PIDANA DAN PERDATA ISLAM
PIDANA DAN PERDATA ISLAM
Oleh: Ali Geno Berutu
A. Pendahuluan
Lembaga perkawinan adalah lembaga hukum yang mengatur
hubungan hukum keperdataan antara individu dengan individu lainnya. KUH Perdata
menyebutkan batasan tersebut dalam Pasal 26 sebagai berikut Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan-hubungan perdata. Artinya, unsur agama tidak dilibatkan
dalam menyatakan sebuah perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang hanya
melihat dari sisi keperdataan bersifat sekuler.
Batasan perkawinan di atas berbeda dengan yang
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut UU Perkawinan). Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Batasan
tersebut secara tegas menyatakan bahwa unsur agama tidak dapat dipisahkan dari
keabsahan suatu perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan yang diatur di
Indonesia adalah perkawinan yang tidak
sekuler, atau perkawinan nasional-Islam.
UU Perkawinan tidak menyebutkan adanya sanksi pidana
bagi pelanggarnya padahal sanksi dimaksud dapat ditentukan karena undang-undang
produk wakil rakyat sehingga apabila di dalamnya diatur tentang pemberian
sanksi pidana, berarti rakyat menghendakinya. Namun yang perlu dikritisi adalah
PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Perkawinan memuat ketentuan
mengenai sanksi dimaksud sebagaimana tersebut dalam Pasal 45 undang-undang di
atas. Seharusnya PP tersebut tidak
memuat ketentuan mengenai sanksi sebab PP merupakan produk pemerintah, bukan produk
wakil rakyat.
Perkembangan baru mengenai UU Perkawinan akan terwujud
dengan disiapkannya RUU sehingga
akan terjadi perubahan yang signifikan dalam peraturan perundang-undangan
bidang perkawinan. Salah satu perubahannya adalah mengenai sanksi pidana bagi
pelanggarnya. Ketentuan Pidana dimaksud diatur dalam Pasal 143 s.d. Pasal 151
RUU, yang terkait dengan: 1)
pelaksanaan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah, 2) perkawinan
mutah, perkawinan poligami tanpa izin pengadilan, 3) penceraian isteri tidak di
depan sidang pengadilan, 4) perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin
sehingga hamil sementara pelaku laki-laki menolak mengawininya, 5) pelanggaran
kewajiban oleh Pejabat Pencatat Nikah, 6) siapa pun yang bertindak sebagai
Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim, 7) siapa pun yang tidak berhak
sebagai wali nikah, tetapi dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah. Pidana
yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana di atas ada yang berupa pidana
denda, pidana kurungan, dan/atau pidana penjara, yang penindakannya didasarkan
pada laporan masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan, setelah melalui
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
B. Pembahasan
1. 1. Tindak Pidana dalam Perkawinan menurut PP Nomor 9 Tahun 1975
Pasal
45 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan berbunyi:
(1)
Kecuali apabila ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
1. a. Barangsiapa yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan
Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500. (tujuh
ribu lima ratus rupiah);
2. b. Pegawai Pencatat yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 14
Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus
rupiah).
(2)
Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.
1. 2. Tindak Pidana dalam Perkawinan menurut KUHP
Adami Chazawi mengatakan bahwa semua tindak pidana
kesopanan dalam hal persetubuhan pada KUHP termasuk jenis kejahatan. Kejahatan
dimaksud dimuat dalam 5 pasal: Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (perkosaan
bersetubuh), Pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan isterinya yang dalam
keadaan pingsan), Pasal 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur 15
tahun yang bukan isterinya), dan Pasal 288 (bersetubuh dalam perkawinan dengan
perempuan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan luka atau kematian.[1]
Pasal
284 KUHP berbunyi :
(1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang
telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa
Pasal 27 BW[2]
berlaku baginya.
b.
seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa
Pasal 27 BW berlaku baginya.
1. a. seorang pria yang
turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut
bersalah telah kawin.
b.
seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW
berlaku baginya.
(2)
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar,
dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan
diikuti olehnya dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena
alasan itu juga.
(3)
Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73, dan 75.
(4)
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan
belum dimulai.
(5)
Jika bagi suami isteri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang
menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Pasal
285 KUHP berbunyi. Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal
286 KUHP berbunyi. Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal
287 KUHP berbunyi:
(1)
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2)
Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal
294.
Pasal
288 KUHP berbunyi:
(1)
Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk
dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
(2)
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling
lama delapan tahun.
(3)
Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 285 KUHP berbunyi .Barangsiapa dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabil , diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
1. 3. Tindak pidana menurut RUU HMPA Bidang Perkawinan
Pasal 143 RUU
HMPA Bidang Perkawinan (selanjutnya disebut RUU) berbunyi .Setiap orang yang dengan sengaja
melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)[3]
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah)
atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Ketentuan Pasal 143
RUU merupakan ketentuan pidana bagi pelaku akad, yang menurut hukum Islam,
adalah mempelai laki-laki dan wali, yang melangsungkan perkawinan tidak di
hadapan Pejabat Pencatat Nikah, dan hukuman pidana yang diancamkan kepada
pelanggar pasal di atas adalah pidana denda, karena menurut ketentuan Pasal 151 RUU kategori tindak pidananya adalah pelanggaran.
Pemberian
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pada pasal di atas harus dikritisi
karena:
1. RUU Hukum MATERIIL
Peradilan Agama Bidang Perkawinan merupakan RUU Perkawinan yang dikhususkan untuk lingkungan
Peradilan Agama, dan apabila disahkan akan menjadi UU Hukum MATERIIL Peradilan
Agama Tentang Perkawinan. Sejauh manakah UU Nomor 1 Tahun 1974 RUU dimaksud
berbeda substansi? Apakah RUU ini merupakan lex specialis?;
2. Konsideran Menimbang
UU Perkawinan menyebutkan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta
cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya undang-undang tentang
perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
3. Pasal 28B ayat (1)
berbunyi Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
4. Perkawinan menurut
Islam tidak hanya tentang hubungan antara individu laki-laki dan individu
perempuan yang akan menjadi suami-isteri tetapi melibatkan individu bahkan
individu-individu lain yang dibingkai oleh rukun dan syarat perkawinan, apalagi
bila dikaitkan dengan hukum-hukum perkawinan dan tujuannya menurut Islam.
Dengan kata lain, perkawinan menurut
Islam bernilai ibadah (berbeda dengan BW (Pasal 26) yang memandang
perkawinan sebagai hubungan keperdataan.
5. Frasa perlindungan
dan penghormatan hak asasi manusia pada asas kemanusiaan terkait dengan 28E ayat (1) dan ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 (hasil amandemen) yang
masing-masing berbunyi “Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya . . . . (2) Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan . . ., sesuai dengan hati nuraninya,
serta Pasal 29 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 (hasil amandemen) yang
berbunyi Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
6. Frasa memperhatikan keragaman penduduk, agama, pada asas bhinneka tunggal
ika terkait dengan Pasal 29 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 (hasil amandemen), yang
dalam hukum perkawinan dikonkretkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan atau
akan dikonkretkan dengan Pasal 3 RUU.
7. Frasa mencerminkan keadilan pada asas keadilan
selaras dengan Pasal 28D Pasal ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 (hasil amandemen)
yang berbunyi Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum ˜yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
8. 8. Qiyas awlawi dari di hadapan hukum pada
angka 8 di atas adalah
perlindungan keadilan menurut dan di hadapan undang-undang yang mengatur bidang
perkawinan.
9. 9. Pemberian sanksi pidana sebagaimana tersebut dalam
Pasal 143 di atas yang memberikan pidana denda maksimal sebesar Rp 6.000.000,-
(enam juta rupiah) merupakan fath al-dzara’ah (membuka kerusakan)
dan/atau pelecehan terhadap RUU bila telah menjadi undang-undang.
Ketentuan pidana yang terkait dengan pelangsungan
perkawinan yang tidak dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah, dimuat pula dalam
Pasal 148 RUU, yang berbunyi “Pejabat
Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Ketentuan pidana bagi Pejabat
Pencatat Nikah di atas mempunyai hubungan hukum dengan kewajibannya untuk
mencatatkan perkawinan.
Ketentuan pidana lainnya disebutkan dalam Pasal 149
bagian gabungan-pilihan I yang berbunyi Setiap
orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai
Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dan Pasal 21[4]
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 151 RUU
menggolongkan tindaknya sebagai tindak pidana kejahatan.
Selain itu, RUU memuat pula ketentuan pidananya dalam
149 bagian gabungan-pilihan II yang berbunyi Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah
sebagai (Pejabat Pencatat Nikah) dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dan Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Ketentuan pidana pada pasal di atas patut
dipertahankan karena tidak sedikit kasus pembatalan perkawinan yang diajukan ke
Pengadilan disebabkan oleh tindakan orang yang bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim,
atau mungkin pula wali yang lebih jauh tetapi bertindak wali yang lebih dekat
sementara ia masih ada, serta tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 21 ayat (1) RUU ini.
Ketentuan pidana lainnya disebutkan dalam Pasal 150
RUU yang berbunyi Setiap orang yang
tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22[5],
dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal ini melarang yang bukan wali bertindak sebagai
wali, baik wali nasab maupun wali hakim. Larangan tersebut berkonsekuensi tidak
sahnya perkawinan yang dilakukan oleh bukan wali tersebut. Untuk menjaga dari
pelanggaran terhadap larangan tersebut, Pasal 150 RUU memberikan ancaman
hukuman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Apabila ketentuan pidana di atas dikaitkan dengan
kejahatan terhadap asal usul perkawinan sebagaimana tersebut dalam Pasal 277
ayat (1) KUHP yang berbunyi Barangsiapa dengan salah satu perbuatan sengaja
menggelapkan asal-usul orang, diancam karena penggelapan asal-usul, dengan
pidana penjara paling lama enam tahun. Selain itu, Pasal 277 ayat (2) KUHP
berbunyi Pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1 4 dapat dinyatakan.[6]
Ketentuan hukum pada Pasal 149 dan Pasal 150 di atas
merupakan larangan bagi orang lain yang
bukan Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim untuk melakukan kegiatan
sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim. Larangan di atas
disampaikan dalam bentuk ancaman hukuman, yang menurut Pasal 10 KUHP tergolong
pidana pokok.[7]
Pasal 39 berbunyi Laki-laki muslim atau perempuan muslimah dilarang melangsungkan
perkawinan mutah. Apabila ketentuan hukum tersebut dilanggar, siapa pun
pelanggarnya dikenai hukuman pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun.
Selain itu, perkawinannya batal karena
hukum. Hal tersebut termuat dalam Pasal 144 RUU. Ketentuan hukum ini
sesuai dengan hukum Islam aliran sunni, sementara Ali bin Abi Thalib, yang
dianggap sebagai pimpinan kaum syi’ah, menyatakan [8]
(nikah mutah adalah zina).
Pasal 147 RUU berbunyi Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum
kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak
mengawininya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal
tersebut terkait dengan Pasal 47 yang terdiri dari 3 (tiga) ayat: (1) Seorang
perempuan hamil karena zina, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang
menzinainya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Ketentuan tindak pidana di atas menurut ketentuan Pasal 147 RUU tergolong
kejahatan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 10 KUHP, hukuman pidananya adalah
pidana pokok tingkat II, yaitu pidana penjara. Hukuman pidana tersebut terkait
dengan penolakan seorang laki dari mengawini seorang wanita yang dizinainya
lalu hamil. Apabila penolakan dimaksud tidak terjadi, berarti tidak ada tindak
pidana. Penggolongan tindak pidana yang terkait dengan Pasal 147 RUU sebagai
kejahatan selaras dengan KUHP, yang menyebutnya dengan kejahatan terhadap kesusilaan.[9]
Adami Chazawi mengatakan pula bahwa tindak pidana kesopanan dalam hal
persetubuhan tidak ada yang masuk pada jenis pelanggaran, semuanya masuk pada
jenis kejahatan.[10]
Menurutnya pula, dibentuknya kejahatan di bidang ini, ditujukan untuk
melindungi kepentingan hukum kaum perempuan di bidang kesusilaan dalam hal
persetubuhan.[11]
Berdasarkan hal tersebut, pembentukan hukum sebagaimana pada Pasal 147 RUU
bertujuan melindungi kaum perempuan.
Dalam hukum Islam, tindak pidana dimaksud dianggap
terjadi, sehingga hukumannya dapat dijatuhkan. Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusan tanggal 19 Nopember
1977 No. 93 K/Kr/1976 berpendapat bahwa delik adat zina merupakan perbuatan
terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari
tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti disyaratkan oleh
Pasal 281 KUHP, atau pun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu
kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh Pasal 284 KUHP.[12]
Menurut Soenarto Soerodibroto, pendapat Mahkamah Agung di atas memperluas makna
zina, yang tidak terbatas pada makna menurut KUHP saja, akan tetapi juga makna
zina menurut hukum Adat.[13]
Terlepas dari ketentuan hukum dan/atau penafsiran di
atas, frasa Setiap orang yang melakukan
perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin menunjukkan bahwa
siapa pun yang berlaku seperti itu merupakan pelaku. Artinya, dua orang yang
melakukan perzinaan tersebut adalah pelaku
karena perzinaan tidak akan terjadi bila seorang diri. Tafsir demikian ada
benarnya, tetapi apabila dikembalikan kepada undang-undang yang mengatur secara
umum tentang tindak pidana, dalam hal ini KUHP, maknanya tidak demikian.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP berbunyi Mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukanperbuatan. Hoge Raad tanggal
13 Juni 1932 memberikan tafsir kata melakukan dengan Pada larangan untuk sesuatu keadaan tertentu, maka pelaku adalah
orang yang dapat mengakhiri keadaan itu. Direktur suatu PT bertanggung jawab
mengenai penyaluran bahan-bahan yang dapat menimbulkan kerusakan dalam saluran
air minum oleh PT itu, [14]pelaku adalah orang yang melakukan seluruh isi delik. Apabila dua orang
bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan tiap-tiap
pelaku sendiri-sendiri tidak menghasilkan kejahatan itu, dapat terjadi turut
melakukan.[15]
RUU memuat ancaman pidana sebagaimana tersebut dalam
Pasal 145 [16],
yaitu pidana denda paling banyak Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman
kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Pasal di atas terkait dengan Pasal 52 RUU,
yang berbunyi (1) Suami yang hendak
beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan izin kepada
Pengadilan. (2) Pengajuan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Perkawinan yang
dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan,
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 119 RUU ini berbunyi Dalam hal talak dijatuhkan tidak di depan sidang Pengadilan maka isteri
dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan, dan/atau dirugikan akibat
talak tersebut berhak mengajukan gugatannya ke Pengadilan. Agar
ketentuan hukum di atas tidak dilanggar, RUU memberikan ancaman pidana kepada
pelanggarnya, yaitu paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman
kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal
146 RUU.
Penjelasan Pasal 146 berbunyi Demi mewujudkan kemaslahatan
umum (maslahat al-âmmah) dan mencegah praktek talak di bawah tangan maka
selain mengatur tata cara penjatuhan talak oleh suami terhadap isteri harus
dilakukan berdasarkan undang-undang dan di depan sidang pengadilan, perlu
ditetapkan pula sanksi pidana terhadap penyimpangan tersebut yang diatur dan
ditentukan oleh undang-undang ini agar hak talak yang dimiliki suami tidak digunakan
secara ceroboh dan semena-mena.
Dalam hukum Islam, ketentuan sanksi di atas merupakan sadd
al-dzara’ah (menutup jalan yang mengakibatkan
kerusakan/kehancuran/kerugian). Oleh karena rancangan pengaturan di atas
dilakukan oleh Kekuasaan Legislatif yang apabila telah disahkan, Kekuasaan
Eksekutif harus mengundangkannya pada lembaran negara dalam waktu tertentu (30
hari). Apabila suatu undang-undang telah dimasukkan dalam Lembaran Negara, maka
semua warga negara dan/atau penduduk dianggap telah mengetahuinya, sehingga
tidak ada alasan bagi pelanggarnya bahwa ia tidak mengetahui ketentuan hukum
dimaksud. Dalam bahasa Arab, hal tersebut dikenal dengan ibarat (undang-undang
tidak melindungi orang yang lalai).
Sehubungan dengan ketentuan pidana di atas, dan
terlepas dari lembaga yang mengusulkan RUU ini, ada politik hukum yang
merancang pemberian kewenangan kepada Peradilan Agama untuk mengadili tindak
pidana yang terkait dengan kewenangan absolut kepada Peradilan Agama.
Sebagaimana telah disebutkan, politik hukum dimaksud terdapat pada alinea
kelima huruf dan batang tubuh /pasal-pasal RUU ini.
Pasal-pasal dimaksud adalah Pasal 152, Pasal 154 ayat
(2), dan Pasal Pasal 155. Pasal 152 RUU berbunyi Perkara pidana yang terjadi sebagai akibat pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143, Pasal 145, Pasal 146, dan Pasal 148, dan/atau kejahatan
sebagaimana dimaksud Pasal 144, Pasal 147, Pasal 149, dan Pasal 150
Undang-Undang ini (sementara dibaca: Rancangan Undang-Undang ini) diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan setelah Pengadilan menerima perkara
tersebut dari Kejaksaan Negeri setempat. Maksud kata Pengadilan di atas menurut ketentuan
Pasal 1 huruf u adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariyah. Sedangkan bunyi Pasal 154 ayat (2) adalah Tindak pidana perkawinan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini (sementara dibaca: Rancangan Undang-Undang ini) yang
belum diajukan ke Pengadilan Negeri maka perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan
Agama. Menurut Pasal 155 RUU, Hukum
Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara pidana
yang dimaksud dalam Pasal 151 Undang-Undang ini (sementara dibaca: Rancangan
Undang-Undang ini) adalah Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.[17]
Akhir dari politik hukum pada RUU ini khususnya yang
berkaitan dengan lingkungan Peradilan yang mengadilinya tergantung pada politik
hukum kekuasaan yang mengesahkannya. Terlepas dari akhir perjalanan pembahasan
RUU, politik hukum RUU ini berasaskan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2009 Nomor 157), Pasal 2
ayat (4) yang berbunyi Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, yang penjelasan
masing-masing kata tersebut adalah sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan
dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara
yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak
mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Apabila
RUU disahkan maka para Hakim di lingkungan Peradilan Agama harus mempersiapkan
diri untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan undang-undang.
1. C. Penutup
1. 1. Kesimpulan
1. Bahwa tindak pidana
di bidang perkawinan selama ini diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan diadili di lingkungan
Peradilan Umum.
2. Dalam RUU ini, tindak
pidana di bidang perkawinan diadili di lingkungan Peradilan Agama.
3. Penyusunan dan
pembahasan RUU ini serta pembentukannya menjadi undang-undang ini merupakan
wewenang DPR dan Presiden (Pemerintah) sebagai politikhukum.
Pidana Wakaf
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan: jaminan,
disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk
pengalihan hak lain.
Jika
dilakukan, maka akan dapat dipidana sesuai dengan Pasal 67 ayat (1) – (3).
Jika setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual,
mewariskan, mengalihkan, dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf
yang telah diwakafkan tanpa izin, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima
ratus juta rupiah).
Jika setiap orang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf
tanpa izin, dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas
hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, melebihi jumlah yang
ditentukan, dipidana paling lama 3 tahun dan/atau didenda Rp 3000.000.000 (tiga
ratus juta rupiah).
Disebutkan Iskandar, penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat dengan cara mediasi, yaitu meminta bantuan
pihak ketiga (mediator). Sementara, Sofyan Umar mengatakan, dapat juga
meminta bantuan KUA setempat. Tetapi jika tidak dapat diselesaikan secara
musyawarah, maka dibawa ke Mahkamah Syar’iyah.
Daftar pustaka:
Soenarto Soerodibroto,
S.H., KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad,
Jakarta: Rajawali Pers, 2007
Adami Chazawi, Tindak
Pidana mengenai Kesopanan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007
Http//www.mahkamahagung.go.id
[1] Adami
Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2007), edisi I, 2, h. 55.
[2] Pasal
27 BW berbunyi Pada waktu yang
sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan
saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
[3] Pasal 5 ayat (1)
berbunyi Untuk memenuhi ketentuan Pasal 4, setiap perkawinan wajib
dilangsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.†Sedangkan bunyi Pasal 4 RUU adalah Setiap
perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ketentuan tersebut mewajibkan pencatatan suatu
perkawinan, dan karena hukum wajib tersebut, perbuatan yang
menyebabkan terlaksananya kewajiban tersebut, dalam hal ini memberitahukan
kehendak nikah kepada Pejabat Pencatat Nikah, merupakan kewajiban pula.
Pemahaman di atas didasari kaidah fikih yang berbunyi
[4] Pasal 21 ayat (1) RUU
berbunyi wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada, tidak mungkin mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya,
atau enggan menikahkan (‘adhal).
Sedangkan bunyi ayat (2) pasal yang sama adalah Dalam hal wali
‘adhal,
wali hakim hanya dapat bertindak sebagai wali nikah setelah penetapan
Pengadilan tentang ?adhal-nya
wali tersebut.
[5] Pasal 22 RUU berbunyi Selain
wali nasab dan wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21, tidak sah bertindak sebagai wali
nikah.
[6] Selengkapnya
baca Pasal 35 KUHP tersebut.
[7] Pasal 10 KUHP
menyebutkan bahwa pidana terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana
penjara, kurungan, dan denda) dan pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
[8] Selengkapnya baca Bulûgh
al-Marâm/Subul al-Salâm jilid II (juz 3).
[9] Soenarto Soerodibroto,
S.H., KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2007), edisi kelima, h. 169..
[10] Adami Chazawi, loc.
cit.
[11] Ibid.
[12] Ibid., h. 174.
[13] Ibid.
[14] Ibid., h. 51 dan 52.
[15] Ibid..
[16] Pasal di atas terkait
dengan Pasal 52 RUU ini berbunyi (1)
Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan
izin kepada Pengadilan. (2) Pengajuan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Perkawinan
yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan, tidak mempunyai kekuatan hukum.
[17] Menurut R. Soesilo,
suatu perbuatan merupakan delik hukum (kejahatan), jika perbuatan itu
bertentangan dengan azaz-azaz hukum hukum positif yang hidup dalam rasa hukum
di kalangan rakyat, terlepas apakah azaz-azaz tersebut dicantumkan dalam
undang-undang pidana. Sedangkan delik undang-undang (pelanggaran) adalah
peristiwa-peristiwa pidana yang kecil-kecil seperti minta-minta di jalan umum,
. . ., yang ancaman pidananya lebih ringan daripada kejahatan-kejahatan. (Ibid.).
Label: HUKUM ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda