk kejahatan karena orang yang mabuk akan hilang kendali kesadarannya,[29] oleh karena itu Pemerintah Aceh telah memberlakukan larangan minuman khamar dan sejenisnya disertai dengan ketentuan ‘uqu>ba>t (punishment). Dengan demikian diharapkan dapat melindungi semua masyarakat dari efek negatif yang di timbulkan dari mengkonsumsi minuman yang dapat memabukkan tersebut. Adapun ketentuan ‘uqu>ba>t dalam qanun ini dijelaskan pada Pasal 26 ayat 1- 4 sebagai berikut:

1)    Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan ‘uqu>bat h}udu>d 40 (empat puluh) kali cambuk.

2)    Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).

3)    Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah jari>mah h}udu>d.

4)    Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jari>mah ta’zi>r.

Qanun ini juga mengatur tentang tindak pidana berupa sanksi administratif, selain pidana cambuk, kurungan dan denda. Dalam Pasal 30 menyebutkan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 – 8 adalah sebagai berikut:[30]

a.     Apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqu>batnya dijatuhkan kepada penanggung jawab;

b.     Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain ‘uqu>ba>t sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26, dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan.

Sedangkan bentuk hukuman pengulangan (residivis) hukuman yang dikenakan berupa penambahan 1/3 dari ‘uqu>ba>t maksimal. Apabila berkenaan dengan badan usaha, maka hukumannya dijatuhkan kepada penanggung jawab dan ditambah dengan penjatuhan ‘uqu>ba>t administratif berupa pencabutan izin usaha apabila telah diberikan.[31]

Pemberlakuan Qanun No. 12 Tahun 2003 efektif berlaku kurang lebih selama 12 tahun (2003-2014), tapi dalam penerapannya masih memiliki banyak kelemahan sehingga pemberlakuannya di tengah-tengah masyarakat di rasa kurang efektif. Salah sau contoh kelemahan Qanun 12 ini adalah ketiadaan kewenangan Wilayatul Hisbah (WH) untuk menahan setiap pelaku pelanggar Qanun No. 12 ini. Slah satu contoh kasus adalah, pada hari sabtu 8 Agustus 2012 pukul 21.00 WIB, Pol PP dan WH Kota Subulussalam, Aceh  melakukan razia dan berhasil mengamankan 79 botol minuman keras bermerek (bukan tuak/arak), disalah satu cafe milik PB (45) warga Gampong Jontor Kecamatan Penanggalan. Setelah melakukan razia di  Gampong Jontor WH kemudian melanjutkan razia ke Gampong Penanggalan, tepatnya di Gang Barto (barisan toba)[32] Jl. Swadaya, pertgas berhasil mengankan lima orang remaja yang sedang meminum minuman tuak[33] berserta seorang penjual, petugas WH juga berhasil mengamankan setengan ember besar tuak sebagai barang bukti (Pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya).

Keselurahan pelaku pelanggaran Qanun 12 tersebut tidak bisa dilakukan penahanan melainkan hanya berupa peneguran dan penandatangan perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Selain keterbatasan kewenangan WH dalam menindak setiap pelaku khamar, Qanun ini juga sebenarnya belum memilki hukum acara dalam melaksanakan penindakan terhadap setiap pelaku, dengan demikian, Qanun No. 12 Tahun 2013 masih menginduk kepada Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Republik Indonesia selama belum ada qanun yang mengaturnya. Dalam ketentuan KUHP Pasal 20 ayat 4 huruf a dan b disebutkan “penahanan hanya dapat dikenakan kepada tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut. Sedangkan dalam ketentuan uqu>bat pasal 26 Qanun No. 12/2003 disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar pasal 5 dihukum dengan ancaman uqu>bat hudud 40 kali cambuk. Jadi penahan terhadap tersangka tidak bisa dilakukan karena bertenntangan dengan KUHP.

Pada tahun 2014 di sahkan Qanun No. 6 tentang Hukum Jina>ya>t yang merupakan bentuk penyempurnaan terhadap Qanun No. 12 Tahun 2003. Mengenai rumusan pelaku khamar yang telah diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 memiliki perbedaan dengan Qanun Jina>ya>t yang disahkan pada tahun 2014 dalam hal jumlah ‘uqu>ba>t yang diterima pelaku.

Dalam Pasal 26 Qanun No 12 Tahun 2003 sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa setiap orang yang mengkonsumsi minuman khamar diancam dengan ‘uqu>ba>t h}udu>d berupa dicambuk sebanyak 40 (empat puluh) kali. Sedangkan untuk ketentuan memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan, mempromosikan dan turut serta/membantu dalam proses diatas, maka setiap orang atau badan hukum/badan usaha diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).

 

Tabel 1.1

Perbandinagn Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar

dengan Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang Jina>ya>t

JARIMAH

PELAKU

QANUN 12/2003

QANUN 6/2014

Mengkonsumsi

Setiap orang

H}udu>d 40 cambukan

H}udu>d 40 cambukan

Mengulangi

Setiap orang

Ditambah 1/3

Ta’zi>r 40 kali cambukan/ dendan 400 gram emas murni/penjara 40 bulan

Memproduksi

Perorangan, badan hukum dan badan usaha

‘Uqu>ba>t Ta’zi>r kurungan maksimal 1 (satu) tahun dan minimal 3 (tiga) bulan dan/atau denda maksimal Rp. 75.000.000’- dan minimal Rp. 25.000.000’-

‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan.

Menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan

Perorangan, badan hukum dan badan usaha

‘Uqu>bat Ta’zi>r kurungan maksimal 1 (satu) tahun dan minimal 3 (tiga) bulan dan/atau denda maksimal Rp. 75.000.000’- dan minimal Rp. 25.000.000’-

‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali atau denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.

Mengikut sertakan anak-anak

Setiap orang

Tidak diatur

‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 80 (delapan puluh) kali atau denda paling banyak 800 (delapan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 80 (delapan puluh) bulan.

 

Dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa ancaman bagi setiap orang yang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya dikenakan ‘uqu>ba>t h}udu>d berupa cambuk sebanyak 40 (empat puluh) kali. Sedangkan untuk setiap orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud di atas  diancam  dengan ‘uqu>ba>t h}udu>d cambuk 40 (empat puluh) kali ditambah ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 40 (empat puluh) kali atau denda paling  banyak 400 (empat ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan.

Acaman bagi setiap orang yang mengulangi (residivist) terhadap perbuatan mengkonsumsi minuman khamar terjadi perbedaan antara Qanun No. 12 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Dimana dalam Qanun 12/2003 dikenakan ‘uqu>ba>t h}udu>d berupa di cambuk sebanyak 40 (empat puluh) kali dan ditambah dengan 1/3 dari ‘uqu>ba>t maksimal, berarti setiap orang yang melakukan pengulangan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) maka dapat dikenakan hukuman berupa di cambuk sebanyak 53 (lima puluh tiga) cambukanan (40+13). Sedangkan dalam Qanun N0. 6 Tahun 2014 hukuman terhadap setiap orang yang melakukan pengulangan (residivis) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) maka di ancam dengan ‘uqu>ba>t h}udu>d berupa 40 (empat puluh) kali cambukan dan ditambah dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa dicambuk sebanyak 40 (emapat puluh) kali. Jadi hukuman yang di terima bagi setiap orang yang melakukan pengulangan perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 26 di atas terjadi pemberatan dalam hal jumlah hukuman yang diterima pelaku bila dibandingkan dengan Qanun No. 12 Tahun 2003.

Mengenai setiap orang yang memproduksi, menyimpan/menimbun,  menjual, atau memasukkan khamar, masing-masing diancam  dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan. Bagi setiap orang yang dengan sengaja membeli, membawa/mengangkut, atau menghadiahkan khamar, masing-masing diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali atau denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan. Apabila dalam setiap prosesnya melibatkan dan mengikutsertakan anak-anak dikenakan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 80 (delapan puluh) kali atau denda paling banyak 800 (delapan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 80 (delapan puluh) bulan.

Perbedaan juga terjadi dalam hal orang atau badan hukum/badan usaha yang memproduksi menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan, mempromosikan dan turut serta/membantu.[34] Dalam Qanun No. 12 tahun 2003 hukuman yang diancamkan dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), jadi dalam qanun ini tidak di kenakan hukuman cambuk bagi badan hukum/usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2). Sedangkan dalam Qanun No. 6 Tahun 2014, perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) dapat diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan. Dalam hal ini juga terdapat penambahan bentuk hukuman bila dibanding dengan Qanun No. 12 Tahun 2003, yakni berupa cambuk sebanyak 60 kali.

Adapun bentuk ‘uqu>ba>t administratif yang diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 tidak diatur lagi dalam Qanun No. 6 Tahun 2014, begitu juga dengan hal mengikutsertakan anak-anak, dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 ketentuan ini tidak diatur, tapi dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 diatur dengan ancaman ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 80 (delapan puluh) kali atau denda paling banyak 800 (delapan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 80 (delapan puluh) bulan.

Perubahan Qanun 12 Tahun 2003 menjadi Qanun No. 6 Tahun 2014 memang tidak banyak berbah, karena khamar termasuk kategori h}udu>d yang tidak dapat digugurkan oleh pengampunan manusia) yang bersifat tetap, hanya saja dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 telah memberikan hukuman tambahan (prevemtif) bagi setiap orang yang melibatkan anak-anak dalam segala bentuk kegiatan khamar yang dimana belum tersentuh dalam Qanun No. 12 Tahun 2003. Dengan demikian harus dipahami bahwa, penerapan hukuman bagi peminum khamar merupakan upaya untuk mengembalikan dan menegakkan supremasi hukum sebagaimana mestinya sekaligus mendidik dan menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

 

2.    Pengaturan Tindak Pidana Maisir (Qanun Nomor 13 Tahun 2003)

Pengertian judi dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan (ميسر) Maisir, yang berarti mudah atau kekayaan. Judi dikenal juga dengan sebutan “Qimar”, arti Qimar menurut Aunur Rahim Faqih adalah permainan yang taruhannya dalam bentuk apa saja, boleh uang atau barang-barang, dimana orang yang menang menerima dari yang kalah.[35] Adapun menurut istilah al-Maisir adalah segala bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan berhak mendapatkan taruhan tersebut.[36] Menurut Quraish Shihab perjudian dinamai dengan maisir, karena hasil perjudian diperoleh dengan cara yang gampang, tanpa adanya usaha kecuali menggunakan undian dibarengi oleh faktor keberuntungan[37] atau dengan kata lain yakni permainan yang memberi peluang pada nasib daripada permainan yang menunjukkan skill kemahiran.[38] Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia maisir adalah permainan yang memperebutkan uang.[39]

Pengertian maisir (judi) menurut qanun ini adalah kegiatan dan/perbuatan dalam bentuk permainan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapat bayaran.[40] Maisir termasuk salah satu perbuatan munkar yang  dilarang dalam syariat Islam dan agama lain serta bertentangan  pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh  karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya.[41] Hukum melakukan perbuatan maisir menurut Qanun No. 13 Tahun 2003 adalah haram[42] dan melarang setiap orang atau badan hukum atau badan usaha untuk menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. Disamping itu qanun ini juga melarang setiap orang atau badan hukum atau badan usaha menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.[43]

Adapun cangkupan dan ruang lingkup larangan maisir di Aceh adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah pada taruhan dan dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut. Sedangkan tujuan pelarangan maisir di Aceh menurut Qanun No. 13 Tahun 2003 adalah untuk memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan; mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah pada maisir;[44] melindungi masyarakat dari pengaruh buruk[45] yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan maisir; meningkatkan peran masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan maisir.[46]

            Di Aceh meski penegak utama hukum pidana bernuansa syariah di Aceh adalah Wilayatul Hisbah (WH), masyarakat juga diberikan peranan penting untuk mencegah terjadinya jari>mah maisir dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Peran serta masyarakat tersebut tidaklah dalam bentuk main hakim sendiri. Warga sipil berperan langsung dalam menegakkan qanun yang bernuansa syariah, diantaranya adalah peranan yang secara jelas ditetapkan dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 yakni, setiap anggota masyarakat memiliki peran serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan maisir; Apabila masyarakat mengetahui adanya perbuatan maisir, maka masyarakat mempunyai keharuskan[47] untuk melaporkan perbuatan tersebut kepada pejabat yang berwenang[48] baik secara lisan maupun tulisan,[49]dan pelapor wajib mendapatkan perlindungn dari pihak yang berwenang.

Ketentuan ‘uqu>ba>t dalam qanun ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 23 bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 5[50] diancam dengan hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali cambukan. Sementara itu apabila setiap orang atau badan hukum atau badan usaha non-instansi pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7[51] diancam dengan ‘uqu>ba>t atau denda maksimal Rp. 35.000.000’- (tiga puluh lima juta rupiah) dan minimal Rp. 15.000.000’- (lima belas juta rupiah).

Dalam Qanun Maisir ini juga mengatur tentang pengulangan (residivist) yang terdapat dalam Pasal 26 yang menyebutkan bahwa, pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, ‘uqu>ba>tnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqu>ba>t maksimal. Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 apabila:

a)     Dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqu>ba>tnya dijatuhkan kepada penanggung jawab;

b)    Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqu>ba>t sebagimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t administratif dengan mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan.

Tabel 1.2

Perbandinagn Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir

dengan Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang Jina>ya>t

 

JARIMAH

PELAKU

QANUN 12/2003

QANUN 6/2014

Melakukan perbuatan maisir

Setiap orang

Dicambuk paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.

1.      Jari>mah Maisir dengan nilai taruhan dan/atau keuntungan paling banyak 2 (dua) gram emas murni, diancam dengan ‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 12 (dua belas) kali atau denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 12 (dua belas) bulan.

2.         Jari>mah Maisir dengan nilai taruhan dan/atau keuntungan lebih dari 2 (dua) gram emas murni, diancam dengan ‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 (tiga puluh) bulan.

Menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada orang untuk melakukan aktifitas perbuatan maisir, atau menjadi pelindung perbuatan maisir.

Setiap orang, badan hukum dan instansi pemerintah

‘Uqu>bat Ta’zi>r berupa denda paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 15.000.000’- (lima belas juta rupiah).

‘Uqu>ba>t Ta’zi>r cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali dan/atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan.

Mengikut sertakan anak-anak

Setiap orang

Tidak diatur

Dikenakan ‘uqu>bat berupa denda paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 15.000.000’- (lima belas juta rupiah).

Percobaan Jarimah Maisir

Setiap orang

Tidak diatur

‘Uqu>bat Ta’zi>r paling banyak 1/2 (setengah) dari ‘Uqu>bat yang diancamkan.

 

Sedangkan dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 yang merupakan sebaga penyempurna terhadap Qanun No. 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa, perbuatan maisir diklasifikasikan dengan besarnya taruhan dan berakibat pada jumlah hukuman yang diterima, seperti setiap orang yang dengan sengaja melakukan jari>mah maisir dengan nilai taruhan dan/atau keuntungan paling banyak 2 (dua) gram emas murni, diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 12 (dua belas) kali atau denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 12 (dua belas) bulan. Orang yang melakukan jari>mah maisir dengan nilai taruhan dan/atau keuntungan lebih dari 2 (dua) gram emas murni diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 (tiga puluh) bulan.[52]

Bagi fasilitator baik orang atau badan hukum/badan usaha atau institusi pemerintahan, dalam Qanun 12/2003 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa denda  paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Sedangkan dalam Qanun 6/2014 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali dan/atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan. Disini adanya perbedaan dengan qanun sebelumnya, yaitu berupa penambahan bentuk hukuman berupa cambuk sebanyak 45 (empat puluh lima) kali.

Untuk pengulangan (residivis) dalam Qanun 13/2003 diatur dalam pasal 26 ‘uqu>ba>t-nya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqu>ba>t maksimal. Sedangkan dalam Qanun 6/2014 ketentuan ini tidak diatur lagi. Dalam hal mengikutsertakan anak-anak yang tidak diatur dalam Qanun No. 13 Tahun 2003 tapi diatur dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 yang mengancam pelaku dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan. Begitu juga dengan percobaan jari>mah maisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 dikenakan ‘uqu>ba>t ta’zi>r paling banyak 1/2 (setengah) dari ‘uqu>ba>t yang diancamkan.

Perubahan yang cukup signifikan terjadi dalam Qanun No. 13 Tahun 2003 menjadi Qanun No. 6 Tahun 2014 baik dari segi ruang lingkup maupun jumlah hukuman yang diterima pelaku. Setidaknya kehadiran Qanun No. 6 Tahun 2014 ini telah menjawab sejumlah keraguan orang terhadap keberadaan Qanun No. 13 Tahun 2003 dimana dalam qanun sebelumnya belum mengatur tentang keterlibatan/perlindungan terhadap anak, tidak ditetapkannya batas hukum minimal dan maksimal, tidak mencakup atau menghukum fasilatator dan pembantu perbuatan maisir, serta minimnya hukuman alternatif dalam Qanun No. 13 Tahun 2003 telah dianggap sebagai pelanggaran HAM di Indonesia, namun semua itu telah diperbaharui dengan disahkannya Qanun Jinayat Aceh No. 4 Tahun 2014 yang berlaku efektif di Aceh setahun kemudian.  

 

3.    Pengaturan Tindak Pidana Khalwat (Qanun Nomor 14 Tahun 2003)

Menurut bahasa khalwat berasal dari khulwah dari akar kata khala yang berarti sunyi atau sepi. Sedangkan menurut istilah, khalwat adalah keadaan seseorang yang menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain. Khalwat/mesum adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi.[53] Sedangkan pengertian khalwat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yg bukan muhrim di tempat sunyi atau tersembunyi.[54]

Qanun Pemerintah Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Juli Tahun 2003 atau bertepatan dengan tanggal 15 Jumadil Awal 1424 H dan diundangkan sehari kemudian pada bulan dan tahun yang sama. Khalwat adalah perbuatan bersunyi-sunyian antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.[55]

Adapun ruang lingkup pelaranga khalwat di Aceh adalah segala kegiatan, keadaan dan  perbuatan yang mengarah kepada perbuatan zina[56] dengan tujuan menegakkan syariat Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh; Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan; Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum; dan menutup peluang terjadinya kerusakan moral.[57]

Hukum ber – khalwat menurut qanun ini adalah haram dan melarang setiap orang yang berada di Aceh untuk melakukan khalwat/mesum. Larangan yang sama juga berlaku bagi orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerintah dan badan usaha untuk memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang untuk melakukan perbuatan khalwat/mesum dan setiap orang atau kelompok masyarakat berkewajiban untuk mencegah terjadinya perbuatan khalwat/mesum.[58]

Bentuk ancaman ‘uqu>ba>t terhadap pelaku jari>mah klalwat (mesum) dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi anggota masyarkat lainnya untuk tidak melakukan jari>mah khalwat. Di samping itu ‘uqu>ba>t  (cambuk) akan lebih efektif dengan memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarga. ‘Uqu>ba>t cambuk juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis ‘uqu>ba>t lainnya seperti yang dikenal dalam KUHP sekarang ini.[59]

Mengenai ‘uqu>ba>t terhadap pelanggar qanun ini dijelaskan dalam Bab VII, pada Pasal 22 ayat 1-2 disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4[60] diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 9 (sembilan) kali dan paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau dendan paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikt Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah); Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5[61] diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah).[62]

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha maka ‘uqu>ba>tnya dijatuhkan kepada penanggung jawab. Jika ada hubungan dengan kegiatan usahanya maka selain ‘uqu>ba>t sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t administratif.[63] Sedangkann pengulangan pelanggaran (residivist) terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ‘uqu>batnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqu>bat maksimal.[64]

Dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 menjelaskan bahwa hukum khalwat adalah haram dan melarang kepada setiap orang untuk melakukan khalwat, larangan yang sama juga ditujukan kepada orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerintah atau badan usaha dilarang untuk memberikan fasilitas kemudahan atau melindungi orang yang berbuat khalwat.[65]

Sementara itu mengenai sanknsi (Qanun 14/2003) yang dijatuhkan apabila seseorang/kelompok masyarakat/aparatur pemerintah/badan usaha melanggar ketentuan-ketentuan di atas maka diancam dengan:[66]

a.     Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, diancam dengan ‘uqu>bat ta’zi>r berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan) kali, paling sedikit 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). 

b.     Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Tabel 1.3

Perbandinagn Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khalwat

dengan Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang Jina>ya>t

 

JARIMAH

PELAKU

QANUN 12/2003

QANUN 6/2014

melakukan khalwat/mesum.

Setiap orang

Diancam dengan ‘uqu>bat ta’zi>r, berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan) kali, paling sedikit 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 2.500.000’- (dua juta lima ratus ribu rupiah).

‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan.

 

 

memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan khalwat/mesum.

Setiap orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerindah atau badan usaha.

‘Uqu>bat ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan paling singkat 2 (dua) bulan, dan/atau denda paling banyak paling banyak Rp. 15.000.000’- (lima belas juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5.000.000’- (lima juta rupiah).

‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan.

 

 

 

 

Dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jina>ya>t dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan jari>mah khalwat diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan. Pada qanun ini terdapat penambahan 1 (satu) kali cambukan bila dibandingkan dengan Qanun No. 14/2003 yang hanya memberikan 9 (sembilan) kali cambukan. Selain itu adanya bentuk hukum alternatif selain denda yakni berupa penjara selama 10 (sepuluh) bulan dimana dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 ketentuan penjara bagi pelanggar khalwat tidak diatur.

Mengenai orang yang menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan jari>mah khalwat diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan. Dimana dalam qanun sebelumnya hanya berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Sedangkan mengenai pengulangan jari>mah dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 hal ini tidak diatur, sedangkan dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 dikenakan tambahan hukuman 1/3 dari hukuman pokok, begitu juga mengenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha, dalam qanun 6/2014 hal ini tidak diatur.

Satu hal yang sangat berbeda dalam Qanun Jina>ya>t ini yaitu berupa adanya penjelasan megenai kewenangan peradilan adat, dimana dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 penjelasan seperti ini tidak ditemukan sehingga terjadi kerancauan dalam menangani kasus khalwat di Aceh. Dalam Pasal 24 Qanun No. 6 Tahun 2014 dijelaskan bahwa jari>mah khalwat yang menjadi kewenangan peradilan adat dan diselesaikan menurut ketentuan dalam Qanun Aceh tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan/atau peraturan perundang-perundangan lainnya mengenai adat istiadat.[67]

Prinsip utama dalam penulisan qanun ini adalah presfektif ushul fiqh. Dengan prinsip ini diharapkan syariat Islam yang berlaku di Aceh dituangkan kedalam qanun sebagai hukum positif (fikih) Aceh yang menjadi sub-sistem dalam sistem hukum nasional dan sistem peradilan nasional akan tetap berada dibawah naungan al-Qur’a>n dan Sunnah Rasulullah dan tetap dalam bingkai pemikiran fikih. Qanun ini juga tetap bertumpu kepada budaya adat – istiadat masyarakat lokal (Aceh) serta sistem hukum yang berlaku di NKRI. Denagn demikian pilihan ini diharapkan mampu mewujudkan subuah tatanan hukum (fikih) baru yang berakar dan menyatu dengan kesadaran hukum masyarakat serta mampu memenuhi masa depan bangsa yang semakin rumit dan kompleks serta tidak bertentangan dengan isu perlindungan HAM dan kesetaraan gender yang sedang berkembang saat ini.

Menurut Syahrizal Abbas, selaku Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, mengatakan bahwa Hukum Syariah memiliki filosofi teo-antroposentris yang bermakna bahwa, hukum syariah yang hadir ditengah masyarkat merupakan wujud iradah Allah untuk hamba-Nya. Hukum Syariah berfungsi untuk menata kehidupan manusia di dunia untuk menuju akhirat yang kekal dan abadi. Hukum Syariah bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah – dunyawiyah semata seperti keadilan, ketertiban, keteraturan, ketentraman, kesejahteraan   dan   kabahagiaan hidup, akan tetapi kepentingan manusia yang bersifat batiniyah–ukhrawiyah  yang berkaitan dengan  ibadah  dan  penghambaan  diri  kepada  Allah  SWT.  Hukum  dalam  Islam  adalah  instrumen  ketaatan  bagi seorang hamba  terhadap ajaran Allah  SWT,  karena  manusia  diciptakan  oleh  Allah  SWT, hanyalah bertujuan  untuk  mengabdi  kepada-Nya.[68]

C.   Penutup

Sebagaimana diketahui bahwa Qanun No. 6 Tahun 2014 ini merupakan bentuk revisi terhadap ke tiga qanun jina>ya>t sebelumnya yang mengatur tentang khamar, maisir dan khalwat. Tentu dalam qanun ini telah terjadi perubahan baik dari segi formil maupun materilnya.

Berdasarkan beberapa masalah dan kekurangan yang terkandung dalam QanunQanun sebelumnya, maka dipandang penting untuk segera melakukan perbaikan dan penyempurnaan terhadap Qanun  tersebut. Dalam melakukan revisi terhadap Qanun ini berpijak pada prinsip-prinsip berikut: Pertama, ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan itu harus dijaga dan diupayakan sedemikian rupa agar tetap bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, yang dalam penafsiran dan pemahamannya akan berpegang pada tiga prinsip utama yang dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lokal (adat) masyarakat Aceh secara khusus atau dunia Melayu Indonesia pada umumnya; Diupayakan untuk selalu berorientasi ke masa depan guna memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia; Melengkapi dua prinsip di atas dipedomani prinsip yang ketiga yaitu; al-muhafazah bi al-qadim al-salih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah, yang maknanya ”tetap menggunakan ketentuan-ketentuan lama (mazhab) yang masih bagus (relevan) serta berusaha mencari dan merumuskan ketentuan baru yang lebih baik dan lebih unggul.”

Penerapan Qanun Jinayat di Aceh melalui Qanun No. 6 Tahun 2014 mengatur tentang pelaku jari>mah, jari>mah dan uqu>bat. Adapaun yang diatur sebagai jari>mah dalam qanun tersebut adalah: khamar, maisir, khalwat, ikhtilat, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzab, liwat dan musahaqah. Sedangkan uqu>bat dalam qanam qanun ini adalah meliputi h{udu>d dalam bentuk cambuk dan ta’zi>r yang terdiri dari ta,zi>r utama dan ta’zi>r tambahan. Ta’zi>r utama terdiri dari cambuk, denda, penjara dan restitusi (denda), sedangkan ta’zi>r tambahan berupa: pembinaan oleh negara, restitusi oleh orang tua/wali, pengembalian kepada orang tua/wali, pemutusan perkawinan, pencabutan izin dan pencabutan hak, perampasan barang-barang tertentu dan kerja sosial.  

Ancaman hukuman yang diatur dalam Qanun Jina>ya>t ini berpariasi, mulai dari hukuman terendah beupa dicambuk sebanyak 10 (sepuluh) kali sampai denagan 200 (dua ratus) kali cambukan sebagai hukuman cambuk yaang terberat. Adapun ancaman denda kepada mereka yang melanggar syariat Islam di Aceh, mulai dari didenda sebesar 10 (sepuluh) gram emas murni sampai dengan 200 (dua ratus) gram emas murni atau hukuman penjara 20 (dua puluh) sampai 200 (dua ratus) bulan penjara. Qanun No. 6 ini menghukum perbuatan khalwat berupa 10 (sepuluh) kali cambukan atau denda berupa 100 (seratus) gram emas murni dan/atau penjara 10 (sepuluh) bulan. Inilah bentuk hukuman yang paling ringan, sedangkan bentuk hukuman yang paling berat di ancamkan kepada pelaku pemerkosaan terhadap anak-anak yaitu berupa dikenakan hukuman cambuk sebanya 150 (seratus lima puluh) sampai dengan 200 (dua ratus) kali cambukan atau denda sebanyak 1.500 (seribu lima ratus) sampai 2.000 (dua ribu) gram emas murni dan/atau penjara selama 150 (seratus lima puluh) sampai 200 (dua ratus) bulan penjara.[69]

Qanun Jina>ya>t No. 6 Tahun 2014  mengatur tentang wilayah pemberlakuan (yurisdiksi) qanun, yang meliputi empat kelompok besar, yaitu: pertama, setiap orang beragama Islam yang melakukan jari>mah di Aceh. Kedua, setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan jari>mah di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada Hukum Jina>ya>t. Ketiga, setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan jari>mah di Aceh yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi diatur dalam Qanun ini; dan keempat, badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh.[70]

 

D.   Pustaka Acuan

Abbas, Syahrizal. “Maqashid al-Syariah Dalam Sistem Perundangan Rumpun Melayu (Analisis terhadap Qanun Jinayah di Aceh)”,  htt p://www.islam.gov. my/sites/ default/files/maqasid_al-syariah_ dalam _perundangan _ melayu.pdf.

Ablisar, Madiasa. “Relevansi Hukuman Cambuk Sebagai Salah Satu Bentuk Pemidanaan Dalam Pembaharuan Hukum Pidana”. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.

Abubakar, Al Yasa’ dan Marah Halim, Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam NAD, 2006.

Abubakar, Al Yasa’, Sulaiman M. Hasan. Perbuatan Pidana dan Hukumnya Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam NAD, 2006.

Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.

Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage2(1), pp.87-106.

Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.

Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam16(2).

Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.

Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO4(2), pp.31-46.

Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum14(2), pp.148-169.

Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).

Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam7.

Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.

Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law2(2), pp.202-225.

Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.

Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah9(2).

Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).

Akli, Zul. “Eksekusi Tindak Pidana Perjudian (Maisir) Di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe”, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 3 No. 2.

Alie, Marzuki. Implementasi Hukum Islam dan Kebijakan Lokal di Aceh http://www.marzukialie.com/ ?show=tulisan&id=67 .

Amal, Taufik Adnan dan Panggabean, Samsu Rizal. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria. Ciputat: Pustaka Alvabet 2004.

Aziz, Samsudin. “Kanunisasi Fikih Jinayat Kontemporer: Studi Materi Muatan Qānūn Jināyat Aceh dan Brunei Darussalam”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam (al-Ahkam), Volume 24, Nomor 2, Oktober 2014.

Bahri, Syamsul. “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Sebagai Bagian dari Wlayah NKRI”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 2 Mei 2012.

Cammack, Mark E. and Feener, R. Michael. “The Islamic Legal System In Indonesia” , Pacific Rim Law & Policy Journal Vol. 21 No. 1.

Cronbach, Lee J. Educational Psycology. USA: Harcourt, Brace and Company Inc, 1970.

Dahlan, Abdul Aziz et. al., Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeven, 1997.

Dinas Syariat Islam Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden,Peraturan Daerah/Qanun, Insrtuksi Presiden, berkaitan dengan Pelaksanaan Syariat Islam, Edisi IV. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2008.

El Sulthani, Mawardi Lobay. Tegakkan Keadilan. Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002.

Hendra Mr, Dede. Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam Di Provinsi Aceh. Depok: Tesis Fak. Hukum Ui, 2012.

Hossen, Ibrahim. Apakah Judi Itu?. Jakarta: Lembaga Kajian Ilmu IIQ, 1987.

Hukum Online, “Eksekusi Hukuman Cambuk Tetap Diawasi Dokter”, http://www. hukumonline.com/berita/baca/hol20791/eksekusi-hukuman-cambuk-tetap-diawas i -do kter.

Jati, Wasisto Raharjo. “Permasalahan Implementasi  Perda Syariah Dalam Otonomi Daerah” , al-Manahi>j, Vol. VII No. 2, Juli 2013.

Kamil, Sukran dkk. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim. Jakarta: SSRC UIN Jakarta,2007.

Karsono, Edy.  Mengenal  Kecanduan  Narkoba  dan  Minuman  Keras, Cet. ke-1. Bandung: Yrama Widya, 2004.


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda