Pelaksanaan shalat, puasa, dan haji dalam lingkungan alam yang berubah-ubah dan berbeda-beda (thaharah dan shalat di pesawat, waktu imsak dan hukum puasa, miqot dan mabit)
1) Tharah
Thaharah menurut bahasa arab
berarti ”bersih”. Sedangkan menurut pengertian syari’at ialah menghilangkan
hadas atau najis, atau perbuatan yang dianggap dan berbentuk[1]. Seperti menghilangkan
hadas atau najis. Dengan demikian thaharah syar’i terbagi menjadi dua macam,
yaitu thaharah dari hadas dan dari najis
Air yang boleh di pakai bersuci ada tujuh macam, yaitu : Air langit (air
hujan), air laut, air sungai, air sumur, mata air, air salju dan air embun.
Thaharah dari
hadas ada 3 macam yaitu wudhu, mandi, dan tayamum. Alat yang digunakan untuk
besuci ialah air untuk wudhu dan mandi, tanah atau debu untuk tayamum. Dalam
hal ini air yang dipakai haruslah memenuhi persyaratan, suci dan mensucikan
atau air mutlak.
a. Shalat di Pesawat
Menurut
Imam Syafi’I dan Imam Ahmad’ ibnu mundzir. Dawud, al-Qadhi Thoyyib dan
mayoritas ulama dan tidak sah bertayamum kecuali dengan debu atau tanah.
Tapi menurut Abu
Hanifah dan Imam Malik berpendapat boleh bertayamum dengan apapun yang
bersambung dengan tanah, seperti kayu, salju dan lainnya.
Shalat
di pesawat dapat dilakukan dengan memilih salah satu cara sebagai berikut:
{CARA PERTAMA}
Tayammum dengan menepukkan kedua telapak tangan ke dinding pesawat atau lalu
kedua telapak tangan di sapukan ke muka dan kedua tangan kemudian melakukan
shalat seperti biasa sambil duduk,
{CARA KEDUA}
Tanpa tayammum shalat seperti biasa sambil duduk tetapi harus diulang shalatnya
(i'adah) setelah sampai di darat (lihurmatilwakti).
Cara ini
dilaksanakan sebagai berikut ;
a. Dilaksanakan
segera setelah sampai di tempat tujuan.
b. Dilaksanakan
sebagaimana shalat biasa, yaitu dengan gerak
shalat sempurna (kamilah). {CARA KETIGA} Jika kurang yakin adanya debu bersih (صعيد طيبا) pada sandaran tempat duduk pesawat maka
yang harus dilakukan sebelum naik pesawat adalah:
a. Ambil sapu tangan hamparkan di tempat yang
suci.
b. Ambil tanah/debu kering, letakkan di sapu
tangan yang telah disiapkan.
c. Telungkupkan kemudian angkat dan
ditepuk-tepukkan sejenak sehingga yang tertinggal tanah / debu yang sangat
lembut.
d. Kemudian lipat saputangan dan bungkus dengan
plastik atau kertas.
e. Kapan saja ingin tayammum, buka bungkusan
saputangan dan hamparkan diatas kedua paha.
f. Bertayammumlah dengan menepukkan kedua telapak
tangan disaputangan tersebut (tayammum dengan dua kali tepukan, satu untuk
mengusap wajah, yang satu lagi untuk kedua tangan sampai siku-siku).[2] Tapi menurut keputusan
MUKTAMAR NU di PP Al Munawwir Krapyak Yogyakarta tahun 1989, tayammum dengan
menggunakan kursi sebagai alatnya adalah tidak sah
2)
Waktu Imsak
Waktu untuk berpuasa dimulai pada saat munculnya
Fajar Sodiq (fajar yang nyata) dan semua ulama tentang hal itu yang berarti
batas waktu untuk sahur adalah sampai terbitnya fajar (waktu subuh). Hal ini
berdasarkan Al-Qur'an:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Qs. Al Baqarah: 187)
Juga dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الفَجْرُ فَجْرَانِ ، فَجْرٌ يُحْرَمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ
الصَّلاَةُ ، وَفَجْرٌ تُحْرَمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ (أَيْ صَلاَةُ الصُّبْحِ) وَيَحِلُّ فِيْهِ
الطَّعَامُ
“Fajar ada dua macam:
[Pertama] fajar diharamkan untuk makan dan dihalalkan untuk shalat (yaitu fajar
shodiq, fajar masuknya waktu shubuh, -pen) dan [Kedua] fajar yang diharamkan
untuk shalat shubuh dan dihalalkan untuk makan (yaitu fajar kadzib, fajar yang
muncul sebelum fajar shodiq, -pen).” (Diriwayatakan oleh Al Baihaqi dalam Sunan
Al Kubro no. 8024 dalam “Puasa”, Bab “Waktu yang diharamkan untuk makan
bagi orang yang berpuasa” dan Ad Daruquthni dalam “Puasa”, Bab “Waktu makan
sahur” no. 2154. Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim mengeluarkan hadits ini dan
keduanya menshahihkannya sebagaimana terdapat dalam Bulughul Marom)
Imsak berarti berpantang dari makan, minum dll.
Waktu Imsak berarti menghentikan kegiatan makan dan minum. Banyak diantara
orang-orang yang bingung antara waktu yang dianjurkan dan waktu yang masih
diizinkan untuk makan minum; waktu yang dianjurkan untuk imsak menurut para
ulama adalah menyelesaikan sahur sepuluh menit sebelum datang waktu subuh.
Sheikh Ahmad Kutty memberikan penjelasan tentang waktu Imsak:
Tidak ada keraguan lagi bahwa batas waktu untuk
sahur adalah ketika terbitnya fajar (waktu subuh). Namun waktu yang dianjurkan
untuk mulai berhenti makan dan minum saat sahur adalah sekitar 10 sampai 15
menit sebelum waktu subuh.
Dasar perujukan penggunaan waktu yang dianjurkan
untuk mulai melakukan Imsak berdasarkan riwayat hadits shahih dari Nabi
Muhammad SAW. Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit
radhiyallahu ‘anhu, “Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak
antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an.”
(HR. Bukhari dan Muslim). Diperkirakan waktu untuk selesai membaca 50 ayat
tersebut adalah sekitar 10 sampai 15 menit dan tidak lebih.
Namun perlu dicatat hadits diatas tidak
menyebutkan tidak diperbolehkannya untuk makan sahur setelah waktu itu.
Disebutkan bahwa itu perbuatan sunnah yang dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad
SAW. Sedangkan untuk makan minum sahur diperbolehkan sampai tiba waktunya fajar
(waktu subuh).
3) Puasa
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni
dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Rukun Berpuasa
Rukun Berpuasa
a. Berniat
sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya
amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin
Al-Khaththab) Juga hadits Hafshah, bersabda Rasulullah :
مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ
لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum
fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan) Asy-Syaikh Muqbil t
menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama
menghasankannya. Namun mereka mengatakan bahwa ini
adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, ‘Aisyah, dan tidak ada yang menyelisihinya
dari kalangan para shahabat. Persyaratan berniat puasa
sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah
pernah datang kepada ‘Aisyah pada selain
bulan Ramadhan lalu bertanya: “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak
maka saya berpuasa.” (HR. Muslim). Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan
Abu-Darda, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman. Ini
adalah pendapat jumhur. Para ulama juga berpendapat
bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa karena malam
Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan
niat yang baru.
Berniat ini boleh
dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya maupun akhir. Ini pula
yang dikuatkan oleh jumhur ulama.
b. Menahan diri dari setiap perkara yang
membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Telah diriwayatkan oleh
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab bahwa
Rasulullah bersabda: “Jika muncul malam dari arah sini
(barat) dan hilangnya siang dari arah sini (timur) dan matahari telah terbenam,
maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Puasa dimulai dengan munculnya
fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar
kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang
menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih
diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk
waktu.
Fajar yang kedua adalah
fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan
bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda
dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta
diperbolehkan shalat Shubuh. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah
SAW bersabda:
الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ
يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ
يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ
“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377). Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Abbas dan bukan sabda Nabi). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377). Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Abbas dan bukan sabda Nabi). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
4)
Haji
Haji (al-hajju) dalam bahasa arab artinya
Menyengaja atau menuju. Dalam istilah syara’ berarti, sengaja mengunjungi
ka’bah untuk melakukan ibadah tertentu.
Rukun haji ada 6:
1. ihram, yaitu berniat
untuk memulai ibadah
2. wuquf di ’arafah
3. thawaf di bait Allah
4. sa’i di antara shafa
dan marwah
5. bercukur atau
memotong rambut sebagai tahallul dan,
6. tertib
wajib haji ialah
1. melakukan ihram dari
miqot
2. melempar jumrah
3. bermalam di mina
4. thawaf al-wada’
5. menghindari segala
yang diharamkan dalam ihram.
Sunnah haji ialah:
1. melakukan haji dengan
ifrad
2. talbiyah
3. thawaf al-qudum
4. bermalam di
mudzalifah
5. shalat thawaf dua
rakaat.
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya
amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin
Al-Khaththab)
5).MABIT
Mabit adalah
berhenti sejenak atau bermalam beberapa hari untuk mempersiapkan segala sesuatu
dalam pelaksanaan melontar Jumrah yang merupakan salah satu wajib ibadah haji
mabit dilakukan 2 tahap di 2 tempat yaitu di Muzdalifah dan di Mina.
Tahap Pertama : Mabit di
Muzdalifah dilakukan tanggal 10 Zulhijah, yaitu lewat tengah malam sehabis
wukuf di padang Arafah. Mabit tahap pertama ini biasanya hanya beberapa saat
saja, yaitu secukup waktu untuk mengumpulkan 7 buah krikil guna melontar jumrah
Aqabah.
Tahap Kedua : Mabit ini
dilakukan di Mina dalam 2 hari (11 dan 12 Zulhijah) bagi yang akan
mengambil ‘Nafar Awal’, dan 3 hari (11,12,13 Zulhijah) bagi yang akan mengambil
‘Nafar Akhir’. Dari hari pertama sampai terakhir dari mabit di Mina ini adalah
melontar ketiga jumrah Ula, Wusta dan Aqabah.
NAFAR AWAL
Yang dimaksud
dengan Nafar Awal adalah apabila kita hanya melontar 3 hari, bukan 4 hari
seperti Nafar Sani/Akhir. Disebut Awal karena jama’ah lebih awal meninggalkan
Mina kembali ke Mekah. Dan hanya melontar sebanyak 3 hari. Total krikil yang
dilontar jama’ah nafar awal adalah 49 butir.
Jama’ah haji
pelaku Nafar Awal hanya 2 malam menginap di Mina dan meninggalkan Mina pada
tanggal 12 Zulhijah sebelum matahari terbenam.
NAFAR SANI/AKHIR
Disebut Nafar
Sani atau Nafar Akhir apabila Jama’ah melontar Jumrah selama 4 (empat) hari
pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Zulhijah sehingga jumlah batu yang dilontar
sebanyak 70 butir. Disebut Nafar Sani/AKhir karena jema’ah haji bermalam di
Mina 3(tiga) malam dan meninggalkan Mina pada tanggal 13 Zulhijah.
- Miqat
Miqad ada dua macam,Miqad Zamani dan miqad Makani.Adapun miqad zamani
adalah untuk haji ialah syawal,zulqa’dah dan sepuluh malam dari zulhijjah,
dimana malam yang terakhir ialah malam mahar. Demikian menurut pendapat yang
sahih.
Adapun umroh maka seluruh hari
yang ada dalam setahun merupakan miqod zamani baginya, dan tidak ada satu
waktupun yang makruh yang melakukan umroh didalamya.
Adapun miqod makani, orang
yang melakukan ibadah haji atau umroh itu adakalanya ia orang makkah atau bukan
orang makkah. Orang yang tinggal di makkah, baik ia penduduk makkah atau bukan
maka miqodnya adalah makkah itu sendiri. Demkian menurut pendapat sebagian
ulama. Sedangkan menurut ulama yang lain miqodnya adalah kota makkah dan
seluruh tanah haram.
Adapun miqod bagi orang yang
tinggal dikota makkah, bila rumahnya terletak antara mekah dan tempat-tempat
yang telah di syariatkan sebagai miqod makani, maka miqodnya adalah desa dimana
ia tinggal atau dimana orang-orang badui berkumpul. Tapi bila rumahnya diluar
miqod, maka miqodnya ialah miqod yang ia lewati.
Adapun miqod makani itu ada lima:
1. Zulhulaifah,
yaitu miqodnya orang yang datang dari madinah, dan jauhnya dari kota mekah
sepuluh marhalah
2. Juhfah,
yaitu miqodnya orang-orang yang datang dari syam, mesir dan negeri-negeri di
barat.
3. Yalamlam,
yaitu miqodnya ahli yaman.
4. Qorn,
yaitu miqodnya yang datang dari nejed.
5. Dzatu
–irqin, yaitu miqodnya orang-orang yang datang dari negeri iraq dan khurasan.
DAFTAR PUSTAKA
Lamhuddin Nasution.Fiqih 1.Jakarta: Logos.
Abu bakar Al-Husein,Taqiyuddin. Kifayatul akhyar 1.diterjemahkan oleh:
Anas Tohir Syamsuddin.surabaya: Bina Ilmu ,2007
PANDUAN PERJALANAN HAJI halaman 93 s/d 94 dengan sedikit
perubahan
Abu Bakar Jabir
,Al-Jazairi.Ensiklopedi Muslim.Jakarta:
Darul Falah.2000
[1]
Abu Bakar Jabir
,Al-Jazairi.Ensiklopedi Muslim.Jakarta:
Darul Falah.2000. h.269
[2]
Sumber: PANDUAN PERJALANAN HAJI halaman 93 s/d 94 dengan sedikit
perubahan
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda