Selasa, 17 Juli 2012

PIDANA DAN PERDATA ISLAM

PIDANA DAN PERDATA ISLAM
Oleh: Ali Geno Berutu


A.    Pendahuluan
Lembaga perkawinan adalah lembaga hukum yang mengatur hubungan hukum keperdataan antara individu dengan individu lainnya. KUH Perdata menyebutkan batasan tersebut dalam Pasal 26 sebagai berikut Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Artinya, unsur agama tidak dilibatkan dalam menyatakan sebuah perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang hanya melihat dari sisi keperdataan bersifat sekuler.

Batasan perkawinan di atas berbeda dengan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Batasan tersebut secara tegas menyatakan bahwa unsur agama tidak dapat dipisahkan dari keabsahan suatu perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan yang diatur di Indonesia adalah perkawinan yang tidak sekuler, atau perkawinan nasional-Islam.

UU Perkawinan tidak menyebutkan adanya sanksi pidana bagi pelanggarnya padahal sanksi dimaksud dapat ditentukan karena undang-undang produk wakil rakyat sehingga apabila di dalamnya diatur tentang pemberian sanksi pidana, berarti rakyat menghendakinya. Namun yang perlu dikritisi adalah PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Perkawinan memuat ketentuan mengenai sanksi dimaksud sebagaimana tersebut dalam Pasal 45 undang-undang di atas. Seharusnya PP tersebut tidak memuat ketentuan mengenai sanksi sebab PP merupakan produk pemerintah, bukan produk wakil rakyat.
Perkembangan baru mengenai UU Perkawinan akan terwujud dengan disiapkannya RUU sehingga akan terjadi perubahan yang signifikan dalam peraturan perundang-undangan bidang perkawinan. Salah satu perubahannya adalah mengenai sanksi pidana bagi pelanggarnya. Ketentuan Pidana dimaksud diatur dalam Pasal 143 s.d. Pasal 151 RUU, yang terkait dengan: 1) pelaksanaan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah, 2) perkawinan mutah, perkawinan poligami tanpa izin pengadilan, 3) penceraian isteri tidak di depan sidang pengadilan, 4) perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga hamil sementara pelaku laki-laki menolak mengawininya, 5) pelanggaran kewajiban oleh Pejabat Pencatat Nikah, 6) siapa pun yang bertindak sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim, 7) siapa pun yang tidak berhak sebagai wali nikah, tetapi dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah. Pidana yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana di atas ada yang berupa pidana denda, pidana kurungan, dan/atau pidana penjara, yang penindakannya didasarkan pada laporan masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan, setelah melalui penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

B. Pembahasan
1.      1. Tindak Pidana dalam Perkawinan menurut PP Nomor 9 Tahun 1975
Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
1.      a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500. (tujuh ribu lima ratus rupiah);
2.      b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 14 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.
1.      2. Tindak Pidana dalam Perkawinan menurut KUHP
Adami Chazawi mengatakan bahwa semua tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan pada KUHP termasuk jenis kejahatan. Kejahatan dimaksud dimuat dalam 5 pasal: Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (perkosaan bersetubuh), Pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan isterinya yang dalam keadaan pingsan), Pasal 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur 15 tahun yang bukan isterinya), dan Pasal 288 (bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan luka atau kematian.[1]
Pasal 284 KUHP berbunyi :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1.      a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW[2] berlaku baginya.
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
1.      a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti olehnya dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami isteri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pasal 285 KUHP berbunyi. Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP berbunyi. Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 287 KUHP berbunyi:
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.

Pasal 288 KUHP berbunyi:
(1) Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 285 KUHP berbunyi .Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabil , diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
1.      3. Tindak pidana menurut RUU HMPA Bidang Perkawinan
Pasal 143 RUU HMPA Bidang Perkawinan (selanjutnya disebut RUU) berbunyi .Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)[3] dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Ketentuan Pasal 143 RUU merupakan ketentuan pidana bagi pelaku akad, yang menurut hukum Islam, adalah mempelai laki-laki dan wali, yang melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah, dan hukuman pidana yang diancamkan kepada pelanggar pasal di atas adalah pidana denda, karena  menurut ketentuan Pasal 151 RUU kategori tindak pidananya adalah pelanggaran.

Pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pada pasal di atas harus dikritisi karena:
1.      RUU Hukum MATERIIL Peradilan Agama Bidang Perkawinan merupakan RUU Perkawinan yang dikhususkan untuk lingkungan Peradilan Agama, dan apabila disahkan akan menjadi UU Hukum MATERIIL Peradilan Agama Tentang Perkawinan. Sejauh manakah UU Nomor 1 Tahun 1974 RUU dimaksud berbeda substansi? Apakah RUU ini merupakan lex specialis?;
2.      Konsideran Menimbang UU Perkawinan menyebutkan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya undang-undang tentang perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
3.      Pasal 28B ayat (1) berbunyi Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
4.      Perkawinan menurut Islam tidak hanya tentang hubungan antara individu laki-laki dan individu perempuan yang akan menjadi suami-isteri tetapi melibatkan individu bahkan individu-individu lain yang dibingkai oleh rukun dan syarat perkawinan, apalagi bila dikaitkan dengan hukum-hukum perkawinan dan tujuannya menurut Islam. Dengan kata lain, perkawinan menurut Islam bernilai ibadah (berbeda dengan BW (Pasal 26) yang memandang perkawinan sebagai hubungan keperdataan.
5.      Frasa perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia pada asas kemanusiaan terkait dengan 28E ayat (1) dan ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 (hasil amandemen) yang masing-masing berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya . . . . (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan . . ., sesuai dengan hati nuraninya, serta Pasal 29 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 (hasil amandemen) yang berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
6.      Frasa memperhatikan keragaman penduduk, agama, pada asas bhinneka tunggal ika terkait dengan Pasal 29 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 (hasil amandemen), yang dalam hukum perkawinan dikonkretkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan atau akan dikonkretkan dengan Pasal 3 RUU.
7.      Frasa mencerminkan keadilan pada asas keadilan selaras dengan Pasal 28D Pasal ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 (hasil amandemen) yang berbunyi Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum ˜yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
8.      8. Qiyas awlawi dari di hadapan hukum pada angka 8 di atas adalah perlindungan keadilan menurut dan di hadapan undang-undang yang mengatur bidang perkawinan.
9.      9. Pemberian sanksi pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 143 di atas yang memberikan pidana denda maksimal sebesar Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) merupakan fath al-dzara’ah (membuka kerusakan) dan/atau pelecehan terhadap RUU bila telah menjadi undang-undang.

Ketentuan pidana yang terkait dengan pelangsungan perkawinan yang tidak dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah, dimuat pula dalam Pasal 148 RUU, yang berbunyi “Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Ketentuan pidana bagi Pejabat Pencatat Nikah di atas mempunyai hubungan hukum dengan kewajibannya untuk mencatatkan perkawinan.

Ketentuan pidana lainnya disebutkan dalam Pasal 149 bagian gabungan-pilihan I yang berbunyi Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 21[4] dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 151 RUU menggolongkan tindaknya sebagai tindak pidana kejahatan.

Selain itu, RUU memuat pula ketentuan pidananya dalam 149 bagian gabungan-pilihan II yang berbunyi Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai (Pejabat Pencatat Nikah) dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Ketentuan pidana pada pasal di atas patut dipertahankan karena tidak sedikit kasus pembatalan perkawinan yang diajukan ke Pengadilan disebabkan oleh tindakan orang yang bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim, atau mungkin pula wali yang lebih jauh tetapi bertindak wali yang lebih dekat sementara ia masih ada, serta tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 21 ayat (1) RUU ini.

Ketentuan pidana lainnya disebutkan dalam Pasal 150 RUU yang berbunyi Setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22[5], dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal ini melarang yang bukan wali bertindak sebagai wali, baik wali nasab maupun wali hakim. Larangan tersebut berkonsekuensi tidak sahnya perkawinan yang dilakukan oleh bukan wali tersebut. Untuk menjaga dari pelanggaran terhadap larangan tersebut, Pasal 150 RUU memberikan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Apabila ketentuan pidana di atas dikaitkan dengan kejahatan terhadap asal usul perkawinan sebagaimana tersebut dalam Pasal 277 ayat (1) KUHP yang berbunyi Barangsiapa dengan salah satu perbuatan sengaja menggelapkan asal-usul orang, diancam karena penggelapan asal-usul, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Selain itu, Pasal 277 ayat (2) KUHP berbunyi Pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1  4 dapat dinyatakan.[6]

Ketentuan hukum pada Pasal 149 dan Pasal 150 di atas merupakan  larangan bagi orang lain yang bukan Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim untuk melakukan kegiatan sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim. Larangan di atas disampaikan dalam bentuk ancaman hukuman, yang menurut Pasal 10 KUHP tergolong pidana pokok.[7]

Pasal 39 berbunyi Laki-laki muslim atau perempuan muslimah dilarang melangsungkan perkawinan mutah. Apabila ketentuan hukum tersebut dilanggar, siapa pun pelanggarnya dikenai hukuman pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun. Selain itu, perkawinannya batal karena hukum. Hal tersebut termuat dalam Pasal 144 RUU. Ketentuan hukum ini sesuai dengan hukum Islam aliran sunni, sementara Ali bin Abi Thalib, yang dianggap sebagai pimpinan kaum syi’ah, menyatakan [8] (nikah mutah adalah zina).

Pasal 147 RUU berbunyi Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal tersebut terkait dengan Pasal 47 yang terdiri dari 3 (tiga) ayat: (1) Seorang perempuan hamil karena zina, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menzinainya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

Ketentuan tindak pidana di atas  menurut ketentuan Pasal 147 RUU tergolong kejahatan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 10 KUHP, hukuman pidananya adalah pidana pokok tingkat II, yaitu pidana penjara. Hukuman pidana tersebut terkait dengan penolakan seorang laki dari mengawini seorang wanita yang dizinainya lalu hamil. Apabila penolakan dimaksud tidak terjadi, berarti tidak ada tindak pidana. Penggolongan tindak pidana yang terkait dengan Pasal 147 RUU sebagai kejahatan selaras dengan KUHP, yang menyebutnya dengan kejahatan terhadap kesusilaan.[9] Adami Chazawi mengatakan pula bahwa tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan tidak ada yang masuk pada jenis pelanggaran, semuanya masuk pada jenis kejahatan.[10] Menurutnya pula, dibentuknya kejahatan di bidang ini, ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum kaum perempuan di bidang kesusilaan dalam hal persetubuhan.[11] Berdasarkan hal tersebut, pembentukan hukum sebagaimana pada Pasal 147 RUU bertujuan melindungi kaum perempuan.

Dalam hukum Islam, tindak pidana dimaksud dianggap terjadi, sehingga hukumannya dapat dijatuhkan. Mahkamah Agung  sebagaimana dalam putusan tanggal 19 Nopember 1977 No. 93 K/Kr/1976 berpendapat bahwa delik adat zina merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti disyaratkan oleh Pasal 281 KUHP, atau pun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh Pasal 284 KUHP.[12] Menurut Soenarto Soerodibroto, pendapat Mahkamah Agung di atas memperluas makna zina, yang tidak terbatas pada makna menurut KUHP saja, akan tetapi juga makna zina menurut hukum Adat.[13]

Terlepas dari ketentuan hukum dan/atau penafsiran di atas, frasa Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin menunjukkan bahwa siapa pun yang berlaku seperti itu merupakan pelaku. Artinya, dua orang yang melakukan perzinaan tersebut adalah pelaku karena perzinaan tidak akan terjadi bila seorang diri. Tafsir demikian ada benarnya, tetapi apabila dikembalikan kepada undang-undang yang mengatur secara umum tentang tindak pidana, dalam hal ini KUHP, maknanya tidak demikian.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP berbunyi Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukanperbuatan. Hoge Raad tanggal 13 Juni 1932 memberikan tafsir kata melakukan dengan Pada larangan untuk sesuatu keadaan tertentu, maka pelaku adalah orang yang dapat mengakhiri keadaan itu. Direktur suatu PT bertanggung jawab mengenai penyaluran bahan-bahan yang dapat menimbulkan kerusakan dalam saluran air minum oleh PT itu, [14]pelaku adalah orang yang melakukan seluruh isi delik. Apabila dua orang bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan tiap-tiap pelaku sendiri-sendiri tidak menghasilkan kejahatan itu, dapat terjadi turut melakukan.[15]
 
RUU memuat ancaman pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 145 [16], yaitu pidana denda paling banyak Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Pasal di atas terkait dengan Pasal 52 RUU, yang berbunyi  (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan. (2) Pengajuan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 119 RUU ini berbunyi Dalam hal talak dijatuhkan tidak di depan sidang Pengadilan maka isteri dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan, dan/atau dirugikan akibat talak tersebut berhak mengajukan gugatannya ke Pengadilan. Agar ketentuan hukum di atas tidak dilanggar, RUU memberikan ancaman pidana kepada pelanggarnya, yaitu paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 146 RUU.

Penjelasan Pasal 146 berbunyi Demi mewujudkan kemaslahatan umum (maslahat al-âmmah) dan mencegah praktek talak di bawah tangan maka selain mengatur tata cara penjatuhan talak oleh suami terhadap isteri harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan di depan sidang pengadilan, perlu ditetapkan pula sanksi pidana terhadap penyimpangan tersebut yang diatur dan ditentukan oleh undang-undang ini agar hak talak yang dimiliki suami tidak digunakan secara ceroboh dan semena-mena.

Dalam hukum Islam, ketentuan sanksi di atas merupakan sadd al-dzara’ah (menutup jalan yang mengakibatkan kerusakan/kehancuran/kerugian). Oleh karena rancangan pengaturan di atas dilakukan oleh Kekuasaan Legislatif yang apabila telah disahkan, Kekuasaan Eksekutif harus mengundangkannya pada lembaran negara dalam waktu tertentu (30 hari). Apabila suatu undang-undang telah dimasukkan dalam Lembaran Negara, maka semua warga negara dan/atau penduduk dianggap telah mengetahuinya, sehingga tidak ada alasan bagi pelanggarnya bahwa ia tidak mengetahui ketentuan hukum dimaksud. Dalam bahasa Arab, hal tersebut dikenal dengan ibarat  (undang-undang tidak melindungi orang yang lalai).

Sehubungan dengan ketentuan pidana di atas, dan terlepas dari lembaga yang mengusulkan RUU ini, ada politik hukum yang merancang pemberian kewenangan kepada Peradilan Agama untuk mengadili tindak pidana yang terkait dengan kewenangan absolut kepada Peradilan Agama. Sebagaimana telah disebutkan, politik hukum dimaksud terdapat pada alinea kelima huruf dan batang tubuh /pasal-pasal RUU ini.

Pasal-pasal dimaksud adalah Pasal 152, Pasal 154 ayat (2), dan Pasal Pasal 155. Pasal 152 RUU berbunyi Perkara pidana yang terjadi sebagai akibat pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143, Pasal 145, Pasal 146, dan Pasal 148, dan/atau kejahatan sebagaimana dimaksud Pasal 144, Pasal 147, Pasal 149, dan Pasal 150 Undang-Undang ini (sementara dibaca: Rancangan Undang-Undang ini) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan setelah Pengadilan menerima perkara tersebut dari Kejaksaan Negeri setempat. Maksud kata Pengadilan di atas menurut ketentuan Pasal 1 huruf u adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariyah. Sedangkan bunyi Pasal 154 ayat (2) adalah Tindak pidana perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (sementara dibaca: Rancangan Undang-Undang ini) yang belum diajukan ke Pengadilan Negeri maka perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Agama. Menurut Pasal 155 RUU, Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 151 Undang-Undang ini (sementara dibaca: Rancangan Undang-Undang ini) adalah Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.[17]

Akhir dari politik hukum pada RUU ini khususnya yang berkaitan dengan lingkungan Peradilan yang mengadilinya tergantung pada politik hukum kekuasaan yang mengesahkannya. Terlepas dari akhir perjalanan pembahasan RUU, politik hukum RUU ini berasaskan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2009 Nomor 157), Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, yang penjelasan masing-masing kata tersebut adalah sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Apabila RUU disahkan maka para Hakim di lingkungan Peradilan Agama harus mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan undang-undang.
1.      C. Penutup
1.      1. Kesimpulan
1.      Bahwa tindak pidana di bidang perkawinan selama ini diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan diadili di lingkungan Peradilan Umum.
2.      Dalam RUU ini, tindak pidana di bidang perkawinan diadili di lingkungan Peradilan Agama.
3.      Penyusunan dan pembahasan RUU ini serta pembentukannya menjadi undang-undang ini merupakan wewenang DPR dan Presiden (Pemerintah) sebagai politikhukum.

Pidana Wakaf
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan: jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lain.
Jika dilakukan, maka akan dapat dipidana sesuai dengan Pasal 67 ayat (1) – (3).
Jika setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan, dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan tanpa izin, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). 
Jika setiap orang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin, dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana paling lama 3 tahun dan/atau didenda Rp 3000.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
Disebutkan Iskandar, penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat dengan cara mediasi, yaitu meminta bantuan pihak ketiga (mediator). Sementara, Sofyan Umar mengatakan, dapat juga meminta bantuan KUA setempat. Tetapi jika tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka dibawa ke Mahkamah Syar’iyah.
Daftar pustaka:
Soenarto Soerodibroto, S.H., KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta: Rajawali Pers, 2007
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007
Http//www.mahkamahagung.go.id




[1] Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), edisi I, 2, h. 55.
[2] Pasal 27 BW berbunyi Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
[3] Pasal 5 ayat (1) berbunyi Untuk memenuhi ketentuan Pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.” Sedangkan bunyi Pasal 4 RUU adalah Setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut mewajibkan pencatatan suatu perkawinan, dan karena hukum wajib tersebut, perbuatan yang menyebabkan terlaksananya kewajiban tersebut, dalam hal ini memberitahukan kehendak nikah kepada Pejabat Pencatat Nikah, merupakan kewajiban pula. Pemahaman di atas didasari kaidah fikih yang berbunyi
[4] Pasal 21 ayat (1) RUU berbunyi wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, atau enggan menikahkan (‘adhal). Sedangkan bunyi ayat (2) pasal yang sama adalah Dalam hal wali ‘adhal, wali hakim hanya dapat bertindak sebagai wali nikah setelah penetapan Pengadilan tentang ?adhal-nya wali tersebut.
[5] Pasal 22 RUU berbunyi Selain wali nasab dan wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21, tidak sah bertindak sebagai wali nikah.
[6] Selengkapnya baca Pasal 35 KUHP tersebut.
[7] Pasal 10 KUHP menyebutkan bahwa pidana terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda) dan pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
[8] Selengkapnya baca Bulûgh al-Marâm/Subul al-Salâm jilid II (juz 3).
[9] Soenarto Soerodibroto, S.H., KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), edisi kelima, h. 169..
[10] Adami Chazawi, loc. cit.
[11] Ibid.
[12] Ibid., h. 174.
[13] Ibid.
[14] Ibid., h. 51 dan 52.
[15] Ibid..
[16] Pasal di atas terkait dengan Pasal 52 RUU ini berbunyi  (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan. (2) Pengajuan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan, tidak mempunyai kekuatan hukum.
[17] Menurut R. Soesilo, suatu perbuatan merupakan delik hukum (kejahatan), jika perbuatan itu bertentangan dengan azaz-azaz hukum hukum positif yang hidup dalam rasa hukum di kalangan rakyat, terlepas apakah azaz-azaz tersebut dicantumkan dalam undang-undang pidana. Sedangkan delik undang-undang (pelanggaran) adalah peristiwa-peristiwa pidana yang kecil-kecil seperti minta-minta di jalan umum, . . ., yang ancaman pidananya lebih ringan daripada kejahatan-kejahatan. (Ibid.).

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda