PENGATURAN TINDAK PIDANA DALAM QANUN ACEH: Perbandingan Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014
Tulisan ini telah terbit di Jurnal di Jrnal Mazahib IAIN Samarinda
Silahkan kutip/atau sitasi tulisan ini dengan mengcopy judul dibawah ini:
Ali Geno Berutu, Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 16 No. 2 Tahun 2017
Ali Geno Berutu
Sekolah
Pascasarjana (SPs)
UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
email:
ali_geno@ymail.com
Abstrak: Pengaturan Tindak Pidana Dalam Qanun Aceh. Kewenangan
pelaksanaan syariat Islam yang diberikan oleh Pemerintah RI kepada Pemerintah
Aceh adalah syariat dalam arti yang luas, yakni tuntunan ajaran Islam dalam
semua aspek kehidupan. Pengertian syariat semacam ini, kemudian diikuti dalam
peraturan-peraturan qanun di Aceh. Namun pemilahan bidang-bidang syariat Islam
yang luas tersebut masih berbeda-beda.
Qanun No. 12 (Khamar/miras), 13 (Maisir/judi) dan 14 (Khalwat/mesum)
Tahun 2003 disahkan diawal penerapan syariat Islam di Aceh sebagai qanun dalam
bidang jina>ya>t, pemilihan ketiga qanun ini bukannya tanpa
alasan, ketiga qanun tersebut sekurang-kurangnya memiliki dua alasan. Alasan
yang pertama, ketiga jenis perbuatan tersebut merupakan bentuk maksiat
(haram) dalam syariat Islam dan sangat meresahkan masyarakat namun belum
tertangani dengan baik. Kedua, adanya euforia di dalam lapisan
masyarakat dalam bentuk “peradilan rakyat” terhadap ketiga jenis yang
diatur dalam qanun jinayat ini, guna untuk menghindari main hakim
sendiri di tengah-tengah masyarakat maka disahkan ketiga qanun pidana di atas
sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai kekacauan ditengah-tengah lapisan
masyarakat Aceh. Penelitian ini mengkaji tentang kelemahan-kelamahan yang
terdapat dalam Qanun 12, 13 dan 14 Tahun 2003 yang kemudian kelemahan tersebut
tertutupi dengan disahkannya Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Qanun Jinayat Aceh.
Abstract: Pengaturan Tindak Pidana Dalam Qanun
Aceh.
Authority implementation of Islamic law granted by the Government to the
Government of Aceh is the law in the broadest sense, the guidance of Islam in
all aspects of life. Understanding this kind of law, followed the rules Qanun
in Aceh. But sorting the fields of Islamic law which is still widely vary.
Qanun 12 (Khamar/alcohol), 13 (Maisir/gambling) and 14 (Seclusion /dirty) of
2003 was passed at the beginning of the application of Islamic law in Aceh
Qanun in jinayat, selection of third-Qanun is not without reason, the third
qanun is at least a two reasons. The first reason, the third type is a form of
immoral acts (haram) in Islam and very disturbing society but is not handled
properly. Secondly, there is euphoria in society in the form of "people's
justice" against the three types provided for in this jinayat Qanun, in
order to avoid vigilantism in the middle of the third confirmed Qanun is a form
of injustice in anticipation of the chaos the middle layer of the Acehnese.
This study reviews the weaknesses found in Qanun 12, 13 and 14 of 2003 that the
vulnerability is then covered with the passing of Qanun 6 Year 2014 concerning
Aceh Qanun Jina>ya>t.
Kata Kunci: Qanun, Khamar, Maisir, Khalwat, Jina>ya>t.
A.
Pendahuluan
Reformasi yang
bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 telah menjadi salah satu penguat dalam momentum penegakan syariah di Indonesia. Kalangan Islam politik beranggapan bahwa hukum warisan kolonial Belanda telah terbukti gagal dan tidak
bisa menghadapi perkembangan zaman dan ketertiban dimasyarakat dan Islam
dianggap sebagai satu-satunya alternatif. Tuntutan penerapan syariat Islam menjadi gejala umum di Indonesia sejak tahun
1999-2009, otonomi daerah yang merupakan buah dari reformasi sagat mempengaruhi tuntutan formalisasi syariat Islam di Indonesia.
Dengan alasan
inilah seolah daerah berlomba-lomba untuk menjadikan Islam sebagai dasar hukum
dalam kehidupan bermasyarakat di daerahnya. Seperti adanya larangan, penertiban
dan penjualan minuman keras di Bulu Kumba, Sulawesi Selatan melalui Perda
No.3/2002. Perda No. 10 tahun 2003 di Gorontalo tentang Pencegahan Maksiat, di
Indramayu Jawa Tengah ada Perda No. 7 tahun 1999 tentang Prostitusi, di
Tangerang ada Perda No. 8 tahun 2005 tentang pemberantasan maksiat dan masih banyak lagi daerah yang menjadikan Islam sebagai aturan moral dan
etika masyarakatnya.
Aceh pada masa
reformasi kembali menuntut pemberlakukan syariat Islam, tuntutan referendum kepada
Aceh mendominasi tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Pemmeritah Pusat merespon
tuntutan ini dengan mengundangkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan
Keistemewaan Provinsi Daerah Istimmewa Aceh.
Pada Juli 2001 dimasa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri mengeluarkan UU No.
18 Tahun 2001 yang mengatur tentang Otonomi Khusus (OTSUS) bagi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) seperti adanya mahkamah syraiyyah (MS), qanun,
lembaga daerah, zakat, wilayatul hisbah (WH), kepemimpinan adat dan
lain-lain.
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh ditata secara legal formal dalam UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang tersebut telah menjadi dasar kuat bagi Aceh untuk menjalankan syariat Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa syariat Islam merupakan kebijakan negara yang diberlakukan di Aceh. Jadi dalam konteks penerapannya juga menjadi bagian dari tanggung jawab negara. Berarti terlaksananya syariat Islam di bumi Aceh bukan semata-mata tanggung jawab pribadi pemeluk agama Islam, tetapi telah menjadi tanggung jawab negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Aceh.
Selain pembentukan berbagai
peraturan perundang-undangan di tingkat daerah Provinsi Aceh, di tingkat
Pemerintah Pusat juga telah dilakukan perubahan terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur kedudukan dan kewenangan berbagai lembaga
penegak hukum, seperti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, UU No. 4 Tahun
2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di dalam
undang-undang yang disebut terakhir ini terdapat penetapan kedudukan dan fungsi
lembaga wilayatul hisbah (WH) sebagai pengawas pelaksanaan syariat dan
melakukan penegakan hukum atas
qanun-qanun penegakan syariat Islam. Di masa depan, WH ini diproyeksikan
akan ditingkatkan perannya sebagai pelaksana fungsi penyidikan pada kasus-kasus
pelanggaran qanun menggantikan
kepolisian sebagai penyidik.
Berdasarkan UU No. 18 Tahun
2001 Pemerintah Aceh membentuk panitia untuk menghimpun bahan penetapan kerja
serta menulis rancangan qanun tentang pelaksanaan syariat Islam sebagai hukum
positif di Aceh, untuk itu panitia menetapkan tiga bidang penulisan rencana
qanun Aceh, dimana salah satunya adalah penulisan qanun bidang jina>ya>t
(pidana) materil dan formil.
Pemerintah Provinsi Aceh memiliki beberapa instrumen untuk mengkodifikasi peraturan syariat Islam secara formal, instrumen hukum tersebut terdiri dari qanun yang membahas masalah-masalah spesifik seputar pemberlakuan syariat Islam. Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut kanun yang artinya undang-undang atau peraturan, sedangkan pengertian qanun dalam kamus bahasa Arab adalah undang-undang, kebiasaan atau adat.
Qanun No. 12, 13 dan 14 yang
mengatur tentang khamar, maisir dan khalwat merupakan qanun hukum
pidana materil yang disahkan pada tahun 2003. Pasal 2 Qanun No. 12 Tahun 2003 menyebutkan bahwa
ruang lingkup larangan minuman khamar dan sejenisnya adalah segala
bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan segala minuman yang
memabukkan. Sementara itu Qanun No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa ruang lingkup larangan maisir
dalam qanun ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan
yang mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemud}aratan
bagi pihak-pihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat dalam
taruhan tersebut.[18] Sedangkan ruang lingkup Qanun No. 14/2003
tentang larangan khalwat/mesum adalah segala kegiatan, perbuatan dan
keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina.[19]
Ketiga qanun di atas disahkan
diawal penerapan syariat Islam di Aceh dengan alasan yang paling mendaasar
berupa ketiga jenis perbuatan tersebut mmerupakan bentuk maksiat (haram)
dalam syariat Islam dan sangat meresakan masyarakat namun belum tertangani dengan
baik,[20] serta adanya euforia di
dalam lapisan masyarakat dalam bentuk “peradilan rakyat” terhadap ketiga
jenis yang diatur dalam qanun jina>ya>t ini. Untuk menghindari
main hakim sendiri ditengah-tengah masyarakat, maka disahkan ketiga qanun
pidana di atas sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai kekacauan
ditengah-tengah lapisan masyarakat Aceh.
Dalam perjalanannya, penerapan
qanun yang berbasis jina>ya>t di Aceh tidak semua daerah berjalan
dengan baik, ada banyak masalah dan kendala yang dihadapi dilapangan baik dari
pelaksananya (pemerintah) maupun masyarakat sebagai objek hukum penerapan
syariat Islam itu sendiri.[21] Pada
saat pelaksanaan ‘uqu>ba>t cambuk yang pertama di Aceh telah
terlihat banyak kelemahan kepada ketiga qanun jina>ya>t tersebut,
baik secara materil maupun formilnya. Memang sejak awal qanun ini
ditulis lalu disahkan sudah ada rencana untuk merevisi dan menyempurnakan
setelah adanya bentuk nyata pengaflikasian di lapangan, dalam arti telah ada
tersangka, proses penyidikan, penuntutan, penyidangan dan pembacaan putusan.
Menurut rencana, ketiga qanun tersebut
disahkan pada tahun 2003 kemudian dilakukan sosialisasi dan efektif berlaku
pada tahun 2004 lalu diadakan revisi pada tahun 2005. Tapi rencana tersebut
tidak bisa terlaksana disebabkan oleh beberapa faktor seperti, adanya musibah Tsunami
yang melanda Aceh pada tahun 2004, penandatanganan MoU Helsinki pada tahun 2005
dan disahkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2006, maka revisi dan penyempurnaan ketiga
qanun jina>ya>t tersebut baru bisa dibahas pada tahun 2009, tapi
karena adanya perbedaan pendapat antara eksekutif dan legeslatif
dan maraknya tuntutan pembatalan qanun jina>ya>t dari berbagai
pihak tentang rencana pengesahan Qanun Jina>ya>t di Aceh, maka
qanun tersebut tidak jadi disahkankan pada tahun 2009. Setelah itu barulah pada
tahun 2014 Qanun No. 6 ini disahkan setelah semua fraksi-fraksi di DPRA
menyetujuinya.[22]
Salah
satu kendala mendasar dalam Qanun No. 12 tentang Khamar, Qanun No. 13
Tentang Maisir dan Qanun No. 14
Tahun 2003 tentang Khalwat yang berlaku di Aceh samapai pada
tahun 2013, memiliki satu kelamahan tersendiri bagai para penegak hukum syariah
(WH)[23] yakni
tidak adanya suatu kewenangan yang
dimiliki anggota WH untuk melakukan penahanan terhadap orang yang melanggar
Qanun No. 12,13 dan 14 Tahun 2003 tersebut, sehingga menyulitkan bagi para
penegak hukum (WH) untuk menindak para pelanggara Qanun syariat di Aceh. Selain
kendala tersebut, masih banyak kendala lainnya yang belum disentuh oleh Qanun
Jinayat terdahulu (Qanun 12, 13 dan 14/2003), seperti bentuk hukuman, objek
penghukuman dan alternatif hukuman bagi pelaku jari>mah.
Bertolak dari latar belakang di atas, maka
masalah pokok yang dikaji di dalam tulisan ini adalah, bagaimana pengaturan pelaksanaan
tindak pidana pelanggaran Qanun No. 12, 13 dan 14 Tahun 2003 dan apakah yang
menjadi pembeda dengan Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat di Aceh?
B.
Pembahasan
1. Pengaturan Tindak Pidana Khamar (Qanun
No. 12 Tahun 2003)
Qanun Pemerintah Aceh No. 12 tahun 2003
tentag Minuman Khamar dan Sejenisnya
menyebutkan bahwa mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya
merupakan pelanggaran terhadap syariat Islam dan dapat merusak kesehatan, akal,
kehidupan masyarakat serta berpeluang menimbulkan maksiat lainnya, karena maqashid
syari’ah adalah menjaga akal, maka syariat Islam sangat tegas melarangnya.[24]
Qanun ini disahkan pada tanggal 15 Juli 2003 dan kemudian diundangkan sehari
kemudian 16 Juli 2003.[25]
Yang dimaksud dengan minuman khamar dalam qanun ini adalah minuman yang
memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran
dan daya pikir.[26]
Secara subtantif qanun ini tidak
kontradiksi dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Produk
perundang-undangan lainnya dalam konsideran qanun nomor 12 tahun 2003 ini
menyebutkan bahwa secara materil melandaskankan kepada produk
perundang-undangan diatasnya, yakni Keputusan Presiden (kepres) Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Intruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan,
Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman beralkohol di Daerah.[27]
Materi muatan Qanun Nomor 12 Tahun
2003, secara umum hampir sama dengan muatan Keperes No. 3 Tahun 1997, dalam Pasal 2 Qanun
No. 12 Tahun 2003 dijelaskan ruang lingkup larangan minuman khamar dan
sejenisnya adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan
dengan segala minuman yang memabukkan, sedangkan Pasal 1 Kepres Yang dimaksud dengan minuman beralkohol
dalam Keputusan Presiden ini adalah minuman yang diproses dari bahan hasil
pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi atau fermentasi
yang dilanjutkan dengan penyulingan sesuai keperluan, baik dengan cara
memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau
tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan alkohol atau
dengan cara pengenceran minuman beralkohol, sehingga produk akhirnya berbentuk
cairan yang mengandung etanol.[28]
Khamar disebut
sebagai induk kejahatan karena orang yang mabuk akan hilang kendali
kesadarannya,[29]
oleh karena itu Pemerintah Aceh telah memberlakukan larangan minuman khamar
dan sejenisnya disertai dengan ketentuan ‘uqu>ba>t (punishment). Dengan
demikian diharapkan dapat melindungi semua masyarakat dari efek negatif yang di
timbulkan dari mengkonsumsi minuman yang dapat memabukkan tersebut. Adapun
ketentuan ‘uqu>ba>t dalam qanun ini dijelaskan pada Pasal 26 ayat
1- 4 sebagai berikut:
1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan ‘uqu>bat
h}udu>d 40 (empat puluh) kali cambuk.
2)
Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 diancam dengan ‘uqu>ba>t
ta’zi>r berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3
(tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima
juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
3)
Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 adalah jari>mah h}udu>d.
4)
Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jari>mah ta’zi>r.
Qanun ini juga mengatur tentang tindak
pidana berupa sanksi administratif, selain pidana cambuk, kurungan dan denda.
Dalam Pasal 30 menyebutkan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 – 8 adalah sebagai berikut:[30]
a.
Apabila dilakukan oleh badan hukum/badan
usaha, maka ‘uqu>batnya dijatuhkan kepada penanggung jawab;
b. Apabila
ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain ‘uqu>ba>t
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26, dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t
administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan.
Sedangkan bentuk hukuman pengulangan (residivis)
hukuman yang dikenakan berupa penambahan 1/3 dari ‘uqu>ba>t
maksimal. Apabila berkenaan dengan badan usaha, maka hukumannya dijatuhkan
kepada penanggung jawab dan ditambah dengan penjatuhan ‘uqu>ba>t
administratif berupa pencabutan izin usaha apabila telah diberikan.[31]
Pemberlakuan
Qanun No. 12 Tahun 2003 efektif berlaku kurang lebih selama 12 tahun
(2003-2014), tapi dalam penerapannya masih memiliki banyak kelemahan sehingga
pemberlakuannya di tengah-tengah masyarakat di rasa kurang efektif. Salah sau
contoh kelemahan Qanun 12 ini adalah ketiadaan kewenangan Wilayatul Hisbah (WH)
untuk menahan setiap pelaku pelanggar Qanun No. 12 ini. Slah satu contoh kasus
adalah, pada hari sabtu 8 Agustus 2012 pukul 21.00 WIB, Pol PP dan WH Kota
Subulussalam, Aceh melakukan razia dan
berhasil mengamankan 79 botol minuman keras bermerek (bukan tuak/arak), disalah
satu cafe milik PB (45) warga Gampong Jontor Kecamatan Penanggalan. Setelah
melakukan razia di Gampong Jontor WH
kemudian melanjutkan razia ke Gampong Penanggalan, tepatnya di Gang Barto
(barisan toba)[32] Jl.
Swadaya, pertgas berhasil mengankan lima orang remaja yang sedang meminum
minuman tuak[33] berserta
seorang penjual, petugas WH juga berhasil mengamankan setengan ember besar tuak
sebagai barang bukti (Pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Minuman Khamar dan Sejenisnya).
Keselurahan
pelaku pelanggaran Qanun 12 tersebut tidak bisa dilakukan penahanan melainkan
hanya berupa peneguran dan penandatangan perjanjian untuk tidak mengulangi
perbuatan serupa. Selain keterbatasan kewenangan WH dalam menindak setiap
pelaku khamar, Qanun ini juga sebenarnya belum memilki hukum acara dalam
melaksanakan penindakan terhadap setiap pelaku, dengan demikian, Qanun No. 12
Tahun 2013 masih menginduk kepada Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Republik
Indonesia selama belum ada qanun yang mengaturnya. Dalam ketentuan KUHP Pasal
20 ayat 4 huruf a dan b disebutkan “penahanan hanya dapat dikenakan kepada
tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut. Sedangkan dalam ketentuan
uqu>bat pasal 26 Qanun No. 12/2003 disebutkan bahwa setiap orang yang
melanggar pasal 5 dihukum dengan ancaman uqu>bat hudud 40 kali cambuk. Jadi
penahan terhadap tersangka tidak bisa dilakukan karena bertenntangan dengan
KUHP.
Pada
tahun 2014 di sahkan Qanun No. 6 tentang Hukum Jina>ya>t yang
merupakan bentuk penyempurnaan terhadap Qanun No. 12 Tahun 2003. Mengenai rumusan pelaku khamar
yang telah diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 memiliki perbedaan dengan Qanun
Jina>ya>t yang disahkan pada tahun 2014 dalam hal jumlah ‘uqu>ba>t
yang diterima pelaku.
Dalam Pasal 26 Qanun No 12 Tahun 2003
sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa setiap orang yang mengkonsumsi
minuman khamar diancam dengan ‘uqu>ba>t h}udu>d berupa
dicambuk sebanyak 40 (empat puluh) kali. Sedangkan untuk ketentuan memproduksi,
menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun,
memperdagangkan, menghadiahkan, mempromosikan dan turut serta/membantu dalam
proses diatas, maka setiap orang atau badan hukum/badan usaha diancam dengan ‘uqu>ba>t
ta’zi>r berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan paling singkat 3
(tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima
juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
Tabel 1.1
Perbandinagn Qanun No. 12 Tahun 2003
Tentang Khamar
dengan Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang
Jina>ya>t
JARIMAH |
PELAKU |
QANUN 12/2003 |
QANUN 6/2014 |
Mengkonsumsi |
Setiap orang |
H}udu>d 40 cambukan |
H}udu>d 40 cambukan |
Mengulangi |
Setiap orang |
Ditambah
1/3 |
Ta’zi>r 40 kali cambukan/ dendan 400 gram emas
murni/penjara 40 bulan |
Memproduksi |
Perorangan, badan hukum
dan badan usaha |
‘Uqu>ba>t
Ta’zi>r kurungan maksimal 1 (satu) tahun dan minimal 3 (tiga) bulan
dan/atau denda maksimal Rp. 75.000.000’- dan minimal Rp. 25.000.000’- |
‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 60 (enam
puluh) kali atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau
penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan. |
Menyediakan, menjual,
memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan,
menghadiahkan dan mempromosikan |
Perorangan, badan hukum dan badan usaha |
‘Uqu>bat Ta’zi>r kurungan maksimal 1 (satu) tahun
dan minimal 3 (tiga) bulan dan/atau denda maksimal Rp. 75.000.000’- dan
minimal Rp. 25.000.000’- |
‘Uqu>bat Ta’zi>r
cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali atau denda paling banyak 200 (dua
ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan. |
Mengikut sertakan
anak-anak |
Setiap orang |
Tidak diatur |
‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 80 (delapan
puluh) kali atau denda paling banyak 800 (delapan ratus) gram emas murni atau
penjara paling lama 80 (delapan puluh) bulan. |
Dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 disebutkan
bahwa ancaman bagi setiap orang yang mengkonsumsi minuman khamar dan
sejenisnya dikenakan ‘uqu>ba>t h}udu>d berupa cambuk sebanyak
40 (empat puluh) kali. Sedangkan untuk setiap orang yang mengulangi perbuatan
sebagaimana dimaksud di atas
diancam dengan ‘uqu>ba>t
h}udu>d cambuk 40 (empat puluh) kali ditambah ‘uqu>ba>t
ta’zi>r cambuk paling banyak 40 (empat puluh) kali atau denda
paling banyak 400 (empat ratus) gram
emas murni atau penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan.
Acaman bagi setiap orang yang
mengulangi (residivist) terhadap perbuatan mengkonsumsi minuman khamar
terjadi perbedaan antara Qanun No. 12 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014.
Dimana dalam Qanun 12/2003 dikenakan ‘uqu>ba>t h}udu>d berupa
di cambuk sebanyak 40 (empat puluh) kali dan ditambah dengan 1/3 dari ‘uqu>ba>t
maksimal, berarti setiap orang yang melakukan pengulangan terhadap pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) maka dapat dikenakan hukuman
berupa di cambuk sebanyak 53 (lima puluh tiga) cambukanan (40+13). Sedangkan
dalam Qanun N0. 6 Tahun 2014 hukuman terhadap setiap orang yang melakukan
pengulangan (residivis) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
maka di ancam dengan ‘uqu>ba>t h}udu>d berupa 40 (empat puluh)
kali cambukan dan ditambah dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa
dicambuk sebanyak 40 (emapat puluh) kali. Jadi hukuman yang di terima bagi
setiap orang yang melakukan pengulangan perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 26
di atas terjadi pemberatan dalam hal jumlah hukuman yang diterima pelaku bila
dibandingkan dengan Qanun No. 12 Tahun 2003.
Mengenai setiap orang yang memproduksi,
menyimpan/menimbun, menjual, atau
memasukkan khamar, masing-masing diancam
dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 60 (enam
puluh) kali atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau
penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan. Bagi setiap orang yang dengan
sengaja membeli, membawa/mengangkut, atau menghadiahkan khamar,
masing-masing diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling
banyak 20 (dua puluh) kali atau denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas
murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan. Apabila dalam setiap
prosesnya melibatkan dan mengikutsertakan anak-anak dikenakan ‘uqu>ba>t
ta’zi>r cambuk paling banyak 80 (delapan puluh) kali atau denda paling
banyak 800 (delapan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 80 (delapan
puluh) bulan.
Perbedaan juga terjadi dalam hal orang
atau badan hukum/badan usaha yang memproduksi menyediakan, menjual, memasukkan,
mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan,
mempromosikan dan turut serta/membantu.[34]
Dalam Qanun No. 12 tahun 2003 hukuman yang diancamkan dengan ‘uqu>ba>t
ta’zi>r berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan paling singkat 3
(tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima
juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), jadi
dalam qanun ini tidak di kenakan hukuman cambuk bagi badan hukum/usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2). Sedangkan dalam Qanun No.
6 Tahun 2014, perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2)
dapat diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling
banyak 60 (enam puluh) kali atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas
murni atau penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan. Dalam hal ini juga
terdapat penambahan bentuk hukuman bila dibanding dengan Qanun No. 12 Tahun
2003, yakni berupa cambuk sebanyak 60 kali.
Adapun bentuk ‘uqu>ba>t administratif
yang diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 tidak diatur lagi dalam Qanun No. 6
Tahun 2014, begitu juga dengan hal mengikutsertakan anak-anak, dalam Qanun No.
12 Tahun 2003 ketentuan ini tidak diatur, tapi dalam Qanun No. 6 Tahun 2014
diatur dengan ancaman ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 80
(delapan puluh) kali atau denda paling banyak 800 (delapan ratus) gram emas
murni atau penjara paling lama 80 (delapan puluh) bulan.
Perubahan Qanun 12 Tahun 2003 menjadi
Qanun No. 6 Tahun 2014 memang tidak banyak berbah, karena khamar termasuk
kategori h}udu>d yang tidak dapat digugurkan oleh pengampunan
manusia) yang bersifat tetap, hanya saja dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 telah memberikan
hukuman tambahan (prevemtif) bagi setiap orang yang melibatkan anak-anak
dalam segala bentuk kegiatan khamar yang dimana belum tersentuh dalam Qanun No.
12 Tahun 2003. Dengan demikian harus dipahami bahwa, penerapan hukuman bagi
peminum khamar merupakan upaya untuk mengembalikan dan menegakkan
supremasi hukum sebagaimana mestinya sekaligus mendidik dan menimbulkan efek
jera bagi pelakunya.
2.
Pengaturan
Tindak Pidana Maisir (Qanun Nomor 13 Tahun 2003)
Pengertian judi dalam bahasa Arab
dikenal dengan sebutan (ميسر)
Maisir, yang berarti mudah atau kekayaan. Judi dikenal juga dengan
sebutan “Qimar”, arti Qimar menurut Aunur Rahim Faqih adalah permainan
yang taruhannya dalam bentuk apa saja, boleh uang atau barang-barang, dimana
orang yang menang menerima dari yang kalah.[35]
Adapun menurut istilah al-Maisir adalah segala bentuk permainan yang mengandung
unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan berhak mendapatkan taruhan
tersebut.[36]
Menurut Quraish Shihab perjudian dinamai dengan maisir, karena hasil
perjudian diperoleh dengan cara yang gampang, tanpa adanya usaha kecuali
menggunakan undian dibarengi oleh faktor keberuntungan[37]
atau dengan kata lain yakni permainan yang memberi peluang pada nasib daripada
permainan yang menunjukkan skill kemahiran.[38]
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia maisir adalah permainan
yang memperebutkan uang.[39]
Pengertian maisir (judi) menurut
qanun ini adalah kegiatan dan/perbuatan dalam bentuk permainan yang bersifat
taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapat bayaran.[40]
Maisir termasuk salah satu perbuatan munkar yang dilarang dalam syariat Islam dan agama lain
serta bertentangan pula dengan adat
istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh
karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan
maksiat lainnya.[41]
Hukum melakukan perbuatan maisir menurut Qanun No. 13 Tahun 2003 adalah
haram[42]
dan melarang setiap orang atau badan hukum atau badan usaha untuk
menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan
perbuatan maisir. Disamping itu qanun ini juga melarang setiap orang
atau badan hukum atau badan usaha menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.[43]
Adapun cangkupan dan ruang lingkup
larangan maisir di Aceh adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan
serta keadaan yang mengarah pada taruhan dan dapat berakibat kepada
kemudharatan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut
terlibat dalam taruhan tersebut. Sedangkan tujuan pelarangan maisir di
Aceh menurut Qanun No. 13 Tahun 2003 adalah untuk memelihara dan melindungi
harta benda/kekayaan; mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang
mengarah pada maisir;[44]
melindungi masyarakat dari pengaruh buruk[45]
yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan maisir; meningkatkan
peran masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan maisir.[46]
Di Aceh
meski penegak utama hukum pidana bernuansa syariah di Aceh adalah Wilayatul
Hisbah (WH), masyarakat juga diberikan peranan penting untuk mencegah
terjadinya jari>mah maisir dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai
seorang muslim untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Peran serta
masyarakat tersebut tidaklah dalam bentuk main hakim sendiri. Warga sipil
berperan langsung dalam menegakkan qanun yang bernuansa syariah, diantaranya
adalah peranan yang secara jelas ditetapkan dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003
yakni, setiap anggota masyarakat memiliki peran serta dalam membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan maisir; Apabila masyarakat mengetahui adanya
perbuatan maisir, maka masyarakat mempunyai keharuskan[47]
untuk melaporkan perbuatan tersebut kepada pejabat yang berwenang[48]
baik secara lisan maupun tulisan,[49]dan
pelapor wajib mendapatkan perlindungn dari pihak yang berwenang.
Ketentuan
‘uqu>ba>t dalam qanun ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 23
bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 5[50]
diancam dengan hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali
dan paling sedikit 6 (enam) kali cambukan. Sementara itu apabila setiap orang
atau badan hukum atau badan usaha non-instansi pemerintah yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7[51]
diancam dengan ‘uqu>ba>t atau denda maksimal Rp. 35.000.000’-
(tiga puluh lima juta rupiah) dan minimal Rp. 15.000.000’- (lima belas juta
rupiah).
Dalam Qanun Maisir ini juga
mengatur tentang pengulangan (residivist) yang terdapat dalam Pasal 26
yang menyebutkan bahwa, pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, ‘uqu>ba>tnya
dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqu>ba>t maksimal.
Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 apabila:
a)
Dilakukan
oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqu>ba>tnya dijatuhkan kepada
penanggung jawab;
b) Apabila ada hubungan dengan kegiatan
usahanya, maka selain sanksi ‘uqu>ba>t sebagimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t administratif
dengan mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan.
Tabel 1.2
Perbandinagn Qanun No. 13 Tahun 2003
Tentang Maisir
dengan Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang
Jina>ya>t
JARIMAH |
PELAKU |
QANUN 12/2003 |
QANUN 6/2014 |
Melakukan perbuatan maisir |
Setiap orang |
Dicambuk paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling
sedikit 6 (enam) kali. |
1. Jari>mah Maisir
dengan nilai taruhan dan/atau keuntungan paling banyak 2 (dua) gram emas
murni, diancam dengan ‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 12 (dua
belas) kali atau denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni
atau penjara paling lama 12 (dua belas) bulan. 2.
Jari>mah Maisir dengan nilai taruhan dan/atau
keuntungan lebih dari 2 (dua) gram emas murni, diancam dengan ‘Uqu>bat
Ta’zi>r cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak
300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 (tiga puluh)
bulan. |
Menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada
orang untuk melakukan aktifitas perbuatan maisir, atau menjadi pelindung
perbuatan maisir. |
Setiap orang, badan hukum dan instansi pemerintah |
‘Uqu>bat Ta’zi>r berupa denda paling banyak Rp.
35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 15.000.000’-
(lima belas juta rupiah). |
‘Uqu>ba>t Ta’zi>r cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima)
kali dan/atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas
murni dan/atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan. |
Mengikut sertakan anak-anak |
Setiap orang |
Tidak diatur |
Dikenakan ‘uqu>bat
berupa denda paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan
paling sedikit Rp. 15.000.000’- (lima belas juta rupiah). |
Percobaan Jarimah Maisir |
Setiap orang |
Tidak diatur |
‘Uqu>bat Ta’zi>r paling banyak 1/2 (setengah) dari ‘Uqu>bat
yang diancamkan. |
Sedangkan dalam Qanun No. 6 Tahun 2014
yang merupakan sebaga penyempurna terhadap Qanun No. 13 Tahun 2003 menjelaskan
bahwa, perbuatan maisir diklasifikasikan dengan besarnya taruhan dan
berakibat pada jumlah hukuman yang diterima, seperti setiap orang yang dengan
sengaja melakukan jari>mah maisir dengan nilai taruhan dan/atau
keuntungan paling banyak 2 (dua) gram emas murni, diancam dengan ‘uqu>ba>t
ta’zi>r cambuk paling banyak 12 (dua belas) kali atau denda paling
banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 12 (dua
belas) bulan. Orang yang melakukan jari>mah maisir dengan
nilai taruhan dan/atau keuntungan lebih dari 2 (dua) gram emas murni diancam
dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 30 (tiga
puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau
penjara paling lama 30 (tiga puluh) bulan.[52]
Bagi fasilitator baik orang atau badan
hukum/badan usaha atau institusi pemerintahan, dalam Qanun 12/2003 diancam
dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa denda paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh
lima juta rupiah), paling sedikit Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Sedangkan dalam Qanun 6/2014 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r
berupa cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali dan/atau denda paling
banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling
lama 45 (empat puluh lima) bulan. Disini adanya perbedaan dengan qanun
sebelumnya, yaitu berupa penambahan bentuk hukuman berupa cambuk sebanyak 45
(empat puluh lima) kali.
Untuk pengulangan (residivis)
dalam Qanun 13/2003 diatur dalam pasal 26 ‘uqu>ba>t-nya dapat
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqu>ba>t maksimal. Sedangkan dalam
Qanun 6/2014 ketentuan ini tidak diatur lagi. Dalam hal mengikutsertakan
anak-anak yang tidak diatur dalam Qanun No. 13 Tahun 2003 tapi diatur dalam
Qanun No. 6 Tahun 2014 yang mengancam pelaku dengan ‘uqu>ba>t
ta’zi>r cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda
paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling
lama 45 (empat puluh lima) bulan. Begitu juga dengan percobaan jari>mah
maisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 dikenakan ‘uqu>ba>t
ta’zi>r paling banyak 1/2 (setengah) dari ‘uqu>ba>t yang
diancamkan.
Perubahan yang cukup signifikan terjadi
dalam Qanun No. 13 Tahun 2003 menjadi Qanun No. 6 Tahun 2014 baik dari segi
ruang lingkup maupun jumlah hukuman yang diterima pelaku. Setidaknya kehadiran Qanun No. 6
Tahun 2014 ini telah menjawab sejumlah keraguan orang terhadap keberadaan Qanun
No. 13 Tahun 2003 dimana dalam qanun sebelumnya belum mengatur tentang
keterlibatan/perlindungan terhadap anak, tidak ditetapkannya batas hukum
minimal dan maksimal, tidak mencakup atau menghukum fasilatator dan pembantu perbuatan
maisir, serta minimnya hukuman alternatif dalam Qanun No. 13 Tahun 2003 telah
dianggap sebagai pelanggaran HAM di Indonesia, namun semua itu telah
diperbaharui dengan disahkannya Qanun Jinayat Aceh No. 4 Tahun 2014 yang
berlaku efektif di Aceh setahun kemudian.
3.
Pengaturan
Tindak Pidana Khalwat (Qanun Nomor 14 Tahun 2003)
Menurut bahasa khalwat berasal
dari khulwah dari akar kata khala yang berarti sunyi atau sepi.
Sedangkan menurut istilah, khalwat adalah keadaan seseorang yang
menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain. Khalwat/mesum adalah perbuatan yang
dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah
atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi.[53]
Sedangkan pengertian khalwat dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah berdua-duaan antara laki-laki dan
perempuan yg bukan muhrim di tempat sunyi atau tersembunyi.[54]
Qanun Pemerintah Aceh Nomor 14 Tahun
2003 tentang Khalwat (mesum) disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Juli
Tahun 2003 atau bertepatan dengan tanggal 15 Jumadil Awal 1424 H dan
diundangkan sehari kemudian pada bulan dan tahun yang sama. Khalwat
adalah perbuatan bersunyi-sunyian antara dua orang mukallaf atau lebih
yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.[55]
Adapun ruang lingkup pelaranga khalwat
di Aceh adalah segala kegiatan, keadaan dan
perbuatan yang mengarah kepada perbuatan zina[56]
dengan tujuan menegakkan syariat Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat Aceh; Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang merusak kehormatan; Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin
dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; Meningkatkan peran
serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum;
dan menutup peluang terjadinya kerusakan moral.[57]
Hukum ber – khalwat menurut
qanun ini adalah haram dan melarang setiap orang yang berada di Aceh untuk
melakukan khalwat/mesum. Larangan yang sama juga berlaku bagi orang atau
kelompok masyarakat atau aparatur pemerintah dan badan usaha untuk memberikan
fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang untuk melakukan perbuatan
khalwat/mesum dan setiap orang atau kelompok masyarakat berkewajiban untuk
mencegah terjadinya perbuatan khalwat/mesum.[58]
Bentuk ancaman ‘uqu>ba>t
terhadap pelaku jari>mah klalwat (mesum) dimaksudkan sebagai
upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi
anggota masyarkat lainnya untuk tidak melakukan jari>mah khalwat. Di
samping itu ‘uqu>ba>t
(cambuk) akan lebih efektif dengan memberi rasa malu dan tidak
menimbulkan resiko bagi keluarga. ‘Uqu>ba>t cambuk juga berdampak
pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan
dengan jenis ‘uqu>ba>t lainnya seperti yang dikenal dalam KUHP
sekarang ini.[59]
Mengenai ‘uqu>ba>t terhadap
pelanggar qanun ini dijelaskan dalam Bab VII, pada Pasal 22 ayat 1-2 disebutkan
bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4[60]
diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa cambuk paling banyak 9
(sembilan) kali dan paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau dendan paling banyak
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikt Rp. 2.500.000,- (dua
juta lima ratus ribu rupiah); Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 5[61]
diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6
(enam) bulan dan paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5000.000,- (lima
juta rupiah).[62]
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 apabila dilakukan oleh badan hukum/badan
usaha maka ‘uqu>ba>tnya dijatuhkan kepada penanggung jawab. Jika
ada hubungan dengan kegiatan usahanya maka selain ‘uqu>ba>t
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t
administratif.[63]
Sedangkann pengulangan pelanggaran (residivist)
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ‘uqu>batnya
dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqu>bat maksimal.[64]
Dalam Qanun No. 14 Tahun 2003
menjelaskan bahwa hukum khalwat adalah haram dan melarang kepada setiap
orang untuk melakukan khalwat, larangan yang sama juga ditujukan kepada
orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerintah atau badan usaha
dilarang untuk memberikan fasilitas kemudahan atau melindungi orang yang
berbuat khalwat.[65]
Sementara itu mengenai sanknsi (Qanun
14/2003) yang dijatuhkan apabila seseorang/kelompok masyarakat/aparatur
pemerintah/badan usaha melanggar ketentuan-ketentuan di atas maka diancam
dengan:[66]
a. Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, diancam dengan ‘uqu>bat ta’zi>r
berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan) kali, paling sedikit 3 (tiga) kali
dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling
sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
b. Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r
berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling
sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Tabel 1.3
Perbandinagn Qanun No. 12 Tahun 2003
Tentang Khalwat
dengan Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang
Jina>ya>t
JARIMAH |
PELAKU |
QANUN 12/2003 |
QANUN 6/2014 |
melakukan khalwat/mesum. |
Setiap orang |
Diancam dengan ‘uqu>bat
ta’zi>r, berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan) kali, paling sedikit 3
(tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
dan paling sedikit Rp. 2.500.000’- (dua juta lima ratus ribu rupiah). |
‘Uqu>bat Ta’zi>r cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali
atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling
lama 10 (sepuluh) bulan.
|
memberikan fasilitas
kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan khalwat/mesum. |
Setiap orang atau kelompok
masyarakat atau aparatur pemerindah atau badan usaha. |
‘Uqu>bat ta’zi>r berupa
kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan paling singkat 2 (dua) bulan,
dan/atau denda paling banyak paling banyak Rp. 15.000.000’- (lima belas juta
rupiah) dan paling sedikit Rp. 5.000.000’- (lima juta rupiah). |
‘Uqu>bat
Ta’zi>r cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau denda paling
banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama
15 (lima belas) bulan.
|
Dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang
Hukum Jina>ya>t dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan
jari>mah khalwat diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r
cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus)
gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan. Pada qanun ini
terdapat penambahan 1 (satu) kali cambukan bila dibandingkan dengan Qanun No.
14/2003 yang hanya memberikan 9 (sembilan) kali cambukan. Selain itu adanya
bentuk hukum alternatif selain denda yakni berupa penjara selama 10 (sepuluh)
bulan dimana dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 ketentuan penjara bagi pelanggar khalwat
tidak diatur.
Mengenai orang yang menyelenggarakan,
menyediakan fasilitas atau mempromosikan jari>mah khalwat
diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r cambuk paling banyak 15 (lima
belas) kali dan/atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas
murni dan/atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan. Dimana dalam qanun
sebelumnya hanya berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan paling singkat 2
(dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta
rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Sedangkan mengenai pengulangan jari>mah
dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 hal ini tidak diatur, sedangkan dalam Qanun No. 14
Tahun 2003 dikenakan tambahan hukuman 1/3 dari hukuman pokok, begitu juga
mengenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha, dalam qanun 6/2014
hal ini tidak diatur.
Satu hal yang sangat berbeda dalam
Qanun Jina>ya>t ini yaitu berupa adanya penjelasan megenai kewenangan
peradilan adat, dimana dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 penjelasan seperti ini
tidak ditemukan sehingga terjadi kerancauan dalam menangani kasus khalwat
di Aceh. Dalam Pasal 24 Qanun No. 6 Tahun 2014 dijelaskan bahwa jari>mah
khalwat yang menjadi kewenangan peradilan adat dan diselesaikan menurut
ketentuan dalam Qanun Aceh tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat
dan/atau peraturan perundang-perundangan lainnya mengenai adat istiadat.[67]
Prinsip utama dalam penulisan qanun ini
adalah presfektif ushul fiqh. Dengan prinsip ini diharapkan syariat
Islam yang berlaku di Aceh dituangkan kedalam qanun sebagai hukum positif
(fikih) Aceh yang menjadi sub-sistem dalam sistem hukum nasional dan sistem
peradilan nasional akan tetap berada dibawah naungan al-Qur’a>n dan Sunnah
Rasulullah dan tetap dalam bingkai pemikiran fikih. Qanun ini juga tetap
bertumpu kepada budaya adat – istiadat masyarakat lokal (Aceh) serta sistem
hukum yang berlaku di NKRI. Denagn demikian pilihan ini diharapkan mampu
mewujudkan subuah tatanan hukum (fikih) baru yang berakar dan menyatu dengan
kesadaran hukum masyarakat serta mampu memenuhi masa depan bangsa yang semakin
rumit dan kompleks serta tidak bertentangan dengan isu perlindungan HAM dan
kesetaraan gender yang sedang berkembang saat ini.
Menurut
Syahrizal Abbas, selaku Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, mengatakan
bahwa Hukum Syariah memiliki filosofi teo-antroposentris yang bermakna
bahwa, hukum syariah yang hadir ditengah masyarkat merupakan wujud iradah
Allah untuk hamba-Nya. Hukum Syariah berfungsi untuk menata kehidupan manusia
di dunia untuk menuju akhirat yang kekal dan abadi. Hukum Syariah bukan
semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah –
dunyawiyah semata seperti keadilan, ketertiban, keteraturan, ketentraman,
kesejahteraan dan kabahagiaan hidup, akan tetapi kepentingan
manusia yang bersifat batiniyah–ukhrawiyah yang berkaitan dengan ibadah
dan penghambaan diri
kepada Allah SWT.
Hukum dalam Islam
adalah instrumen ketaatan bagi seorang hamba terhadap ajaran Allah SWT,
karena manusia diciptakan
oleh Allah SWT, hanyalah bertujuan untuk
mengabdi kepada-Nya.[68]
C.
Penutup
Sebagaimana diketahui bahwa Qanun No. 6
Tahun 2014 ini merupakan bentuk revisi terhadap ke tiga qanun jina>ya>t
sebelumnya yang mengatur tentang khamar, maisir dan khalwat.
Tentu dalam qanun ini telah terjadi perubahan baik dari segi formil maupun
materilnya.
Berdasarkan
beberapa masalah dan kekurangan yang terkandung dalam Qanun–Qanun
sebelumnya, maka dipandang penting untuk segera melakukan perbaikan dan
penyempurnaan terhadap Qanun tersebut. Dalam melakukan revisi terhadap
Qanun ini berpijak pada prinsip-prinsip berikut: Pertama, ketentuan-ketentuan
yang akan dilaksanakan itu harus dijaga dan diupayakan sedemikian rupa agar
tetap bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, yang dalam penafsiran
dan pemahamannya akan berpegang pada tiga prinsip utama yang dikaitkan dengan
keadaan dan kebutuhan lokal (adat) masyarakat Aceh secara khusus atau dunia
Melayu Indonesia pada umumnya; Diupayakan
untuk selalu berorientasi ke masa depan guna memenuhi kebutuhan masyarakat
Indonesia; Melengkapi dua prinsip di atas dipedomani prinsip yang ketiga yaitu;
al-muhafazah bi al-qadim al-salih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah, yang
maknanya ”tetap menggunakan ketentuan-ketentuan lama (mazhab) yang masih bagus
(relevan) serta berusaha mencari dan merumuskan ketentuan baru yang lebih baik
dan lebih unggul.”
Penerapan
Qanun Jinayat di Aceh melalui Qanun No. 6 Tahun 2014 mengatur tentang pelaku jari>mah,
jari>mah dan uqu>bat. Adapaun yang diatur sebagai jari>mah dalam
qanun tersebut adalah: khamar, maisir, khalwat, ikhtilat, zina, pelecehan
seksual, pemerkosaan, qadzab, liwat dan musahaqah. Sedangkan uqu>bat dalam
qanam qanun ini adalah meliputi h{udu>d dalam bentuk cambuk dan ta’zi>r
yang terdiri dari ta,zi>r utama dan ta’zi>r tambahan. Ta’zi>r utama
terdiri dari cambuk, denda, penjara dan restitusi (denda), sedangkan ta’zi>r
tambahan berupa: pembinaan oleh negara, restitusi oleh orang tua/wali,
pengembalian kepada orang tua/wali, pemutusan perkawinan, pencabutan izin dan
pencabutan hak, perampasan barang-barang tertentu dan kerja sosial.
Ancaman hukuman yang diatur dalam Qanun
Jina>ya>t ini berpariasi, mulai dari hukuman terendah beupa
dicambuk sebanyak 10 (sepuluh) kali sampai denagan 200 (dua ratus) kali
cambukan sebagai hukuman cambuk yaang terberat. Adapun ancaman denda kepada
mereka yang melanggar syariat Islam di Aceh, mulai dari didenda sebesar 10
(sepuluh) gram emas murni sampai dengan 200 (dua ratus) gram emas murni atau
hukuman penjara 20 (dua puluh) sampai 200 (dua ratus) bulan penjara. Qanun No.
6 ini menghukum perbuatan khalwat berupa 10 (sepuluh) kali cambukan atau
denda berupa 100 (seratus) gram emas murni dan/atau penjara 10 (sepuluh) bulan.
Inilah bentuk hukuman yang paling ringan, sedangkan bentuk hukuman yang paling
berat di ancamkan kepada pelaku pemerkosaan terhadap anak-anak yaitu berupa
dikenakan hukuman cambuk sebanya 150 (seratus lima puluh) sampai dengan 200
(dua ratus) kali cambukan atau denda sebanyak 1.500 (seribu lima ratus) sampai
2.000 (dua ribu) gram emas murni dan/atau penjara selama 150 (seratus lima
puluh) sampai 200 (dua ratus) bulan penjara.[69]
Qanun Jina>ya>t No. 6 Tahun
2014 mengatur
tentang wilayah pemberlakuan (yurisdiksi) qanun, yang
meliputi empat kelompok besar, yaitu: pertama, setiap
orang beragama Islam yang melakukan jari>mah di Aceh. Kedua, setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan jari>mah
di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan
memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada Hukum Jina>ya>t. Ketiga, setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan jari>mah
di Aceh yang tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi
diatur dalam Qanun ini; dan keempat, badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh.[70]
D.
Pustaka
Acuan
Abbas, Syahrizal. “Maqashid
al-Syariah Dalam Sistem Perundangan Rumpun Melayu (Analisis terhadap Qanun
Jinayah di Aceh)”, htt p://www.islam.gov.
my/sites/ default/files/maqasid_al-syariah_ dalam _perundangan _ melayu.pdf.
Ablisar, Madiasa. “Relevansi
Hukuman Cambuk Sebagai Salah Satu Bentuk Pemidanaan Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana”. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
Abubakar, Al Yasa’ dan Marah Halim, Hukum
Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam
NAD, 2006.
Abubakar, Al Yasa’, Sulaiman M. Hasan. Perbuatan
Pidana dan Hukumnya Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh:
Dinas Syari’at Islam NAD, 2006.
Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
Akli, Zul. “Eksekusi Tindak Pidana
Perjudian (Maisir) Di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe”, Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 3 No. 2.
Alie, Marzuki. Implementasi
Hukum Islam dan Kebijakan Lokal di Aceh http://www.marzukialie.com/ ?show=tulisan&id=67 .
Amal, Taufik Adnan dan Panggabean,
Samsu Rizal. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria. Ciputat:
Pustaka Alvabet 2004.
Aziz, Samsudin. “Kanunisasi Fikih
Jinayat Kontemporer: Studi Materi Muatan Qānūn Jināyat Aceh dan Brunei Darussalam”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam
(al-Ahkam), Volume 24, Nomor 2, Oktober 2014.
Bahri, Syamsul. “Pelaksanaan Syariat
Islam di Aceh Sebagai Bagian dari Wlayah NKRI”, Jurnal Dinamika Hukum Vol.
12 No. 2 Mei 2012.
Cammack, Mark E. and Feener, R.
Michael. “The Islamic Legal System In Indonesia” , Pacific Rim Law &
Policy Journal Vol. 21 No. 1.
Cronbach, Lee J. Educational
Psycology. USA: Harcourt, Brace and Company Inc, 1970.
Dahlan, Abdul Aziz et. al., Ensiklopedi
Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeven, 1997.
Dinas Syariat Islam Nanggroe Aceh
Darussalam, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden,Peraturan
Daerah/Qanun, Insrtuksi Presiden, berkaitan dengan Pelaksanaan Syariat Islam, Edisi
IV. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2008.
El Sulthani,
Mawardi Lobay. Tegakkan Keadilan. Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002.
Hendra Mr, Dede. Eksistensi
Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam Di Provinsi Aceh.
Depok: Tesis Fak. Hukum Ui, 2012.
Hossen, Ibrahim. Apakah Judi Itu?.
Jakarta: Lembaga Kajian Ilmu IIQ, 1987.
Hukum Online, “Eksekusi Hukuman Cambuk
Tetap Diawasi Dokter”, http://www.
hukumonline.com/berita/baca/hol20791/eksekusi-hukuman-cambuk-tetap-diawas i -do
kter.
Jati, Wasisto Raharjo. “Permasalahan
Implementasi Perda Syariah Dalam Otonomi
Daerah” , al-Manahi>j, Vol. VII No. 2, Juli 2013.
Kamil, Sukran dkk. Syariah Islam dan
HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan
Non-Muslim. Jakarta: SSRC UIN Jakarta,2007.
Karsono, Edy. Mengenal
Kecanduan Narkoba dan
Minuman Keras, Cet. ke-1.
Bandung: Yrama Widya, 2004.
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda