Selasa, 17 Juli 2012

PENERAPAN QANUN KHAMAR DI WILAYAH HUKUM KOTA SUBULUSSALAM

Oleh: Ali Geno Berutu


Penegakan hukum (law enforcement) yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya dibidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Hal ini berarti pula adanya jaminan kepastian hukum bagi rakyat, sehingga rakyat merasa aman dan terlindungi hak-haknya dalam menjalani kehidupannya. Sebaliknya, penegakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indikator bahwa negara yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum kepada warganya.[1]
Mengingat begitu pentingnya penegakan hukum tersebut, dalam sekripsi ini akan diuraikan tentang beberapa pilar yang menopang agar hukum dapat ditegakkan secara efektif, problematika dan faktor-faktor yang mempengaruhinya khususnya dalam penegakan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di Kota Subulussalam.
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlakunya secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat.[2] Hal inilah yang penulis uraikan secara berurut sebagai berikut:
A.    Kaidah Hukum
Didalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal, mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal ini akan diungkapkan sebagai berikut:
1.      Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuanya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatanya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
2.      Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
3.      Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif . Artinya, kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakatnya (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
1.      Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya secara yuridis.
Setelah  lahirnya  Undang-undang  Otonomi  Khusus  bagi  Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ( Undang-undang No. 18 tahun 2001 ), dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam yang  telah  menjadi kewajibannya,  Pemerintah  Daerah  telah menetapkan pula beberapa Qanun yang berkait dengan pelaksanaan  Syariat Islam, yang diantaranya adalah Qanun Nomor 12 Tahun2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya.
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar (minuman keras dan sejenisnya), secara substantif tidak memiliki kontradiksi dengan produk perundang-undangan lainnya. Penyebutan produk perundang-undangan lain dalam konsideran qanun ini menunjukkan bahwa qanun tersebut secara materil melandaskan diri pada produk undang-undang tersebut. Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah, dilihat dari sudut
Pendelegasian kewenangan penyusunan perundang-undangan, telah mengkonfirmasi bahwa Qanun Khamar tidak mengalami kontradiksi dengan undang-undang lainnya. Secara umum, materi muatan Qanun Khamar sama persis dengan isi Keppres di atas.
Perbedaan yang paling prinsip terletak pada lingkup larangannya. Keppres No. 3 Tahun1997 menyebutkan bahwa memproduksi dan mengedarkan dan mengkonsumsi masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Larangan mengkonsumsi juga tidak berlaku di tempat-tempat khusus, seperti hotel, bar, dan lain sebagainya.  Keppres hanya tegas melarang memperjualbelikan minuman beralkohol kepada siapa saja yang masih berusia di bawah dua puluh lima tahun.[3]
Hal itu berarti, sebenarnya tidak ada larangan meminum alkohol, sejauh mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.  Sementara Qanun Khamar, secara tegas melarang kepada siapa saja (subyek hukum qanun, umat Islam yang berdomisili di Provinsi NAD) untuk meminum minuman beralkohol. Tidak hanya mengkonsumsi, badan hukum atau badan usaha juga dilarang memproduksi , menyediakan, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan minuman Khamar dan Sejenisnya.[4]
Larangan secara total yang diatur oleh Qanun Khamar juga dibenarkan oleh Keppres No. 3 Tahun 1997 itu. Di dalam Keppres disebutkan bahwa secara implisit penggunaan minuman beralkohol sepenuhnya diserahkan kepada pengaturan dan izin yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati. Dengan demikian, sekali lagi, larangan minuman beralkohol di NAD, sebagai produk politik di tingkat lokal, memiliki justifikasi yuridis dan tidak bertentangan dengan produk perundang-undangan diatasnya.[5]
2.      Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya secara filosofis.
Kehidupan religius rakyat Aceh dan semangat nasionalisme dalam mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Aceh juga menjunjung tinggi adat dan menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah memerlukan adanya jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan daerah.[6] Oleh karena itu, dibentuklah UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang menjadi landasan hukum yang kuat bagi keistimewaan Aceh.
Perkembangan yang terjadi di tahun 2001 semakin memperkuat keberadaan UU No. 44 Tahun 1999, yaitu dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal mendasar dari UU No. 18 Tahun 2001 adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi NAD dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi NAD dan mengaplikasikan Syariat
Islam dalam kehidupan bermasyarakat.[7] Selanjutnya, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dibentuk sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 2001 dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari kerangka otonomi khusus di Aceh adalah pemberlakuan Syariat Islam sesuai dengan tradisi dan norma yang hidup dalam masyarakat Aceh. Pasal 126 UU No. 11 Tahun 2006 menegaskan kewajiban setiap pemeluk agama Islam yang berada di Aceh untuk menaati dan mengamalkan Syari’at Islam, sedangkan bagi orang non Islam yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam.
Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi’ar, dan pembelaan Islam (Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006).
3.      Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya secara sosiologis.
Nangroe Aceh Darussalam saat ini merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang memperoleh kesempatan melaksanakan Syariat Islam. Masyarakat Aceh telah melaksanakan Syari’at Islam dalam hidup keseharian, hidup kemasyarakatan, dan hidup ketatanegaraan sejak masa kesultanan dahulu, sebelum dijajah oleh Pemerintah Belanda (yang mulai menyerang Aceh pada tahun 1873), yaitu Sultan Sri Ratu Safiatuddin (memerintah tahun 1641 – 1675) dan Sultan Alaiddin Johansyah (memerintah tahun 1735 – 1760).[8] Di era reformasi, semangat dan keinginan rakyat Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam bergema kembali, di samping tuntutan referendum yang juga disuarakan oleh sebagian generasi muda pada waktu itu. Para ulama dan cendekiawan muslim semakin intensif menuntut Pemerintah Pusat, agar dalam mengisi keistimewaan Aceh dapat diizinkan untuk melaksanakan Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan.
Masyarakat Aceh mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang dalam menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama, karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi. Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang itu melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana” yang artinya “Hukum adat di tengah pemerintah dan hukum syari’at ada di tangan ulama”.[9] Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan Syari’at Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi Mekkah, karena dari wilayah inilah kaum muslimin dari wilayah lain berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukum Islam yang kelima.[10]

B.     Penegak Hukum
Aparatur penegak hukum merupakan faktor kunci, karena dipundak merekalah terutama penegakan hukum diletakkan dalam praktik. Oleh karena itu, keberhasilan dan kegagalan penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh kualitas penegak hukum, apakah penegak hukum itu propesional atau tidak.
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogiyanya harus memiliki suatu pedoman, diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya.
Penegakan hukum atas qanun-qanun di NAD sudah dimulai sejak Juli 2004. Kepolisian Nasional diberi wewenang untuk menegakkan semua hukum di Aceh, termasuk peraturan-peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten, tetapi penegak utama hukum pidana bernuansa Syariah di Aceh adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), khususnya Wilayatul Hisbah. Akan tetapi, warga sipil juga berperan langsung dalam menegakkan Perda-perda bernuansa Syariah, peranan yang secara jelas ditetapkan dalam Perda-perda tersebut.

Daftar Pustaka:
Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda