PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TUN
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TUN
Oleh: Ali Geno Berutu
A. Pelaksanaan putusan
Putusan
Pengadilan Tusaha Negara yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang telah
mempunya kekuatan hukum yang tetap ,yaitu suatu putusan yang tidak dapat diubah
lagi melalui suatu upaya hukum (pasal 115 UPTUN). Dalam pelaksaan putusan
Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan adanaya upaya paksa dengan
menggunakan aparat keamanan seperti halnya dalam pelaksanaan putusan peradilan
pidana dan perdata.[1]Tetapi
istimewanya dalam pelaksanaan putusan peradilan Tata Usaha Negara dimungkinkan
adanya campur tangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Dalam hal ini
Presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab dalam pembinaan pegawai
negeri / aparatur pemerintahan.[2]Presiden
sebagai kepala pemerintahan yang bertanggung jawab dalam pembinaan aparatur
pemerintahan,tentunya juga bertanggung jawab agar setiap setiap aparatur
pemerintahan dapat menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk menaati putusan pengadilan sesuai dengan prinsip negara hukum yang
kita anut
Campur
tangan Presiden dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara memang
diperlukan mengingat pelaksanaanya tidaklah semudah pelaksanaan peradilan
pidana ataupun peradilan perdata.Hal ini disebabkan karena yang menjadi
tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara selalu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara.Dalam putusan peradilan Tata Usaha Negara yang bersipat Comdemnatoir, berisi penghukuman kepada
yang tergugat dalam hal ini adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara untuk
melaksanakan suatu kewajiban yang berupa:
a. Pencabutan keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan, atau
b. Pencabutan
keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, menerbitkan keputusan Tata Usaha
Negara ynag baru, atau
c. Penerbitan keputusan Tata Usaha Negara
dalam hal gugata dilaksanakan dalam pasal 33 UU No 5 Tahun 1986
d. Membayar ganti rugi
e. Memberikan Rehabilitasi
Berhubung
tergugat yang dihukum untuk melaksanakan kewajiban yang tersebut di atas adalah
pejabat, maka keberhasilan dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara
tersebut sangat tergantung pada wibawa Peradilan Tata Usaha Negara dan kesadara
hukum para pejabat itu sendiri.Namun demikian UU No 5 Tahun 1986 telah mengatur
sebaik mungkin agar putusan peradilan Tata Usaha Negara tersebut dapat
dilaksanakan sebagai mana mestinya, malahan dimana perlu adanya campur tangan Presiden
sendiri sebagai kepala pemerintahan.
Langkah
pertama yang ditempuh dalam pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara adalah
penyampaian salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap oleh panitera atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya pada
tingkat pertama kepada para pihak dengan surat tercatat selambat-lambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) hari.
Setelah
4 (empat) bulan sejak salinan putusan pengadilan tersebut dikirimkan kepada
tergugat dan tidak melaksanakan kewajiban sebagai mana yang dimaksud dalam
pasal 97 ayat 9 huruf a mencabut keputusan ttata negara yang disengketakan
,maka keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi , dalam hal putusan peradilan tersebut mewajibkan
tergugat untuk melaksanakan[3] :
a. Pencabutan putusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau
b. Penerbitan keputusan Tata Usaha Negar
dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3 UU No 5 Tahun 1986
Sesudah
3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan tersebut diberitahukan kepada
tergugat,ternya kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh tergugat , maka
penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan agar
ketua pengadilan memerintahkan tergugat agar melaksanakan putusan pengadilan
tersebut.Sesudah tergugat diperintahkan oleh ketua pengadilan untuk
melaksanakan putusan pengadilan tersebut, ternyata tidak mau melaksanakanya
juga, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan tergugat
menurut jenjang jabatan.Dua bulan setelan instansi atasan bersangkutan menerima
pemberitahuan dari ketua pengadilan, harus telah memerintahkan kepada pejabat
bawahanya (tergugat) untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut (Pasal 116.
UPTUN). Sesudah melibatkan instansi dari tergugat, ternyata putusan pengadilan
tersebut belum bisa dilaksanakan , maka dalam hal ini terpaksa adanya campur
tangan presiden sebagai kepala pemerintahan.Seandainya kegagalan putusan
peradilan tersebut disebabkan karena instansi atasan tergugat setelah lewat
waktu 2 (Dua) bulan tetap tidak memerintahkan pejabat bawahanya (tergugat)
untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut, maka ketua pengadilan yang
bersangkutan mengajukan hal ini kepada Presiden.
Dilihat
dari prosedur sebagai mana yang dikemukakan diatas, proses pelaksanaan putusan
Peradilan Tata Usaha Negara memakan waktu yang cukup panjang kalau seandainya tidak
didukung oleh kewibawaan Pengadilan Tata Usaha Negar dan kesadaran hukum
Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri. Malahan akan melibatkan presiden sebagai
kepala pemerintahan, yang bertanggung jawab atas aparat pemerintahan.Kalau
pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara terlalu sering Presiden
dilibatkan, hal ini banayk sedikitnya dapat mengurangi wibawa presiden tidak
saja sebagai kepala pemerintahan tapi juga sebagai mandataris MPR ,karena orang
awam pada umumnya sulit membedakan fungsi Presiden sebagai kepala pemerintahan
dan Presiden sebagai kepala negara dan mandataris MPR.
B. Ganti Rugi
Dalam
hal putusan pengadilan berisi kewajiban membayar ganti rugi 3 hari setelah
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, salinan putusan tersebut dikirim
kepada penggugat dan tergugat dan dalam
waktu yang sama salinan keputusan juga dikirimkan kepada Badan atau Pejabat
tata usaha negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut.
Menurut
pasal 20 ayat 3 UU No 5 Tahun 1986,besarnya ganti rugi beserta tata cara
pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimakksud dalam pasal 97 ayat 10, diatur
lebih lanjut dengan PP (Pasal 120 UPTUN). PP yang mengatur ganti rugi ini adalah PP No 43 Tahun 1991, didalam PP tersebut
diterangkan besarnya ganti rugi yang dapat diberikan paling kecil Rp 250.000,-
dan yang paling besar Rp 5000 000,-.Ganti rugi yang dibebankan kepada
Badan-badan TUN pusat,di bayar melalui anggaran pendapatan belanja Negara
(APBN) yang lebih lanjut diatur oleh mentri keuangan, sedangkan ganti rugi yang
dibebankan kepada Badan-badan Tata Usah Daerah, dibayar melalui Anggaran
pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang selanjutnya diatur lebih lanjut oleh
mentri dalam negeri.
C. Rehabilitasi
Dalam
Pasal 121 UU No 5 Tahun 1986[4]
1. Dalam hal gugatan berkaitan dengan
bidang kepegawaian dikabulkan sesuai dengan ketentuan sebagai mana dimaksud
dalam pasal 97 ayat 11, salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban
tentang rehabilitasi dikirkan kepada penggugat ddan terguggat ddalam waktu 3
hari setellah putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Salinan putusan pengadilan yang berupa
kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikirimkan
pula oleh pengadilan kepada badan atau pejabat TUN yang dibebani kewajiban rehabilitasi
tersebut dalam waktu 3 hari setelah keputusan ini mempunyai kekuatan hukum
tetap.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
Rozali. Hukum Acara Peradila Tata Usaha
Negara. Rajawali Pres.Jakarta.1994
Tjakranegara
R Soegijanto. Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negra di Indonesia. Sinar Grafindo. Jakarta. 1994
Anonim.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.1986
[1] Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negar
.jakarta, Raja Grapindo Persada.hal 81
[3] Rozali
Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negar .jakarta, Raja Grapindo Persada.hal 82
[4] R Soegijatno
Tjakranegara. Hukum Peradilan Tata Usaha Negar di Indonesia. Jakarta. Sinar
grafika. Hal 191
Label: HUKUM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda