Peran Masyarakat Subulussalam dalam mengawal penegakan qanun syariah
Oleh: Ali Geno Berutu
Salah satu faktor
mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud disini
adalah kesadaranya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang
kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa derajat
kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya
hukum yang bersangkutan.[1]
Peningkatan
kesadaran hukum warga masyarakat seyogianya dilakukan melalui penerangan dan
penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan
hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum
tertentu.[2]
Di Aceh meski
penegak utama hukum pidana bernuansa Syariah di Aceh adalah Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP), khususnya Wilayatul Hisbah (WH),[3]
masyarakat juga diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah minuman Khamar
dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar. Peranserta masyarakat tersebut tidaklah dalam bentuk
main hakim sendiri.
Warga sipil
berperan langsung dalam menegakkan Perda-perda bernuansa Syariah, diantaranya
adalah peranan yang secara jelas ditetapkan dalam Qanun Nomor 12 Tahun 2003
Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya sebagai berikut:
1.
Masyarakat berperan serta dalam upaya pemberantasan
Minuman Khamar dan Sejenisnya. Masyarakat wajib melapor kepada pejabat
yang berwenang baik secara lisan maupun tertulis apabila mengetahui adanya
pelanggaran terhadap larangan Minuman Khamar dan sejenisnya.[4]
2.
Wujud peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 adalah melapor kepada pejabat yang berwenang terdekat, apabila
mengetahui adanya perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 sampai Pasal 7.[5]
3.
Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan oleh warga
masyarakat, maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat
yang berwenang.[6]
4.
Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan
jaminan keamanan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau
orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.[7]
5.
Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 apabila lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan
dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang menyerahkan tersangka.[8]
Masyrakat Kota
Subulussalam pada umumnya belum begitu mengetahui tentang keberadaan Qanun
Nomor 12 Tahun 2003 Tentang minuman Khamar dan Sejenisnya, hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan hukum masyarakat kota subulussalam terhadap qanun ini
sangatlah rendah,terlebih-lebih lagi mengenai peran yang diamanahkan qanun ini
kepada masyarakat. Karena pada dasarnya pengetahuan hukum masyarakat akan dapat
diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum
tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar
sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu telah mempunyai pengetahuan
hukum yang benar.
Minimnya
sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Syaraiat Islam kota Subulussalam terhadap
qanun ini telah membuat kebanyakan masyarakat kota Subulussalam tidak
mengetahui tentang peran mereka dalam mengawal setiap qanun Syariah di
Subulussalam, sehingga masyarakat merasa bahwa penegakan Qanun Syariah
sepenuhnya menjadi tanggung jawab WH.
Selama ini Dinas
Syariat Islam telah melakukan sosialisasi terhadap Qanun Nomor 12 tahun 2003 di
Kota Subulussalam, namun hasilnya kurang begitu maksimal, karena sosialisasi
hanya dilakukan dalam bentuk seminar-seminar akan bahaya Minuman Keras dan
Narkoba di tingkat Kota Subulussalam dan sekolah-sekolah menengah atas, hal ini
tentunya membuat masyarakat tidak faham mengenai perannya karena mengingat
sebagian besar masyarakat Kota Subulussalam adalah petani yang keseharianya
berada di ladang atau kebun milik mereka.
Seharusnya Dinas
Syariat Islam langsung terjun ke masyarakat untuk mensosialisaikan qanun ini,
mengingat Kota Subulussalam yang hanya terdiri dari lima kecamatan dengan
jumlah penduduk 60.298 jiwa[9],
hal ini tentu sedikit lebih ringan bila dibandingkan dengan daerah
kabupaten/kota lainya di Aceh. Sehingga masyarakat bisa tahu dan tanggap dengan
konndisi yang ada, karena selama ini masyarakat juga merasa takut untuk
meloporkan suatu pelanggaran kepada yang berwajib, hal ini tentunya akibat dari
kurangnya sosialisasi mengenai Qanun Nomor 12 ini, karena dalam pasal 13 Qanun
Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya telah di jelaskan
bahwa “pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan
keamanan kepada pelapor” dengan demikian masyarakat nantinya diharapkan bisa
melaporkan setiap pelanggaran kepada pihak yang berwajib tanpa ada rasa takut
atau merasa keamananya terganggu.
Supaya hukum
benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hukum itu
harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya
alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran
serta pelembagaan hukum.
Komunikasi hukum
tersebut dapat dilakukan secara pormal, yaitu melalui suatu cara
terorganisasikan dengan resmi. Disamping itu, ada juga tata cara informal yang
tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam
penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semua
termasuk apa yang dikatakan disfusi
yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam
masyarakat yang bersangkutan.[10]
Difusi hukum bersangkut paut dengan bagaimana hukum
menyebar dalam masyarakat dan kemudian diketahui oleh warganya. Kiranya salah
satu alat difusi yang utama adalah penerangan melalui ceramah-ceramah secara
berkala ataupun tak berkala. Ceramah-ceramah tersebut dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung, umpamanya melalui radio atau televise. Selain
dari upaya-upaya tersebut, penerangan dapat dilakukan dengan tulisan-tulisan seperti surat kabar, majalah-majalah atau
dengan selebaran.[11]
Daftar Pustaka:
Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum, 13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
[1] Jainuddin Ali, Sosiologi
Hukum, h. 64.
[2] Jainuddin Ali, Sosiologi
Hukum, h. 69.
[3] Human Rights Watch, Menegakkan Moralitas, Pelanggaran
dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia.
[4] Pasal 10 ayat 1 dan 2 Qanun
Nomor 12 Tahun 2003.
[5] Qanun Nomor 12 Tahun 2003,
Pasal 11.
[6] Qanun Nomor 12 Tahun 2003,
Pasal 12.
[7] Qanun Nomor 12 Tahun 2003,
Pasal 13.
[8] Qanun Nomor 12 Tahun 2003,
Pasal 14.
[9] http://www.nad.go.id/uploadfiles/PENDUDUK/PENDUDUKBULANJUNI_08.pdf.
[10]Soerjono Soekanto, Pokok-pokok
Sosiologi Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada,2003, h. 136.
[11] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok
Sosiologi Hukum, h. 201.
Label: SYARI'AT ISLAM
1 Komentar:
SAYA suka babussalam
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda