STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah
Berkembangnya Islam sampai ke seluruh penjuru dunia, dan tetap bertahan sampai zaman sekarang ini, salah satu faktornya adalah kecerdasan sang pembawa risalah tersebut, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah tokoh dengan karakter yang paling hebat. Bahkan Michael J Hart[1] yang non muslim pun menempatkan beliau di urutan teratas dalam daftar 100 orang terhebat dalam buku karyanya. Salah satu bukti kehebatan Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, atau Shulhul Hudaibiyah.
1.
Sejarah
Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyyah (صلح الحديبية)
adalah sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan
Mekkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah, 6 H). Rasulullah dan para
sahabat berada pada posisi sulit, karena seluruh prosesi pelaksanaan ibadah
Haji bertempat di Makkah sedangkan pada saat itu Makkah dikuasai oleh kaum
kafir Quraisy.
Quraisy menganggap Rasulullah dan pengikut-pengikutnya telah
mengingkari berhala-berhala yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu,
memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke Ka'bah adalah suatu
kewajiban bagi Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali kepada dewa-dewa
nenek-moyangnya. Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat
melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi
kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu, kaum Muhajirin sendiri pun
sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan—tersiksa dalam pembuangan, tertekan
karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja, mereka semua yakin akan
adanya pertolongan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada mereka.[2]
Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w.
beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan 'umrah
dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Untuk
mendapat kepercayaan kaum kafir Quraisy bahwa kedatangan Rasulullah dan kaum
Muslimin adalah murni untuk melakukan ibadah umrah maka Rasulullah
memerintahkan beberapa hal, pertama agar perjalanan dilakukan melalui
rute yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum kafir Quraisy, kedua
Rasulullah memerintahkan agar hewan hadyu untuk pelaksanaan ibadah umrah
ditandai agar tidak disangka sebagai kendaraan perang dan Ketiga kaum
Muslimin diperintahkan untuk melakukan perjalanan dengan pedang disarungkan
untuk memperlihatkan bahwa perjalanan dilakukan bukan bermaksud untuk melakukan
penyerangan. Muhammad juga membawa binatang qurban yang terdiri dari 70 ekor
unta, juga mengenakan pakian ihram[3]
Cara ini akan menghilangkan kecurigaan orang-orang Quraisy, dengan
meyakinkan mereka akan maksud damai umat Islam. Dan memang sudah men-tradisi
dikalangan Arab siapa saja yang melakukan peribadatan di al-Masjid al-Haram
pada bulan-bulan suci, maka terjamin keamanannya. Dalam hal ini Allah berfirman
QS Al-Baqarah: 217:
Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah
Berita tentang keberangkatan rombongan Nabi ini terdengar oleh orang-orang
Musyrik Mekkah. Mereka pun menyiapkan satu pasukan tentara dengan pasukan berkuda sebanyak
200 orang. Pasukan ini di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abi
Jahal. Pasukan ini bergerak menyongsong kedatangan rombongan Nabi Muhammad, dan
mereka berkemah di Dzu Thuwa.
Dari Dzul Hulaifah rombongan Nabi bergerak terus menuju Mekkah.
Tetapi sesampainya di ‘Usfan, rombongan ini bertemu dengan seseorang dari suku
Banu Ka’ab. Nabi bertanya kalau-kalau ia mengetahui berita sekitar orang-orang
Quraisy. Orang tersebut menjelaskan : “Mereka sudah mendengar tentang
perjalanan tuan ini. Lalu mereka berangkat dengan menekan pakaian kulit
harimau. Mereka berhenti di Dzu Thuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama
sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin Walid dengan pasukan
berkudanya sudah maju terus ke Kiral Ghanim.”.
Nabi mempertimbangkan, bila mereka terus melakukan perjalanan dan bertemu
dengan pasukan Quraisy tersebut, tentulah akan terjadi pertumpahan darah.
Padahal sejak awal beliau sudah memutuskan bahwa tidak akan ada darah yang tetumpah.
Mereka bermaksud memasuki Mekkah dengan damai, aman dan tenteram. Dalam suasana
seperti itu, dari kejauhan sayup-sayup terlihat kepulan debu dari pasukan
Musyrik Makkah tersebut. Nabi kemudian berseru kepada anggota rombongannya,
siapa diantara mereka yang mengetahui jalan lain untuk mencapai Mekkah.
Mendengar itu seseorang maju ke depan yang mengetahui jalan lain menuju Mekkah tersebut.
Namun jalannya berliku-liku dan sangat sulit dilalui. Nabi
menyetujui hal itu, lalu memerintahkan rombongan untuk menmepuh jalan tersebut.
Akhirnya mereka sampai ke satu tempat bernama Thaniat al-Murar, jalur menuju ke
Hudaybiyah yang terdapat di sebelah bawah kota Mekkah. Ternyata kawasan
tersebut sangat kerontang, tiada satupun sumber mata air. Mndengar itu
Rasulullah mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikan kepada
seseorang anggota rombongan kemudian dibawa ke salah satu sumur yang terdapat
di kawasan itu. Bila anak panah itu ditancapkan ke dalam pasir pada salah satu
sumur tetsrebut airpun memancar.
Ketika hampir sampai di kota Makah mereka melihat kaum Quraisy
bersiap-siap untuk mencegah mereka dengan senjata. Buda’il kepala suku
Khuza’ah, meskipun bukan seorang muslim, bersikap baik terhadap Islam. Dia
membawa kabar ini kepada Nabi dan selanjutnya mengirimkannya kembali untuk
melaporkan kepada kaum Quraisy bahwa umat Islam datang untuk melaksanakan
ibadah haji bukan untuk berperang. Kepada kaum Quraisy juga diiusulkan agar
menerima perdamaian dengan mereka selama masa tertentu. Karena telah mengirim
pesan kepada kaum Quraisy, umat Islam berhenti di Hudaibiyah.
Kaum Quraisy, walaupun begitu tetap menyiagakan pasukannya
untuk menahan Rasulullah dan para sahabat agar tidak masuk kota Makkah. Pada
waktu itu, bangsa Arab
bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Pada awalnya
beliau mengutus Umar Ibnul-Khattab, namun sekali lagi Nabi Muhammad mencoba
mengirim utusan. Pertama sekali maksud tersebut dibebankan kepada Umar bin
Khattab. Tetapi Umar menolak dengan mengatakan :” Rasulullah, saya kahawatir
Quraisy akan mengadakan tindakan kepada saya, mengingat di Mekkah tidak ada
pihak Banu ‘Adi bin Ka’ab yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup
mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka.
Saya ingin menyarankan orang yang lebih dalam hal ini dari pada saya, yakni
Usman bin ‘Affan.”.
Usman pun dipanggil oleh Nabi untuk melaksanakan tugas sebagai
utusan kepada pihak Quraisy. Pertama sekali ia diperintahkan untuk bertemu dengan Abu
Sufyan. Dan ketika Usman sudah bertemu dengan mereka, ia diperintahkan untuk
mengehentikan keinginan untuk masuk Mekkah. Kalau ia sendiri mau thawaf
silakan thawaf. Tetapi Usman menampik bujukan tersebut. Dia baru mau thawaf
kalau Nabi juga dan beserta rombongan dapat pula thawaf bersama sama.
Perundingan antara Utsman bin ‘Affan dan para pemimpin Quraisy
memakan waktu agak lama, sehingga tersiar kabar di kalangan kaum Muslimin bahwa
Utsman telah dibunuh. Tiada pilihan lain bagi mereka kecuali menuntut balas,
sambil berdiri di sebatang pohon beliau mengumpulkan semua sahabatnya untuk
membulatkan tekad dan bersiap-siap menghadapi kaum musyrikin Quraisy.
Mereka mengikrarkan sumpah setia akan tetap membela Allah dan
Rasul-Nya dalam keadaan bagaimanapun juga. Peristiwa tersebut dalam sejarah
Islam terkenal dengan nama “Bai’atur-Ridhwan”,
yaitu : Pernyataan janji setia yang diridhoi Allah, yang kemudian diabadikan
dalam Al-Qur’an.
Peristiwa bai’at, yang berlangsung di bawah pohon Samrah, seperti yang
diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Salmah bin Akwa’, menjadi asbab
nuzulnya firman Allah : QS. Al-Fath:18.
*
ôs)©9
_ÅÌu
ª!$#
Ç`tã
úüÏZÏB÷sßJø9$#
øÎ)
tRqãèÎ$t7ã
|MøtrB
Íotyf¤±9$#
zNÎ=yèsù
$tB
Îû
öNÍkÍ5qè=è%
tAtRr'sù
spuZÅ3¡¡9$#
öNÍkön=tã
öNßgt6»rOr&ur
$[s÷Gsù
$Y6Ìs%
ÇÊÑÈ
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang
ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
Tekat umat Islam untuk mengorbankan jiwa mereka dalam mempertahan
kan agama mereka, membuat orang Quraisy menjadi sadar. Pengalaman mereka yang
telah lalu berfaedah sekali bagi mereka. Sekarang mereka dapat menyadari apa
arti tekat umat Islam itu. Karena itu mereka menugaskan Suhel Ibn Amar untuk
melanjutkan perundingan damai. Suatu genjatan senjata disetujui dengan
memulihkan perdamaian diantara kedua belah pihak dalam jangka waktu 10 tahun.
Pasal-pasal pokok perjanjian[8]
itu adalah sebagai berikut :
1.
Nabi Muhammad
dan kaum-Nya pada tahun ini harus kembali tanpa melaksanakan ibadah haji. Tahun
depan mereka boleh datang untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak beleh
lebih dari tiga hari.
2.
Kedua belah
pihak tidak saling menyerang (mengadakan gencatan senjata) selama 10 (sepuluh)
tahun.
3.
Siapa saja dari
pihak Quraisy yang berkeinginan bergabung dengan pihak Muhammad (Islam) maka
diperkenankan. Demikian juga sebaliknya pihak Islam yang bergabung dengan pihak
Quraisy maka dianggap bagian dari mereka.
4.
Siapa saja yang
datang kepada Muhammad tanpa izin walinya maka harus dikembalikan. Dan siapa
saja yang datang kepada pihak Quraisy dari golongan Muhammad maka tidak
dikembalikan
Sekilas isi perjanjian tersebut sama
sekali tidak menguntungkan bagi Kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum
Quraisy Mekah[9]. Ini
bisa kita cermati satu persatu isinya:
- Gencatan senjata sudah tidak diperlukan oleh Kaum Muslimin, mengingat setelah Perang Ahzab/ Khandaq, Kaum Quraisy sudah putus asa dalam memerangi Kaum Muslimin. Dan itu dibuktikan bahwa mereka tidak berani memerangi Kaum Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
- Jika penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah Kaum Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan Kaum Quraisy tidak akan melemah.
- Jika penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang.
- Kaum Muslimin yang sudah capek- capek menempuh perjalanan harus pulang tanpa tercapai tujuannya yaitu berhaji. Ini tentu sangat mengecewakan mereka. Ditambah lagi sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa beliau bermimpi memasuki Mekah bersama- sama Kaum Muslimin dengan aman, dan mimpi beliau pasti terjadi. Jika ternyata apa yang beliau ucapkan tidak menjadi kenyataan, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka. Terlebih berita tersebut sudah menyebar di kalangan kaum munafiq dan Kaum Yahudi. Jika mereka tahu, tentu Nabi Muhammad SAW dan Kaum Muslimin akan menjadi bahan ejekan oleh mereka.
- Diperbolehkannya untuk kembali lagi, dan hanya tinggal selama 3 hari, maka waktu 3 hari ini tidak cukup untuk melaksanakan ibadah Haji. Apalagi tidak diperkenankan menghunus pedang, maka ini adalah hal yang sangat merugikan.
Syarat-syarat itu tentu sangat tidak menyenangkan umat Islam,
tetapi karena menghormati sikap perdamaian Nabi, mereka tetap diam. Kemurahan
dan keluhuran budi Nabi didalam menyetujui perjanjian ini menyebabkan sedikit
rasa tidak puas diantara pengikutnya. Akan tetapi, Nabi meyakinkan mereka akan
pendirian yang benar dan meramalkan hasil ahir yang baik dari perjanjian itu.
Dengan hasil kesepakan seperti ini, maka kaum Muslimin harus
kembali ke Madinah dengan harapan akan kembali ke Makah pada tahun depan.
Sebagian besar dari mereka pulang dengan parasaan barat hati. Kalau tidak
karena perintah Nabi, mereka tidak akan dapat menahan hati. Tiada biasanya
mereka menerima kekalahan atau menyerah tanpa berperang.[10]Dalam
perjalanan menuju Madinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi yaitu surat al-Fath,
Surat ini kemudian dibacakan Nabi kepada para sahabat-sahabat-Nya :
$¯RÎ) $oYóstFsù y7s9 $[s÷Gsù $YZÎ7B ÇÊÈ tÏÿøóuÏj9 y7s9 ª!$# $tB tP£s)s? `ÏB Î7/Rs $tBur t¨zr's? ¢OÏFãur ¼çmtFyJ÷èÏR y7øn=tã y7tÏökuur $WÛºuÅÀ $VJÉ)tFó¡B ÇËÈ x8tÝÁZtur ª!$# #·óÇtR #¹Ítã ÇÌÈ
“Kami
telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata; supaya Tuhan mengampuni
kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, dan Tuhan akan mencukupkan
karunia-Nya kepadamu serta membimbing engkau ke jalan yang lurusdan supaya
Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak)”
Turunnya ayat ini merupakaan kabar gembira yang menyejukkan jiwa
mereka dan menyembuhkan luka hati. Mereka sangat yakin terhadap informasi yang
datang dari Al-Qur’an karena mereka adalah generasi yang dibentuk oleh kitab
tersebut. Bahwa ternyata perjanjian yang telah disepakati tersebut sebenarnya
mengandung hikmah yang sangat besar. Seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Mas’ud
r.a. dikatakan[11],
“Sesungguhnya kalian menyangka kemenangan yang dimaksud ayat itu adalah
ditaklukkannya Makkah, padahal kami mengatakan bahwa, yang dimaksud kemenangan adalah
perjanjian damai di Hudaibiyah”.[12]
Ibnu
Katsir mengatakan bahwa surat yang mulia ini turun ketika Rasulullah s.a.w
kembali dari Hudaibiyah di bulan dzulqaidah tahun ke-6 H yang pada saat itu
dihalang-halangi oleh kaum musyrikin untuk memasuki Masjidil Haram dalam
menunaikan umroh. Kaum musyrikin cenderung untuk mengadakan perjanjian dan
gencatan senjata serta meminta Rasulullah s.a.w pulang pada tahun ini dan
kembali lagi pada tahun berikutnya. Tawaran ini disambut oleh Rasulullah s.a.w
meskipun tampak kekurangsukaan diwajah sebagian sahabat, diantaranya Umar bin
Khottob r.a. Setelah mereka menyembelih hewan-hewan kurbanya dan pada saat
pulang kemudian Allah s.w.t menurunkan surat ini yang menceritakan tentang apa
yang terjadi diantara Rasulullah s.a.w dengan mereka—orang-orang Quraisy—dan
menyatakan bahwa perjanjian tersebut adalah kemenangan dikarenakan berbagai
maslahat yang ada didalamnya.[13]
5. Perjanjian
Hudaibiyah dan Strategi Politik Nabi
Pada saat
itu kondisi psikis Kaum Muslimin sangat tertekan. Mereka tidak percaya bahwa
pemimpin mereka yang sangat cerdas mau menerima perjanjian itu begitu saja.
Bahkan Umar bin Khattab r.a sempat memprotes secara halus tentang isi
perjanjian ini. Bahkan ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan Kaum Muslimin
untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebagai tanda
berakhirnya ibadah Haji, tidak ada satupun yang melaksanakannya karena rasa
heran lebih menguasai pikiran mereka. Kalaulah bukan karena usul Ummu Salamah,
istri Nabi Muhammad SAW, mungkin mereka akan tetap terpaku dalam keadaan
seperti itu.
Namun ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai pandangan yang orang lain tidak mampu menangkapnya. Dan hal ini tidak pernah beliau beri tahukan kepada sahabat- sahabat beliau, bahkan kepada Abu Bakar r.a dan Umar r.a. Ini beliau lakukan demi menjaga rahasia strategi beliau. Maka beliau membiarkan para sahabat dan Kaum Muslimin dalam keadaan seperti itu. Ternyata, setelah kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran bahwa paling tidak ada 5 hal penting yang beliau ambil dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut:
Namun ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai pandangan yang orang lain tidak mampu menangkapnya. Dan hal ini tidak pernah beliau beri tahukan kepada sahabat- sahabat beliau, bahkan kepada Abu Bakar r.a dan Umar r.a. Ini beliau lakukan demi menjaga rahasia strategi beliau. Maka beliau membiarkan para sahabat dan Kaum Muslimin dalam keadaan seperti itu. Ternyata, setelah kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran bahwa paling tidak ada 5 hal penting yang beliau ambil dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut:
- Perjanjian ini ditandatangani oleh Kaum Quraisy dengan Suhail bin Amr sebagai wakilnya. Suku Quraisy adalah suku paling terhormat di daerah Arab, sehingga siapapun akan menghormati apa yang mereka tentukan. Dengan penandatanganan perjanjian ini, maka Madinah diakui sebagai suatu daerah yang mempunyai otoritas sendiri. Jika Suku Quraisy telah mengakui, maka suku- suku lain pun pasti mengakuinya.
- Dengan perjanjian ini, maka pihak Quraisy (Mekah) memberi kekuasaan kepada Madinah untuk menghukum mereka jika menyalahi perjanjian tersebut. Ternyata sangat hebat konsekuensi dari perjanjian ini. Kaum Muslimin Madinah yang tadinya dianggap bukan apa- apa, sejak perjanjian itu dibuat bisa menghukum suku yang paling terhormat di Arab.
- Perjanjian ini menjadi payung legalitas kaum Muslimin dalam berdakwah di jazirah Arab, termasuk di Mekkah. Karena dalam perjanjian itu tidak boleh ada penyerangan dari kedua pihak. Termasuk perjanjian nomor 3 tidak menjadi sebuah kerugian bagi kaum Muslimin. Karena ketika ada seseorang dari Mekkah yang masuk Islam ia harus kembali ke Mekkah sebagai juru dakwah. Hingga justru perkembangan dakwah Islam di Mekkah menjadi signifikan, termasuk masuknya Khalid bin Walid ke dalam Islam tanpa ada satu orangpun yang bisa menghalangi.
- Perjanjian ini juga membuka keran dukungan kabilah-kabilah yang ada di Jazirah Arab untuk bersekutu dengan kaum Muslimin. Kabilah-kabilah yang tadinya sembunyi-sembunyi menyatakan dukungan pada kaum Muslimin, karena memandang Mekkah, setelah perjanjian ini terang-terangan menyatakan bersekutu dengan kaum Muslimin.
- Perjanjian ini mengajarkan kita, dalam fiqih pertimbangan yang ditulis Dr. Yusuf Al-Qordhowi bahwa dalam mengambil keputusan, kita harus mendahulukan kepentingan yang lebih luas dan lebih panjang. Lebih luas artinya membawa maslahat ke lebih banyak orang dan membawa mudhorot pada lebih sedikit orang. Lebih panjang artinya kemaslahatannya lebih tahan lama bahkan lebih berkembang dan kemudhorotannya tidak berlanjut.
Maka
dengan keuntungan yang didapat dari Perjanjian Hudaibiyah itu, Nabi Muhammad
berusaha mengukuhkan status Madinah dengan cara mengutus berbagai utusan kepada
pemimpin negara- negara tetangga, diantaranya Mesir, Persia, Romawi, Habasyah
(Ethiopia), dan lain- lain. Selain itu beliau juga menyebar pendakwah untuk
menyebarkan Agama Islam.
Kemudian
dengan dijaminnya Quraisy tidak akan memusuhi Kaum Muslimin, maka Kaum Muslimin
bisa dengan leluasa menghukum Kaum Yahudi Khaibar yang telah mendalangi
penyerangan terhadap Kaum Muslim Madinah dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Ini yang
beliau lakukan sehingga Kaum Yahudi pun di kemudian hari tidak berani lagi
mengganggu Madinah.
Demikian
juga dengan dibolehkannya umat Islam melakukan ibadah haji, merupakan suatu
pengakuan dari mereka bahwa Islam adalah agama yang sah diakui diantara
agama-agama di jazirah Arab.
Berkat perjanjian Hudaibiyan ini, maka pada tahun yang telah ditentukan (satu tahun kemudian), obsesi umat Islam menjadi kenyataan. Di Makah banyak orang yang membuka pintu hatinya untuk menerima ajakan orang-orang Islam betapapun kondisi mereka dalam pengawasan pemerintah Quraisy[14]
Berkat perjanjian Hudaibiyan ini, maka pada tahun yang telah ditentukan (satu tahun kemudian), obsesi umat Islam menjadi kenyataan. Di Makah banyak orang yang membuka pintu hatinya untuk menerima ajakan orang-orang Islam betapapun kondisi mereka dalam pengawasan pemerintah Quraisy[14]
Masuknya
Muhammad ke Makah merupakan langkah yang mempunyai makna stategis bagi
terjalinnya hubungan Muhammad dengan berbagai suku. Ibadah haji kali ini telah
membuka peluang bagi orang-orang Islam untuk mengadakan dialog dengan mayoritas
warga Makah dan warga suku-suku yang lain dengan melancarkan dakwah kepada
mereka untuk memeluk agama Islam. Semua itu dapat dilakukan dengan mulus tanpa
ancaman yang berarti, bahkan sekalipun dari pihak-pihak yang tidak mau menerima
ajakan Muhammad. Tak ada lagi keberanian melakukan ancaman terhadap orang-orang
Islam secara terang-terangan dan biadab sebagaimana masa-masa yang silam.
Demikian
halnya dengan adanya gencatan senjata, maka Muhammad dengan leluasa menjalin
komusikasi dengan penguasa-penguasa diluar zarirah Arab. Muhammad menulis surat
yang dikirim kepada raja-raja dan penguasa diluar semenanjung Arab yang isinya
berupa ajakan untuk bergabung dalam satu ajaran. Muhammad mengutus kurir yang
ditugaskan untuk menyampaikan suratnya pada Heraklius, Kisra, Muqauqis, Najasyi
(Negus) di Abisinia, kapada Haristh al-Ghassani dan kepada penguasa Kisra di
Yaman.[15] Demikian juga surat
dikirim kepada penguasa Bashra di Siria. Isi surat itu adalah ajakan untuk
memeluk agama Islam.[16]Muhammad mengetahui daerah
Basrah pada masa Ramawi selalu mengalami perderitaan. Dan secara khusus
Muhammad menggugah keadilan dan melepaskan manusia dari kesewenang-wenangan
yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat
mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar.[17]
6.
Sebuah Kemenangan Besar
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam adalah insan sempurna. Semua tindak-langkah dan
pemikirannya adalah pengejawantahan wahyu Sang Maha Kuasa. Kekecewaan para
Sahabat tidak lain karena mereka tidak dapat menjangkau maksud tersembunyi di
balik Perjanjian Hudaibiyah. Mereka baru menyadari hal itu setelah turun QS
al-Fath (48): 1-2 dan 27 dalam perjalanan pulang ke Madinah.
Setelah itu,
mereka bisa melihat hasilnya. Kaum Muslimin yang masuk Islam pasca Hudaibiyah
jauh lebih banyak dari pada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiyah
sekitar 1.400. Tapi dua tahun kemudian (saat Fathu Makkah),
jumlah umat Islam sudah mencapai 10.000. Setelah peristiwa ini, Abu Bakar
berkomentar, “Belum pernah Islam meraih kemenangan, sebesar kemenangan yang
diraih melalui Perjanjian Hudaibiyyah.”
Analisis
berikut mengurai betapa poin-poin perjanjian tersebut, yang sekilas merugikan
pihak kaum Muslimin, justru menjadi sarana yang sangat ampuh dalam menggapai
kejayaan. Hal itu sekaligus menunjukkan kehebatan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam berdiplomasi dan visi luar biasa beliau dalam berpolitik. Ada
banyak keuntungan yang diraih kaum Muslimin melalui perjanjian Hudaibiyah,
antara lain:
Pertama, Islam diakui sebagai agama dan kaum Muslimin diberi hak sama untuk
beribadah haji. Sebelum itu, Islam tidak diterima sebagai agama, tapi dianggap
sebuah penyelewengan dari ajaran nenek moyang. Dan meski kaum Muslimin dilarang
melakukan haji tahun itu, tapi untuk selanjutnya mereka bebas melakukannya
tanpa ada yang bisa menghalangi.
Kedua,secara politik, pihak Quraisy mengakui kedaulatan negara Madinah dengan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin. Kaum Muslimin tidak
lagi dipandang sebagai pembangkang, tetapi sudah tegak sama tinggi dan duduk
sama rendah di tengah komunitas Arab.
Dan sikap Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam yang tidak memaksa memasuki Makkah turut mengundang simpati
kabilah-kabilah Arab, khususnya kalangan Badui. Usai perjanjian ditandatangani,
sebagian besar Badui memilih beraliansi dengan Madinah. Demikian pula Bani
Khuza’ah, suku besar dan yang posisinya dekat dengan Makkah yang langsung
bergabung dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan sesuai tradisi
Arab, pimpinan Khuza‘ah menikahkan putrinya (Juwairiyah binti al-Harits) dengan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Ketiga, secara militer, kaum Muslimin tidak lagi disibukkan oleh konfrontasi
mereka dengan pihak Quraisy. Ketika kaum Muslimin menyerang Yahudi Khaibar (7
H), pihak Quraisy tidak bisa membela mereka sebab adanya klausul gencatan
senjata yang tersirat dalam perjanjian.
Keempat, semakin terbukanya jalur dakwah penyebaran Islam. Ini merupakan efek
positif dari ketiga keuntungan di atas. Dengan diizinkan beribadah haji, kaum
Muslimin berpeluang untuk berdakwah kepada suku Quraisy dan yang lain.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga leluasa menjalin komunikasi dengan
para penguasa di luar Arab dan mengajak mereka ke dalam Islam (7 H).
Dan klausul
keempat, yang jelas-jelas “merugikan” umat Islam, ternyata membawa manfaat
tersendiri. Kaum Muslimin di Makkah–meski dilarang pindah ke Madinah–cukup
tinggal di Makkah dan bisa menyebarkan Islam kepada sanak keluarga. Sementara
kaum Muslimin yang hendak pulang ke Makkah, mereka adalah kaum murtad yang keberadaannya
akan merugikan jika tetap tinggal di Madinah.
Kasus Abu
Bashir juga memberikan efek positif yang luar biasa. Abu Bashir ‘Utbah bin
Usaid adalah seorang Muslim yang ditawan di Makkah. Tak lama setelah Perjanjian
Hudaibiyah, ia melarikan diri ke Madinah. Tapi Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam menyuruhnya kembali ke Makkah kerena terikat dengan perjanjian. Abu
Bashir tak sudi kembali. Ia malah membunuh utusan Quraisy yang menjemputnya
dalam perjalanan ke Makkah. Selanjutnya, bersama hampir 70 orang Islam pelarian
dari Makkah, ia merampok setiap kafilah dagang Quraisy yang hendak berangkat ke
Syam. Situasi ini memaksa pembesar Quraisy mendatangi Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan menghapus poin keempat ini.
Di luar empat
keuntungan di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bergerak ke
arah penyelesaian konflik secara damai, dan meninggalkan pemecahan dengan jalan
kekerasan yang menjadi tradisi Arab sebelumnya.
7.
Kemenangan Besar Dalam Perjanjian
Hudaibiyah
Kunci
Rasulullah mengalahkan seluruh unsur agresor di perang Ahzab adalah perjanjian
Hudaibiyah. Mengapa bisa dikatakan demikian? karena Quraisy adalah motor utama
dari koalisi pasukan Ahzab, yang mungkin saja di kemudian hari melakukan hal
yang sama. Perjanjian Hudaibiyah itu menjinakkan Quraisy dengan sedikit saja
hal yang mereka anggap menguntungkan. Tapi memastikan Quraisy tidak akan ikut
campur atas apa yang terjadi pada Agresor Ahzab lain yang menyerang Madinah.
Mari
kita perhatikan apa yang dilakukan Rasulullah setelah pulang ke madinah setelah
perjanjian Hudaibiyah dilakukan, Hal ini saya sebut sebagai dampak dari
perjanjian Hudaibiyah, yaitu :
a.
Menaklukkan Bani Nadhir dari
kalangan Yahudi. Dikenal dengan bentengnya yang kuat yaitu benteng Khaibar. Terhapuslah
satu unsur kekuatan Ahzab.
b.
Menaklukkan Banyak suku Badui
dari berbagai kalangan.
c.
Memastikan Suku-suku badui yang
tidak termasuk dalam koalisi Ahzab untuk tidak bersekutu dengan Quraisy, bahkan
menjadi bagian dari sekutu umat Islam.
d.
Berkirim surat kepada raja-raja.
Siapa pun sah-sah saja berkirim surat kepada raja. Tapi Rasulullah berkirim
surat dalam posisi memiliki kekuatan politis dan dauli. Kalaulah mereka menolak
ajakan Rasulullah, maka eksistensi keberadaannya sudah di akui.
e.
Dan yang tak kalah dahsyat adalah
Perang Mu’tah. Pasukan sejumlah 3000 orang melawan 100.000. orang tentara
Romawi. Tidak ada sejarahnya Pasukan romawi bisa dikalahkan atau dipukul
mundur. Kita sendiri hanya bisa mendengar di kisah komik fiktif yang berjudul
Asterix yang didukung ramuan obat kuat dukun panoramix dan si subur Obelix.
Adapun di dunia nyata dipukul mundur oleh kaum muslimin. Sekalipun pada
dasarnya tidak tuntas dikalahkan, tapi dipukul mundur. Sepulang dari Mu’tah,
kabar menggemparkan ini sampai ke seantero jazirah Arab. Tidak sedikit kabilah
dan penguasa yang berbondong masuk Islam karena menyimpulkan : “Tidak mungkin
ada yang bisa mengalahkan rumawi, kecuali memang dibantu Allah. Dan tidak
mungkin dibantu Allah kecuali Muhammad memang hamba dan utusannya”. Ada juga
Kabilah-kabilah yang membuat perjanjian dan menjadi sekutu Umat Islam sekalipun
mereka tetap dalam agamanya.
f.
Dan ditinggalah Quraisy sendiri,
atau hanya dengan sedikit sekali sekutu. Kabilah terbesar yang menjadi semakin
sendiri. dan sebesar apapun kabilah Quraisy sebelum Hudaibiyah, mereka tidak
akan pernah berani mengirim surat dakwah kepada raja Najasy, Raja habasyah,
Persia, dan Imperium terbesar Heraklius. Apalagi setelah Mereka hanya tinggal
sendiri atau hanya memiliki sedikit sekutu saja.[18]
8.
Peran Politik Perempuan Dalam
Perjanjian Hudaibiyah
Adapun perempuan yang menduduki posisi strategis dan berperan besar
dalam perjanjian Hudaibiyah di
antaranya, Ummu Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan
disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun
isi perjanjian sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah
penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian
ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai
tanah Mekkah.
Andaikata mereka lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan
peperangan, maka peperangan ini dapat dikatakan tragis, dalam arti pertempuran
akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di
Mekkah, karena tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara
sembunyi-sembunyi.
Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah
memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang
dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu
Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak.
Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu
wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada
titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau
bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah,
mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih
hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah
berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang
mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan
kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah
dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan
bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah,
kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi.[19]
Demikianlah Nabi
mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan permasalahan
yang rumit. Jika
pendapat perempuan diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak
sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak
melaksanakan nasehat Umu Salamah.[20]
9. Penutup
Perjanjian
Hudaibiyah merupakan titik awal kemenangan umat Islam dalam melakukan deplomasi
dengan pihak Quraisy. Meski disangsikan oleh para sahabat Muhammad kokoh dalam
pendiriannya karena baginya memenangan yang hakiki bukan pada waktu terjadinya perjanjian.
Kemenangan yang sebenarnya adalah pasca terjadinya perjanjian. Ini berarti Muhammad
merupakan pemimpin yang mempunyai pandangan kedepan, yang bisa memprediksi apa
yang akan terjadi di kemudian hari.
Maka
terbukti ketika perjanjian berjalan selam satu tahun disaat umat Islam
diperkenankan melakukan ibadah haji, maka pengaruh dari ritual itu sangat
terasa sekali bagi perkembangan Islam. Ini disebabkan umat Islam diberi
wewenang untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan famili-famili mereka yang
masih kafir di Makah untuk diajak memeluk agama Islam. Meski ini disaksikan
oleh orang-orang Quraisy, tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak karena
terikat kontrak yang tidak akan saling memerangi selama 10 tahun. Ini adalah
kemengan yang nyata sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah dalam surat al-Fath.
Mudah-mudahan Islam tetap kokoh ditengah-tengah krisis moral.
10. Daftar Pustaka
Michael H. Hart, The 100, a
ranking of the most influential persons in
history (New York:
Publishing Company, 1978)
Muhammad Husain Haekal, Sejarah
Hidup Muhammad : Ibadah Haji
Yang Pertama, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/28/lni2wy-sejarah-hidup-muhammad-saw-ibadah-haji-yang-pertama ( diakses pada
tanggal 3 Desember 2014)
Muhammad Husayn Haikal, Hayat
Muhammad (Cairo: Dar al-Ma’arif,
1935)
Muhammad Husein Haikal, Hayatu
Muhammad, (Cairo : Maktabah
Nahdhah
al-Mishriyyah, 1965)
Mahmudunnasir, Islam, Its
Consepts and History, ter Adang Affandi,
Cet
4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999)
Abd al-Aziz Salim, Tarikh
al-Daulah al-Arabiyyah (Bairut: Dar al-
Nahdhah
al-Arabiyyah, 1986)
Islam Pos, Perjanjian
Hudaibiyah, Bukti Kejeniusan Politik Nabi,
http://www.islampos.com/perjanjian-hudaibiyah-bukti-kejeniusan-politik-nabi-99285/ (diakses pada
tanggal 08 Des 2014).
Tafsir Ibnu Katsir juz IV
Tafsir Ibnu Katsir juz VII
Siti Fatimah, “Dakwah
Struktural, Studi Kasus Perjanjian
Hudaibiyah”, Jurnal
Dakwah, Vol X No.1 Januari-Juni 2009
Abdurrahman al-Sharqawi, Muhammad
Rasul al-Huriyyah, Ter Ilyas
Siraj
(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997)
Label: POLITIK
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda