Peran Wilayatul Hisbah Dan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam Dalam Menegakkan Qanun Nomor 12 Tahun 2003
Oleh: Ali Geno Berutu
Kasus minuman
Khamar merupakan bagian dari penegakan Syariah Islam di Aceh. Asumsi munculnya
larangan ini lebih kepada bahwa minuman keras akan merusak jiwa dan raga
individu bahkan merusak kehidupan publik. Dalam ketiksadaranya, pelaku ini akan
merugikan dan bisa berbahaya, namun kasus minuman keras jarang terlihat. Polisi
Syariat lebih banyak menemukannya bergandengan dengan perjudian dan perbuatan
mesum disuatu tempat dalam acara pesta tertentu.Sehingga kasus ini menjadi satu
kesatuan.[1]
Penerapan Qanun
Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di Kota Subulussalam
telah berjalan selama lebih kurang delapan tahun,dimulai sejak Subulussalam
masih dalam bagian dari Kabupaten Aceh singkil sampai dengan di bentuknya
pemerintahan Kota Subulussalam pada tanggal 2 januari tahun 2007.
Namun dalam prakteknya dilapangan, Qanun Nomor
12 ini belum mampu menjawab dan menyelesaikan semua permasalahan yang ada di
tengah-tengah masyarakat kota Subulussalam. Sehingga masyarakatpun banyak
mempertanyakan fungsi dari keberadaan Wilayatul Hisbah dan Dinas Syariat
Islam Kota Subulussalam sebagai instansi yang mengawasi penegakan qanun di kota
ini.
Bedasarkan
observasi dilapangan yang peneliti lakukan, bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan tidak efektifnya pemberlakuan Qanun Nomor 12 tahun 2003 di Kota
Subulussalam adalah ketidak siapan Dinas Syariat Islam dan WH kota Subulussalam dalam mengemban fungsinya
sebagai pengawas dan penegak Qanun di kota ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan
tidak ada satupun kasus yang berhasil ditangani pada tahun 2010, padahal
tingkat pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 tahun 2003 di kota Subulussalam
cukup tinggi.
Menurut Tgk,Wilada
Sastra S.Sos.I, ketua Rabitah Thaliban Aceh (RTA) cabang Subulussalam dan
pemerhati Syariat Islam Kota
Subulussalam, menyatakan bahwa WH kurang menjalin kordinasi yang baik dengan
pihak Kepolisian, sehingga mereka saling lempar tanggung jawab dan saling
menyalahkan dilapangan, seharusnya, WH maupun Kepolisian bekerja sama dalam
mengawal penerapan Qanun Nomor 12 dan saling merasa bertanggung jawab.
Selama ini, WH hanya bekerja sendiri dalam
memberantas minuman keras walaupun dalam prakteknya setiap WH melakukan razia
dilapangan selalu di damping dari pihak kepolisian, namun itu tidak lebih hanya
sekedar formalitas saja, karena pada kenyataanya apabila ada pelanggaran
terhadap Qanun Nomor 12 ini pihak kepolisian tidak menanggapinya dan berdalih bahwa kami tidak
punya wewenang untuk menindaknya.[2]
Ditambah lagi WH terkesan tebang pilih dalam menindak pelaku pelanggaran
terhadap qanun syaraiah di Kota Subulussalam.
Melihat kondisi
seperti itu, maka masyarakatpun memiliki keinginan untuk membuat suatu
organisasi masyarakat yang tidak ubahanya seperti FPI yang ada dipulau Jawa
saat ini, hal ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap WH Kota
Subulussalam yang tidak bisa diharapkan untuk mengendalikan
pelanggaran-pelanggaran qanun syariah di Subulussalam.
Wilayatul Hisbah adalah penegak hukum yang di bentuk untuk mengawasi
penerapan qanun di Aceh, di Subulussalam sendiri WH berada satu naungan dengan
Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). Memang dalam penempatanya tidak harus
satu naungan dengan Dinas Syariat Islam, karena hal itu tergantung kepada kebijakan
dari pemerintah kabupaten/ kota di Aceh, yang menjadi masalah sekarang ini
adalah mengenai perekrutan anggota WH itu sendiri, dimana dalam perekrutanya
belum ada standar yang menjadi acuan mengenai kriteria calon anggota WH.
Sehingga sering sekali timbul masalah dimana penegak syariat malah melanggar
syariat itu sendiri, hal inilah yang menjadi salah satu kendala dalam penegakan
Qanun Nomor 12 di Kota Subulussalam.
Minimnya pembekalan
dan ditambah dangkalnya pemahaman terhadap Syariat Islam telah membuat anggota
WH Subulussalam kurang optimal dalam
melaksanakan tugasnya dan bahkan tidak menutup kemungkinan mencoret nama baik
WH itu sendiri yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sebenarnya sudah
tidak rahasia umum lagi kalau anggota WH juga malah melanggar apa yang
seharusnya mereka tegakkan, hal ini dikatakan oleh salah seorang anggota WH
kepada peneliti yang tidak mau disebutkan namanya bahwa:
“bagaimana mungkin WH menangkap orang yang minum-minuman
keras, sedangkan WH sendiri juga melakukanya.”[3]
Hal ini menunjukan
bahwa minimnya pengetahuan anggota WH terhadap
Syariat itu sendiri, seaharusnya standarisasi perekrutan WH di
Subulussalam harus dilakukan, sehingga kedepanya para anggota WH memang
benar-benar berkompten dibidangnya sebagai penegak Qanun syariah di
Subulussalam.[4]
Wilayatul Hisbah
Kota Subulussalam mempunyai angenda rutin mingguan yaitu Razia setiap dua kali
dalam seminggu, hal ini dilakukan guna untuk mengontrol dan menegakkan Qanun
Syaraiah di Subulussalam, tapi sayang selama tahun 2010 tidak ada satu
kasusupun yang berhasil ditangani mengenai pelangaran terhadap Minuman Khamar
dan Sejenisnya.
Berikut ini adalah
data pelanggaran qanun Syariah di Subulussalam pada tahun 2010 yang berdasarkan
pada jumlah kasus yang behasil di tangani dan menurut jenis kelamin
pelanggarnya.[5]
No
|
Bulan
|
Qanun
11/2002
|
Qanun
12/2003
|
Qanun
13/2003
|
Qanun
14/2003
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
1
|
Januari
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Februari
|
-
|
-
|
1
|
-
|
Lk
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Lk
|
Pr
|
||
3
|
Maret
|
-
|
-
|
-
|
1
|
Lk
|
Pr
|
-
|
-
|
-
|
1
|
Lk
|
Pr
|
||
4
|
April
|
-
|
-
|
-
|
3
|
Lk
|
Pr
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Lk
|
Pr
|
||
5
|
Mei
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Lk
|
Pr
|
6
|
Juni
|
25
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Pr
|
7
|
Juli
|
-
|
-
|
-
|
7
|
Lk
|
Pr
|
-
|
-
|
-
|
1
|
Lk
|
Pr
|
||
8
|
Agustus
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
9
|
September
|
-
|
-
|
1
|
-
|
Lk
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Lk
|
Pr
|
Hal ini bukanlah
berarti Subulussalam bersih dari segala bentuk minuman yang memabukkan, hasil
survei peneliti ke lapangan menunjukan bahwa masih banyaknya tingkat
pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 Tahun 2003 di Subulussalam. Hal ini
dibuktikan dari masih ditemukannya orang-orang yang meminum minuman keras
ditempat wisata, mulai dari minuman tradisional seperti Tuak (Pola
sebutan untuk Tuak bagi masyarakat Subulussalam) sampai dengan minuman dalam
bentuk kemasan botol dan kaleng seperti Vodka, Brandy, Anggur, Bir dan lain
sebagainya.[6]
Minuman tradisional
Pola (Tuak) juga banyak dijumpai di warung-warung kopi dan kolam pancing di
Subulussalam, minuman tuak ini adalah hasil dari produksi lokal dan ada juga
yang di datangkan dari daerah tetangga yakni
Sidikalang Sumatra Utara, sangat disayangkan lagi bahwa minuman tuak ini
juga banyak di gemari remaja dan bahkan anak sekolah sekalipun, seperti yang
dikatakan oleh Zendri , pemuda kota Subulussalam yang baru saja menyelesaikan
studi SMA sebagai berikut:
“Disini banyak kok bang anak-anak sekolah setingkat SMA pada minum pola, bahkan
saya juga dulu begitu kalau sehabis
pulang sekolah kita sering beli pola lalu minum bersama di pinggir kali”[7]
Dari pernyataan di
atas menunjukkan bahwa banyaknya pelanggarang terhadap Qanun Nomor 12, tapi
yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa para penjual itu masih tetap
ada, Apa yang membuat mereka tetap bisa menjual minuman Khamar.
Dari hasil
wawancara peniliti dengan WH Kota Subulussalam, peneliti mendapatkan jawaban
bahawa sebab kenapa para penjual Minuman Khamar dan Sejenisnya tetap ada di
Subulusssalam dikarenakan para penjual memiliki deking, dimana para WH
sendiripun kesulitan untuk memberantasnya, WH tidak bersedia untuk menyebutkan
siapa yang menjadi deking bagi para penjual minuman tersebut.
“Setiap kali kami razia pasti yang penjual minuman itu
tidak ada, tapi nanti setelah selesai rajia pedagang itupun pasti ada lagi, gak
tau siapa yang bocorin setiap kali kami rajia kepada pedagang itu (Bahrudin
padang, anggota WH Kota Subulussalam.”[8]
Disinilah kelemahan
para anggota WH, mereka kurang begitu ditakuti oleh para pelanggar-pelanggar
qanun, beda halnya seperti anggota dari kepolisian,yang memiliki senjata,
terlebih-lebih kalau anggota WH tersebut adalah temanya atau mungkin
saudaranya, hal inilah yang membuat susahnya menegakkan Qanun syariah khususnya
Qanun Nomor 12 tahun 2003 di Kota Subulussalam.
Penegakan Suatu
Qanun juga tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila minimnya pengawasan
terhadap instansi-insatnsi yang terkait dalam hal ini Dinas Syariat Islam dan
Wilayatul Hisbah, dalam hal ini Ust.Yusman Afrianto, salah satu tokoh
masyarakat dan da’i perbatasan Kota
Subulussalam mengatakan bahwa,
pengawasan terhadap program kerja Dinas Syariat Islam di Subulussalam sangat
kurang dan bahkan boleh dikatakan hampir tidak ada, sehingga hal ini sangat
merugikan dan bahkan menjadi beban bagi pemerintah kota Subulussalam, baik dari
segi anggaran maupun sosial karena belum menghasilkan perubahan yang positif di
tengah-tengah masyarakat.
Pada dasarnya Dinas
Syariat Islam bertanggung jawab atas penyelenggaraan Syariat Islam di
Subulussalam. Untuk itu, sejatinya Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam harus
mampu memainkan peran strategis sebagai lembaga yang berperan mengakomodir dan
mensosialisasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan kualitas keislaman di kota ini.
Dinas Syariat Islam
Kota Subulussalam terkesan jalan di tempat dan tak tentu arah, sehingga tidak
memberi pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat, saat ini salah satu
program dari Dinas Syariat Islam yaitu penempatan para da’i di sejumlah desa
yang membutuhnkan juga sedang dalaam keadaan tidak berjalan, hal ini disebabkan
ketidak jelasan dari pemerintah Kota Subulussalam, karena para da’i yang ada di
Subulussalam saat ini adalah da’i dari Dinas Syariat Islam Provinsi, sehingga
mengenai kelanjutanya tergantung kepada permohonan dari pemerintah kabupaten/
kota di Aceh, untuk subulussalam sendiri, pemerintah kota Subulussalam melalui
Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam belum memberikan kepastian mengenai
keberadaan para da’i tersebut, sedangkan kehadiran para da’i di desa sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.[9]
Saat ini da’i
perbatasan di Subulusslam berjumlah 7 orang dari 12 orang sebelumnya,
keberadaan mereka juga tidak menentu terkadang ada di desa tempat mereka
bertugas tapi tidak jarang juga mereka pergi dan meninggalkan tempat kerjanya
begitu saja, hal ini di sebabkan karena mereka tidak memiliki status yang jelas
mengenai pekerjaanya, sehingga merekapun sering pergi guna untuk bisa memenuhi
kebutuhan sehari-hari apa lagi para da’i tersebut sebagian besar juga sudah
berumah tangga,sehingga yang terjadi di desa binaanya adalah kepakuman, seperti
terhentinya belajar agama anak-anak desa, pengajian remaja, ibu-ibu, dan
bapak-bapak, hal ini tentunya akan mempengaruhi terhadap kesuksesan penerapan
Syariat Islam itu sendiri.[10]
Penempatan orang
yang tidak berkompeten di bidangnya di Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam
merupakan salah satu penyebab tidak efektifnya penerapan Qanun-qanun Syariah
khususnya Qanun Nomor 12 taahun 2003 di Subulussalam. Hal ini tentu saja
menghambat program kerja Dinas Syariat Islam itu sendiri, seperti penempatan
kepala bidang pembinaan pendidikan dayah, yang dimana orang menangani bidang
ini bukanlah orang yang memilki latar belakang pendidikan sama sekali, sehingga
wajar kalau kebanyakan dayah/pesatren di Kota subulussalam banayak yang kalah
bersaing dengan sekolah-sekolah umum dan bahkan ada yang tutup seperti halnya
Pondok Pesanten Al-Ikhlas yang berada di Desa Penanggalan, Kecamatan
Penanggalan Kota Subulussalam,[11]
sebenarnya jauh sebelumnya Rasulullah SAW juga telah mengingatkan akan bahaya
hal itu melalui sabdanya :
Tunggu saat kehancuran, apabila amanat itu disia-siakan.
Para sahabat serentak bertanya “ Ya Rasulullah, apa yang dimaksud
menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi SAW menjawab: “ Apabila suatu urusan
diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancuran” (HR. Bukhari)
Penempatan orang
yang bukan ahlinya di Dinas Syariat Islam ini juga diakui oleh salah seorang
staf di Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam yang menyatakan bahwa keberadaan
orang-orang yang seharusnya tidak pantas berada di Dinas Syariat Islam, tapi
kenyataannya mereka berada di Dinas Syariat Islam yang menyebabkan Dinas
Syariat Islam Kota Subulussalam cenderung jalan di tempat dan belum bisa memberikan
kontribusi yang berarti bagi masyarakat saat ini.[12]
Hal diatas sangat
disayangkan mengingat harapan masyarakat yang begitu besar terhadap keberadaan
Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam untuk dapat memberikan perubahan yang
fositif di masyarakat.
Daftar Pustaka:
Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum, 13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
[1] Prof. Dr. Masykuri Abdillah,
dkk. Pormalisasi Syari’at Islam di Indonesia, Sebuah Pergulatan yang tak
Pernah Tuntas ,h.209
[2] Wilda Sastara, Ketua RTA dan
Pemerhati Syariat Islam Kota Subulussalam, Wawancara Pribadi di kantor RTA
Subulussalam 24 Februari 2011.
[3]
BP. Wawancara pribadi disebuah warung di kecamatan Kampong Lae
Mbersih, Penanggalan, Kota Subulussalam, 04 Maret 2011.
[4] Wilda Sastra, Wawancara di
Kantor RTA 24 Februari 2011.
[5] Laporan Rekapitulasi Jumlah
Penyelesaian Kasusu Jinayat SATPOL PP dan WH Kota Subulussalam.
[6]
Pengamatan di tempat wisata Air Terjun Nan Tampuk Emas dan Cape Kolam
Pancing Kampong Lae Mbersih, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, tanggal
15 Februari 2011.
[7] Zendri, Wawancara Pribadi tanggal
24 Mei 2011.
[8] Nurdiati , Kasubag Tata Usaha
WH Kota Subulussalam, Wawancara di kantor WH Kota Subulussalam, 21 Februari
2011.
[9] Yusman Afrianto, Wawancara
pribadi pada tanggal 6 maret 2011.
[10] Yusman Afrianto, Wawancara
pribadi pada tanggal 6 maret 2011.
[11]
Pengamatan kelapangan di Kampong Penanggalan pada tanggal 21 Februari
20011.
[12] Karimuddin , Staf Dinas
Syariat Islam Kota Subulussalam, Wawancara di Kantor DSI pada tanggal 22
Februari 2001.
Label: SYARI'AT ISLAM
1 Komentar:
Only, it may be given to small kids, to make available freedom from varied types of diseases.
Having other pursuits or obstacles near by will disturb your kid and enquire of him to get them instead, which can cause
him experiencing accidents and slips. It is not
uncommon for an orphan to undergo various therapy sessions having
a psychologist.
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda