EUTHANASIA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
EUTHANASIA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
Oleh: Ali Geno Berutu
A.
Pendahuluan
Kematian, pada umumnya dianggap sebagai
suatu hal yang sangat menakutkan, namun akan dialami oleh setiap orang.
Kematian merupakan suatu proses yang tidak dapat ditunda, namun kebanyakan
orang tidak mau kematian itu datang dengan segera. Kebanyakan orang berharap
agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba. Orang bukan hanya saja ngeri
menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih dari itu, orang ngeri
menghadapi keadaan setelah kematian terjadi.
Tidak demikian halnya dengan orang yang
telah putus asa menghadapi hidup karena penyakit yang diderita sangat
menyiksanya. Mereka ingin segera mendapatkan kematian, dimana bagi mereka
kematian bukan saja merupakan hal yang diharapkan, namun juga merupakan suatu
hal yang dicari dan diidamkan. Terlepas dari siap tidaknya mereka menghadapi
kehidupan setelah kematian, mereka menginginkan kematian segera tiba.
Kematian yang diidamkan oleh pada
penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh
dari rasa sakit dan mengerikan. Kematian inilah yang dalam istilah medis
disebut euthanasia yang dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien
yang tipis harapannya untuk sembuh.
Euthanasia sebenarnya bukanlah merupakan
suatu persoalan yang baru. Bahkan euthanasia telah ada sejak zaman Yunani
purba. Dari Yunanilah euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa negara di
dunia, baik di Benua Eropa sendiri, Amerika maupun Asia. Di negara-negara
barat, seperti Swiss, euthanasia sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan
lagi, bahkan euthanasia sudah dilegalisasi dan diatur dalam Hukum Pidana.[1]
Euthanasia merupakan suatu persoalan
yang dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan
agamawan. Di Indonesia masalah ini juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminarnya pada tahun 1985 yang
melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum positif dan ahli hukum Islam, akan
tetapi hasilnya masih belum ada kesepakaran yang bulat terhadap masalah
tersebut.[2]
Demikian juga dari sudut pandang agama,
ada sebagian yang membolehkan dan ada sebagian yang melarang terhadap tindakan
euthanasia, tentunya dengan berbagai argumen atau alasan. Dalam Debat Publik
Forum No 19 Tahun 1V, 1 Januari 1996, Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia
(MUI) Pusat, Prof. KH. Ibrahim Husein menyatakan bahwa, Islam membolehkan
penderita AIDS diethanasia jika memenuhi syarat-syarat berikut:[3]
1.
Obat atau vaksin tidak ada.
2.
Kondisi kesehatannya makin parah.
3.
Atas permintaannya dan atau keluarganya serta atas persetujuan dokter.
4.
Adanya peraturan perundang-undangan yang mengizinkannya.
Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa sekalipun
obat atau vaksin untuk HIV/AIDS tidak atau belum ada dan kondisi pasien makin
parah tetap tidak boleh di euthanasia sebab hidup dan mati itu di tangan Tuhan.[4]
Pendapat tersebut merujuk pada firman Allah dalam Surat Al-Mulk ayat 2:
”Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji, siapa diantara kamu yang lebih
baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”[5]
Tetapi pengalaman juga menunjukkan bahwa
pada saat-saat ketika hal hal yang tidak secara tegas dilarang dalam
kitab-kitab suci dan dinyatakan terlarang menurut pandangan pemuka agama, suatu
saat dapat berubah. Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini
masih terus berlangsung.[6]
Mengingat euthanasia merupakan suatu persoalan yang rumit dan memerlukan
kejelasan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Maka Majlis
Ulama Indonesia (MUI) dalam pengkajian (muzakarah) yang diselenggarakan pada
bulan Juni 1997 di Jakarta yang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu
tindakan bunuh diri.[7]
Secara logika berdasarkan konteks
perkembangan ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini
merupakan suatu konsekuensi dari proses penelitian dan pengembangan. Demikian
juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia tampaknya merupakan
perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama manusia dalam mengakhiri
kesengsaraannya.[8]
Namun akan timbul berbagai permasalahan ketika euthanasia didasarkan pada
konteks yang lain seperti hukum dan agama, khususnya agama Islam. Dalam konteks
hukum, euthanasia menjadi bermasalah karena berkaitan dengan jiwa atau nyawa
seseorang oleh hukum sangat dilindungi keberadaanya. Sedangkan dalam konteks
agama Islam, euthanasia menjadi bermasalah karena kehidupan dan kematian adalah
berasal dari pencipta-Nya.[9]
Berbicara mengenai euthanasia, khususnya
euthanasia aktif, berarti berbicara mengenai pembunuhan, karena antara keduanya
tidak dapat dipisahpisahkan. Dalam dunia kedokteran, euthanasia dikenal sebagai
tindakan yang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seseorang atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup seorang pasien dan ini semua dilakukan untuk mempercepat kematiannya,
sekaligus memungkinkan kematian yang baik tanpa penderitaan yang tidak perlu.[10]
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam
belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan
suatu jarimah. Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan
sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana
Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud
dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah,
sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu
dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur
umum jarimah adalah sebagai berikut:[11]
1.
Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai
jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak
terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.
2.
Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan.
3.
Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur
ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya
dibebankan
atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsur keterpaksaan atau
ketidaksadaran penuh.
Unsur khusus dari jarimah merupakan
unsur yang membedakan antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.
Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur jarimah pencurian,
zina dan sebagainya.
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal
ada tiga macam, yaitu:[12]
1.
Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang
direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa
2.
Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), yaitu suatu perbuatan
penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi
mengakibatkan kematian.
3.
Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang
terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum
ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi euthanasia, apakah euthanasia
itu termasuk dalam jarimah atau bukan. Hal tersebut berbeda dangan hukum pidana
Indonesia sebagaimana terkandung di dalam Pasal 344 KUHP, dimana dijelaskan
bahwa melakukan euthanasia merupakan suatu tindakan pidana.[13]
Pasal 344 KUHP tersebut menyatakan secara tegas: barang siapa merampas nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara, paling lama dua belas tahun.[14]
B. Analisa
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua
macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif
adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan
ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit
pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut
perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama.
Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan
hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit
yang memang sudah parah.[15]
Contoh
euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.[16]
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan
dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara
medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini
berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter
adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang
tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.[17]
Contoh euthanasia pasif, misalkan
penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang
yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981,
euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang
menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter
tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter
terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan
penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan
menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.[18]
Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna
yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini
solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia
pasif.
A. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia
aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu alâ˜amad),
walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya
tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’aam : 151)
Dan
tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)...(QS An-Nisaa` : 92)
Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.(QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa
haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter
yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.(QS
Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul
maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan.
Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :
Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (QS Al-Baqarah
: 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah
100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan
hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk
dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar,
atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham,
atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990:
113). Tidak dapat diterima, alasan
euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan
pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya
yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian
pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari
ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah
SAW bersabda,Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya,
kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang
menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim).
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung
kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni,
apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada
perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya
mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,
seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[19]
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68)
hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits,
di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di
sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang
tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di
antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya
Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian (HR
Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah
SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr)
itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan
kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu
fi al-amri li ath-thalab
Perintah itu pada asalnya adalah sekedar
menunjukkan adanya tuntutan.(An-Nabhani, 1953)
Jadi,
hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan,
qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di
atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada
Nabi SAW lalu berkata, Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan
sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku Nabi SAW berkata Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat
surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.
Perempuan itu berkata,Baiklah aku akan bersabar, lalu dia berkata lagi,Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah
agar auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya
tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan
berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah
berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum
berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan
atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu
bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak
mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan
bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ
otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan
alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat
bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan
wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa
berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena
organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah
sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu,
hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut
alat-alat bantu pada pasien setelah
matinya/rusaknya organ otak ”hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat
dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu.[20]
Namun untuk bebasnya tanggung jawab
dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya[21] .
Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari
pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).[22]
DAFTAR
PUSTAKA
-
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
-
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyria Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah
Ar-Risalah.
-
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX
(Al-Mustadrak). Damaskus : Darul Fikr.
-
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam. Jakarta :
RajaGrafindo
Persada.
-
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta : Gema Insani Press.
-
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`,
Al-Ijhadh, Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut.
Beirut : Darul Ummah.
-
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ
Tubuh,
Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati.
Bangil : Al Izzah.
-
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung
http://The
house of Khilafah1924.org
[1] Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan
Islam, Dalam Mimbar Hukum No 6 Tahun VII,
Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996, hal 7-8.
[2] Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum
Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1995, hal. 51.
[3] Masjfuk Zuhdi, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Dalam Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam,
1996, hal. 28.
[4] Ibid., hal. 29.
[5] Departeman Agama, Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Toha Putera, 1989, hal. 955
[6] Akh. Fauzi Aseri, Op. Cit ,
hal. 51.
[7] Forum Keadilan No. 4, 29 April
2001, hal. 45.
[8] Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997, hal. 72.
[9] Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hal. 64.
[10] K. Bertens, Euthanasia Perdebatan yang Berkepanjangan, dalam Kliping LSI, Edisi 8, tahun VII, Agustus 2001, hal. 120.
[11] Ahmad Azar Basyir, Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001,Hal.8.
[12] Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2000, hal. 123.
[13] Natangsa Surbakti, Euthanasia dalam Hukum Indonesia, Suatu
Telaah Kefilsafatan Terhadap Eksistensi dalam Konteks Masyarakat Indonesia
Modern, Dalam Jurnal Hukum, Vol. I No. 1 Maret
1998, FH. UMS, hal. 115.
[14] Moeljanto, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Yogyakarta: UGM, 1978, hal. 124.
[15] Utomo,
2003:176
[16] Utomo,
2003:178
[17] Utomo,
2003:176
[18] Utomo,
2003:178
[19] Utomo,
2003:180
[20] Zallum,
1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182
[21] washi
adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien
[22] Audah,
1992 : 522-523
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda