Selasa, 17 Juli 2012

Pelaksanaan shalat, puasa, dan haji dalam lingkungan alam yang berubah-ubah dan berbeda-beda (thaharah dan shalat di pesawat, waktu imsak dan hukum puasa, miqot dan mabit)


1)      Tharah

Thaharah menurut bahasa arab berarti ”bersih”. Sedangkan menurut pengertian syari’at ialah menghilangkan hadas atau najis, atau perbuatan yang dianggap dan berbentuk[1]. Seperti menghilangkan hadas atau najis. Dengan demikian thaharah syar’i terbagi menjadi dua macam, yaitu thaharah dari hadas dan dari najis

Air yang boleh di pakai bersuci ada tujuh macam, yaitu : Air langit (air hujan), air laut, air sungai, air sumur, mata air, air salju dan air embun.
Thaharah dari hadas ada 3 macam yaitu wudhu, mandi, dan tayamum. Alat yang digunakan untuk besuci ialah air untuk wudhu dan mandi, tanah atau debu untuk tayamum. Dalam hal ini air yang dipakai haruslah memenuhi persyaratan, suci dan mensucikan atau air mutlak.

a. Shalat di Pesawat

Menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad’ ibnu mundzir. Dawud, al-Qadhi Thoyyib dan mayoritas ulama dan tidak sah bertayamum kecuali dengan debu atau tanah.
Tapi menurut Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat boleh bertayamum dengan apapun yang bersambung dengan tanah, seperti kayu, salju dan lainnya.

Shalat di pesawat dapat dilakukan dengan memilih salah satu cara sebagai berikut:
{CARA PERTAMA} Tayammum dengan menepukkan kedua telapak tangan ke dinding pesawat atau lalu kedua telapak tangan di sapukan ke muka dan kedua tangan kemudian melakukan shalat seperti biasa sambil duduk,
{CARA KEDUA} Tanpa tayammum shalat seperti biasa sambil duduk tetapi harus diulang shalatnya (i'adah) setelah sampai di darat (lihurmatilwakti).
Cara ini dilaksanakan sebagai berikut ;
a. Dilaksanakan segera setelah sampai di tempat tujuan.
b. Dilaksanakan sebagaimana shalat biasa, yaitu dengan gerak shalat sempurna (kamilah). {CARA KETIGA} Jika kurang yakin adanya debu bersih (صعيد طيبا) pada sandaran tempat duduk pesawat maka yang harus dilakukan sebelum naik pesawat adalah:
a. Ambil sapu tangan hamparkan di tempat yang suci.
b. Ambil tanah/debu kering, letakkan di sapu tangan yang telah disiapkan.
c. Telungkupkan kemudian angkat dan ditepuk-tepukkan sejenak sehingga yang tertinggal tanah / debu yang sangat lembut.
d. Kemudian lipat saputangan dan bungkus dengan plastik atau kertas.
e. Kapan saja ingin tayammum, buka bungkusan saputangan dan hamparkan diatas kedua paha.
f. Bertayammumlah dengan menepukkan kedua telapak tangan disaputangan tersebut (tayammum dengan dua kali tepukan, satu untuk mengusap wajah, yang satu lagi untuk kedua tangan sampai siku-siku).[2] Tapi menurut keputusan MUKTAMAR NU di PP Al Munawwir Krapyak Yogyakarta tahun 1989, tayammum dengan menggunakan kursi sebagai alatnya adalah tidak sah

2)      Waktu Imsak
Waktu untuk berpuasa dimulai pada saat munculnya Fajar Sodiq (fajar yang nyata) dan semua ulama tentang hal itu yang berarti batas waktu untuk sahur adalah sampai terbitnya fajar (waktu subuh). Hal ini berdasarkan Al-Qur'an:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Qs. Al Baqarah: 187)
Juga dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الفَجْرُ فَجْرَانِ ، فَجْرٌ يُحْرَمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاَةُ ، وَفَجْرٌ تُحْرَمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ (أَيْ صَلاَةُ الصُّبْحِ) وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ
“Fajar ada dua macam: [Pertama] fajar diharamkan untuk makan dan dihalalkan untuk shalat (yaitu fajar shodiq, fajar masuknya waktu shubuh, -pen) dan [Kedua] fajar yang diharamkan untuk shalat shubuh dan dihalalkan untuk makan (yaitu fajar kadzib, fajar yang muncul sebelum fajar shodiq, -pen).” (Diriwayatakan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro no. 8024 dalam “Puasa”, Bab “Waktu yang diharamkan untuk makan bagi orang yang berpuasa” dan Ad Daruquthni dalam “Puasa”, Bab “Waktu makan sahur” no. 2154. Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim mengeluarkan hadits ini dan keduanya menshahihkannya sebagaimana terdapat dalam Bulughul Marom)
Imsak berarti berpantang dari makan, minum dll. Waktu Imsak berarti menghentikan kegiatan makan dan minum. Banyak diantara orang-orang yang bingung antara waktu yang dianjurkan dan waktu yang masih diizinkan untuk makan minum; waktu yang dianjurkan untuk imsak menurut para ulama adalah menyelesaikan sahur sepuluh menit sebelum datang waktu subuh.
Sheikh Ahmad Kutty memberikan penjelasan tentang waktu Imsak:
Tidak ada keraguan lagi bahwa batas waktu untuk sahur adalah ketika terbitnya fajar (waktu subuh). Namun waktu yang dianjurkan untuk mulai berhenti makan dan minum saat sahur adalah sekitar 10 sampai 15 menit sebelum waktu subuh.
Dasar perujukan penggunaan waktu yang dianjurkan untuk mulai melakukan Imsak berdasarkan riwayat hadits shahih dari Nabi Muhammad SAW. Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, “Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Diperkirakan waktu untuk selesai membaca 50 ayat tersebut adalah sekitar 10 sampai 15 menit dan tidak lebih.
Namun perlu dicatat hadits diatas tidak menyebutkan tidak diperbolehkannya untuk makan sahur setelah waktu itu. Disebutkan bahwa itu perbuatan sunnah yang dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. Sedangkan untuk makan minum sahur diperbolehkan sampai tiba waktunya fajar (waktu subuh).

3)      Puasa
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Rukun Berpuasa
a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab) Juga hadits Hafshah, bersabda Rasulullah :
مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan) Asy-Syaikh Muqbil t menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya. Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, ‘Aisyah, dan tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para shahabat. Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah pernah datang kepada ‘Aisyah  pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya: “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR. Muslim). Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abu-Darda, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman. Ini adalah pendapat jumhur. Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru.
Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama.
b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab bahwa Rasulullah bersabda: “Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini (timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ
“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377). Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Abbas dan bukan sabda Nabi). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
4)      Haji
Haji (al-hajju) dalam bahasa arab artinya Menyengaja atau menuju. Dalam istilah syara’ berarti, sengaja mengunjungi ka’bah untuk melakukan ibadah tertentu.
Rukun haji ada 6:
1.      ihram, yaitu berniat untuk memulai ibadah
2.      wuquf di ’arafah
3.      thawaf di bait Allah
4.      sa’i di antara shafa dan marwah
5.      bercukur atau memotong rambut sebagai tahallul dan,
6.      tertib
wajib haji ialah
1.      melakukan ihram dari miqot
2.      melempar jumrah
3.      bermalam di mina
4.      thawaf al-wada’
5.      menghindari segala yang diharamkan dalam ihram.
Sunnah haji ialah:
1.      melakukan haji dengan ifrad
2.      talbiyah
3.      thawaf al-qudum
4.      bermalam di mudzalifah
5.      shalat thawaf dua rakaat.
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab)

5).MABIT
Mabit adalah berhenti sejenak atau bermalam beberapa hari untuk mempersiapkan segala sesuatu dalam pelaksanaan melontar Jumrah yang merupakan salah satu wajib ibadah haji mabit dilakukan 2 tahap di 2 tempat yaitu di Muzdalifah dan di Mina.
Tahap Pertama : Mabit di Muzdalifah dilakukan tanggal 10 Zulhijah, yaitu lewat tengah malam sehabis wukuf di padang Arafah. Mabit tahap pertama ini biasanya hanya beberapa saat saja, yaitu secukup waktu untuk mengumpulkan 7 buah krikil guna melontar jumrah Aqabah.
Tahap Kedua : Mabit ini dilakukan di Mina dalam 2 hari  (11 dan 12 Zulhijah) bagi yang akan mengambil ‘Nafar Awal’, dan 3 hari (11,12,13 Zulhijah) bagi yang akan mengambil ‘Nafar Akhir’. Dari hari pertama sampai terakhir dari mabit di Mina ini adalah melontar ketiga jumrah Ula, Wusta dan Aqabah.
NAFAR AWAL
Yang dimaksud dengan Nafar Awal adalah apabila kita hanya melontar 3 hari, bukan 4 hari seperti Nafar Sani/Akhir. Disebut Awal karena jama’ah lebih awal meninggalkan Mina kembali ke Mekah. Dan hanya melontar sebanyak 3 hari. Total krikil yang dilontar jama’ah nafar awal adalah 49 butir.
Jama’ah haji pelaku Nafar Awal hanya 2 malam menginap di Mina dan meninggalkan Mina pada tanggal 12 Zulhijah sebelum matahari terbenam.
NAFAR SANI/AKHIR
Disebut Nafar Sani atau Nafar Akhir apabila Jama’ah melontar Jumrah selama 4 (empat) hari pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Zulhijah sehingga jumlah batu yang dilontar sebanyak 70 butir. Disebut Nafar Sani/AKhir karena jema’ah haji bermalam di Mina 3(tiga)  malam dan meninggalkan Mina pada tanggal 13 Zulhijah.


  1. Miqat
Miqad ada dua macam,Miqad  Zamani dan miqad Makani.Adapun miqad zamani adalah untuk haji ialah syawal,zulqa’dah dan sepuluh malam dari zulhijjah, dimana malam yang terakhir ialah malam mahar. Demikian menurut pendapat yang sahih.
Adapun umroh maka seluruh hari yang ada dalam setahun merupakan miqod zamani baginya, dan tidak ada satu waktupun yang makruh yang melakukan umroh didalamya.
Adapun miqod makani, orang yang melakukan ibadah haji atau umroh itu adakalanya ia orang makkah atau bukan orang makkah. Orang yang tinggal di makkah, baik ia penduduk makkah atau bukan maka miqodnya adalah makkah itu sendiri. Demkian menurut pendapat sebagian ulama. Sedangkan menurut ulama yang lain miqodnya adalah kota makkah dan seluruh tanah haram.
Adapun miqod bagi orang yang tinggal dikota makkah, bila rumahnya terletak antara mekah dan tempat-tempat yang telah di syariatkan sebagai miqod makani, maka miqodnya adalah desa dimana ia tinggal atau dimana orang-orang badui berkumpul. Tapi bila rumahnya diluar miqod, maka miqodnya ialah miqod yang ia lewati.
Adapun miqod makani itu ada lima:
1.      Zulhulaifah, yaitu miqodnya orang yang datang dari madinah, dan jauhnya dari kota mekah sepuluh marhalah
2.    Juhfah, yaitu miqodnya orang-orang yang datang dari syam, mesir dan negeri-negeri di barat.
3.     Yalamlam, yaitu miqodnya ahli yaman.
4.     Qorn, yaitu miqodnya yang datang dari nejed.
5.     Dzatu –irqin, yaitu miqodnya orang-orang yang datang dari negeri iraq dan khurasan.



DAFTAR PUSTAKA

Lamhuddin Nasution.Fiqih 1.Jakarta: Logos.
Abu bakar Al-Husein,Taqiyuddin. Kifayatul akhyar 1.diterjemahkan oleh: Anas Tohir Syamsuddin.surabaya: Bina Ilmu ,2007
PANDUAN PERJALANAN HAJI halaman 93 s/d 94 dengan sedikit perubahan
Abu Bakar Jabir ,Al-Jazairi.Ensiklopedi Muslim.Jakarta: Darul Falah.2000




[1] Abu Bakar Jabir ,Al-Jazairi.Ensiklopedi Muslim.Jakarta: Darul Falah.2000. h.269
[2] Sumber: PANDUAN PERJALANAN HAJI halaman 93 s/d 94 dengan sedikit perubahan

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda