Selasa, 17 Juli 2012

Peran Wilayatul Hisbah Dan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam Dalam Menegakkan Qanun Nomor 12 Tahun 2003

Oleh: Ali Geno Berutu



Kasus minuman Khamar merupakan bagian dari penegakan Syariah Islam di Aceh. Asumsi munculnya larangan ini lebih kepada bahwa minuman keras akan merusak jiwa dan raga individu bahkan merusak kehidupan publik. Dalam ketiksadaranya, pelaku ini akan merugikan dan bisa berbahaya, namun kasus minuman keras jarang terlihat. Polisi Syariat lebih banyak menemukannya bergandengan dengan perjudian dan perbuatan mesum disuatu tempat dalam acara pesta tertentu.Sehingga kasus ini menjadi satu kesatuan.[1]
Penerapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di Kota Subulussalam telah berjalan selama lebih kurang delapan tahun,dimulai sejak Subulussalam masih dalam bagian dari Kabupaten Aceh singkil sampai dengan di bentuknya pemerintahan Kota Subulussalam pada tanggal 2 januari tahun 2007.
 Namun dalam prakteknya dilapangan, Qanun Nomor 12 ini belum mampu menjawab dan menyelesaikan semua permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat kota Subulussalam. Sehingga masyarakatpun banyak mempertanyakan fungsi dari keberadaan Wilayatul Hisbah dan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam sebagai instansi yang mengawasi penegakan qanun di kota ini.
Bedasarkan observasi dilapangan yang peneliti lakukan, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pemberlakuan Qanun Nomor 12 tahun 2003 di Kota Subulussalam adalah ketidak siapan Dinas Syariat Islam dan WH  kota Subulussalam dalam mengemban fungsinya sebagai pengawas dan penegak Qanun di kota ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak ada satupun kasus yang berhasil ditangani pada tahun 2010, padahal tingkat pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 tahun 2003 di kota Subulussalam cukup tinggi.
Menurut Tgk,Wilada Sastra S.Sos.I, ketua Rabitah Thaliban Aceh (RTA) cabang Subulussalam dan pemerhati Syariat Islam  Kota Subulussalam, menyatakan bahwa WH kurang menjalin kordinasi yang baik dengan pihak Kepolisian, sehingga mereka saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan dilapangan, seharusnya, WH maupun Kepolisian bekerja sama dalam mengawal penerapan Qanun Nomor 12 dan saling merasa bertanggung jawab.
 Selama ini, WH hanya bekerja sendiri dalam memberantas minuman keras walaupun dalam prakteknya setiap WH melakukan razia dilapangan selalu di damping dari pihak kepolisian, namun itu tidak lebih hanya sekedar formalitas saja, karena pada kenyataanya apabila ada pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 ini pihak kepolisian tidak  menanggapinya dan berdalih bahwa kami tidak punya wewenang untuk menindaknya.[2] Ditambah lagi WH terkesan tebang pilih dalam menindak pelaku pelanggaran terhadap qanun syaraiah di Kota Subulussalam.
Melihat kondisi seperti itu, maka masyarakatpun memiliki keinginan untuk membuat suatu organisasi masyarakat yang tidak ubahanya seperti FPI yang ada dipulau Jawa saat ini, hal ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap WH Kota Subulussalam yang tidak bisa diharapkan untuk mengendalikan pelanggaran-pelanggaran qanun syariah di Subulussalam.
Wilayatul Hisbah adalah penegak hukum yang di bentuk untuk mengawasi penerapan qanun di Aceh, di Subulussalam sendiri WH berada satu naungan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). Memang dalam penempatanya tidak harus satu naungan dengan Dinas Syariat Islam, karena hal itu tergantung kepada kebijakan dari pemerintah kabupaten/ kota di Aceh, yang menjadi masalah sekarang ini adalah mengenai perekrutan anggota WH itu sendiri, dimana dalam perekrutanya belum ada standar yang menjadi acuan mengenai kriteria calon anggota WH. Sehingga sering sekali timbul masalah dimana penegak syariat malah melanggar syariat itu sendiri, hal inilah yang menjadi salah satu kendala dalam penegakan Qanun Nomor 12 di Kota Subulussalam.
Minimnya pembekalan dan ditambah dangkalnya pemahaman terhadap Syariat Islam telah membuat anggota WH  Subulussalam kurang optimal dalam melaksanakan tugasnya dan bahkan tidak menutup kemungkinan mencoret nama baik WH itu sendiri yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sebenarnya sudah tidak rahasia umum lagi kalau anggota WH juga malah melanggar apa yang seharusnya mereka tegakkan, hal ini dikatakan oleh salah seorang anggota WH kepada peneliti yang tidak mau disebutkan namanya bahwa:
“bagaimana mungkin WH menangkap orang yang minum-minuman keras, sedangkan WH sendiri juga melakukanya.”[3]

Hal ini menunjukan bahwa minimnya pengetahuan anggota WH terhadap  Syariat itu sendiri, seaharusnya standarisasi perekrutan WH di Subulussalam harus dilakukan, sehingga kedepanya para anggota WH memang benar-benar berkompten dibidangnya sebagai penegak Qanun syariah di Subulussalam.[4]
Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam mempunyai angenda rutin mingguan yaitu Razia setiap dua kali dalam seminggu, hal ini dilakukan guna untuk mengontrol dan menegakkan Qanun Syaraiah di Subulussalam, tapi sayang selama tahun 2010 tidak ada satu kasusupun yang berhasil ditangani mengenai pelangaran terhadap Minuman Khamar dan Sejenisnya.
Berikut ini adalah data pelanggaran qanun Syariah di Subulussalam pada tahun 2010 yang berdasarkan pada jumlah kasus yang behasil di tangani dan menurut jenis kelamin pelanggarnya.[5]

No
Bulan
Qanun
11/2002
Qanun
12/2003
Qanun
13/2003
Qanun
14/2003
Laki-laki
Perempuan
1
Januari
-
-
-
-
-
-
2
Februari
-
-
1
-
Lk
-


-
-
-
2
Lk
Pr
3
Maret
-
-
-
1
Lk
Pr


-
-
-
1
Lk
Pr
4
April
-
-
-
3
Lk
Pr


-
-
-
2
Lk
Pr
5
Mei
-
-
-
2
Lk
Pr
6
Juni
25
-
-
-
-
Pr
7
Juli
-
-
-
7
Lk
Pr


-
-
-
1
Lk
Pr
8
Agustus
-
-
-
-
-
-
9
September
-
-
1
-
Lk
-


-
-
-
2
Lk
Pr

Hal ini bukanlah berarti Subulussalam bersih dari segala bentuk minuman yang memabukkan, hasil survei peneliti ke lapangan menunjukan bahwa masih banyaknya tingkat pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 Tahun 2003 di Subulussalam. Hal ini dibuktikan dari masih ditemukannya orang-orang yang meminum minuman keras ditempat wisata, mulai dari minuman tradisional seperti Tuak (Pola sebutan untuk Tuak bagi masyarakat Subulussalam) sampai dengan minuman dalam bentuk kemasan botol dan kaleng seperti Vodka, Brandy, Anggur, Bir dan lain sebagainya.[6]
Minuman tradisional Pola (Tuak) juga banyak dijumpai di warung-warung kopi dan kolam pancing di Subulussalam, minuman tuak ini adalah hasil dari produksi lokal dan ada juga yang di datangkan dari daerah tetangga yakni  Sidikalang Sumatra Utara, sangat disayangkan lagi bahwa minuman tuak ini juga banyak di gemari remaja dan bahkan anak sekolah sekalipun, seperti yang dikatakan oleh Zendri , pemuda kota Subulussalam yang baru saja menyelesaikan studi SMA sebagai berikut:
“Disini banyak kok bang anak-anak  sekolah setingkat SMA pada minum pola, bahkan saya  juga dulu begitu kalau sehabis pulang sekolah kita sering beli pola lalu minum bersama di pinggir kali”[7]

Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa banyaknya pelanggarang terhadap Qanun Nomor 12, tapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa para penjual itu masih tetap ada, Apa yang membuat mereka tetap bisa menjual minuman Khamar.
Dari hasil wawancara peniliti dengan WH Kota Subulussalam, peneliti mendapatkan jawaban bahawa sebab kenapa para penjual Minuman Khamar dan Sejenisnya tetap ada di Subulusssalam dikarenakan para penjual memiliki deking, dimana para WH sendiripun kesulitan untuk memberantasnya, WH tidak bersedia untuk menyebutkan siapa yang menjadi deking bagi para penjual minuman tersebut.
“Setiap kali kami razia pasti yang penjual minuman itu tidak ada, tapi nanti setelah selesai rajia pedagang itupun pasti ada lagi, gak tau siapa yang bocorin setiap kali kami rajia kepada pedagang itu (Bahrudin padang, anggota WH Kota Subulussalam.”[8]

Disinilah kelemahan para anggota WH, mereka kurang begitu ditakuti oleh para pelanggar-pelanggar qanun, beda halnya seperti anggota dari kepolisian,yang memiliki senjata, terlebih-lebih kalau anggota WH tersebut adalah temanya atau mungkin saudaranya, hal inilah yang membuat susahnya menegakkan Qanun syariah khususnya Qanun Nomor 12 tahun 2003 di Kota Subulussalam.
Penegakan Suatu Qanun juga tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila minimnya pengawasan terhadap instansi-insatnsi yang terkait dalam hal ini Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah, dalam hal ini Ust.Yusman Afrianto, salah satu tokoh masyarakat dan da’i  perbatasan Kota Subulussalam mengatakan bahwa,  pengawasan terhadap program kerja Dinas Syariat Islam di Subulussalam sangat kurang dan bahkan boleh dikatakan hampir tidak ada, sehingga hal ini sangat merugikan dan bahkan menjadi beban bagi pemerintah kota Subulussalam, baik dari segi anggaran maupun sosial karena belum menghasilkan perubahan yang positif di tengah-tengah masyarakat.
Pada dasarnya Dinas Syariat Islam bertanggung jawab atas penyelenggaraan Syariat Islam di Subulussalam. Untuk itu, sejatinya Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam harus mampu memainkan peran strategis sebagai lembaga yang berperan mengakomodir dan mensosialisasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan kualitas keislaman  di kota ini.
Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam terkesan jalan di tempat dan tak tentu arah, sehingga tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat, saat ini salah satu program dari Dinas Syariat Islam yaitu penempatan para da’i di sejumlah desa yang membutuhnkan juga sedang dalaam keadaan tidak berjalan, hal ini disebabkan ketidak jelasan dari pemerintah Kota Subulussalam, karena para da’i yang ada di Subulussalam saat ini adalah da’i dari Dinas Syariat Islam Provinsi, sehingga mengenai kelanjutanya tergantung kepada permohonan dari pemerintah kabupaten/ kota di Aceh, untuk subulussalam sendiri, pemerintah kota Subulussalam melalui Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam belum memberikan kepastian mengenai keberadaan para da’i tersebut, sedangkan kehadiran para da’i di desa sangat dibutuhkan oleh masyarakat.[9]
Saat ini da’i perbatasan di Subulusslam berjumlah 7 orang dari 12 orang sebelumnya, keberadaan mereka juga tidak menentu terkadang ada di desa tempat mereka bertugas tapi tidak jarang juga mereka pergi dan meninggalkan tempat kerjanya begitu saja, hal ini di sebabkan karena mereka tidak memiliki status yang jelas mengenai pekerjaanya, sehingga merekapun sering pergi guna untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari apa lagi para da’i tersebut sebagian besar juga sudah berumah tangga,sehingga yang terjadi di desa binaanya adalah kepakuman, seperti terhentinya belajar agama anak-anak desa, pengajian remaja, ibu-ibu, dan bapak-bapak, hal ini tentunya akan mempengaruhi terhadap kesuksesan penerapan Syariat Islam itu sendiri.[10]
Penempatan orang yang tidak berkompeten di bidangnya di Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam merupakan salah satu penyebab tidak efektifnya penerapan Qanun-qanun Syariah khususnya Qanun Nomor 12 taahun 2003 di Subulussalam. Hal ini tentu saja menghambat program kerja Dinas Syariat Islam itu sendiri, seperti penempatan kepala bidang pembinaan pendidikan dayah, yang dimana orang menangani bidang ini bukanlah orang yang memilki latar belakang pendidikan sama sekali, sehingga wajar kalau kebanyakan dayah/pesatren di Kota subulussalam banayak yang kalah bersaing dengan sekolah-sekolah umum dan bahkan ada yang tutup seperti halnya Pondok Pesanten Al-Ikhlas yang berada di Desa Penanggalan, Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam,[11] sebenarnya jauh sebelumnya Rasulullah SAW juga telah mengingatkan akan bahaya hal itu melalui sabdanya :
Tunggu saat kehancuran, apabila amanat itu disia-siakan. Para sahabat serentak bertanya “ Ya Rasulullah, apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi SAW menjawab: “ Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancuran” (HR. Bukhari)

Penempatan orang yang bukan ahlinya di Dinas Syariat Islam ini juga diakui oleh salah seorang staf di Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam yang menyatakan bahwa keberadaan orang-orang yang seharusnya tidak pantas berada di Dinas Syariat Islam, tapi kenyataannya mereka berada di Dinas Syariat Islam yang menyebabkan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam cenderung jalan di tempat dan belum bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat saat ini.[12]
Hal diatas sangat disayangkan mengingat harapan masyarakat yang begitu besar terhadap keberadaan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam untuk dapat memberikan perubahan yang fositif di masyarakat.
Daftar Pustaka:
Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).


[1] Prof. Dr. Masykuri Abdillah, dkk. Pormalisasi Syari’at Islam di Indonesia, Sebuah Pergulatan yang tak Pernah Tuntas ,h.209
[2] Wilda Sastara, Ketua RTA dan Pemerhati Syariat Islam Kota Subulussalam, Wawancara Pribadi di kantor RTA Subulussalam 24 Februari 2011.
[3]  BP. Wawancara pribadi disebuah warung di kecamatan Kampong Lae Mbersih, Penanggalan, Kota Subulussalam, 04 Maret 2011.
[4] Wilda Sastra, Wawancara di Kantor RTA 24 Februari 2011.
[5] Laporan Rekapitulasi Jumlah Penyelesaian Kasusu Jinayat SATPOL PP dan WH Kota Subulussalam.
[6]  Pengamatan di tempat wisata Air Terjun Nan Tampuk Emas dan Cape Kolam Pancing Kampong Lae Mbersih, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, tanggal 15 Februari 2011.
[7] Zendri, Wawancara Pribadi tanggal 24 Mei 2011.
[8] Nurdiati , Kasubag Tata Usaha WH Kota Subulussalam, Wawancara di kantor WH Kota Subulussalam, 21 Februari 2011.
[9] Yusman Afrianto, Wawancara pribadi  pada tanggal 6 maret 2011.
[10] Yusman Afrianto, Wawancara pribadi pada tanggal 6 maret 2011.
[11]  Pengamatan kelapangan di Kampong Penanggalan pada tanggal 21 Februari 20011.
[12] Karimuddin , Staf Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam, Wawancara di Kantor DSI pada tanggal 22 Februari 2001.
BACA JUGA

Label:

1 Komentar:

Pada 4 Februari 2019 pukul 09.47 , Anonymous Anonim mengatakan...

Only, it may be given to small kids, to make available freedom from varied types of diseases.
Having other pursuits or obstacles near by will disturb your kid and enquire of him to get them instead, which can cause
him experiencing accidents and slips. It is not
uncommon for an orphan to undergo various therapy sessions having
a psychologist.

 

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda