Senin, 09 Maret 2015

STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah

Berkembangnya Islam sampai ke seluruh penjuru dunia, dan tetap bertahan sampai zaman sekarang ini, salah satu faktornya adalah kecerdasan sang pembawa risalah tersebut, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah tokoh dengan karakter yang paling hebat. Bahkan Michael J Hart[1] yang non muslim pun menempatkan beliau di urutan teratas dalam daftar 100 orang terhebat dalam buku karyanya. Salah satu bukti kehebatan Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, atau Shulhul Hudaibiyah.

1.      Sejarah Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyyah (صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah, 6 H). Rasulullah dan para sahabat berada pada posisi sulit, karena seluruh prosesi pelaksanaan ibadah Haji bertempat di Makkah sedangkan pada saat itu Makkah dikuasai oleh kaum kafir Quraisy.
Quraisy menganggap Rasulullah dan pengikut-pengikutnya telah mengingkari berhala-berhala yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke Ka'bah adalah suatu kewajiban bagi Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali kepada dewa-dewa nenek-moyangnya. Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu, kaum Muhajirin sendiri pun sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan—tersiksa dalam pembuangan, tertekan karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja, mereka semua yakin akan adanya pertolongan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada mereka.[2]  
Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan 'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Untuk mendapat kepercayaan kaum kafir Quraisy bahwa kedatangan Rasulullah dan kaum Muslimin adalah murni untuk melakukan ibadah umrah maka Rasulullah memerintahkan beberapa hal, pertama agar perjalanan dilakukan melalui rute yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum kafir Quraisy, kedua Rasulullah memerintahkan agar hewan hadyu untuk pelaksanaan ibadah umrah ditandai agar tidak disangka sebagai kendaraan perang dan Ketiga kaum Muslimin diperintahkan untuk melakukan perjalanan dengan pedang disarungkan untuk memperlihatkan bahwa perjalanan dilakukan bukan bermaksud untuk melakukan penyerangan. Muhammad juga membawa binatang qurban yang terdiri dari 70 ekor unta, juga mengenakan pakian ihram[3]
Cara ini akan menghilangkan kecurigaan orang-orang Quraisy, dengan meyakinkan mereka akan maksud damai umat Islam. Dan memang sudah men-tradisi dikalangan Arab siapa saja yang melakukan peribadatan di al-Masjid al-Haram pada bulan-bulan suci, maka terjamin keamanannya. Dalam hal ini Allah berfirman QS Al-Baqarah: 217:
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah
Berita tentang keberangkatan rombongan Nabi ini terdengar oleh orang-orang Musyrik Mekkah. Mereka pun menyiapkan satu pasukan tentara  dengan pasukan berkuda sebanyak 200 orang. Pasukan ini di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abi Jahal. Pasukan ini bergerak menyongsong kedatangan rombongan Nabi Muhammad, dan mereka berkemah di Dzu Thuwa.
Dari Dzul Hulaifah rombongan Nabi bergerak terus menuju Mekkah. Tetapi sesampainya di ‘Usfan, rombongan ini bertemu dengan seseorang dari suku Banu Ka’ab. Nabi bertanya kalau-kalau ia mengetahui berita sekitar orang-orang Quraisy. Orang tersebut menjelaskan : “Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini. Lalu mereka berangkat dengan menekan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dzu Thuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin Walid dengan pasukan berkudanya sudah maju terus ke Kiral Ghanim.”.
Nabi mempertimbangkan, bila mereka terus melakukan perjalanan dan bertemu dengan pasukan Quraisy tersebut, tentulah akan terjadi pertumpahan darah. Padahal sejak awal beliau sudah memutuskan bahwa tidak akan ada darah yang tetumpah. Mereka bermaksud memasuki Mekkah dengan damai, aman dan tenteram. Dalam suasana seperti itu, dari kejauhan sayup-sayup terlihat kepulan debu dari pasukan Musyrik Makkah tersebut. Nabi kemudian berseru kepada anggota rombongannya, siapa diantara mereka yang mengetahui jalan lain untuk mencapai Mekkah. Mendengar itu seseorang maju ke depan yang mengetahui jalan lain menuju Mekkah tersebut.
Namun jalannya berliku-liku dan sangat sulit dilalui. Nabi menyetujui hal itu, lalu memerintahkan rombongan untuk menmepuh jalan tersebut. Akhirnya mereka sampai ke satu tempat bernama Thaniat al-Murar, jalur menuju ke Hudaybiyah yang terdapat di sebelah bawah kota Mekkah. Ternyata kawasan tersebut sangat kerontang, tiada satupun sumber mata air. Mndengar itu Rasulullah mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikan kepada seseorang anggota rombongan kemudian dibawa ke salah satu sumur yang terdapat di kawasan itu. Bila anak panah itu ditancapkan ke dalam pasir pada salah satu sumur tetsrebut airpun memancar.
Ketika hampir sampai di kota Makah mereka melihat kaum Quraisy bersiap-siap untuk mencegah mereka dengan senjata. Buda’il kepala suku Khuza’ah, meskipun bukan seorang muslim, bersikap baik terhadap Islam. Dia membawa kabar ini kepada Nabi dan selanjutnya mengirimkannya kembali untuk melaporkan kepada kaum Quraisy bahwa umat Islam datang untuk melaksanakan ibadah haji bukan untuk berperang. Kepada kaum Quraisy juga diiusulkan agar menerima perdamaian dengan mereka selama masa tertentu. Karena telah mengirim pesan kepada kaum Quraisy, umat Islam berhenti di Hudaibiyah.
Kaum  Quraisy, walaupun begitu tetap menyiagakan pasukannya untuk menahan Rasulullah dan para sahabat agar tidak masuk kota Makkah. Pada waktu itu, bangsa Arab bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Pada awalnya beliau mengutus Umar Ibnul-Khattab, namun sekali lagi Nabi Muhammad mencoba mengirim utusan. Pertama sekali maksud tersebut dibebankan kepada Umar bin Khattab. Tetapi Umar menolak dengan mengatakan :” Rasulullah, saya kahawatir Quraisy akan mengadakan tindakan kepada saya, mengingat di Mekkah tidak ada pihak Banu ‘Adi bin Ka’ab yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih dalam hal ini dari pada saya, yakni Usman bin ‘Affan.”.
Usman pun dipanggil oleh Nabi untuk melaksanakan tugas sebagai utusan kepada pihak Quraisy. Pertama sekali ia diperintahkan untuk bertemu dengan Abu Sufyan. Dan ketika Usman sudah bertemu dengan mereka, ia diperintahkan untuk mengehentikan keinginan untuk masuk Mekkah. Kalau ia sendiri mau thawaf silakan thawaf. Tetapi Usman menampik bujukan tersebut. Dia baru mau thawaf kalau Nabi juga dan beserta rombongan dapat pula thawaf bersama sama.
Perundingan antara Utsman bin ‘Affan dan para pemimpin Quraisy memakan waktu agak lama, sehingga tersiar kabar di kalangan kaum Muslimin bahwa Utsman telah dibunuh. Tiada pilihan lain bagi mereka kecuali menuntut balas, sambil berdiri di sebatang pohon beliau mengumpulkan semua sahabatnya untuk membulatkan tekad dan bersiap-siap menghadapi kaum musyrikin Quraisy.
Mereka mengikrarkan sumpah setia akan tetap membela Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan bagaimanapun juga. Peristiwa tersebut dalam sejarah Islam terkenal dengan nama “Bai’atur-Ridhwan, yaitu : Pernyataan janji setia yang diridhoi Allah, yang kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an. Peristiwa bai’at, yang berlangsung di bawah pohon Samrah, seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Salmah bin Akwa’, menjadi asbab nuzulnya  firman Allah : QS. Al-Fath:18.
* ô‰s)©9 š_ÅÌu‘ ª!$# Ç`t㠚úüÏZÏB÷sßJø9$# øŒÎ) štRqãè΃$t7ム|MøtrB Íotyf¤±9$# zNÎ=yèsù $tB ’Îû öNÍkÍ5qè=è% tAt“Rr'sù spuZŠÅ3¡¡9$# öNÍköŽn=tã öNßgt6»rOr&ur $[s÷Gsù $Y6ƒÌs% ÇÊÑÈ  
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
Tekat umat Islam untuk mengorbankan jiwa mereka dalam mempertahan kan agama mereka, membuat orang Quraisy menjadi sadar. Pengalaman mereka yang telah lalu berfaedah sekali bagi mereka. Sekarang mereka dapat menyadari apa arti tekat umat Islam itu. Karena itu mereka menugaskan Suhel Ibn Amar untuk melanjutkan perundingan damai. Suatu genjatan senjata disetujui dengan memulihkan perdamaian diantara kedua belah pihak dalam jangka waktu 10 tahun. Pasal-pasal pokok perjanjian[8] itu adalah sebagai berikut :
1.      Nabi Muhammad dan kaum-Nya pada tahun ini harus kembali tanpa melaksanakan ibadah haji. Tahun depan mereka boleh datang untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak beleh lebih dari tiga hari.
2.      Kedua belah pihak tidak saling menyerang (mengadakan gencatan senjata) selama 10 (sepuluh) tahun.
3.      Siapa saja dari pihak Quraisy yang berkeinginan bergabung dengan pihak Muhammad (Islam) maka diperkenankan. Demikian juga sebaliknya pihak Islam yang bergabung dengan pihak Quraisy maka dianggap bagian dari mereka.
4.      Siapa saja yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya maka harus dikembalikan. Dan siapa saja yang datang kepada pihak Quraisy dari golongan Muhammad maka tidak dikembalikan
Sekilas isi perjanjian tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi Kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum Quraisy Mekah[9]. Ini bisa kita cermati satu persatu isinya:
  1. Gencatan senjata sudah tidak diperlukan oleh Kaum Muslimin, mengingat setelah Perang Ahzab/ Khandaq, Kaum Quraisy sudah putus asa dalam memerangi Kaum Muslimin. Dan itu dibuktikan bahwa mereka tidak berani memerangi Kaum Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
  2. Jika penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah Kaum Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan Kaum Quraisy tidak akan melemah.
  3. Jika penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang.
  4. Kaum Muslimin yang sudah capek- capek menempuh perjalanan harus pulang tanpa tercapai tujuannya yaitu berhaji. Ini tentu sangat mengecewakan mereka. Ditambah lagi sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa beliau bermimpi memasuki Mekah bersama- sama Kaum Muslimin dengan aman, dan mimpi beliau pasti terjadi. Jika ternyata apa yang beliau ucapkan tidak menjadi kenyataan, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka. Terlebih berita tersebut sudah menyebar di kalangan kaum munafiq dan Kaum Yahudi. Jika mereka tahu, tentu Nabi Muhammad SAW dan Kaum Muslimin akan menjadi bahan ejekan oleh mereka.
  5. Diperbolehkannya untuk kembali lagi, dan hanya tinggal selama 3 hari, maka waktu 3 hari ini tidak cukup untuk melaksanakan ibadah Haji. Apalagi tidak diperkenankan menghunus pedang, maka ini adalah hal yang sangat merugikan.
Syarat-syarat itu tentu sangat tidak menyenangkan umat Islam, tetapi karena menghormati sikap perdamaian Nabi, mereka tetap diam. Kemurahan dan keluhuran budi Nabi didalam menyetujui perjanjian ini menyebabkan sedikit rasa tidak puas diantara pengikutnya. Akan tetapi, Nabi meyakinkan mereka akan pendirian yang benar dan meramalkan hasil ahir yang baik dari perjanjian itu.
Dengan hasil kesepakan seperti ini, maka kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dengan harapan akan kembali ke Makah pada tahun depan. Sebagian besar dari mereka pulang dengan parasaan barat hati. Kalau tidak karena perintah Nabi, mereka tidak akan dapat menahan hati. Tiada biasanya mereka menerima kekalahan atau menyerah tanpa berperang.[10]Dalam perjalanan menuju Madinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi yaitu surat al-Fath, Surat ini kemudian dibacakan Nabi kepada para sahabat-sahabat-Nya :

$¯RÎ) $oYóstFsù y7s9 $[s÷Gsù $YZÎ7•B ÇÊÈ   tÏÿøóu‹Ïj9 y7s9 ª!$# $tB tP£‰s)s? `ÏB šÎ7/RsŒ $tBur t¨zr's? ¢OÏFãƒur ¼çmtFyJ÷èÏR y7ø‹n=tã y7tƒÏ‰öku‰ur $WÛºuŽÅÀ $VJ‹É)tFó¡•B ÇËÈ   x8tÝÁZtƒur ª!$# #·ŽóÇtR #¹“ƒÍ•tã ÇÌÈ  
“Kami telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata; supaya Tuhan mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, dan Tuhan akan mencukupkan karunia-Nya kepadamu serta membimbing engkau ke jalan yang lurusdan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak)”
Turunnya ayat ini merupakaan kabar gembira yang menyejukkan jiwa mereka dan menyembuhkan luka hati. Mereka sangat yakin terhadap informasi yang datang dari Al-Qur’an karena mereka adalah generasi yang dibentuk oleh kitab tersebut. Bahwa ternyata perjanjian yang telah disepakati tersebut sebenarnya mengandung hikmah yang sangat besar. Seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Mas’ud r.a. dikatakan[11], “Sesungguhnya kalian menyangka kemenangan yang dimaksud ayat itu adalah ditaklukkannya Makkah, padahal kami mengatakan bahwa, yang dimaksud kemenangan adalah perjanjian damai di Hudaibiyah”.[12]
Ibnu Katsir mengatakan bahwa surat yang mulia ini turun ketika Rasulullah s.a.w kembali dari Hudaibiyah di bulan dzulqaidah tahun ke-6 H yang pada saat itu dihalang-halangi oleh kaum musyrikin untuk memasuki Masjidil Haram dalam menunaikan umroh. Kaum musyrikin cenderung untuk mengadakan perjanjian dan gencatan senjata serta meminta Rasulullah s.a.w pulang pada tahun ini dan kembali lagi pada tahun berikutnya. Tawaran ini disambut oleh Rasulullah s.a.w meskipun tampak kekurangsukaan diwajah sebagian sahabat, diantaranya Umar bin Khottob r.a. Setelah mereka menyembelih hewan-hewan kurbanya dan pada saat pulang kemudian Allah s.w.t menurunkan surat ini yang menceritakan tentang apa yang terjadi diantara Rasulullah s.a.w dengan mereka—orang-orang Quraisy—dan menyatakan bahwa perjanjian tersebut adalah kemenangan dikarenakan berbagai maslahat yang ada didalamnya.[13]
5.      Perjanjian Hudaibiyah dan Strategi Politik Nabi
Pada saat itu kondisi psikis Kaum Muslimin sangat tertekan. Mereka tidak percaya bahwa pemimpin mereka yang sangat cerdas mau menerima perjanjian itu begitu saja. Bahkan Umar bin Khattab r.a sempat memprotes secara halus tentang isi perjanjian ini. Bahkan ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan Kaum Muslimin untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebagai tanda berakhirnya ibadah Haji, tidak ada satupun yang melaksanakannya karena rasa heran lebih menguasai pikiran mereka. Kalaulah bukan karena usul Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad SAW, mungkin mereka akan tetap terpaku dalam keadaan seperti itu.
            Namun ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai pandangan yang orang lain tidak mampu menangkapnya. Dan hal ini tidak pernah beliau beri tahukan kepada sahabat- sahabat beliau, bahkan kepada Abu Bakar r.a dan Umar r.a. Ini beliau lakukan demi menjaga rahasia strategi beliau. Maka beliau membiarkan para sahabat dan Kaum Muslimin dalam keadaan seperti itu. Ternyata, setelah kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran bahwa paling tidak ada 5 hal penting yang beliau ambil dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut:
  1. Perjanjian ini ditandatangani oleh Kaum Quraisy dengan Suhail bin Amr sebagai wakilnya. Suku Quraisy adalah suku paling terhormat di daerah Arab, sehingga siapapun akan menghormati apa yang mereka tentukan. Dengan penandatanganan perjanjian ini, maka Madinah diakui sebagai suatu daerah yang mempunyai otoritas sendiri. Jika Suku Quraisy telah mengakui, maka suku- suku lain pun pasti mengakuinya.
  2. Dengan perjanjian ini, maka pihak Quraisy (Mekah) memberi kekuasaan kepada Madinah untuk menghukum mereka jika menyalahi perjanjian tersebut. Ternyata sangat hebat konsekuensi dari perjanjian ini. Kaum Muslimin Madinah yang tadinya dianggap bukan apa- apa, sejak perjanjian itu dibuat bisa menghukum suku yang paling terhormat di Arab.
  3. Perjanjian ini menjadi payung legalitas kaum Muslimin dalam berdakwah di jazirah Arab, termasuk di Mekkah. Karena dalam perjanjian itu tidak boleh ada penyerangan dari kedua pihak. Termasuk perjanjian nomor 3 tidak menjadi sebuah kerugian bagi kaum Muslimin. Karena ketika ada seseorang dari Mekkah yang masuk Islam ia harus kembali ke Mekkah sebagai juru dakwah. Hingga justru perkembangan dakwah Islam di Mekkah menjadi signifikan, termasuk masuknya Khalid bin Walid ke dalam Islam tanpa ada satu orangpun yang bisa menghalangi.
  4. Perjanjian ini juga membuka keran dukungan kabilah-kabilah yang ada di Jazirah Arab untuk bersekutu dengan kaum Muslimin. Kabilah-kabilah yang tadinya sembunyi-sembunyi menyatakan dukungan pada kaum Muslimin, karena memandang Mekkah, setelah perjanjian ini terang-terangan menyatakan bersekutu dengan kaum Muslimin.
  5. Perjanjian ini mengajarkan kita, dalam fiqih pertimbangan yang ditulis Dr. Yusuf Al-Qordhowi bahwa dalam mengambil keputusan, kita harus mendahulukan kepentingan yang lebih luas dan lebih panjang. Lebih luas artinya membawa maslahat ke lebih banyak orang dan membawa mudhorot pada lebih sedikit orang. Lebih panjang artinya kemaslahatannya lebih tahan lama bahkan lebih berkembang dan kemudhorotannya tidak berlanjut.
            Maka dengan keuntungan yang didapat dari Perjanjian Hudaibiyah itu, Nabi Muhammad berusaha mengukuhkan status Madinah dengan cara mengutus berbagai utusan kepada pemimpin negara- negara tetangga, diantaranya Mesir, Persia, Romawi, Habasyah (Ethiopia), dan lain- lain. Selain itu beliau juga menyebar pendakwah untuk menyebarkan Agama Islam.
Kemudian dengan dijaminnya Quraisy tidak akan memusuhi Kaum Muslimin, maka Kaum Muslimin bisa dengan leluasa menghukum Kaum Yahudi Khaibar yang telah mendalangi penyerangan terhadap Kaum Muslim Madinah dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Ini yang beliau lakukan sehingga Kaum Yahudi pun di kemudian hari tidak berani lagi mengganggu Madinah.
Demikian juga dengan dibolehkannya umat Islam melakukan ibadah haji, merupakan suatu pengakuan dari mereka bahwa Islam adalah agama yang sah diakui diantara agama-agama di jazirah Arab.
Berkat perjanjian Hudaibiyan ini, maka pada tahun yang telah ditentukan (satu tahun kemudian), obsesi umat Islam menjadi kenyataan. Di Makah banyak orang yang membuka pintu hatinya untuk menerima ajakan orang-orang Islam betapapun kondisi mereka dalam pengawasan pemerintah Quraisy[14]
Masuknya Muhammad ke Makah merupakan langkah yang mempunyai makna stategis bagi terjalinnya hubungan Muhammad dengan berbagai suku. Ibadah haji kali ini telah membuka peluang bagi orang-orang Islam untuk mengadakan dialog dengan mayoritas warga Makah dan warga suku-suku yang lain dengan melancarkan dakwah kepada mereka untuk memeluk agama Islam. Semua itu dapat dilakukan dengan mulus tanpa ancaman yang berarti, bahkan sekalipun dari pihak-pihak yang tidak mau menerima ajakan Muhammad. Tak ada lagi keberanian melakukan ancaman terhadap orang-orang Islam secara terang-terangan dan biadab sebagaimana masa-masa yang silam.
Demikian halnya dengan adanya gencatan senjata, maka Muhammad dengan leluasa menjalin komusikasi dengan penguasa-penguasa diluar zarirah Arab. Muhammad menulis surat yang dikirim kepada raja-raja dan penguasa diluar semenanjung Arab yang isinya berupa ajakan untuk bergabung dalam satu ajaran. Muhammad mengutus kurir yang ditugaskan untuk menyampaikan suratnya pada Heraklius, Kisra, Muqauqis, Najasyi (Negus) di Abisinia, kapada Haristh al-Ghassani dan kepada penguasa Kisra di Yaman.[15] Demikian juga surat dikirim kepada penguasa Bashra di Siria. Isi surat itu adalah ajakan untuk memeluk agama Islam.[16]Muhammad mengetahui daerah Basrah pada masa Ramawi selalu mengalami perderitaan. Dan secara khusus Muhammad menggugah keadilan dan melepaskan manusia dari kesewenang-wenangan yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.[17]
6.    Sebuah Kemenangan Besar

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah insan sempurna. Semua tindak-langkah dan pemikirannya adalah pengejawantahan wahyu Sang Maha Kuasa. Kekecewaan para Sahabat tidak lain karena mereka tidak dapat menjangkau maksud tersembunyi di balik Perjanjian Hudaibiyah. Mereka baru menyadari hal itu setelah turun QS al-Fath (48): 1-2 dan 27 dalam perjalanan pulang ke Madinah.

Setelah itu, mereka bisa melihat hasilnya. Kaum Muslimin yang masuk Islam pasca Hudaibiyah jauh lebih banyak dari pada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiyah sekitar 1.400. Tapi dua tahun kemudian (saat Fathu Makkah), jumlah umat Islam sudah mencapai 10.000. Setelah peristiwa ini, Abu Bakar berkomentar, “Belum pernah Islam meraih kemenangan, sebesar kemenangan yang diraih melalui Perjanjian Hudaibiyyah.”
Analisis berikut mengurai betapa poin-poin perjanjian tersebut, yang sekilas merugikan pihak kaum Muslimin, justru menjadi sarana yang sangat ampuh dalam menggapai kejayaan. Hal itu sekaligus menunjukkan kehebatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam berdiplomasi dan visi luar biasa beliau dalam berpolitik. Ada banyak keuntungan yang diraih kaum Muslimin melalui perjanjian Hudaibiyah, antara lain:

Pertama, Islam diakui sebagai agama dan kaum Muslimin diberi hak sama untuk beribadah haji. Sebelum itu, Islam tidak diterima sebagai agama, tapi dianggap sebuah penyelewengan dari ajaran nenek moyang. Dan meski kaum Muslimin dilarang melakukan haji tahun itu, tapi untuk selanjutnya mereka bebas melakukannya tanpa ada yang bisa menghalangi.

Kedua,secara politik, pihak Quraisy mengakui kedaulatan negara Madinah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin. Kaum Muslimin tidak lagi dipandang sebagai pembangkang, tetapi sudah tegak sama tinggi dan duduk sama rendah di tengah komunitas Arab.

Dan sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang tidak memaksa memasuki Makkah turut mengundang simpati kabilah-kabilah Arab, khususnya kalangan Badui. Usai perjanjian ditandatangani, sebagian besar Badui memilih beraliansi dengan Madinah. Demikian pula Bani Khuza’ah, suku besar dan yang posisinya dekat dengan Makkah yang langsung bergabung dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan sesuai tradisi Arab, pimpinan Khuza‘ah menikahkan putrinya (Juwairiyah binti al-Harits) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Ketiga, secara militer, kaum Muslimin tidak lagi disibukkan oleh konfrontasi mereka dengan pihak Quraisy. Ketika kaum Muslimin menyerang Yahudi Khaibar (7 H), pihak Quraisy tidak bisa membela mereka sebab adanya klausul gencatan senjata yang tersirat dalam perjanjian.

Keempat, semakin terbukanya jalur dakwah penyebaran Islam. Ini merupakan efek positif dari ketiga keuntungan di atas. Dengan diizinkan beribadah haji, kaum Muslimin berpeluang untuk berdakwah kepada suku Quraisy dan yang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga leluasa menjalin komunikasi dengan para penguasa di luar Arab dan mengajak mereka ke dalam Islam (7 H).

Dan klausul keempat, yang jelas-jelas “merugikan” umat Islam, ternyata membawa manfaat tersendiri. Kaum Muslimin di Makkah–meski dilarang pindah ke Madinah–cukup tinggal di Makkah dan bisa menyebarkan Islam kepada sanak keluarga. Sementara kaum Muslimin yang hendak pulang ke Makkah, mereka adalah kaum murtad yang keberadaannya akan merugikan jika tetap tinggal di Madinah.

Kasus Abu Bashir juga memberikan efek positif yang luar biasa. Abu Bashir ‘Utbah bin Usaid adalah seorang Muslim yang ditawan di Makkah. Tak lama setelah Perjanjian Hudaibiyah, ia melarikan diri ke Madinah. Tapi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyuruhnya kembali ke Makkah kerena terikat dengan perjanjian. Abu Bashir tak sudi kembali. Ia malah membunuh utusan Quraisy yang menjemputnya dalam perjalanan ke Makkah. Selanjutnya, bersama hampir 70 orang Islam pelarian dari Makkah, ia merampok setiap kafilah dagang Quraisy yang hendak berangkat ke Syam. Situasi ini memaksa pembesar Quraisy mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menghapus poin keempat ini.

Di luar empat keuntungan di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bergerak ke arah penyelesaian konflik secara damai, dan meninggalkan pemecahan dengan jalan kekerasan yang menjadi tradisi Arab sebelumnya.
7.      Kemenangan Besar Dalam Perjanjian Hudaibiyah
Kunci Rasulullah mengalahkan seluruh unsur agresor di perang Ahzab adalah perjanjian Hudaibiyah. Mengapa bisa dikatakan demikian? karena Quraisy adalah motor utama dari koalisi pasukan Ahzab, yang mungkin saja di kemudian hari melakukan hal yang sama. Perjanjian Hudaibiyah itu menjinakkan Quraisy dengan sedikit saja hal yang mereka anggap menguntungkan. Tapi memastikan Quraisy tidak akan ikut campur atas apa yang terjadi pada Agresor Ahzab lain yang menyerang Madinah.
Mari kita perhatikan apa yang dilakukan Rasulullah setelah pulang ke madinah setelah perjanjian Hudaibiyah dilakukan, Hal ini saya sebut sebagai dampak dari perjanjian Hudaibiyah, yaitu :
a.       Menaklukkan Bani Nadhir dari kalangan Yahudi. Dikenal dengan bentengnya yang kuat yaitu benteng Khaibar. Terhapuslah satu unsur kekuatan Ahzab.
b.      Menaklukkan Banyak suku Badui dari berbagai kalangan.
c.       Memastikan Suku-suku badui yang tidak termasuk dalam koalisi Ahzab untuk tidak bersekutu dengan Quraisy, bahkan menjadi bagian dari sekutu umat Islam.
d.      Berkirim surat kepada raja-raja. Siapa pun sah-sah saja berkirim surat kepada raja. Tapi Rasulullah berkirim surat dalam posisi memiliki kekuatan politis dan dauli. Kalaulah mereka menolak ajakan Rasulullah, maka eksistensi keberadaannya sudah di akui.
e.       Dan yang tak kalah dahsyat adalah Perang Mu’tah. Pasukan sejumlah 3000 orang melawan 100.000. orang tentara Romawi. Tidak ada sejarahnya Pasukan romawi bisa dikalahkan atau dipukul mundur. Kita sendiri hanya bisa mendengar di kisah komik fiktif yang berjudul Asterix yang didukung ramuan obat kuat dukun panoramix dan si subur Obelix. Adapun di dunia nyata dipukul mundur oleh kaum muslimin. Sekalipun pada dasarnya tidak tuntas dikalahkan, tapi dipukul mundur. Sepulang dari Mu’tah, kabar menggemparkan ini sampai ke seantero jazirah Arab. Tidak sedikit kabilah dan penguasa yang berbondong masuk Islam karena menyimpulkan : “Tidak mungkin ada yang bisa mengalahkan rumawi, kecuali memang dibantu Allah. Dan tidak mungkin dibantu Allah kecuali Muhammad memang hamba dan utusannya”. Ada juga Kabilah-kabilah yang membuat perjanjian dan menjadi sekutu Umat Islam sekalipun mereka tetap dalam agamanya.
f.        Dan ditinggalah Quraisy sendiri, atau hanya dengan sedikit sekali sekutu. Kabilah terbesar yang menjadi semakin sendiri. dan sebesar apapun kabilah Quraisy sebelum Hudaibiyah, mereka tidak akan pernah berani mengirim surat dakwah kepada raja Najasy, Raja habasyah, Persia, dan Imperium terbesar Heraklius. Apalagi setelah Mereka hanya tinggal sendiri atau hanya memiliki sedikit sekutu saja.[18]

8.      Peran Politik Perempuan Dalam Perjanjian Hudaibiyah
      Adapun perempuan yang menduduki posisi strategis dan berperan besar dalam   perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai tanah Mekkah.
Andaikata mereka lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini dapat dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, karena tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
                Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak.  
 Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah, mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah, kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi.[19]
Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan permasalahan yang rumit. Jika pendapat perempuan diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak melaksanakan nasehat Umu Salamah.[20]
9.      Penutup
Perjanjian Hudaibiyah merupakan titik awal kemenangan umat Islam dalam melakukan deplomasi dengan pihak Quraisy. Meski disangsikan oleh para sahabat Muhammad kokoh dalam pendiriannya karena baginya memenangan yang hakiki bukan pada waktu terjadinya perjanjian. Kemenangan yang sebenarnya adalah pasca terjadinya perjanjian. Ini berarti Muhammad merupakan pemimpin yang mempunyai pandangan kedepan, yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Maka terbukti ketika perjanjian berjalan selam satu tahun disaat umat Islam diperkenankan melakukan ibadah haji, maka pengaruh dari ritual itu sangat terasa sekali bagi perkembangan Islam. Ini disebabkan umat Islam diberi wewenang untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan famili-famili mereka yang masih kafir di Makah untuk diajak memeluk agama Islam. Meski ini disaksikan oleh orang-orang Quraisy, tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak karena terikat kontrak yang tidak akan saling memerangi selama 10 tahun. Ini adalah kemengan yang nyata sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah dalam surat al-Fath. Mudah-mudahan Islam tetap kokoh ditengah-tengah krisis moral.


10.  Daftar Pustaka
Michael H. Hart, The 100, a ranking of the most influential persons in
            history (New York: Publishing Company, 1978)

Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad : Ibadah Haji
Yang Pertama, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/28/lni2wy-sejarah-hidup-muhammad-saw-ibadah-haji-yang-pertama ( diakses pada tanggal 3 Desember 2014)
Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad (Cairo: Dar al-Ma’arif,
            1935)

Muhammad Husein Haikal, Hayatu Muhammad, (Cairo : Maktabah
            Nahdhah al-Mishriyyah, 1965)

Mahmudunnasir, Islam, Its Consepts and History, ter Adang Affandi,
            Cet 4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999)

Abd al-Aziz Salim, Tarikh al-Daulah al-Arabiyyah (Bairut: Dar al-
            Nahdhah al-Arabiyyah, 1986)

Islam Pos, Perjanjian Hudaibiyah, Bukti Kejeniusan Politik Nabi,
http://www.islampos.com/perjanjian-hudaibiyah-bukti-kejeniusan-politik-nabi-99285/ (diakses pada tanggal 08 Des 2014).
Tafsir Ibnu Katsir juz IV
Tafsir Ibnu Katsir juz VII

Siti Fatimah, “Dakwah Struktural, Studi Kasus Perjanjian
Hudaibiyah”, Jurnal Dakwah, Vol X No.1 Januari-Juni 2009

Abdurrahman al-Sharqawi, Muhammad Rasul al-Huriyyah, Ter Ilyas
            Siraj (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda