Selasa, 17 Juli 2012

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TUN

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TUN
Oleh: Ali Geno Berutu


A.     Pelaksanaan putusan
Putusan Pengadilan Tusaha Negara yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang telah mempunya kekuatan hukum yang tetap ,yaitu suatu putusan yang tidak dapat diubah lagi melalui suatu upaya hukum (pasal 115 UPTUN). Dalam pelaksaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan adanaya upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan seperti halnya dalam pelaksanaan putusan peradilan pidana dan perdata.[1]Tetapi istimewanya dalam pelaksanaan putusan peradilan Tata Usaha Negara dimungkinkan adanya campur tangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Dalam hal ini Presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab dalam pembinaan pegawai negeri / aparatur pemerintahan.[2]Presiden sebagai kepala pemerintahan yang bertanggung jawab dalam pembinaan aparatur pemerintahan,tentunya juga bertanggung jawab agar setiap setiap aparatur pemerintahan dapat menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk menaati putusan pengadilan sesuai dengan prinsip negara hukum yang kita anut

Campur tangan Presiden dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara memang diperlukan mengingat pelaksanaanya tidaklah semudah pelaksanaan peradilan pidana ataupun peradilan perdata.Hal ini disebabkan karena yang menjadi tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara selalu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.Dalam putusan peradilan Tata Usaha Negara yang bersipat Comdemnatoir, berisi penghukuman kepada yang tergugat dalam hal ini adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan suatu kewajiban yang berupa:
a.       Pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, atau
b.       Pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara ynag baru, atau
c.       Penerbitan keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugata dilaksanakan dalam pasal 33 UU No 5 Tahun 1986
d.      Membayar ganti rugi
e.       Memberikan Rehabilitasi
Berhubung tergugat yang dihukum untuk melaksanakan kewajiban yang tersebut di atas adalah pejabat, maka keberhasilan dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara tersebut sangat tergantung pada wibawa Peradilan Tata Usaha Negara dan kesadara hukum para pejabat itu sendiri.Namun demikian UU No 5 Tahun 1986 telah mengatur sebaik mungkin agar putusan peradilan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilaksanakan sebagai mana mestinya, malahan dimana perlu adanya campur tangan Presiden sendiri sebagai kepala pemerintahan.

Langkah pertama yang ditempuh dalam pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara adalah penyampaian salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh panitera atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya pada tingkat pertama kepada para pihak dengan surat tercatat selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.

Setelah 4 (empat) bulan sejak salinan putusan pengadilan tersebut dikirimkan kepada tergugat dan tidak melaksanakan kewajiban sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 97 ayat 9 huruf a mencabut keputusan ttata negara yang disengketakan ,maka keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi , dalam hal putusan peradilan tersebut mewajibkan tergugat untuk melaksanakan[3] :
a.       Pencabutan putusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau
b.      Penerbitan keputusan Tata Usaha Negar dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3 UU No 5 Tahun 1986
Sesudah 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan tersebut diberitahukan kepada tergugat,ternya kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh tergugat , maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan agar ketua pengadilan memerintahkan tergugat agar melaksanakan putusan pengadilan tersebut.Sesudah tergugat diperintahkan oleh ketua pengadilan untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut, ternyata tidak mau melaksanakanya juga, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan tergugat menurut jenjang jabatan.Dua bulan setelan instansi atasan bersangkutan menerima pemberitahuan dari ketua pengadilan, harus telah memerintahkan kepada pejabat bawahanya (tergugat) untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut (Pasal 116. UPTUN). Sesudah melibatkan instansi dari tergugat, ternyata putusan pengadilan tersebut belum bisa dilaksanakan , maka dalam hal ini terpaksa adanya campur tangan presiden sebagai kepala pemerintahan.Seandainya kegagalan putusan peradilan tersebut disebabkan karena instansi atasan tergugat setelah lewat waktu 2 (Dua) bulan tetap tidak memerintahkan pejabat bawahanya (tergugat) untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut, maka ketua pengadilan yang bersangkutan mengajukan hal ini kepada Presiden.

Dilihat dari prosedur sebagai mana yang dikemukakan diatas, proses pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara memakan waktu yang cukup panjang kalau seandainya tidak didukung oleh kewibawaan Pengadilan Tata Usaha Negar dan kesadaran hukum Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri. Malahan akan melibatkan presiden sebagai kepala pemerintahan, yang bertanggung jawab atas aparat pemerintahan.Kalau pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara terlalu sering Presiden dilibatkan, hal ini banayk sedikitnya dapat mengurangi wibawa presiden tidak saja sebagai kepala pemerintahan tapi juga sebagai mandataris MPR ,karena orang awam pada umumnya sulit membedakan fungsi Presiden sebagai kepala pemerintahan dan Presiden sebagai kepala negara dan mandataris MPR.

B.     Ganti Rugi
Dalam hal putusan pengadilan berisi kewajiban membayar ganti rugi 3 hari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, salinan putusan tersebut dikirim kepada penggugat dan tergugat  dan dalam waktu yang sama salinan keputusan juga dikirimkan kepada Badan atau Pejabat tata usaha negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut.

Menurut pasal 20 ayat 3 UU No 5 Tahun 1986,besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimakksud dalam pasal 97 ayat 10, diatur lebih lanjut dengan PP (Pasal 120 UPTUN). PP yang mengatur ganti rugi ini adalah  PP No 43 Tahun 1991, didalam PP tersebut diterangkan besarnya ganti rugi yang dapat diberikan paling kecil Rp 250.000,- dan yang paling besar Rp 5000 000,-.Ganti rugi yang dibebankan kepada Badan-badan TUN pusat,di bayar melalui anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) yang lebih lanjut diatur oleh mentri keuangan, sedangkan ganti rugi yang dibebankan kepada Badan-badan Tata Usah Daerah, dibayar melalui Anggaran pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang selanjutnya diatur lebih lanjut oleh mentri dalam negeri.

C.     Rehabilitasi
Dalam Pasal 121 UU No 5 Tahun 1986[4]
1.      Dalam hal gugatan berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan sesuai dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 97 ayat 11, salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirkan kepada penggugat ddan terguggat ddalam waktu 3 hari setellah putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap.
2.      Salinan putusan pengadilan yang berupa kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikirimkan pula oleh pengadilan kepada badan atau pejabat TUN yang dibebani kewajiban rehabilitasi tersebut dalam waktu 3 hari setelah keputusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Rozali. Hukum Acara Peradila Tata Usaha Negara. Rajawali Pres.Jakarta.1994
Tjakranegara R Soegijanto. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negra di Indonesia. Sinar Grafindo. Jakarta. 1994
Anonim. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.1986



[1] Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negar .jakarta, Raja Grapindo Persada.hal 81
               [2] Rozali Abdullah 1986-24    
[3] Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negar .jakarta, Raja Grapindo Persada.hal 82
[4] R Soegijatno Tjakranegara. Hukum Peradilan Tata Usaha Negar di Indonesia. Jakarta. Sinar grafika. Hal 191

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda