Selasa, 17 Juli 2012

Peran Masyarakat Subulussalam dalam mengawal penegakan qanun syariah

Oleh: Ali Geno Berutu


Salah satu faktor mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud disini adalah kesadaranya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.[1]
Peningkatan kesadaran hukum warga masyarakat seyogianya dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu.[2]
Di Aceh meski penegak utama hukum pidana bernuansa Syariah di Aceh adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), khususnya Wilayatul Hisbah (WH),[3] masyarakat juga diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah minuman Khamar dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Peranserta masyarakat tersebut tidaklah dalam bentuk main hakim sendiri.
Warga sipil berperan langsung dalam menegakkan Perda-perda bernuansa Syariah, diantaranya adalah peranan yang secara jelas ditetapkan dalam Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya sebagai berikut:
1.      Masyarakat berperan serta dalam upaya pemberantasan Minuman Khamar dan Sejenisnya. Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan maupun tertulis apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan Minuman Khamar dan sejenisnya.[4]
2.      Wujud peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 adalah melapor kepada pejabat yang berwenang terdekat, apabila mengetahui adanya perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 7.[5]
3.      Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan oleh warga masyarakat, maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang.[6]
4.      Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.[7]
5.      Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 apabila lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang menyerahkan tersangka.[8]
Masyrakat Kota Subulussalam pada umumnya belum begitu mengetahui tentang keberadaan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang minuman Khamar dan Sejenisnya, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan hukum masyarakat kota subulussalam terhadap qanun ini sangatlah rendah,terlebih-lebih lagi mengenai peran yang diamanahkan qanun ini kepada masyarakat. Karena pada dasarnya pengetahuan hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu telah mempunyai pengetahuan hukum yang benar.
Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Syaraiat Islam kota Subulussalam terhadap qanun ini telah membuat kebanyakan masyarakat kota Subulussalam tidak mengetahui tentang peran mereka dalam mengawal setiap qanun Syariah di Subulussalam, sehingga masyarakat merasa bahwa penegakan Qanun Syariah sepenuhnya menjadi tanggung jawab WH.
Selama ini Dinas Syariat Islam telah melakukan sosialisasi terhadap Qanun Nomor 12 tahun 2003 di Kota Subulussalam, namun hasilnya kurang begitu maksimal, karena sosialisasi hanya dilakukan dalam bentuk seminar-seminar akan bahaya Minuman Keras dan Narkoba di tingkat Kota Subulussalam dan sekolah-sekolah menengah atas, hal ini tentunya membuat masyarakat tidak faham mengenai perannya karena mengingat sebagian besar masyarakat Kota Subulussalam adalah petani yang keseharianya berada di ladang atau kebun milik mereka.
Seharusnya Dinas Syariat Islam langsung terjun ke masyarakat untuk mensosialisaikan qanun ini, mengingat Kota Subulussalam yang hanya terdiri dari lima kecamatan dengan jumlah penduduk 60.298 jiwa[9], hal ini tentu sedikit lebih ringan bila dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lainya di Aceh. Sehingga masyarakat bisa tahu dan tanggap dengan konndisi yang ada, karena selama ini masyarakat juga merasa takut untuk meloporkan suatu pelanggaran kepada yang berwajib, hal ini tentunya akibat dari kurangnya sosialisasi mengenai Qanun Nomor 12 ini, karena dalam pasal 13 Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya telah di jelaskan bahwa “pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor” dengan demikian masyarakat nantinya diharapkan bisa melaporkan setiap pelanggaran kepada pihak yang berwajib tanpa ada rasa takut atau merasa keamananya terganggu.
Supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hukum itu harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembagaan hukum.
Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara pormal, yaitu melalui suatu cara terorganisasikan dengan resmi. Disamping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semua termasuk apa yang dikatakan disfusi  yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan.[10]
Difusi hukum  bersangkut paut dengan bagaimana hukum menyebar dalam masyarakat dan kemudian diketahui oleh warganya. Kiranya salah satu alat difusi yang utama adalah penerangan melalui ceramah-ceramah secara berkala ataupun tak berkala. Ceramah-ceramah tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, umpamanya melalui radio atau televise. Selain dari upaya-upaya tersebut, penerangan dapat dilakukan dengan tulisan-tulisan  seperti surat kabar, majalah-majalah atau dengan selebaran.[11]

Daftar Pustaka:
Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).


[1] Jainuddin Ali, Sosiologi Hukum,  h. 64.

[2] Jainuddin Ali, Sosiologi Hukum,  h. 69.

[3] Human Rights Watch, Menegakkan Moralitas, Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia.
[4] Pasal 10 ayat 1 dan 2 Qanun Nomor 12 Tahun 2003.

[5] Qanun Nomor 12 Tahun 2003, Pasal 11.

[6] Qanun Nomor 12 Tahun 2003, Pasal 12.

[7] Qanun Nomor 12 Tahun 2003, Pasal 13.
[8] Qanun Nomor 12 Tahun 2003, Pasal 14.
[9] http://www.nad.go.id/uploadfiles/PENDUDUK/PENDUDUKBULANJUNI_08.pdf.
[10]Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada,2003, h. 136.
[11] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, h. 201.

BACA JUGA

Label:

1 Komentar:

Pada 29 September 2017 pukul 16.23 , Blogger harahap reza mengatakan...

SAYA suka babussalam

 

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda