PENERAPAN QANUN KHAMAR DI WILAYAH HUKUM KOTA SUBULUSSALAM
Oleh: Ali Geno Berutu
Penegakan
hukum (law enforcement) yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif
merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara dalam upaya
mengangkat harkat dan martabat bangsanya dibidang hukum terutama dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Hal ini berarti pula adanya
jaminan kepastian hukum bagi rakyat, sehingga rakyat merasa aman dan
terlindungi hak-haknya dalam menjalani kehidupannya. Sebaliknya, penegakan
hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indikator bahwa negara
yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum kepada
warganya.[1]
Mengingat
begitu pentingnya penegakan hukum tersebut, dalam sekripsi ini akan diuraikan
tentang beberapa pilar yang menopang agar hukum dapat ditegakkan secara efektif,
problematika dan faktor-faktor yang mempengaruhinya khususnya dalam penegakan
Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di Kota
Subulussalam.
Bila
membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan
daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat
terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah
hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlakunya secara yuridis,
berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh
karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam
masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak
hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4)
kesadaran masyarakat.[2]
Hal inilah yang penulis uraikan secara berurut sebagai berikut:
A.
Kaidah Hukum
Didalam teori-teori
ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal, mengenai berlakunya hukum sebagai
kaidah. Hal ini akan diungkapkan sebagai berikut:
1. Kaidah hukum
berlaku secara yuridis, apabila penentuanya didasarkan pada kaidah yang
lebih tinggi tingkatanya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
2. Kaidah hukum
berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai
positif yang tertinggi
3. Kaidah hukum
berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif . Artinya,
kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak
diterima oleh warga masyarakatnya (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku
karena adanya pengakuan dari masyarakat.
1.
Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan
Sejenisnya secara yuridis.
Setelah
lahirnya Undang-undang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (
Undang-undang No. 18 tahun 2001 ), dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan
Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam yang
telah menjadi kewajibannya, Pemerintah
Daerah telah menetapkan pula
beberapa Qanun yang berkait dengan pelaksanaan
Syariat Islam, yang diantaranya adalah Qanun Nomor 12 Tahun2003 tentang
Minuman Khamar dan Sejenisnya.
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar
(minuman keras dan sejenisnya), secara substantif tidak memiliki kontradiksi
dengan produk perundang-undangan lainnya. Penyebutan produk perundang-undangan
lain dalam konsideran qanun ini menunjukkan bahwa qanun tersebut secara materil melandaskan
diri pada produk undang-undang tersebut.
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan
dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan,
Penertiban, Peredaran, dan Penjualan Minuman
Beralkohol di Daerah, dilihat dari sudut
Pendelegasian kewenangan penyusunan
perundang-undangan, telah mengkonfirmasi bahwa Qanun Khamar tidak mengalami kontradiksi dengan undang-undang
lainnya. Secara umum, materi muatan Qanun Khamar sama persis dengan isi Keppres
di atas.
Perbedaan yang paling prinsip terletak pada
lingkup larangannya. Keppres No. 3 Tahun1997 menyebutkan bahwa memproduksi dan
mengedarkan dan mengkonsumsi masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Larangan mengkonsumsi juga tidak berlaku di tempat-tempat khusus, seperti
hotel, bar, dan lain sebagainya. Keppres
hanya tegas melarang memperjualbelikan minuman beralkohol kepada siapa saja
yang masih berusia di bawah dua puluh lima tahun.[3]
Hal itu berarti, sebenarnya tidak ada larangan
meminum alkohol, sejauh mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan. Sementara Qanun Khamar, secara tegas melarang
kepada siapa saja (subyek hukum qanun, umat
Islam yang berdomisili di Provinsi NAD) untuk meminum minuman beralkohol. Tidak hanya mengkonsumsi, badan hukum atau
badan usaha juga dilarang memproduksi , menyediakan, memasukkan, mengedarkan,
mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan
mempromosikan minuman Khamar dan Sejenisnya.[4]
Larangan secara total yang diatur oleh Qanun
Khamar juga dibenarkan oleh Keppres No. 3 Tahun 1997 itu. Di dalam Keppres
disebutkan bahwa secara implisit penggunaan minuman beralkohol sepenuhnya diserahkan kepada
pengaturan dan izin yang diberikan oleh
Gubernur atau Bupati. Dengan demikian, sekali lagi, larangan minuman beralkohol di NAD, sebagai produk politik di
tingkat lokal, memiliki justifikasi yuridis dan tidak bertentangan
dengan produk perundang-undangan diatasnya.[5]
2.
Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan
Sejenisnya secara filosofis.
Kehidupan religius
rakyat Aceh dan semangat nasionalisme dalam mempertahankan kemerdekaan
merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Masyarakat Aceh juga menjunjung tinggi adat dan menempatkan ulama
pada peran yang terhormat dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan hal
itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah memerlukan adanya jaminan kepastian
hukum dalam melaksanakan segala urusan daerah.[6]
Oleh karena itu, dibentuklah UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang menjadi landasan hukum yang kuat bagi
keistimewaan Aceh.
Perkembangan
yang terjadi di tahun 2001 semakin memperkuat keberadaan UU No. 44 Tahun 1999,
yaitu dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Hal mendasar dari UU No. 18 Tahun 2001 adalah pemberian kesempatan yang lebih
luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber
ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia,
menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran
serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang
sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara
optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi NAD dalam memajukan
penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi NAD dan mengaplikasikan Syariat
Islam dalam
kehidupan bermasyarakat.[7]
Selanjutnya, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dibentuk sebagai
pengganti UU No. 18 Tahun 2001 dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang dikenal dengan Memorandum of
Understanding (MOU) Helsinki. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari
kerangka otonomi khusus di Aceh adalah pemberlakuan Syariat Islam sesuai dengan
tradisi dan norma yang hidup dalam masyarakat Aceh. Pasal 126 UU No. 11 Tahun
2006 menegaskan kewajiban setiap pemeluk agama Islam yang berada di Aceh untuk
menaati dan mengamalkan Syari’at Islam, sedangkan bagi orang non Islam yang
bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan Syari’at
Islam.
Syari’at Islam
yang dilaksanakan di Aceh meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’
(peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi’ar, dan pembelaan
Islam (Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006).
3.
Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan
Sejenisnya secara sosiologis.
Nangroe Aceh
Darussalam saat ini merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang
memperoleh kesempatan melaksanakan Syariat Islam. Masyarakat Aceh telah
melaksanakan Syari’at Islam dalam hidup keseharian, hidup kemasyarakatan, dan
hidup ketatanegaraan sejak masa kesultanan dahulu, sebelum dijajah oleh
Pemerintah Belanda (yang mulai menyerang Aceh pada tahun 1873), yaitu Sultan
Sri Ratu Safiatuddin (memerintah tahun 1641 – 1675) dan Sultan Alaiddin
Johansyah (memerintah tahun 1735 – 1760).[8] Di
era reformasi, semangat dan keinginan rakyat Aceh untuk melaksanakan Syari’at
Islam bergema kembali, di samping tuntutan referendum yang juga disuarakan oleh
sebagian generasi muda pada waktu itu. Para ulama dan cendekiawan muslim
semakin intensif menuntut Pemerintah Pusat, agar dalam mengisi keistimewaan
Aceh dapat diizinkan untuk melaksanakan Syari’at Islam dalam segala aspek
kehidupan.
Masyarakat
Aceh mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang dalam menjadikan Islam
sebagai pedoman hidupnya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan
mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama, karena ulamalah yang menjadi ahli
waris Nabi. Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang
itu melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir
dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan
dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak
Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana” yang
artinya “Hukum adat di tengah pemerintah dan hukum syari’at ada di tangan
ulama”.[9]
Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan Syari’at Islam dalam praktek
hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi
Mekkah, karena dari wilayah inilah kaum muslimin dari wilayah lain berangkat ke
tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukum Islam yang kelima.[10]
B.
Penegak Hukum
Aparatur penegak hukum merupakan faktor
kunci, karena dipundak merekalah terutama penegakan hukum diletakkan dalam
praktik. Oleh karena itu, keberhasilan dan kegagalan penegakan hukum sangat
dipengaruhi oleh kualitas penegak hukum, apakah penegak hukum itu propesional
atau tidak.
Penegak hukum atau orang yang bertugas
menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut
petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan
tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogiyanya harus memiliki suatu pedoman,
diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup
tugas-tugasnya.
Penegakan hukum atas qanun-qanun di NAD sudah dimulai
sejak Juli 2004. Kepolisian Nasional diberi wewenang untuk menegakkan semua
hukum di Aceh, termasuk peraturan-peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten,
tetapi penegak utama hukum pidana bernuansa Syariah di Aceh adalah Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP), khususnya Wilayatul Hisbah. Akan
tetapi, warga sipil juga berperan langsung dalam menegakkan Perda-perda
bernuansa Syariah, peranan yang secara jelas ditetapkan dalam Perda-perda
tersebut.
Daftar Pustaka:
Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum, 13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda