Minggu, 09 Oktober 2022

DANA INVESTASI REAL ESTAT (DIRE) SYARIAH

 Sumber rujukan: Ali Geno Berutu, Pasar Modal Syariah Indonesia: Konsep dan Produk (Salatiga: LP2M Press, 2020), Hlm, 86-89.

Dana Investasi Real Estat (DIRE) merupakan kontrak investasi kolektif (KIK) yang dipakai untuk melakukan penghimpunan dana dari masyarkat (investor) untuk di investasikan pada property (real estate). Mengacu kepada peraturan OJK No. 30/POJK.04/2016 yang merupakan dasar hukum penerbitan DIRE Syariah di Indonesia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan DIRE merupakan suatu wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat yang akan diinvestasikan pada aset real estate, aset yang berkaitan dengan real estate, dan/atau kas dan setara kas yang tidak beretentangan dengan prinsip Syariah di pasar modal.[1]

Dana Investasi Real Estat (DIRE) merupakan wadah untuk menghimpun dana masyarakat, yang selanjutnya diinvestasikan pada aset real estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat dan atau kas dan setara kas. DIRE berinvestasi pada: Aset Real Estate (tanah secara fisik dan bangunan yang ada di atasnya) paling kurang 50% dari Nilai Aktiva Bersih (NAB), Aset Real Estat dan Aset yang berkaitan dengan Real Estat di wilayah Indonesia (Efek Perusahaan Real Estat yang tercatat di Bursa Efek dan atau diterbitkan oleh Perusahan Real Estat) paling kurang 80% dari NAB dengan ketentuan investasi pada Aset Real Estat paling kurang 50% dari NAB; dan/ atau, kas dan setara kas tidak lebih dari 20% NAB.

Menurut peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/ POJK.04/2016, Real Estat adalah tanah fisik dan bangunan di atasnya. Aset yang berkaitan dengan real estat adalah Efek Perusahaan real estat yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dan/atau dikeluarkan oleh perusahaan real estat. Perusahaan real estat adalah perusahaan yang mengelola real estat sebagai kegiatan usaha utamanya.

L. DIRE yang termasuk dalam kategori syariah

Dalam DIRE yang sesuai syariah, DIRE dianggap memenuhi Prinsip Syariah dalam pasar modal selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Kegiatan/tindakan yang bertentangan dengan prinsip Syariah (sesuai fatwa DSNMUI Nomor: 80/DSN-MUI/III/2011), antara lain:

a. Maisir, yaitu setiap kegiatan yang melibatkan perjudian dimana pihak yang memenangkan perjudian akan mengambil taruhannya;

b. Gharar, yaitu ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas objek akad maupun mengenai penyerahannya;

c.  Riba, yaitu tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas produk utang dengan imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak;

d.  Bathil, yaitu Jual beli bathil atau batal adalah jual beli yang tidak sesuai dengan rukun dan akadnya (ketentuan asal/pokok dan sifatnya) atau tidak dibenarkan oleh syariah Islam;

e.  Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (efek syariah) yang belum dimiliki (short selling);

f.  Ikhtikar, yaitu membeli suatu barang yang sangat diperlukan masyarakat pada saat harga mahal dan menimbunnya dengan tujuan untuk menjualnya kembali pada saat harganya lebih mahal;

g. Taghir, yaitu upaya mempengaruhi orang lain, baik dengan ucapan maupun tindakan yang mengandung kebohongan, agar terdorong untuk melakukan transaksi;

h. Ghabn, yaitu ketiadkseimbangan antara dua barang (objek) yang dipertukarkan dalam suatu akad, baik segi kualitas maupun kuantitas;

i. Talaqqi al-rukban, yaitu bagian dari ghabn atau jual beli atas barang dengan harga jauh di bawah harga pasar karena pihak penjual tidak mengetahui harga tersebut;

j. Tadlis, yaitu tindakan menyembunyikan kecacatan objek akad yang seolah-olah objek akad tersebut tidak cacat;

k. Ghisysy, yaitu satu bentuk tadlis atau penjual menjelaskan/memaparkan keunggulan barang yang dijual serta menyembunyikan kecacatannya;

l. Tanjusy/Najsy yaitu, tindakan menawar barang dengan harga lebih tinggi oleh pihak yang tidak bermaksud membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak pihak yang berminat membelinya;

m. Dharar yaitu, tindakan yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian bagi pihak lain;

n. Risywah artinya, suatu pemberian yang bertujuan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, membenarkan yang bathil dan menjadikan yang bathil sebagai sesuatu yang benar;

o. Maksiat dan Zalim, yaitu perbuatan yang merugikan, mengambil atau menghalangi hak orang lain yang tidak dibenarkan secara syariah, sehingga dapat dianggap sebagai salah satu bentuk penganiayaan.

Meskipun DIRE tersebut berbentuk konvensional. DIRE konvensional dianggap sesuai Syariah jika tidak ada barang yang dilarang Syariah, tidak ada pinjaman konvensional yang dilakukan oleh DIRE, dan DIRE tidak menjalani transaksi yang dilarang oleh Syariah. Hal Ini bisa dianalogikan dengan saham yang sesuai dengan Syariah.

M.  Syarat-syarat Penerbitan DIRE

KIK DIRE Syariah dalam penerbitannya diatur dalam Pasal 4 dan 5 POJK No. 30 wajib mengikuti peraturan perundang-undangan pasar modal dan harus memuat ketentuan sebagai berikut:

a.     Banak kustodian dan manajer investasi merupakan wakil yang bertidak untuk mewakili kepentingan investor pemegang unit DIRE Syariah yang berbenruk kontrak investasi kolektif (KIK) sebagai pihak yang diwakili. Adapun fungsi Bank Kustodian adalah sebagai tempat penitipan kolektif sedang manajer investasi berfungsi sebagai pengelola portofolio KIK.

b.     Aset real estate, aset yang berkaitan dengan real estate, dan/atau kas dan setara kas yang tidak beretentangan dengan prinsip Syariah di pasar modal;

c.     Mekanisme aset real estate, aset yang berkaitan dengan real estate, dan/atau kas dan setara kas yang tidak beretentangan dengan prinsip Syariah di pasar modal;

d.     Mempunyai kata “Syariah” pada dana investasi real estate yang diterbitkan.

e.     Akad dan skema transaksi syariah dalam penerbitan DIRE Syariah berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;

f.      Ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para pihak;

g.     Besarnya nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa; dan

h.     Rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa.[2]

Dalam penerbitan DIRE Syariah wajib memiliki keseuaian dengan prinsip Syariah oleh Dewan Pengawas Syariah atau TIM Ahli Syariah. Adapun hal-hal yang dilarang dalam penerbita DIRE Syariah adalah (1) pendapatan yang bertentangan prinsip Syariah yang berasal adari aset real estate lebih dari 10% dari total pendapat DIRE Syariah. (2) Luas area real estate yang bertentangan dengan prinsip Syariah lebih 10% dari total luas area real estate DIRE Syariah.[3]

Dalam DIRE berbasis syariah, DIRE dirancang sebagai instrumen syariah sejak awal, mulai dari konstruksi yang memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal dan dicatatkan di daftar efek Syariah (DES) sepanjang waktu. Misalnya, hotel DIRE syariah dibuat dengan pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk memastikan kepatuhan Syariah dalam hal pengoprasian dan struktur keuangannya. Oleh karenanya manajemen hotel harus memastikan bahwa tidak ada alkohol dan memastikan bahwa tamu non-mahram tidak memasuki hotel DIRE. ini bisa serupa dengan Sukuk. Oleh karena itu, tidak mungkin jika DIRE berbasis syariah akan disingkirkan dari DES karena didesain dan diawasi oleh DPS.

Di Indonesia, OJK ataupun MUI tidak menetapkan DIRE syariah sebagai DIRE yang sesuai dengan prinsip Syariah atau DIRE yang berbasis Syariah. Di Indonesia DIRE syariah yang dimaksud adalah keduanya, sehingga ketika dimasa depan terdapat emiten yang menerbitkan DIRE sesuai prinsip Syariah atau berbasis syariah, maka DIRE tersebut disebut sebagai DIRE Syariah.

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda