DANA INVESTASI REAL ESTAT (DIRE) SYARIAH
Dana Investasi Real Estat (DIRE) merupakan kontrak investasi
kolektif (KIK) yang dipakai untuk melakukan
penghimpunan dana dari masyarkat (investor) untuk di investasikan pada property
(real estate). Mengacu kepada peraturan OJK No.
30/POJK.04/2016 yang merupakan dasar hukum penerbitan DIRE
Syariah di Indonesia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan DIRE merupakan
suatu wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat yang akan diinvestasikan pada
aset real estate, aset yang berkaitan dengan real estate,
dan/atau kas dan setara kas yang tidak beretentangan dengan prinsip Syariah di
pasar modal.[1]
Dana
Investasi Real Estat (DIRE) merupakan wadah
untuk menghimpun dana masyarakat, yang selanjutnya diinvestasikan pada aset
real estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat dan atau kas dan setara kas.
DIRE berinvestasi pada: Aset Real Estate (tanah secara fisik dan bangunan
yang ada di atasnya) paling kurang 50% dari Nilai Aktiva Bersih (NAB), Aset Real Estat
dan Aset yang berkaitan dengan Real Estat di wilayah Indonesia (Efek Perusahaan Real Estat yang tercatat di Bursa
Efek dan atau diterbitkan oleh Perusahan Real
Estat) paling kurang 80% dari NAB dengan ketentuan investasi pada Aset Real
Estat paling kurang 50% dari NAB; dan/ atau, kas dan setara kas tidak lebih
dari 20% NAB.
Menurut
peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/ POJK.04/2016, Real Estat adalah
tanah fisik dan bangunan di atasnya. Aset yang berkaitan dengan real estat adalah Efek Perusahaan real estat yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia dan/atau dikeluarkan oleh perusahaan
real estat. Perusahaan real estat adalah perusahaan yang mengelola real estat
sebagai kegiatan usaha utamanya.
L. DIRE yang termasuk dalam
kategori syariah
Dalam
DIRE yang sesuai syariah, DIRE dianggap
memenuhi Prinsip Syariah dalam pasar modal selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah. Kegiatan/tindakan yang bertentangan dengan prinsip
Syariah (sesuai fatwa DSNMUI Nomor: 80/DSN-MUI/III/2011), antara
lain:
a. Maisir,
yaitu setiap kegiatan yang melibatkan perjudian dimana pihak yang memenangkan
perjudian akan mengambil taruhannya;
b. Gharar,
yaitu ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai
kualitas atau kuantitas objek akad maupun mengenai penyerahannya;
c. Riba,
yaitu tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-amwal
al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas produk utang dengan imbalan
penangguhan pembayaran secara mutlak;
d. Bathil,
yaitu Jual beli bathil atau batal adalah jual beli yang tidak sesuai dengan
rukun dan akadnya (ketentuan asal/pokok dan sifatnya) atau tidak dibenarkan
oleh syariah Islam;
e. Bai’
al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (efek
syariah) yang belum
dimiliki (short selling);
f. Ikhtikar,
yaitu membeli suatu barang yang sangat diperlukan masyarakat pada saat harga
mahal dan menimbunnya dengan tujuan untuk menjualnya kembali pada saat harganya
lebih mahal;
g. Taghir,
yaitu upaya mempengaruhi orang lain, baik dengan ucapan maupun tindakan yang
mengandung kebohongan, agar terdorong untuk melakukan transaksi;
h. Ghabn,
yaitu ketiadkseimbangan antara dua barang (objek) yang dipertukarkan dalam
suatu akad, baik segi
kualitas maupun kuantitas;
i. Talaqqi
al-rukban, yaitu bagian dari ghabn atau jual beli atas barang
dengan harga jauh di bawah harga pasar karena pihak penjual tidak mengetahui
harga tersebut;
j. Tadlis,
yaitu tindakan menyembunyikan kecacatan objek akad yang seolah-olah objek akad tersebut tidak
cacat;
k. Ghisysy,
yaitu satu bentuk tadlis atau penjual menjelaskan/memaparkan keunggulan barang
yang dijual serta menyembunyikan kecacatannya;
l. Tanjusy/Najsy
yaitu, tindakan menawar barang dengan harga lebih tinggi oleh pihak yang tidak
bermaksud membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak pihak yang berminat
membelinya;
m. Dharar
yaitu,
tindakan yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian bagi pihak lain;
n. Risywah
artinya, suatu pemberian yang bertujuan untuk mengambil sesuatu yang bukan
haknya, membenarkan yang bathil dan menjadikan yang bathil sebagai sesuatu yang
benar;
o. Maksiat
dan Zalim, yaitu perbuatan yang merugikan, mengambil atau menghalangi hak orang
lain yang tidak dibenarkan secara syariah, sehingga dapat
dianggap sebagai salah satu bentuk penganiayaan.
Meskipun
DIRE tersebut berbentuk konvensional. DIRE
konvensional dianggap sesuai Syariah jika tidak ada barang yang dilarang
Syariah, tidak ada pinjaman konvensional yang dilakukan oleh DIRE, dan DIRE
tidak menjalani transaksi yang dilarang oleh Syariah. Hal Ini bisa dianalogikan
dengan saham yang sesuai dengan Syariah.
M.
Syarat-syarat Penerbitan DIRE
KIK DIRE Syariah
dalam penerbitannya diatur dalam Pasal 4 dan 5 POJK No. 30 wajib mengikuti
peraturan perundang-undangan pasar modal dan harus memuat ketentuan sebagai
berikut:
a. Banak kustodian dan manajer investasi
merupakan wakil yang bertidak untuk mewakili kepentingan investor pemegang unit
DIRE Syariah yang berbenruk kontrak investasi
kolektif (KIK) sebagai pihak yang diwakili. Adapun
fungsi Bank Kustodian adalah sebagai tempat penitipan kolektif
sedang manajer investasi berfungsi sebagai pengelola portofolio KIK.
b. Aset real
estate, aset yang berkaitan dengan real estate, dan/atau kas dan
setara kas yang tidak beretentangan dengan prinsip Syariah di pasar modal;
c. Mekanisme aset real estate, aset
yang berkaitan dengan real estate, dan/atau kas dan setara kas yang
tidak beretentangan dengan prinsip Syariah di pasar modal;
d. Mempunyai kata “Syariah” pada dana
investasi real estate yang diterbitkan.
e. Akad dan skema transaksi syariah dalam penerbitan DIRE Syariah berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
f. Ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh
para pihak;
g. Besarnya nisbah pembayaran bagi
hasil, marjin, atau imbal jasa; dan
h. Rencana jadwal dan tata cara pembagian
dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa.[2]
Dalam penerbitan DIRE Syariah wajib memiliki keseuaian dengan
prinsip Syariah oleh Dewan Pengawas Syariah atau TIM Ahli
Syariah. Adapun hal-hal yang dilarang dalam
penerbita DIRE Syariah adalah (1) pendapatan yang bertentangan prinsip Syariah
yang berasal adari aset real estate lebih dari 10% dari total pendapat DIRE
Syariah. (2) Luas area real estate yang bertentangan dengan prinsip Syariah
lebih 10% dari total luas area real estate DIRE Syariah.[3]
Dalam
DIRE berbasis syariah, DIRE dirancang
sebagai instrumen syariah sejak awal, mulai dari konstruksi yang memenuhi
Prinsip Syariah di Pasar Modal dan dicatatkan di daftar efek Syariah
(DES) sepanjang waktu. Misalnya, hotel DIRE syariah dibuat dengan pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk memastikan
kepatuhan Syariah dalam hal pengoprasian dan struktur keuangannya. Oleh
karenanya manajemen hotel harus memastikan bahwa tidak ada alkohol dan
memastikan bahwa tamu non-mahram tidak memasuki hotel DIRE. ini bisa serupa
dengan Sukuk. Oleh karena itu,
tidak mungkin jika DIRE berbasis syariah akan disingkirkan dari DES karena
didesain dan diawasi oleh DPS.
Di Indonesia, OJK ataupun MUI tidak menetapkan DIRE syariah sebagai DIRE yang sesuai dengan prinsip Syariah atau DIRE yang berbasis Syariah. Di Indonesia DIRE syariah yang dimaksud adalah keduanya, sehingga ketika dimasa depan terdapat emiten yang menerbitkan DIRE sesuai prinsip Syariah atau berbasis syariah, maka DIRE tersebut disebut sebagai DIRE Syariah.
Label: saham syariah
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda