Pancasila dan Syariat Islam
PANCASILA DAN SYARIAT ISLAM
Ali Geno Berutu
ali_geno @ymail.com
Pada
awal kemerdekaan Indonesia terjadi tarik–menarik kepentingan antara banyak
ideologi perihal kedudukan agama dalam negara. Walaupun ummat Islam di
Indonesia adalah penduduk mayoritas, tapi hal ini bukan berarti penetapan Islam
sebagai dasar negara menjadi sesuatu yang mudah dilakukan, hal ini disebabkan
karena ummat Islam Indonesia tidak semuanya sepakat tentang apa yang seharusnya
dilakukan pemeluk Islam di Indonesia, setidaknya inilah alasan yang dikemukakan
oleh Fred Von Den Mehden.[1]
Proses
awal pembentukan negara Indonesia dihadapkan pada persoalan yang sangat krusial
yakni kesepakatan mengenai dasar negara.[2] Dalam sidang BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), permasalahan pokok yang
dibicarakan adalah mengenai bentuk dan dasar filsafat negara yang
bertalian dengan pembuatan konstitusi.[3] Pertarungan ideologi
yang melibatkan kelompok nasionalis – Islam dan nasionalis – sekuler dalam Piagam
Jakarta. Perdebetanpun terjadi mengenai kosnsep dasar negara bangsa dan
dasar negara Islam.[4]
Dasar negara kebangsaan diusung oleh tokoh-tokoh seprti, Soekarno, Muhammad
Hatta, Muhammad Yamin, Soepomo. Sedangkan utuk kalangan yang mendukung Islam
sebagai dasar negara direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti, KH. Wachid
Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Kahar Muzakkir.
Sidang
pertama BPUPKI dilakukan dengan rentang waktu 29 Mei – 1 Juni 1945, pada sidang
ini terjadi perdebatan yang sengit, dimana kelompok nasionalis – Islamis
menghendaki agar Islam dijadikan sebagai dasar negara, sedangkan kelompok
nasionalis – sekuler tidak setuju dengan gagasan tersebut, dan lebih
berpandangan pada pemisahan agama dan negara. Perdebatan yang panas dan tajam
mengenai dasar negara pada akhirnya menghasilkan sebuah kompromi pada tanggal
22 Juni dalam bentuk rumusan yang dikenal dengan “Piagam Jakarta”.[5] Piagam Jakarata tesebut
merupakan hasil kerja tim yang diketuai oleh Soekarno dengan anggota tim yakni,
Muhammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakkir, Agus
Salim, Ahmad Subarjo, Wachid Hasjim dan Muhammad Yamin. Pada rumusan Piagam
Jakarta telah disepakati bahwa Pancasila sebagai dasar negara dengan sila
pertama yaitu ketuhan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta tesebut juga
disepakati masuk kedalam rumusan naskah konstitusi dasar negara Republik
Indonesia yang akan diproklamasikan.
Setelah
Proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan pada 17 Agustus 1945 masalah baru
tibul kembali, yakni adanya keberatan dari kelompok agama minoritas mengenai
tujuh kata dalam piagam Jakarta. Kelompok minoritas yang berasal dari Indonesia
Timur[6] seperti Bali, Maluku,
Plores dan Sulawesi mengancam tidak akan
mau bergabung dengan Indonesia jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta tetap
dimasukkan ke dalam Preambule UUD 1945.[7] Melalui perdebatan yang
panjang mengenai pro dan kontra tentang penghapusan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta, akhirnya dalam pertemuan yang mendadak yang dimotori oleh Soekarno dan
Muhammad Hatta, beberapa saat sebelum sidang PPKI dilakukan pada 18 Agustus
1945, terjadi penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta untuk pembukaan UUD
1945.
Kompromi
politikpun terjadi antara Muhammad Hatta yang mewakili kalangan nasionalis
dengan Kasman Singodimedjo yang mewakili dari kalangan Islam, kompromi politik
tersebut diambil guna untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang saat itu baru berusia satu tahun.[8] Kalangan Islam pada
akhirnya menyetujuai perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta“dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirubah
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” . Dalam sidang pada 18 Agustus 1945,
PPKI mensahkan UUD 1945 sebagai dasar konsitusi Indonesia dan mengakhiri
perdebatan dan perselisihan mengenai dasar negara Indonesia.
Reformasi
telah membuka jalan bagi demokrasi dan sekaligus Islamisasi di Indonesia. Salah
satu produk dari demokrasi tersebut adalah otonomi daerah yang dimana sangat
memperngaruhi proses – Islamisasi di Indonesia. Pada era reformasi ini telah
membuka jalan bagi kelompok Islam yang lebih beragam untuk memperjuangkan
aspirasi Islam mereka yang sebulumnya mengendap. Seperti Forn Pembela Islam
(FPI), Laskar Jihad (LJ), Forum Komunikasi Ahlus – Sunnah wal-Jama’ah (FKAWJ),
Majelis Mujahdin Indonesia dan lain-lain.[9] Gerakan ini mencoba
memperjuangkan terwujudnya masyarakat Indonesia yang lebih Islami dengan
mengkampanyekan gerakan “amar ma’ru>f nahyi> munkar”. Dari
kalangan partai politik juga ikut mengupayakan formalisasi syariat Islam
di Indonesia, seperti partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dalam sidang tahunan MPR 2002 untuk mengamandemen[10] pasal 29 UUD 1945 dengan
memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan alasan agar formalisasi
syariat Islam mempunyai landasan konstitusi yang jelas di Indonesia.[11] Tapi pada akhirnya usaha
ini juga kandas karena tidak mendapat dukungan mayoritas diparlemen[12].
Yang menarik dalam hal ini adalah
dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah tidak mendukung dilakukan perubahan terhadap pasal 29 UUD
1945, hal ini dilakukan guna untuk menghindari terjadinya perdebatan dan
perselihan diantara masyarakat indonesia. Sebagaimana di ungkapkan oleh Hasim
Muzadi dari kalangan NU bahwa perjuangan untuk menegakkan syariat Islam di
Indonesia tidak realistis, dia mendesak supaya mengedepankan nilai-nilai
universal demi kemakmuran rakyat dan bukan mendorong gagasan syariat
Islam untuk diterapkan di Indonesia, senada dengan Hasim, Syafi’i Ma’arif dari
kalangan Muhammadiyah mengatakan bahwa kita harus berkomitmen untuk
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sebagaimana yang
diamanatkan oleh pendiri bangsa ini.[13] Anis Baswedan menjelaskan
bahwa fokus ummat Islam sekarang ini bukanlah menjadikan Islam sebagai dasar
negara Indonesia, tetapi bagaimana membawa warna Islam itu sendiri kedalam
kedalam kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen, inilah menurutnya yang menjadi
pendekatan syariah yang dilakukan oleh kedua ormas tersebut (NU –
Muhammadiyah).
Muhammad
Mahfud MD dalam pengantar buku Syarah Konstitusi Dalam Perspektif Islam
karangan Masdar Farid Mas’udi menjelaskan bahwa, Indonesia dengan dasar
Pancasila dan UUD 1945 merupakan suatu negara yang islami, tetapi bukan negara
Islam. Negara islami yang dimaksud Mahfud adalah negara yang secara resmi tidak
menggunakan nama dan simbol-simbol Islam akan tetapi subtansinya mengandung
nilai-nilai ajaran Islam. Seperi kepemimpinan yang adil, amanah, domokratis,
menghormati hak asasi manusia dan lain sebagainya.[14] Pemilihan dengan cara
pemuatan nilai subtantif ajaran Islam dalam konteks Indonesia
sekurang-kurangnya mempunyai dua argumen sebagai berikut:
Pertama,
didalam sumber primer ajaran Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada
keharusan bagi ummat Islam untuk membentuk negara Islam, yang terpenting adalah
adanya negara yang melindungi dan menjamin kebebasan untuk menjalakan ibadah
yang sesuai dengan ajaran Islam.[15] Kedua, tokoh-tokoh
Islam Indonesia pada masa lalu telah berjuang melalui jalur konstitusi
yang demokratis, dan menawarkan Islam sebagai dasar negara,[16] tetapi hasil kesepakatan
yang di peroleh melaui proses politik yang demokratis pula, yakni
menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.[17] Maka kesepakatan itu
harus diterima sebagai mi>tsa>qan ghali>dza> (kesepakatan
luhur) yang harus dijaga dan dilaksanakan secara konsekuen.
-----------------------------------------------------
NB: Tulisan ini merupakan bagian dari tesis saya yang bertudul : Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam "Kajian Atas Qanun Nomor 12, 13 dan 14 Tahun 2003" (Jika ada yang mengingikan versi tesisnya dapat menghubungi saya via email)
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda