RESUME DAN REVIEW DISERTASI
FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI
INDONESIA
Analisis Kasus Penerapan Hukum
Pidana Islam di NAD
YUNI
ROSLAILI
Oleh: Ali Geno Berutu
Oleh: Ali Geno Berutu
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam latar belakang, peneliti
memaparkan seputar perdebatan syariah dalam negara yang begitu panjang, disini
dikemukan beberapa pendapat dari para tokoh mengenai penerapan hukum syariat,
dijelaskan bahwa Islam adalah ajaran yang lengkap dan sempurna yang mengatur
seluruh kehidupan manusia, Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara
agama dan dunia, inilah yang dikenal dengan konsep Islam Din Wa Daulah.
Untuk Konteks
negara Indonesia, hubungan antara negara (Indonesia) dan agama (Islam) menjadi
unik, yang mengandung pengertian bahwa Indonesia bukan negara teokrasi dan
bukan negara sekuler secara utuh, sebagaimana telah ditulis oleh B.J. Boland
bahwa Indonesia bukanlah negara Islam sebagaimana yang di inginkan oleh
kelompok nasionalis Islam, dan juga bukan negara sekuler yang memasukkan agama
dan wilayah pribadi terpisah dari negara. Untuk Indonesia, ditinjau dari
perspektif religio-politis, syariat Islam dan negara adalah dua etnis
yang sepanjang sejarah Indonesia senantiasa bergulat dengan pergumulan dan
ketegangan abadi dalam memposisikan relasi agama (syariat Islam) dan negara,
antara proyek sekulerisasi dan Islamisasi dan masyarakat.
Ketegangan ini terjadi dalam dua tataran penting yang terjadi, yakni; Pertama,
tataran sscholastik atau bersifat teoritik-idealistik. Perdebatan
ini mencuat kepermukaan pada akhir tahub 1930-an antara Ir. Soekarno dan
Muhammad Natsir. Kedua, tataran realistik politik atau ideologis-empirik.
A.
Permasalahan
- Identifikasi Masalah
Masalah-masalah
yang muncul dari uraian sebelumnya setidaknya dapat di kelompokkan kedalam tiga
persoalan. Pertama, anggapan bahwa upaya positivisasi syariat Islam
sebagai upaya menuju pembentukan negara Islam, kedua, hubungan antara
negara (Indonesia) dan syariat dalam konteks formalisasi hukum Islam di
Indonesia, ketiga, ketentuan hukum Islam yang diatur dalam qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
- Pembatasan Masalah
Penelitian ini
pada hukum pidana Islam sebagai produk
politik nasional secara umum dan produk hukum lokal, yang lahir di daerah dalam
hal ini Nanggroe Aceh Darussalam. Formalisasi syariat Islam yang dimaksudkan
adalah upaya memasukkan syariat Islam kedalam hukum nasional. Produk
perundang-undangan lokal yang menjadi objek kajian penelitian adalah Qanun
Nomor 12 Tahun 2003 tentang larangan Khamar. Qanun Nomor 13 Tahun 2003
tentang Maisyir (perjudian) dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang
larangan Khalwat.
- Perumusan Masalah
a.
Apakah benar penerapan syariat Islam berbanding lurus
dengan pembentukan Negara Islam?
b.
Bagaimana hubungan antara negara dan syariat dalam
konteks formalisasi hukum Islam?
c.
Bagaimana bentuk hukum pidana Islam di Indonesia dan di
Nanggroe Aceh Darussalam
- Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Dalam disertasi
ini dituliskan beberapa karya terdahulu yang relevan, yaitu : Buku karya M.B
Hooker, Indonesian Sharia: Defining a National School of Islamic Law
(2008). Kajian R.. Michael Feener, Muslim Legal Thought In Indonesian
(2007), buku Islamic Law in Contemporary Indonesian: Ideas and Institutions,
di edit oleh R. Michael Feener dan Mark E. Commack (2007). Abdullah Ahmed
An-Na’i@m, Islam dan Negara Sekuler Menegosiasikan Masa Depan Syariah
(2007). Sharia and Politic In Indonesia (2007) yang di edit oleh
Azumardi Azra dan dan Arskal salim. Tulisan Tim Lindsey,, M.B Hooker, Ross
Clarke dan Jeremy Kinggsley, tentang kebangkitan syariat Islam di Aceh. Adanya
hak istimewa yang dimiiliki Aceh dlam membuat qa@nu@n terhadap masyarakat akan
terjadi dalam kurun waktu yang lama, dan bagaimana juga dengan skala yang lebih
perubahan itu meskipun masih sedikit dan perkembangan syariah selanjutnya
sangat ditentukan oleh perkembangan politik dari pemerintahan Jakarta.
- Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk:
a.
Mengetahui hubungan antara syariat Islam dengan Negara
Indonesia
b.
Mengetahui kebijakan negara dalam penegakan syariat Islam
di Indonesia melalui perundang-undangan.
c.
Mengetahui bentuk hukum pidana Islam di Indonesia dan di
Nanggroe Aceh Darussalam.
- Metode Penelitian
- Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian
ini adalah penelitian kualitatif, sedangkan pendekatan yang digunakan
adalah sosio-legal-historis. Pendekatan Sosiologis digunakan untuk
mengamati pola-pola interaksi antara kekuatan-kekuatan politik dan perilaku
politik terhadap masyarakat. Pendekatan legal atau yuridis
dilakukan dengan mempertimbangkan elemen-elemen tertentu dari hukum Islam yang
telah dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pendekatan historis
digunakan atas pertimbangan bahwa analisa sejarah dapat melihat secara
objektif, tajam dan bening tentang
politik hukum Islam dan sosio-politicalmotivesnya dalam perpolitikan di
Indonesi.
- Sumber dan Metode Pengumpulan Data
Pertama, penelitian kepustakaan (library
research). Sumber-sumber pokok yang digunakan dalam kajian ini mencakup
sumber primer yang berbicara mengenai landasan filosofis,
landasan yuridis dan politis mengenai dasar negara sebagai
pijakan dari pemberlakuan syariat Islam di Indonesia.
Kedua, penelitian dokumentasi produk hukum dengan
cara meneliti dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan baik nasional
maupun lokal dalam hal ini daerah Aceh.
Ketiga, Wawancara mendalam (indepth
interview). Alat pengumpulan data dalam penelitian ini melengkapi dan
memperkuat studi dokumentasi perundang-undangan dan menempatkan metode interview
ini sebagai alat pengumpul data sekunder dan tambahan dari studi dokumen dan library
research.
- Analisis Data
Pendekatan
penulisan dalam penelitian ini adalah contents-analysis, artinya
menggambarkan sesuatu yang menjadi objek penelitian secara kritis melalui
analisis ini yang bersifat kualitatif. Deskriktif dimaksudkan
memberikan data yang seteliti mungkin keadaan dan gejala lainnya. Penelitian
ini juga menggunakan pendekatan analisis politik hukum dalam pengertian legal policy
yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia.
- Sistematika Penulisan
Disertasi ini
terdiri dari dari VI bab, yaitu: Bab I pendahuluan. Bab II. Islam
dan Konsep negara. Bab III. Membahas tinjauan hukum pidana Islam di
Indonesia. Bab IV. Membahas formalisasi hukum pidana Islam di Nanggroe
Aceh Darussalam. Bab V. Membahas bentuk formalisasi hukum pidana Islam
di Nanggroe Aceh Darussalam. Bab VI. Berisi kesimpulan umum dan saran-saran.
BAB II
ISLAM DAN KONSEP
NEGARA
Islam sebagai
agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah, pada gilirannya telah
dipraktekkan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik negara. Negara
Islam atau Daulah Islamiyah, bukan saja telah diajarkan oleh nabi
Muhammad Saw, secara teoritis tapi juga pernah dibangun pada masa
hidupnya, dalam hal ini memang ada keistimewaan agama Islam dari agama-agama
lain, bahwa dalam Islam tidak dikenal pemisahan agama dan negara, tapi Islam
mencakupi keduanya atau Islam sebagai complete civilization.
Dijaman moderen perdebatan
tentang relasi agama dan negara terus menjadi wacana yang kerap kali dibahas
dalam dunia Islam. Teori moderen ini ditandai dengan kolonialisme yang
melanda negeri-negeri muslim. Hampir seluruh dunia Islam berada dibawah jajahan
Negara Barat dan Eropa. Di era yang penuh tantangan itu muncullah beberapa
cendikiawan muslim yang menawarkan diri untuk secara serius mengatasi
tantangan-tantangan yang ada. Diantara mereka adalah Jamaluddin al-Afga@ni
(1838-1897) dengan mengusung ide Pan-Islamisme, yang ingin membangunkan
kaum muslimin dari tidur nyenyak mereka, sekali gus merupakan reaksi terhadap
negara barat yang telah menginvansi dunia Islam dan akhirnya menciptakan
beberapa negara Islam di dunia Arab, seperti negara Iran, Syiria, Libanon dan
Yordania. Dan seruan al-Afga@ni ini disambut secara antusias diantaranya oleh
Feisl, putra Sharif Husein dari Mekkah yang kemudian membangun teori buku
tentang nasionalisme arab dalam upaya mempertahankan Syiria-Arab yang
berstatus dan berdaulat.
A.
Relasi Agama dan Negara Muslim
Dalam pemikiran
politik Islam, hingga sekarang ini terdapat tiga paradigma tentang hubungan
antara agama (Islam) dan negara. Petama, paradigma bersatunya agama dan
negara (integrated paradigma). Aliran ini berpendirian bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni yang hanya mengurusi
hubungan antara manusia dan tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang
sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia
termasuk kehidupan bernegara.Tokoh-tokohnya adalah, Ibnu Taimiyah dan
al-Mawardi. Kedua, Paradigma yang memandang agama dan negara berhubungan
secara simbolik (simbotik paradigm). Aliran menolak pendapat bahwa Islam
agama yang serba lengkat dan bahwa didalam Islam terdapat sistem
ketatanegaraan, namun aliran ini juga menolak bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat yang hanya mengatur ubungan manusia dan tuhannya saja,
diantara tokoh-tokohnya adalah, al-Mawardi dan Al-Gha@zali. Ketiga, paradigma
yang bersifat sekularisti (sekularistic paradigm). Aliran ini
berpendapat adalah Islam adalah sebagaimana dalam pengertian barat yang tidak
ada urusannya dengan kenegaraan. Jadi paradigma ini mengajukan pemisahan yang
jelas antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuleristik
menolak pendasaran negara pada Islam dan ditolak diterimanya Islam atas negara.
Tokoh-tokohnya adalah: Ali Abd al-Raziq dan Thata Husein.
B.
Konsep Ummat dan Konsep Negara-Bangsa
Konsep nation-state muncul di
Barat, disaat ruang lingkup agama terbatas hanya dalam satu aspek vertikal
dalam kehidupan individu yang terpisah dari aspek-aspek lainnya. Di dalam Islam
tidak demikian, Islam adalah agama yang luas cakupannya meliputi aspek privat
dan publik dalam kehidupan ummmat manusia. Syariah Islamiyah oleh
sebagian besar pengikutnya diyakini sebagai ketetapan hukum yang berlaku universal,
lengkap dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Meski demikian, terdapat
dua aliran pemikiran ummat Islam dalam merespon masuknya wacana nation-state
tesebut kedalam dunia Islam, yakni pertama respon konformis,
yaitu mereka yang baik secara sadar maupun terpaksa menerima gagasan barat
sebagai proses yang alami dan harus ditempuh untuk membentuk identitas nasional
dan memberikan loyalitas politik nasional. Kedua, respon non-konformis,
mereka yang secara sadar menolak sebagian atau secara keseluruhan konsep nation-state
dan gagasan-gagasan Barat lainnya sebagai suatu yang harus dikritisi atau
bahkan ditolak dan karena itu harus diuraikan akar persoalan dan dicarikan
solusinya, meski diakui bagaimanapun juga pengaruh nation-state
merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh dunia Islam moderen secara
keseluruhan.
C.
Pemikiran Islam dan Pemikiran Sekuler
Sekularisme telah dipahami sebagai
upaya sengaja untuk mengeluarkan agama dari urusan-urusan dunia. Namun pada
kenyataannya pemerintah sekular tidak memusuhi agama, pemerintah itu menerima
agama tetapi tidak sebagai dasar untuk legitimasi atas tindakan mereka. Setiap
Pemerintahan supaya mereka tetap hidup dan pertahan membutuhkan dua hal yaitu:
dan sumber legitiimasi dan kerangka normatif. Akan ada masanya pemerintah
meminjam persyaratan tersebut dari agama. Akan tetapi, pada era kita,
(kira-kira 300 tahun terakhir) kebiasaan ini telah menjadi usang, karena dewasa
ini pemerintah mendapatkan legitimasinya dari persetujuan rakyat. Disinilah
menurut Soroush letak peran sekularisasi yang telah berhasil menghapuskan agama
dari gelanggang politik dan menempatkan hak legislsi dan pemerintahan
semata-mata di tangan rakyat
BAB III
TINJAUAN HUKUM
PIDANA ISLAM DI INDONESIA
A.
Sejarah Hukum Pidana Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia
1.
Hukum Pidana Islam Pra Kemerdekaan
Anthony Reid
dengan mengutip catatan Dampier, Warwijik dan Bowery, menemukan fakta bahwa,
praktek amputasi sebagai bentuk sanksi dari pencurian telah dilaksanakan pada
masa Sulta Ageng di Banten (1650-1680). Bahkan di Aceh sepanjang abat ke-17,
sebagaimana direkang oleh Reid diberlakukan hukum potong (amputasi)
terhadap siapa saja yang melakukan pencurian berulang-ulang, mulai dari tangan
kanannya, kaki kirinya, tangan kirinya, kaki kanannya dan kemudian dibunag
kepulau lepas dipantai Sabang. Urutan-urutan sanksi tersebut terhadap pencurian, jelas hal tersebut sama
persis dengan apa yang terdapat dalam ketentuan fiqih Islam. Dengan
demikian hal tersebut tidak bisa dinafikan bahwa hukum potong tangan, sebagai
hukum yang dibawa oleh pidan Islam, telah diterima dan berlaku dikalangan
masyarakat Indonesia, terutama dikerajaan Islam pra-Indonesia.
2.
Hukum Pidana Islam Masa Kemerdekaan
Menjelang
kemerdekaan Indonesia, perjuangan menegakkan ajaran agama Islam terus
berlangsung. Bahkan menjelang berdirinyan negara RI, syariat Islam harus
melalui perjalanan yang sangat berat, terutama ketika dibahas dalam BPUPKI,
hingga akhirnya lahirlah piagam Jakarta sebagai rumusan pertama mukadimah UUD
1945. Rumusan piagam Jakarta inilah yang kemudian oleh banyak kalangan dianggap
sebagai ide dasar perjuangan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia saat ini.
Namun demikian, lahirnya Pancasila dan UUD 1945, menunjukkan bahwa negara
Indonesia adalah negara yang didirikan berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dan bebas dari politik warisan kolonial. Dalam persfektif Hazairin kalimat “negara
berdasarkah Ketuhanan Yang Maha Esa” , secara tidak langsung menunjukkan
bahwa hukum agama merupakan sumber ajaran dan bagian integrasi dan unsur mutlak
dalam hukum nasional.
3.
Hukum Islam di Masa Reformasi
Di era reformasi
kebijakan bidang jinayah atau hukum Pidan Islam mengalami perkembangan,
terutama semenjak adanya Otonomi Daerah dan Keistimewaan yang diberikan kepada
daerah Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana diatur dalam UU No.18 Tahun 2001
tentang OTSUSNAD. Setelah adanya kewenangan yang dimiliki NAD untuk menerapkan
syariat Islam tahun 2001, telah dibuat sejumlah qanun yang berisikan tindak
pidana. Ini berarti bahwa syariah (hukum Islam) yang berlaku di NAD tidak lagi
terbatas pada masalah hukum perdata Islam semata, tapi sudah mencakup hukum
pidana. Sampai saat ini macam-macam tindak pidana yang telah diatur qanun NAD
meliputi: Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang minuman Khamar dan Sejenisnya.
Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir. Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat.
Kebijakan negara
dalam bidang jinayah atau hukum pidana Islam pada masa era Reformasi dapat
disebut bersifat oposional, meskipun dalam kasus tertentu bersifat akomodasi
terbatas karena pertimbangan politis dengan memberikan keistimewaan bagi NAD
tetapi kekhususan ini tidak berlaku bagi daerah-daerah lainnya.Dalam kaitan
dengan hukum Islam sebagai the living law, maka adopsi hukum Islam kedalam
hukum nasional merupakan kewajiban berdasarkan amanah konstitusi UUD 1945
melalui mekanisme politik yang demokratis atau minimal hukum Islam harus
menjadi referensi bagi pembentukan hukum nasional ini dinamai sebagai teori
konstitusi (the constitusion theory) dan teori adopsi (the adoption theory).
B.
Hubungan Formalisasi Hukum Pidana Islam
di Nanggroe Aceh Darussalam dan Hukum Positif
Keberadaan Hukum
Pidana Islam (Qanun Jinayah) di Aceh, dapat dijelaskan sebagai telah terjadi
positivisasi hukum disana. Artinya bahwa hukum pidana Islam tidak saja telah
menjadi hukum positif yang sifatnya khusus bagi masyarakat Aceh, tetapi status
Qanun Jinayah ini juga harus di akui sebagai hukum positif oleh negara,
meskipun sifatnya lokal. Hal ini mengingat eksistensinya ditetapkan oleh
undang-undang , yaitu; UU No. 44 tahun 1999. UU No. 18 tahun 2001 dan UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
BAB IV
FORMALISASI HUKUM
PIDANA ISLAM DI NAD
A.
Sejarah Hukum Pidana Islam di Aceh
Menurut Azumardi
Azra, Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia, kerajaan
Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah 916-936 H/
1511-1530 M), adalah sebuah kerajaan yang ditegakkan atas asas-asas Islam.
Dalam Adat Mahkota Alam yaitu UUD kerajaan Aceh Darusslam yang
diciptakan atas arahan Sultan Iskandar Muda, misalnya disebutkan bahwa sumber
hukum yang dipakai dalam negara adalah al-Qur’an, Hasist, Ijma’ dan Qiyas .
Pada masa
penjajahan Kolonial Belanda, Belanda menyerang Ibu Kota Kesultanan Aceh pada
April 1873 dan berhasil menaklukkan kesultanan Aceh dengan pimpinan Sultan yang
terakhir Muhammad Daud Syah (1874-1903). Dengan ditaklukkannya Kuta Raja
sebagai pusat kekuasaan kesultanan Aceh, Belanda memandang kesultanan Aceh
telah berakhir dan para administrasi ditempatkan untuk mengambil alih posisi
dan hak-haknya. Akan tetapi dalam pandangan masyarakat Aceh mereka belum
ditaklukkan dan perang masih berlanjut. Dalam hal ini ulama menjadi inspirator
nyata dalam perjuangan Aceh dan bersama masyarakat terus melakukan perlawanan
dan berpergian keseluruh Aceh untuk mendakwahkan Jihad fi sabilillah.
Setelah Indonesia
meerdeka tuntutan untuk menerapkan syariat Islam kembali muncul. Masyarakat
Aceh yang sebelumnya telah menyatakan kepada Soekarno bahwa Aceh mau membantu
dan bergabung dengan RI melawan penjajahan Belanda dengan catatan diberikan hak
untuk melaksanakan syariat Islam menurut pelaksanaanya. Tengku Daud Beureuh,
tokoh pergerakan Aceh berkali-kali menuntut penerapan syariat Islam kepada
presiden Soekarno dan pihak presiden hanya memberi janji-janji. Alih-alih
memberikan hak bagi Aceh untuk menerapkan syariat Islam, malah menghapus
Provinsi Aceh dan menggabungkannya kedalam Provinsi Sumatra Timur.
Pada masa Orde
Baru, Presiden Soeharto melanjutkan kebijakan pendahulunya untuk memberikan
Aceh status daerah Istimewa dan penerapan syariat Islam. Namun begitu janji
tersebut tidak pernah dilaksanakan dengan sepenuhnya. Bahkan disisi lain,
Soeharto memberikan kesempatan kepada perusahaan multi nasional dari
Anerika Serikatuntuk membuka industri besar di Aceh dibidang eksplorasi minyak
dan gas bumi di Arun pada tahun 1970an.
Pada masa
reformasi Aceh kembali menuntut pemberlakukan syariat Islam, tuntutan
referendum kepada Aceh mendominasi tuntutan pemberlakuan syariat Islam.
Pemmeritah Pusat merespon tuntutan ini dengan mengundangkan UU No. 44/1999
tentang penyelenggaraan Keistemewaan Provinsi Daerah Istimmewa Aceh. Pada Juli
2001 dimasa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri mengeluarkan UU No. 18/2001
tentang Provinsi NAD dan mengatur lebih jauh OTSUS bagi NAD seperti adanya Mahkamah
Syraiyyah, Qanun, Lembaga Daerah, Zakat, Kepolisian Syariah,
kepemimpinan adat dan lain-lain. Pada 9 Desember 2002 terjadi kesepakatan penghentian
kekerasan (Cessation on Hostilities Agreement, CoHA) yang ditandatangani
di Jenewa. Tapi karena ketidak efesienan CoHA dalam memberhentikan
pembrontakan, presiden Megawati melalui keputusan presiden No. 18/2003 kembali
menerapkan status Darurat militer di Aceh. Gempa bumi dan Tsunami di Aceh pada
tanggal 26 Desember 2004 memberikan pintu hikmah bagi masyarakat Aceh, pada
tanggal 17 Juli 2005 kedua belah pihak (GAM-RI) bersepakat mengenai subtansi
dan redaksi yang tertuang pada MoU. Kesepakatan tersebut di ikuti dengan
penanda tanganan kesepakatan perdamaian antara pemerintahan RI dan GAM pada
tanggal 15 Agustus 2005 yang dikenal dengan MoU Helsinki.
B.
Hukum Pidana Islam di Era Otonomi
Khusus
Pelaksanaan
syariat Islam di Aceh saat ini didasarkan pada Undang-undang RI No. 44 tahun
1999 tentang penyelenggaraan
keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, U ndang-undan No 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khususnya Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-undang No.11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Dalam menindak lanjuti UU RI No. 44/1999, pada bulan
juli tahun 2000, DPRD Aceh mengeluarkan sebuah peraturan Daerah (Perda) No.
5/2000 tentang pelakssanaan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, didalam
pasal tersebut, pada pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa pelaksanaan syariat Islam
meliputi masalah aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah,
baitul mal, kemasyarakatan, syar Islam, pembelaan Islam, qadha@, jina@ya@t,
muma@kaha@t dan mawa@ris.
BAB V
BENTUK FORMALISASI
HUKUM PIDANA ISLAM DI NAD
Untuk kasus
keistimewaan bagi Aceh juga diamanatkan dalam ketetapn MPR, TAP MPR RI No.
IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004, ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000 yang
berbunyi UU Otsus bagi provinsi DI Aceh dan Iriyan Jaya sesuai amanat ketetapan
MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004. Agar dikeluarkan
selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah
yangg bersangkutan. Selain itu terdapat landasan yuridis untuk melaksankan
syariat Islam semenjak Indonesia merdeka. Misalnya keputusan Perdana Menteri
Hardi, UU No. 44/1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan di Provinsi D.I
Aceh, UU No. 18/2001 tentang Otsus bagi Provinsi D.I Aceh, Kepres RI No.11/2003
tentang Mahkamah Syar,iyyah, Mahkamah Syar’iyyah provinsi di NAD
dan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Hingga kini telah
di undangkan 7 qanun, yang berhubungan dengan penerapan syariat Islam yang disahkan, yaitu: Qanun No. 10/2002
tentang peradilan syariat Islam, Qanun
No. 11/2002 tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar
Islam. Qanun No.12/2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. Qanun
No. 13/2003 tentang Larangan Maisyir. Qanun Noo.14/2003 tentang Larangan
Khalwat. Qanun No.7//2004 tentang pengelolaan Zakat. Qanun No.11/2004
tentang Kepolisian Daerah.
BAB VI
PENUTUP
Penerapan syariat
Islam di Aceh terhadap upaya formalisasi hukum pidana Islam dalam sistem
hukum dan perundang-undangan nasional dapat dipahami sebagai ikut mewarnai
produk hukum nasional yang telah dan akan dibuat. Bahkan sebenarnya berdasarkan
qanun di Aceh menunjukkan telah terjadi proses formalisasi hukum pidana
Islam di Indonesia hal ini didasarkan UU No.10/2004 tentang hierarki
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu UUD 1945,
UU/Perpu, PP, Peraturan presiden dan peraturan Daerah. Selain itu legitimasi
hukum Islam menjadi perundang-undangan negara memiliki kontribusi positif
dalam memperkuat daya rekat ummat Islam terhadap komitmen negara-bangsa (nation-state)
karena syariah bisa berjalan seiring dan compatiable dengan Pancasila
dan UUD 1945, maka dalam hal ini hukum Islam dipandang sebagai dalam kerang fenomologi
konstitusi untuk membangun hukum nasional Indonesia.
C.
REVIEW DISERTASI
Review Metodologi
dan Alternatifnya
1.
Judul
Judul sebuah
penelitian harus jelas sehingga dapat menarik perhatian orang untuk mau membaca
bahkan mempelajari isinya. Judul haruslah menjadi gambaran global tentang arah,
maksud, tujuan, dan ruang lingkup penelitian tersebut. Namun harus tetap dalam
kerangka singkat, spesifik, dan jelas.[1] Judul
juga harus menggunakan kata-kata yang jelas, singkat, deskriptif, dan tidak
merupakan pertanyaan. Hendaknya hindarkan penggunaan kata-kata yang kabur,
bombastis, bertele-tele, tidak runtut, dan lebih dari satu kalimat[2].
Perumusan judul penelitian tidak jarang dianggap sebagai suatu hal yang
remeh. Perumusan suatu judul penelitian sedikit banyaknya tergantung pada
berhasil tidaknya seorang peneliti untuk menabstrasikan masalah yang ingin
ditelitinya dengan sesederhana mungkin.[3]
Judul Disertasi
ini adalah “FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA: Analisis Kasus
Penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam “. Judul menurut
pemakalah sudah bagus, karena dari segi bahasa penggunaan judul sudah cukup
jelas, walaupun judulnya panjang, tapi judul disertasi ini sudah dipecah
menjadi dua bagian yaitu, judul induk dan anak judul, sehingga mudah untuk
dipahami dan dapat dimengerti dengan mudah (tidak muluk-muluk).[4]
2.
Latar belakang masalah
Dalam latar
belakang masalah, perlu dijelaskan tentang pengtingnya judul yang diteliti.
Sehubungan dengan ini, maka peneliti perlu menyajikan referensi yang relevan
berdasarkan studi pendahuluan untuk memperkuat alasan pemilihan judul.[5]
Latar belakang
yang dituliskan peneliti berkisar tentang perdebatan penerapan syariat Islam
dari bergai tokoh terkuma disamping itu ada juga unsur sejarah yang menjelaskan
tentang kapan hukum Islam itu mulai di terapkan sebagai suatu hukum negara
diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia . Dari jabaran menurut reviewer
peneliti telah cukup bagus dalam mengangkat urgensi permasalahan formalisasi
hukum pidana Islam untuk menguatkan judul yang dibahasnya.
3.
Permasalahan
1)
Identifikasi Masalah
Dalam identifikasi
masalah penting menjelaskan berbagai permasalahan yang muncul dari judul yang
dibahas karena ditinjau dari berbagai aspek[6].
terhadap aspek lainnya juga.
2)
Pembatasan Masalah
Dalam hal ini,
peneliti sudah tepat dalam memberikan alasan pendukung. Namun pembatasan
masalah juga perlu data pendukung sehingga penelitian ini layak untuk dibahas[7].
3)
Rumusan Masalah
Dalam rumusan
masalah peneliti harus lebih konkrit permasalahan yang hendak dijawab pada
kesimpulan[8].
Pada bagian telah memadai dalam perumusan masalahnya.
·
Peneliti merumuskan: Apakah benar penerapan syariat Islam
berbanding lurus dengan pembentukan negara Islam?
·
Bagaimanakah
hubungan antara negara dan syariat Islam dalam konteks formalisasi hukum Islam?.
·
Bagaimanakah bentuk hukum pidana Islam di Indonesia dan
Nanggroe Aceh Darussalam?
menurut reviewer,
rumusan yang pertama tidaklah layak untuk diteliti dengan serius, kerana untuk
mengetahui jawabannya cukuplah hanya dengan sekilas melihat sejarah negara
Islam pada masa Nabi Muhammad, karena menurut reviewer hukum Islam ini bisa
dijalankan sepenuhnya apabila negara tempat bernaung hukum itu juga menggunakan
sistem negara Islam. Untuk rumusan point 2 dan 3 reviewer kira sangat penting
untuk dikaji dan diteliti secara mendalam
4.
Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Tujuan penelitian
adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang suatu gejala, sehingga dapat
merumuskan masalah, memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang suatu
gejala sehingga dapat merumuskan hipotesa, untuk menggambarkan secara lengkap
karakteristik atau ciri-ciri dari suatu keadaan, perilaku peribadi dan perilaku
kelompok.[9]
Dalam hal ini,
menurut reviewer telah baik dalam konsistensi dengan perumusan masalah yang
diutarakan walaupun menurut reviewer sedikit kaku karena terlalu berpatokan
sekali dengan rumusan masalah. Dan peneliti juga tidak keluar dari konteks
perumusan masalah.
5.
Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian
terdahulu yang dipaparkan oleh peneliti berkaitan dengan penerapan syariat
Islam sudah sangat bagus dan kaya. Menurut reviewer penulis sudah bisa mencari
perbedaan dan persamaan penelitiannya dengan penelitian terdahulu. Dalam hal
ini, peneliti sudah mampu mengaikan penelitiannya dengan penelitian yang
terdahulu.
6.
Metode Penelitian
1)
Metodr penelitian disertasi ini adalah menggunakan metode
kualitatif. (Menurut Denzin dan Lincoln, mengatakan bahwa, penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud
mentafsirkan penomena yang terjadi dengan jalan melibatkan bberbagai metode
yang ada.[10])
dengan pendekatan sosio-legal-historis. Menurut reviewer penulis sudah
bagus dalam memilih pendekatan penelitian, hanya saja menurut pemakalah,
penulis kurang begitu mendalam dalam menganalisa permasalahan yang terjadi
dilapangan, seharusnya penulis bisa menambhakan pendekatan penelitian diagnostik-preskriptif-evaluatif[11]
sehingga peneliti dapat menyelidiki untuk mendapatkan keterangan mengenai
sebab-sebab terjadinya formalisasi hukum pidana Islam baik di Indonesia maupun
di Nanggroe Aceh Darussalam. Serta untuk mendapatkan saran-saran untuk medapatkan
mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah dalam
penerapan hukum Islam itu sendiri, lalu penulis dapat menilai bagaimana
program-progran formalisasi hukum pidana Islam dijalankan baik di Indonesia
maupun di Nanggroe Aceh Darussalam.
2)
Dalam teknik pengumpulan data, peneliti meengambil
penelitian kepustakaan, dokumentasi produk hukum dan wawancara. Menurut
reviewer ketiga teknik pengumpulan data
itu masih sangat kurang, karena menurut reviewer peneliti harus terjun langsung
kelapngan[12]
(observasi), karena dengan tenik observasi memungkinkan kepada peneliti untuk
memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumt mungkin terjadi, seperti
halnya dalam penerapan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dimana tidak
semua daerah bisa menjalankan syaiat Islam secara baik dan efektif. Jadi
pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan
untuk perilaku yang kompleks.
3)
Dalam teknik analisis data, peneliti menggunakan
pendekatan contents-analysis, yaitu menggambarakan sesuatu yang menjadi objek
penelitian. Pada analis ini peneliti juag menjelaskan hubungan antara antara
pemerintah daerah, disamping itu peneliti juga melakukan analysis politik hukum
mengenai peraturan-peraturan yang sudah dan akan diterapakan dikemudian hari.
Menurut reviewer peneliti seharusnya juga menggunakan analisis
perundang-undangan hal ini untuk mengetahui pengertian-pengertian dasar yang
terkandung dalam undang-undang[13],
hal ini akan mempermudah peneliti dalam menganalisa kebijakan dari pemerintah
dalam formalisasi hukum pida Islam itu sendiri.
Review Teori
BAB II
Dalam bab ini,
peneliti memberi judul ISLAM DAN KONSEP NEGARA. Adapun kontennya seputar
tentang relasi agama dan negara muslim, konsep ummat dan konsep negara bangsa,
pemikiran Islam dan pemikiran sekuler, Sejarah gagasan dasar negara Indonesia.
Dalam bab ini
reviewer memberi penilaian:
Penelitian tentang
agama dan negara reviewer rasa sudah bagus untuk dijelaskan pada bab ini,
karena sebelum meneliti lebih jauh lagi tentang formalisasi hukum pida Islam
perlu diketahui bagaimana relasi antara agama dan negara itu sendiri. Dari segi
referensi bacaan peneliti juga sudah memadai sehingga bisa menyajikan
pembahasan yang mendalam mengenai Islam dan negara. Satu hal yang masih mengganjal
didalam fikiran reviewer adalah dalam bab ini atupun bab-bab yang lainnya tidak
ada pembhasan mengenai formalisasi hukum Islam di negara-negara yang sudah
menerapkan hukum Islam secara penuh.
Menurut reviewer
hal ini sangat penting, karena dengan menjelaskan penerapan hukum pidana Islam
dinegara-negara yang sudah menerapkan hukum Islam peneliti dapat mengetahui
suatu gambaran dan perbedaan dengan di Indonesia, dengan begitu peneliti dapat
mengetahui persamaan dan perbedaanya. Sehingga mudah untuk menarik kesimpulan
tentang formalisasi hukum pidana Islam di Indonesia.
Selain itu
peneliti juga seharusnya membahas mengenai lembaga-lembaga penerapan hukum
Islam, sehingga dapat diketahui apa yang menjadi perbedaan dengan
lembaga-lembaga penegakan hukum sekarang ini. Yang menajdi pertanyaan, apakah
lembaga-lembaga penegak hukum sekarang ini bisa dijadikan sebagai pengawal
mengenai kebijakan-kebijakan yang benuansa hukum pidana Islam di Indonesia?
Lalu bagaimanakah mekanisme penjalanannya?
BAB III
Dalam bab III ini
diberi judul TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA. Adapun pembahasannya, sejarah
pidana Islam dalam tata hukum Indonesia pra kemerdekaan, sesudah merdeka dan
pasa reformasi. Hukum pidana Islam dalam kontek politik nasional. Formalisasi
hukum pidana Islam dan urgensinya. Hubungan formalisasi hukum pidana Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam dengan hukum positif.
Dalam bab III ini
reviewer menilai:
Seharusnya
pembahasan ini lebih tepat dibuat di bab ii, karena menurut reviewer ini di bab
ini masih berbicara tentang konsep negara, seharusnya dibab ini lebih tepat
dibuat apa yang ditulis dibab IV, sehingga bisa langsung kepokok permasalahan
atau bab inti. Secara keseluruhan penulisan pada bab III ini sama seperti bab
sebelumnya, sudah bagus dengan referennsi yang memadai. Peneliti juga bisa
menyajikan tulisan yang sistematik dan mudah untuk dipahami. Hanya saja dalam
bab ini referensi yang digunakan peneliti cenderung bersifat lokal, dalam
artian sangat jarang buku-buku atau peneliti dari luar Indonesia.Hal ini sangat
diperlukan, karena dengan mengutip referensi-referensi dari peneliti luar
negeri, penyajiannya akan lebih fair dan berimbang, sehingga penyajian mengenai
sejarah pemberlakuan hukum pidan islam di Indonesia bisa dilihat dari berbagai
sumber, sehingga dalam penarikan kesimpulan bisa lebih mendekati.
Selanjutanya
perkembangan hukum Islam setelah kemerdekaan pemakalah kira kurang jelas, dalam
artian bagaimana keberadaan hukum Islam dimasyarakat dimasa itu? di pembahasan
ini tidak dijelaskan secara terperinci, menurut reviewer, peneliti hanya
berkecimpung di dalam subtansi perumusan pembentukan dasar negara Indonesia,
sedangkan keadaan Hukum pidana Islam secara aplikatif dimasa itu tidak
singgung.
BAB IV
Dalam bab ini
adalah analisa. Peneliti memberi judul FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM dengan sub kajian, sejarah hukum pidana Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam. Hukum pidana Islam di era Otonomi Khusus.
Problematika Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Peluang dan
hambatan formalisasi hukum pidana Islam di Nanggrooe Aceh Darussalam.
Penilaian
reviewer: Judul yang diberikan oleh peneliti sudah konsisten dengan objek yang
akan dianalisis, tapi kekurangan dari bab ini adalah tidak dijelaskannya
bagaimana karakter masyarakat Aceh, berapa suku yang ada di Aceh, seharusnya
peneliti lebih memperhatikan antropologi hukum dalam penelitian ini, sehingga
peneliti bisa mengetahui dengan baik hambatan/tantangan penerapan syariat Islam
di Aceh.
Secra keseluruhan
penyajian penelitian dibab ini sudah baik. Ppenjelasan mengenai sejarah
penerapan hukum Islam di Aceh sudah dapat disajikan secara sistematis mulai
dari zaman kerajaan Aceh sampai pada masa reformasi. Dari referensi penulisan
disertasi pada bab ini juga sudah cukup kaya dan mudah untuk dipahami.Utuk
legaisasi penerapan syariat Islam di Aceh juga dijelaskan dengan baik, mulai
dari peraturan-peraturan jaman orde lama hingga jaman reformasi sekarang ini.
BAB V
Dalam bab ini
diberi judul BENTUK FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
dengan sub kajian, hukum pidana Islam dalam bingkai konstitusi. Produk hukum
pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Penerapan sanksi hukum pidan Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam. Pengaruh penerapan hukum pidana Islam di Nanggroe
Aceh Darussalam terhadap masyarakat.
Penilaian reviewer
pada bab ini adalah: peneliti tidak bisa menjelaskan dengan baik mengenai
bentuk formalisasi hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, pada bab ini
susah untuk dipahami seperi apa formalisasi hukum pida Islam di Aceh, karena
peneliti hanya berkecimpung terhadap muatan-muatan qanun pidana di Aceh,
seperti Qanun No.12,131,14 tahun 2004. Pada bab ini peneliti juga tidak
menjelaskan lembaga-lembaga penegak syariah di Aceh beserta pungsinya.
Seharusnya peneliti bisa menjelaskan mengenai peran Wilayatul Hisbah (Polisi
Syariiat) di Aceh, bagaiman wewenang WH dalam menjalankan tugas karena
bagaimanapun Polisi Syariah inilah yang akan mengawal semua
kebijakan/qanun—qanun yang bernuansa syariah di Aceh.
Lebih lanjut
peneliti juga tidak membahas dengan baik mengenai pungsi dan kedudukan Mahkamah
Syar’iyyah di Aceh, baik kedudukannya dalam sistem peradilan di Indonesia
maupun di Aceh. Lembaga-lembaga daerah pasca disahkannya UU Otonommi Khusus
bagi Aceh, seperti Majelis Pendidikan Daerah (MPD), Majelis Permusyawaratan
Ulama (MAA) juga tidak disinggung pada bab ini, karena peran serta ulam di Aceh
sangat vital dalam menentukan kebijakan-kebijak syariat di NAD.
Mengenai pengaruh
Hukum Pidana Islam di Aceh terhadap masyarakat juga tidak begitu jelas, disini
tidak begitu jelas apakah ada danpak atau perubahan pada masyarakat Aceh pasca
di sahkannya Qanun Pidana yaitu Qanun No.12,13,14 Tahun 2003 di Aceh. Lagi lagi
peneliti hanya fokus pada muatan qanun-qanun tersebut, seharusnya peneliti bisa
mengobservasi kelapangan, baik kemasyarakat maupun kelembaga-lembaga penegak
syariat Islam di Aceh seperti Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar’iyyah dan
Wilayatul Hisbah.
BAB VI
KESIMPULAN
Pada bab ini
peneliti menuliskan kesimpulan penelitiannya, tapi menurut reviewer kesimpulan
peneliti kurang begitu memuaskan, karena secara keselurah belum bisa
dikatatakan mewakili dari rumusan masalah yang ada pada bab pertama.
ALTERNATIF OUT LINE
Judul Disertasi : FORMALISASI
HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA: Analisis Kasus Penerapan Hukum Pidana Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang
- Permasalahan
- Tujuan dan Kegunaan Penulisan
- Tinjauan Pustaka
- Metode Penelitian
- Teknik dan Sistematika Penulisan
- Jadwal Penelitian
BAB II ISLAM DAN KONSEP NEGARA
- Relasi Agama dan Negara Muslim
- Konsep ummat dan Negara Bangsa
- Pemikiran Islam dan Pemikiran Sekuler
- Sejarah Gagasan Dasar Negara Indonesia
- Tinjauan Hukum Pidana Islam di Indonesia
- Penerapan Syariat Islam di berbagai Dunia
BAB III ACEH DALAM BINGKAI NKRI
- Sejarah Aceh
- Dasar pemberlakuan syariat Islam di Aceh
- Syariat Islam dalam bingkai perundang-undangan Nasional
- Kewenangan Aceh pasca disahkannya UU Otsus
BAB 1V FORMALISASI
HUKUM PIDANA ISLAM DI ACEH
- Sejarah hukum Pida Islam di Aceh
- Hukum Pidan Islam di era Otsus
- Problematika penerapan Hukum Pidana Islam di Aceh
- Peluang dan Hambatan Formalisasi Hukum Pidana Islam di Aceh
BAB V BENTUK FORMALISASI HUKUM PIDANA
ISLAM DI ACEH
A.
Hukum Pidana Islam Dalam Bingkai Konstitusi
B.
Produk Hukum Pidana islam di aceh
C.
Penerapan Sanksi Hukum Pidana Islam
D.
Pengaruh Penerapan Hukum Pidana Islam terhadap Masyarakat
BAB VI Penutut
Kesimpulan dan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto,Soerjono,
Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta: UIP 2010)
Moleong, J. Lexy, Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosada 2014
Suwendi, Modul
Metodologi Penelitian Program Dua Mode Sistem. Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Tim Penyusun, Pedoman
Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian
Islam 2011-2015, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif
Hidayatullah, 2011
Label: MENULIS
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda