Senin, 09 Maret 2015

RESUME DAN REVIEW DISERTASI



FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA
Analisis Kasus Penerapan Hukum Pidana Islam di NAD
YUNI ROSLAILI 
Oleh: Ali Geno Berutu

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
          Dalam latar belakang, peneliti memaparkan seputar perdebatan syariah dalam negara yang begitu panjang, disini dikemukan beberapa pendapat dari para tokoh mengenai penerapan hukum syariat, dijelaskan bahwa Islam adalah ajaran yang lengkap dan sempurna yang mengatur seluruh kehidupan manusia, Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara agama dan dunia, inilah yang dikenal dengan konsep Islam Din Wa Daulah.

Untuk Konteks negara Indonesia, hubungan antara negara (Indonesia) dan agama (Islam) menjadi unik, yang mengandung pengertian bahwa Indonesia bukan negara teokrasi dan bukan negara sekuler secara utuh, sebagaimana telah ditulis oleh B.J. Boland bahwa Indonesia bukanlah negara Islam sebagaimana yang di inginkan oleh kelompok nasionalis Islam, dan juga bukan negara sekuler yang memasukkan agama dan wilayah pribadi terpisah dari negara. Untuk Indonesia, ditinjau dari perspektif religio-politis, syariat Islam dan negara adalah dua etnis yang sepanjang sejarah Indonesia senantiasa bergulat dengan pergumulan dan ketegangan abadi dalam memposisikan relasi agama (syariat Islam) dan negara, antara proyek sekulerisasi dan Islamisasi dan masyarakat. Ketegangan ini terjadi dalam dua tataran penting yang terjadi, yakni; Pertama, tataran sscholastik atau bersifat teoritik-idealistik. Perdebatan ini mencuat kepermukaan pada akhir tahub 1930-an antara Ir. Soekarno dan Muhammad Natsir. Kedua, tataran realistik politik atau ideologis-empirik.
A.  Permasalahan
  1. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang muncul dari uraian sebelumnya setidaknya dapat di kelompokkan kedalam tiga persoalan. Pertama, anggapan bahwa upaya positivisasi syariat Islam sebagai upaya menuju pembentukan negara Islam, kedua, hubungan antara negara (Indonesia) dan syariat dalam konteks formalisasi hukum Islam di Indonesia, ketiga, ketentuan hukum Islam yang diatur dalam qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
  1. Pembatasan Masalah
Penelitian ini pada hukum pidana Islam  sebagai produk politik nasional secara umum dan produk hukum lokal, yang lahir di daerah dalam hal ini Nanggroe Aceh Darussalam. Formalisasi syariat Islam yang dimaksudkan adalah upaya memasukkan syariat Islam kedalam hukum nasional. Produk perundang-undangan lokal yang menjadi objek kajian penelitian adalah Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang larangan Khamar. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisyir (perjudian) dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang larangan Khalwat.
  1. Perumusan Masalah
a.       Apakah benar penerapan syariat Islam berbanding lurus dengan pembentukan Negara Islam?
b.      Bagaimana hubungan antara negara dan syariat dalam konteks formalisasi hukum Islam?
c.       Bagaimana bentuk hukum pidana Islam di Indonesia dan di Nanggroe Aceh Darussalam
  1. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Dalam disertasi ini dituliskan beberapa karya terdahulu yang relevan, yaitu : Buku karya M.B Hooker, Indonesian Sharia: Defining a National School of Islamic Law (2008). Kajian R.. Michael Feener, Muslim Legal Thought In Indonesian (2007), buku Islamic Law in Contemporary Indonesian: Ideas and Institutions, di edit oleh R. Michael Feener dan Mark E. Commack (2007). Abdullah Ahmed An-Na’i@m, Islam dan Negara Sekuler Menegosiasikan Masa Depan Syariah (2007). Sharia and Politic In Indonesia (2007) yang di edit oleh Azumardi Azra dan dan Arskal salim. Tulisan Tim Lindsey,, M.B Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kinggsley, tentang kebangkitan syariat Islam di Aceh. Adanya hak istimewa yang dimiiliki Aceh dlam membuat qa@nu@n terhadap masyarakat akan terjadi dalam kurun waktu yang lama, dan bagaimana juga dengan skala yang lebih perubahan itu meskipun masih sedikit dan perkembangan syariah selanjutnya sangat ditentukan oleh perkembangan politik dari pemerintahan Jakarta.
  1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a.       Mengetahui hubungan antara syariat Islam dengan Negara Indonesia
b.      Mengetahui kebijakan negara dalam penegakan syariat Islam di Indonesia melalui perundang-undangan.
c.       Mengetahui bentuk hukum pidana Islam di Indonesia dan di Nanggroe Aceh Darussalam.
  1. Metode Penelitian
  1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah sosio-legal-historis. Pendekatan Sosiologis digunakan untuk mengamati pola-pola interaksi antara kekuatan-kekuatan politik dan perilaku politik terhadap masyarakat. Pendekatan legal atau yuridis dilakukan dengan mempertimbangkan elemen-elemen tertentu dari hukum Islam yang telah dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pendekatan historis digunakan atas pertimbangan bahwa analisa sejarah dapat melihat secara objektif,  tajam dan bening tentang politik hukum Islam dan sosio-politicalmotivesnya dalam perpolitikan di Indonesi.
  1. Sumber dan Metode Pengumpulan Data
Pertama, penelitian kepustakaan (library research). Sumber-sumber pokok yang digunakan dalam kajian ini mencakup sumber primer yang berbicara mengenai landasan filosofis, landasan yuridis dan politis mengenai dasar negara sebagai pijakan dari pemberlakuan syariat Islam di Indonesia.
Kedua, penelitian dokumentasi produk hukum dengan cara meneliti dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan baik nasional maupun lokal dalam hal ini daerah Aceh.
Ketiga, Wawancara mendalam (indepth interview). Alat pengumpulan data dalam penelitian ini melengkapi dan memperkuat studi dokumentasi perundang-undangan dan menempatkan metode interview ini sebagai alat pengumpul data sekunder dan tambahan dari studi dokumen dan library research.
  1. Analisis Data
Pendekatan penulisan dalam penelitian ini adalah contents-analysis, artinya menggambarkan sesuatu yang menjadi objek penelitian secara kritis melalui analisis ini yang bersifat kualitatif. Deskriktif dimaksudkan memberikan data yang seteliti mungkin keadaan dan gejala lainnya. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan analisis politik hukum dalam pengertian legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia.
  1. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri dari dari VI bab, yaitu: Bab I pendahuluan. Bab II. Islam dan Konsep negara. Bab III. Membahas tinjauan hukum pidana Islam di Indonesia. Bab IV. Membahas formalisasi hukum pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Bab V. Membahas bentuk formalisasi hukum pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Bab VI. Berisi kesimpulan umum dan saran-saran.
BAB II
ISLAM DAN KONSEP NEGARA
Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah, pada gilirannya telah dipraktekkan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik negara. Negara Islam atau Daulah Islamiyah, bukan saja telah diajarkan oleh nabi Muhammad Saw, secara teoritis tapi juga pernah dibangun pada masa hidupnya, dalam hal ini memang ada keistimewaan agama Islam dari agama-agama lain, bahwa dalam Islam tidak dikenal pemisahan agama dan negara, tapi Islam mencakupi keduanya atau Islam sebagai complete civilization.
Dijaman moderen perdebatan tentang relasi agama dan negara terus menjadi wacana yang kerap kali dibahas dalam dunia Islam. Teori moderen ini ditandai dengan kolonialisme yang melanda negeri-negeri muslim. Hampir seluruh dunia Islam berada dibawah jajahan Negara Barat dan Eropa. Di era yang penuh tantangan itu muncullah beberapa cendikiawan muslim yang menawarkan diri untuk secara serius mengatasi tantangan-tantangan yang ada. Diantara mereka adalah Jamaluddin al-Afga@ni (1838-1897) dengan mengusung ide Pan-Islamisme, yang ingin membangunkan kaum muslimin dari tidur nyenyak mereka, sekali gus merupakan reaksi terhadap negara barat yang telah menginvansi dunia Islam dan akhirnya menciptakan beberapa negara Islam di dunia Arab, seperti negara Iran, Syiria, Libanon dan Yordania. Dan seruan al-Afga@ni ini disambut secara antusias diantaranya oleh Feisl, putra Sharif Husein dari Mekkah yang kemudian membangun teori buku tentang nasionalisme arab dalam upaya mempertahankan Syiria-Arab yang berstatus dan berdaulat.
A.  Relasi Agama dan Negara Muslim
Dalam pemikiran politik Islam, hingga sekarang ini terdapat tiga paradigma tentang hubungan antara agama (Islam) dan negara. Petama, paradigma bersatunya agama dan negara (integrated paradigma). Aliran ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni yang hanya mengurusi hubungan antara manusia dan tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.Tokoh-tokohnya adalah, Ibnu Taimiyah dan al-Mawardi. Kedua, Paradigma yang memandang agama dan negara berhubungan secara simbolik (simbotik paradigm). Aliran menolak pendapat bahwa Islam agama yang serba lengkat dan bahwa didalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan, namun aliran ini juga menolak bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur ubungan manusia dan tuhannya saja, diantara tokoh-tokohnya adalah, al-Mawardi dan Al-Gha@zali. Ketiga, paradigma yang bersifat sekularisti (sekularistic paradigm). Aliran ini berpendapat adalah Islam adalah sebagaimana dalam pengertian barat yang tidak ada urusannya dengan kenegaraan. Jadi paradigma ini mengajukan pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuleristik menolak pendasaran negara pada Islam dan ditolak diterimanya Islam atas negara. Tokoh-tokohnya adalah: Ali Abd al-Raziq dan Thata Husein.
B.   Konsep Ummat dan Konsep Negara-Bangsa
Konsep nation-state muncul di Barat, disaat ruang lingkup agama terbatas hanya dalam satu aspek vertikal dalam kehidupan individu yang terpisah dari aspek-aspek lainnya. Di dalam Islam tidak demikian, Islam adalah agama yang luas cakupannya meliputi aspek privat dan publik dalam kehidupan ummmat manusia. Syariah Islamiyah oleh sebagian besar pengikutnya diyakini sebagai ketetapan hukum yang berlaku universal, lengkap dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Meski demikian, terdapat dua aliran pemikiran ummat Islam dalam merespon masuknya wacana nation-state tesebut kedalam dunia Islam, yakni pertama respon konformis, yaitu mereka yang baik secara sadar maupun terpaksa menerima gagasan barat sebagai proses yang alami dan harus ditempuh untuk membentuk identitas nasional dan memberikan loyalitas politik nasional. Kedua, respon non-konformis, mereka yang secara sadar menolak sebagian atau secara keseluruhan konsep nation-state dan gagasan-gagasan Barat lainnya sebagai suatu yang harus dikritisi atau bahkan ditolak dan karena itu harus diuraikan akar persoalan dan dicarikan solusinya, meski diakui bagaimanapun juga pengaruh nation-state merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh dunia Islam moderen secara keseluruhan.
C.   Pemikiran Islam dan Pemikiran Sekuler
Sekularisme telah dipahami sebagai upaya sengaja untuk mengeluarkan agama dari urusan-urusan dunia. Namun pada kenyataannya pemerintah sekular tidak memusuhi agama, pemerintah itu menerima agama tetapi tidak sebagai dasar untuk legitimasi atas tindakan mereka. Setiap Pemerintahan supaya mereka tetap hidup dan pertahan membutuhkan dua hal yaitu: dan sumber legitiimasi dan kerangka normatif. Akan ada masanya pemerintah meminjam persyaratan tersebut dari agama. Akan tetapi, pada era kita, (kira-kira 300 tahun terakhir) kebiasaan ini telah menjadi usang, karena dewasa ini pemerintah mendapatkan legitimasinya dari persetujuan rakyat. Disinilah menurut Soroush letak peran sekularisasi yang telah berhasil menghapuskan agama dari gelanggang politik dan menempatkan hak legislsi dan pemerintahan semata-mata di tangan rakyat
BAB III
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA
A.  Sejarah Hukum Pidana Islam Dalam Tata Hukum Indonesia
1.     Hukum Pidana Islam Pra Kemerdekaan
Anthony Reid dengan mengutip catatan Dampier, Warwijik dan Bowery, menemukan fakta bahwa, praktek amputasi sebagai bentuk sanksi dari pencurian telah dilaksanakan pada masa Sulta Ageng di Banten (1650-1680). Bahkan di Aceh sepanjang abat ke-17, sebagaimana direkang oleh Reid diberlakukan hukum potong (amputasi) terhadap siapa saja yang melakukan pencurian berulang-ulang, mulai dari tangan kanannya, kaki kirinya, tangan kirinya, kaki kanannya dan kemudian dibunag kepulau lepas dipantai Sabang. Urutan-urutan sanksi tersebut  terhadap pencurian, jelas hal tersebut sama persis dengan apa yang terdapat dalam ketentuan fiqih Islam. Dengan demikian hal tersebut tidak bisa dinafikan bahwa hukum potong tangan, sebagai hukum yang dibawa oleh pidan Islam, telah diterima dan berlaku dikalangan masyarakat Indonesia, terutama dikerajaan Islam pra-Indonesia.
2.    Hukum Pidana Islam Masa Kemerdekaan
Menjelang kemerdekaan Indonesia, perjuangan menegakkan ajaran agama Islam terus berlangsung. Bahkan menjelang berdirinyan negara RI, syariat Islam harus melalui perjalanan yang sangat berat, terutama ketika dibahas dalam BPUPKI, hingga akhirnya lahirlah piagam Jakarta sebagai rumusan pertama mukadimah UUD 1945. Rumusan piagam Jakarta inilah yang kemudian oleh banyak kalangan dianggap sebagai ide dasar perjuangan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia saat ini. Namun demikian, lahirnya Pancasila dan UUD 1945, menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang didirikan berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan bebas dari politik warisan kolonial. Dalam persfektif Hazairin kalimat “negara berdasarkah Ketuhanan Yang Maha Esa” , secara tidak langsung menunjukkan bahwa hukum agama merupakan sumber ajaran dan bagian integrasi dan unsur mutlak dalam hukum nasional.
3.    Hukum Islam di Masa Reformasi
Di era reformasi kebijakan bidang jinayah atau hukum Pidan Islam mengalami perkembangan, terutama semenjak adanya Otonomi Daerah dan Keistimewaan yang diberikan kepada daerah Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana diatur dalam UU No.18 Tahun 2001 tentang OTSUSNAD. Setelah adanya kewenangan yang dimiliki NAD untuk menerapkan syariat Islam tahun 2001, telah dibuat sejumlah qanun yang berisikan tindak pidana. Ini berarti bahwa syariah (hukum Islam) yang berlaku di NAD tidak lagi terbatas pada masalah hukum perdata Islam semata, tapi sudah mencakup hukum pidana. Sampai saat ini macam-macam tindak pidana yang telah diatur qanun NAD meliputi: Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang minuman Khamar dan Sejenisnya. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir. Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat.
Kebijakan negara dalam bidang jinayah atau hukum pidana Islam pada masa era Reformasi dapat disebut bersifat oposional, meskipun dalam kasus tertentu bersifat akomodasi terbatas karena pertimbangan politis dengan memberikan keistimewaan bagi NAD tetapi kekhususan ini tidak berlaku bagi daerah-daerah lainnya.Dalam kaitan dengan hukum Islam sebagai the living law, maka adopsi hukum Islam kedalam hukum nasional merupakan kewajiban berdasarkan amanah konstitusi UUD 1945 melalui mekanisme politik yang demokratis atau minimal hukum Islam harus menjadi referensi bagi pembentukan hukum nasional ini dinamai sebagai teori konstitusi (the constitusion theory) dan teori adopsi (the adoption theory).
B.   Hubungan Formalisasi Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Hukum Positif
Keberadaan Hukum Pidana Islam (Qanun Jinayah) di Aceh, dapat dijelaskan sebagai telah terjadi positivisasi hukum disana. Artinya bahwa hukum pidana Islam tidak saja telah menjadi hukum positif yang sifatnya khusus bagi masyarakat Aceh, tetapi status Qanun Jinayah ini juga harus di akui sebagai hukum positif oleh negara, meskipun sifatnya lokal. Hal ini mengingat eksistensinya ditetapkan oleh undang-undang , yaitu; UU No. 44 tahun 1999. UU No. 18 tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
BAB IV
FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI NAD
A.  Sejarah Hukum Pidana Islam di Aceh
Menurut Azumardi Azra, Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia, kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah 916-936 H/ 1511-1530 M), adalah sebuah kerajaan yang ditegakkan atas asas-asas Islam. Dalam Adat Mahkota Alam yaitu UUD kerajaan Aceh Darusslam yang diciptakan atas arahan Sultan Iskandar Muda, misalnya disebutkan bahwa sumber hukum yang dipakai dalam negara adalah al-Qur’an, Hasist, Ijma’ dan Qiyas .
Pada masa penjajahan Kolonial Belanda, Belanda menyerang Ibu Kota Kesultanan Aceh pada April 1873 dan berhasil menaklukkan kesultanan Aceh dengan pimpinan Sultan yang terakhir Muhammad Daud Syah (1874-1903). Dengan ditaklukkannya Kuta Raja sebagai pusat kekuasaan kesultanan Aceh, Belanda memandang kesultanan Aceh telah berakhir dan para administrasi ditempatkan untuk mengambil alih posisi dan hak-haknya. Akan tetapi dalam pandangan masyarakat Aceh mereka belum ditaklukkan dan perang masih berlanjut. Dalam hal ini ulama menjadi inspirator nyata dalam perjuangan Aceh dan bersama masyarakat terus melakukan perlawanan dan berpergian keseluruh Aceh untuk mendakwahkan Jihad fi sabilillah.
Setelah Indonesia meerdeka tuntutan untuk menerapkan syariat Islam kembali muncul. Masyarakat Aceh yang sebelumnya telah menyatakan kepada Soekarno bahwa Aceh mau membantu dan bergabung dengan RI melawan penjajahan Belanda dengan catatan diberikan hak untuk melaksanakan syariat Islam menurut pelaksanaanya. Tengku Daud Beureuh, tokoh pergerakan Aceh berkali-kali menuntut penerapan syariat Islam kepada presiden Soekarno dan pihak presiden hanya memberi janji-janji. Alih-alih memberikan hak bagi Aceh untuk menerapkan syariat Islam, malah menghapus Provinsi Aceh dan menggabungkannya kedalam Provinsi Sumatra Timur.
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto melanjutkan kebijakan pendahulunya untuk memberikan Aceh status daerah Istimewa dan penerapan syariat Islam. Namun begitu janji tersebut tidak pernah dilaksanakan dengan sepenuhnya. Bahkan disisi lain, Soeharto memberikan kesempatan kepada perusahaan multi nasional dari Anerika Serikatuntuk membuka industri besar di Aceh dibidang eksplorasi minyak dan gas bumi di Arun pada tahun 1970an.
Pada masa reformasi Aceh kembali menuntut pemberlakukan syariat Islam, tuntutan referendum kepada Aceh mendominasi tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Pemmeritah Pusat merespon tuntutan ini dengan mengundangkan UU No. 44/1999 tentang penyelenggaraan Keistemewaan Provinsi Daerah Istimmewa Aceh. Pada Juli 2001 dimasa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri mengeluarkan UU No. 18/2001 tentang Provinsi NAD dan mengatur lebih jauh OTSUS bagi NAD seperti adanya Mahkamah Syraiyyah, Qanun, Lembaga Daerah, Zakat, Kepolisian Syariah, kepemimpinan adat dan lain-lain. Pada 9 Desember 2002 terjadi kesepakatan penghentian kekerasan (Cessation on Hostilities Agreement, CoHA) yang ditandatangani di Jenewa. Tapi karena ketidak efesienan CoHA dalam memberhentikan pembrontakan, presiden Megawati melalui keputusan presiden No. 18/2003 kembali menerapkan status Darurat militer di Aceh. Gempa bumi dan Tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 memberikan pintu hikmah bagi masyarakat Aceh, pada tanggal 17 Juli 2005 kedua belah pihak (GAM-RI) bersepakat mengenai subtansi dan redaksi yang tertuang pada MoU. Kesepakatan tersebut di ikuti dengan penanda tanganan kesepakatan perdamaian antara pemerintahan RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 yang dikenal dengan MoU Helsinki.
B.   Hukum Pidana Islam di Era Otonomi Khusus
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini didasarkan pada Undang-undang RI No. 44 tahun 1999  tentang penyelenggaraan keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, U ndang-undan No 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khususnya Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam menindak lanjuti UU RI No. 44/1999, pada bulan juli tahun 2000, DPRD Aceh mengeluarkan sebuah peraturan Daerah (Perda) No. 5/2000 tentang pelakssanaan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, didalam pasal tersebut, pada pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa pelaksanaan syariat Islam meliputi masalah aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah, baitul mal, kemasyarakatan, syar Islam, pembelaan Islam, qadha@, jina@ya@t, muma@kaha@t dan mawa@ris.
BAB V
BENTUK FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI NAD
Untuk kasus keistimewaan bagi Aceh juga diamanatkan dalam ketetapn MPR, TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004, ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000 yang berbunyi UU Otsus bagi provinsi DI Aceh dan Iriyan Jaya sesuai amanat ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004. Agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yangg bersangkutan. Selain itu terdapat landasan yuridis untuk melaksankan syariat Islam semenjak Indonesia merdeka. Misalnya keputusan Perdana Menteri Hardi, UU No. 44/1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan di Provinsi D.I Aceh, UU No. 18/2001 tentang Otsus bagi Provinsi D.I Aceh, Kepres RI No.11/2003 tentang Mahkamah Syar,iyyah, Mahkamah Syar’iyyah provinsi di NAD dan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Hingga kini telah di undangkan 7 qanun, yang berhubungan dengan penerapan syariat Islam  yang disahkan, yaitu: Qanun No. 10/2002 tentang  peradilan syariat Islam, Qanun No. 11/2002 tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. Qanun No.12/2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. Qanun No. 13/2003 tentang Larangan Maisyir. Qanun Noo.14/2003 tentang Larangan Khalwat. Qanun No.7//2004 tentang pengelolaan Zakat. Qanun No.11/2004 tentang Kepolisian Daerah.
BAB VI
PENUTUP
Penerapan syariat Islam di Aceh terhadap upaya formalisasi hukum pidana Islam dalam sistem hukum dan perundang-undangan nasional dapat dipahami sebagai ikut mewarnai produk hukum nasional yang telah dan akan dibuat. Bahkan sebenarnya berdasarkan qanun di Aceh menunjukkan telah terjadi proses formalisasi hukum pidana Islam di Indonesia hal ini didasarkan UU No.10/2004 tentang hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu UUD 1945, UU/Perpu, PP, Peraturan presiden dan peraturan Daerah. Selain itu legitimasi hukum Islam menjadi perundang-undangan negara memiliki kontribusi positif dalam memperkuat daya rekat ummat Islam terhadap komitmen negara-bangsa (nation-state) karena syariah bisa berjalan seiring dan compatiable dengan Pancasila dan UUD 1945, maka dalam hal ini hukum Islam dipandang sebagai dalam kerang fenomologi konstitusi untuk membangun hukum nasional Indonesia.

C.   REVIEW DISERTASI
Review Metodologi dan Alternatifnya
1.    Judul
Judul sebuah penelitian harus jelas sehingga dapat menarik perhatian orang untuk mau membaca bahkan mempelajari isinya. Judul haruslah menjadi gambaran global tentang arah, maksud, tujuan, dan ruang lingkup penelitian tersebut. Namun harus tetap dalam kerangka singkat, spesifik, dan jelas.[1] Judul juga harus menggunakan kata-kata yang jelas, singkat, deskriptif, dan tidak merupakan pertanyaan. Hendaknya hindarkan penggunaan kata-kata yang kabur, bombastis, bertele-tele, tidak runtut, dan lebih dari satu kalimat[2]. Perumusan judul penelitian tidak jarang dianggap sebagai suatu hal yang remeh. Perumusan suatu judul penelitian sedikit banyaknya tergantung pada berhasil tidaknya seorang peneliti untuk menabstrasikan masalah yang ingin ditelitinya dengan sesederhana mungkin.[3]
Judul Disertasi ini adalah “FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA: Analisis Kasus Penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam “. Judul menurut pemakalah sudah bagus, karena dari segi bahasa penggunaan judul sudah cukup jelas, walaupun judulnya panjang, tapi judul disertasi ini sudah dipecah menjadi dua bagian yaitu, judul induk dan anak judul, sehingga mudah untuk dipahami dan dapat dimengerti dengan mudah (tidak muluk-muluk).[4]
2.    Latar belakang masalah
Dalam latar belakang masalah, perlu dijelaskan tentang pengtingnya judul yang diteliti. Sehubungan dengan ini, maka peneliti perlu menyajikan referensi yang relevan berdasarkan studi pendahuluan untuk memperkuat alasan pemilihan judul.[5]
Latar belakang yang dituliskan peneliti berkisar tentang perdebatan penerapan syariat Islam dari bergai tokoh terkuma disamping itu ada juga unsur sejarah yang menjelaskan tentang kapan hukum Islam itu mulai di terapkan sebagai suatu hukum negara diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia . Dari jabaran menurut reviewer peneliti telah cukup bagus dalam mengangkat urgensi permasalahan formalisasi hukum pidana Islam untuk menguatkan judul yang dibahasnya.
3.    Permasalahan
1)      Identifikasi Masalah
Dalam identifikasi masalah penting menjelaskan berbagai permasalahan yang muncul dari judul yang dibahas karena ditinjau dari berbagai aspek[6]. terhadap aspek lainnya juga.
2)      Pembatasan Masalah
Dalam hal ini, peneliti sudah tepat dalam memberikan alasan pendukung. Namun pembatasan masalah juga perlu data pendukung sehingga penelitian ini layak untuk dibahas[7].
3)      Rumusan Masalah
Dalam rumusan masalah peneliti harus lebih konkrit permasalahan yang hendak dijawab pada kesimpulan[8]. Pada bagian telah memadai dalam perumusan masalahnya.
·         Peneliti merumuskan: Apakah benar penerapan syariat Islam berbanding lurus dengan pembentukan negara Islam?
·          Bagaimanakah hubungan antara negara dan syariat Islam dalam konteks formalisasi hukum Islam?.
·         Bagaimanakah bentuk hukum pidana Islam di Indonesia dan Nanggroe Aceh Darussalam?
menurut reviewer, rumusan yang pertama tidaklah layak untuk diteliti dengan serius, kerana untuk mengetahui jawabannya cukuplah hanya dengan sekilas melihat sejarah negara Islam pada masa Nabi Muhammad, karena menurut reviewer hukum Islam ini bisa dijalankan sepenuhnya apabila negara tempat bernaung hukum itu juga menggunakan sistem negara Islam. Untuk rumusan point 2 dan 3 reviewer kira sangat penting untuk dikaji dan diteliti secara mendalam
4.    Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang suatu gejala, sehingga dapat merumuskan masalah, memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang suatu gejala sehingga dapat merumuskan hipotesa, untuk menggambarkan secara lengkap karakteristik atau ciri-ciri dari suatu keadaan, perilaku peribadi dan perilaku kelompok.[9]
Dalam hal ini, menurut reviewer telah baik dalam konsistensi dengan perumusan masalah yang diutarakan walaupun menurut reviewer sedikit kaku karena terlalu berpatokan sekali dengan rumusan masalah. Dan peneliti juga tidak keluar dari konteks perumusan masalah.
5.    Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian terdahulu yang dipaparkan oleh peneliti berkaitan dengan penerapan syariat Islam sudah sangat bagus dan kaya. Menurut reviewer penulis sudah bisa mencari perbedaan dan persamaan penelitiannya dengan penelitian terdahulu. Dalam hal ini, peneliti sudah mampu mengaikan penelitiannya dengan penelitian yang terdahulu.
6.    Metode Penelitian
1)      Metodr penelitian disertasi ini adalah menggunakan metode kualitatif. (Menurut Denzin dan Lincoln, mengatakan bahwa, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud mentafsirkan penomena yang terjadi dengan jalan melibatkan bberbagai metode yang ada.[10]) dengan pendekatan sosio-legal-historis. Menurut reviewer penulis sudah bagus dalam memilih pendekatan penelitian, hanya saja menurut pemakalah, penulis kurang begitu mendalam dalam menganalisa permasalahan yang terjadi dilapangan, seharusnya penulis bisa menambhakan pendekatan penelitian diagnostik-preskriptif-evaluatif[11] sehingga peneliti dapat menyelidiki untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya formalisasi hukum pidana Islam baik di Indonesia maupun di Nanggroe Aceh Darussalam. Serta untuk mendapatkan saran-saran untuk medapatkan mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah dalam penerapan hukum Islam itu sendiri, lalu penulis dapat menilai bagaimana program-progran formalisasi hukum pidana Islam dijalankan baik di Indonesia maupun di Nanggroe Aceh Darussalam.
2)      Dalam teknik pengumpulan data, peneliti meengambil penelitian kepustakaan, dokumentasi produk hukum dan wawancara. Menurut reviewer ketiga teknik pengumpulan  data itu masih sangat kurang, karena menurut reviewer peneliti harus terjun langsung kelapngan[12] (observasi), karena dengan tenik observasi memungkinkan kepada peneliti untuk memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumt mungkin terjadi, seperti halnya dalam penerapan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dimana tidak semua daerah bisa menjalankan syaiat Islam secara baik dan efektif. Jadi pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan untuk perilaku yang kompleks.
3)      Dalam teknik analisis data, peneliti menggunakan pendekatan contents-analysis, yaitu menggambarakan sesuatu yang menjadi objek penelitian. Pada analis ini peneliti juag menjelaskan hubungan antara antara pemerintah daerah, disamping itu peneliti juga melakukan analysis politik hukum mengenai peraturan-peraturan yang sudah dan akan diterapakan dikemudian hari. Menurut reviewer peneliti seharusnya juga menggunakan analisis perundang-undangan hal ini untuk mengetahui pengertian-pengertian dasar yang terkandung dalam undang-undang[13], hal ini akan mempermudah peneliti dalam menganalisa kebijakan dari pemerintah dalam formalisasi hukum pida Islam itu sendiri.
Review Teori
BAB II
Dalam bab ini, peneliti memberi judul ISLAM DAN KONSEP NEGARA. Adapun kontennya seputar tentang relasi agama dan negara muslim, konsep ummat dan konsep negara bangsa, pemikiran Islam dan pemikiran sekuler, Sejarah gagasan dasar negara Indonesia.
Dalam bab ini reviewer memberi penilaian:
Penelitian tentang agama dan negara reviewer rasa sudah bagus untuk dijelaskan pada bab ini, karena sebelum meneliti lebih jauh lagi tentang formalisasi hukum pida Islam perlu diketahui bagaimana relasi antara agama dan negara itu sendiri. Dari segi referensi bacaan peneliti juga sudah memadai sehingga bisa menyajikan pembahasan yang mendalam mengenai Islam dan negara. Satu hal yang masih mengganjal didalam fikiran reviewer adalah dalam bab ini atupun bab-bab yang lainnya tidak ada pembhasan mengenai formalisasi hukum Islam di negara-negara yang sudah menerapkan hukum Islam secara penuh.
Menurut reviewer hal ini sangat penting, karena dengan menjelaskan penerapan hukum pidana Islam dinegara-negara yang sudah menerapkan hukum Islam peneliti dapat mengetahui suatu gambaran dan perbedaan dengan di Indonesia, dengan begitu peneliti dapat mengetahui persamaan dan perbedaanya. Sehingga mudah untuk menarik kesimpulan tentang formalisasi hukum pidana Islam di Indonesia.
Selain itu peneliti juga seharusnya membahas mengenai lembaga-lembaga penerapan hukum Islam, sehingga dapat diketahui apa yang menjadi perbedaan dengan lembaga-lembaga penegakan hukum sekarang ini. Yang menajdi pertanyaan, apakah lembaga-lembaga penegak hukum sekarang ini bisa dijadikan sebagai pengawal mengenai kebijakan-kebijakan yang benuansa hukum pidana Islam di Indonesia? Lalu bagaimanakah mekanisme penjalanannya?
BAB III
Dalam bab III ini diberi judul TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA. Adapun pembahasannya, sejarah pidana Islam dalam tata hukum Indonesia pra kemerdekaan, sesudah merdeka dan pasa reformasi. Hukum pidana Islam dalam kontek politik nasional. Formalisasi hukum pidana Islam dan urgensinya. Hubungan formalisasi hukum pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dengan hukum positif.
Dalam bab III ini reviewer menilai:
Seharusnya pembahasan ini lebih tepat dibuat di bab ii, karena menurut reviewer ini di bab ini masih berbicara tentang konsep negara, seharusnya dibab ini lebih tepat dibuat apa yang ditulis dibab IV, sehingga bisa langsung kepokok permasalahan atau bab inti. Secara keseluruhan penulisan pada bab III ini sama seperti bab sebelumnya, sudah bagus dengan referennsi yang memadai. Peneliti juga bisa menyajikan tulisan yang sistematik dan mudah untuk dipahami. Hanya saja dalam bab ini referensi yang digunakan peneliti cenderung bersifat lokal, dalam artian sangat jarang buku-buku atau peneliti dari luar Indonesia.Hal ini sangat diperlukan, karena dengan mengutip referensi-referensi dari peneliti luar negeri, penyajiannya akan lebih fair dan berimbang, sehingga penyajian mengenai sejarah pemberlakuan hukum pidan islam di Indonesia bisa dilihat dari berbagai sumber, sehingga dalam penarikan kesimpulan bisa lebih mendekati.
Selanjutanya perkembangan hukum Islam setelah kemerdekaan pemakalah kira kurang jelas, dalam artian bagaimana keberadaan hukum Islam dimasyarakat dimasa itu? di pembahasan ini tidak dijelaskan secara terperinci, menurut reviewer, peneliti hanya berkecimpung di dalam subtansi perumusan pembentukan dasar negara Indonesia, sedangkan keadaan Hukum pidana Islam secara aplikatif dimasa itu tidak singgung.
BAB IV
Dalam bab ini adalah analisa. Peneliti memberi judul FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM dengan sub kajian, sejarah hukum pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Hukum pidana Islam di era Otonomi Khusus. Problematika Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Peluang dan hambatan formalisasi hukum pidana Islam di Nanggrooe Aceh Darussalam.
Penilaian reviewer: Judul yang diberikan oleh peneliti sudah konsisten dengan objek yang akan dianalisis, tapi kekurangan dari bab ini adalah tidak dijelaskannya bagaimana karakter masyarakat Aceh, berapa suku yang ada di Aceh, seharusnya peneliti lebih memperhatikan antropologi hukum dalam penelitian ini, sehingga peneliti bisa mengetahui dengan baik hambatan/tantangan penerapan syariat Islam di Aceh.
Secra keseluruhan penyajian penelitian dibab ini sudah baik. Ppenjelasan mengenai sejarah penerapan hukum Islam di Aceh sudah dapat disajikan secara sistematis mulai dari zaman kerajaan Aceh sampai pada masa reformasi. Dari referensi penulisan disertasi pada bab ini juga sudah cukup kaya dan mudah untuk dipahami.Utuk legaisasi penerapan syariat Islam di Aceh juga dijelaskan dengan baik, mulai dari peraturan-peraturan jaman orde lama hingga jaman reformasi sekarang ini.
BAB V
Dalam bab ini diberi judul BENTUK FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM dengan sub kajian, hukum pidana Islam dalam bingkai konstitusi. Produk hukum pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Penerapan sanksi hukum pidan Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Pengaruh penerapan hukum pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam terhadap masyarakat.
Penilaian reviewer pada bab ini adalah: peneliti tidak bisa menjelaskan dengan baik mengenai bentuk formalisasi hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, pada bab ini susah untuk dipahami seperi apa formalisasi hukum pida Islam di Aceh, karena peneliti hanya berkecimpung terhadap muatan-muatan qanun pidana di Aceh, seperti Qanun No.12,131,14 tahun 2004. Pada bab ini peneliti juga tidak menjelaskan lembaga-lembaga penegak syariah di Aceh beserta pungsinya. Seharusnya peneliti bisa menjelaskan mengenai peran Wilayatul Hisbah (Polisi Syariiat) di Aceh, bagaiman wewenang WH dalam menjalankan tugas karena bagaimanapun Polisi Syariah inilah yang akan mengawal semua kebijakan/qanun—qanun yang bernuansa syariah di Aceh.
Lebih lanjut peneliti juga tidak membahas dengan baik mengenai pungsi dan kedudukan Mahkamah Syar’iyyah di Aceh, baik kedudukannya dalam sistem peradilan di Indonesia maupun di Aceh. Lembaga-lembaga daerah pasca disahkannya UU Otonommi Khusus bagi Aceh, seperti Majelis Pendidikan Daerah (MPD), Majelis Permusyawaratan Ulama (MAA) juga tidak disinggung pada bab ini, karena peran serta ulam di Aceh sangat vital dalam menentukan kebijakan-kebijak syariat di NAD.
Mengenai pengaruh Hukum Pidana Islam di Aceh terhadap masyarakat juga tidak begitu jelas, disini tidak begitu jelas apakah ada danpak atau perubahan pada masyarakat Aceh pasca di sahkannya Qanun Pidana yaitu Qanun No.12,13,14 Tahun 2003 di Aceh. Lagi lagi peneliti hanya fokus pada muatan qanun-qanun tersebut, seharusnya peneliti bisa mengobservasi kelapangan, baik kemasyarakat maupun kelembaga-lembaga penegak syariat Islam di Aceh seperti Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar’iyyah dan Wilayatul Hisbah.
BAB VI
KESIMPULAN
Pada bab ini peneliti menuliskan kesimpulan penelitiannya, tapi menurut reviewer kesimpulan peneliti kurang begitu memuaskan, karena secara keselurah belum bisa dikatatakan mewakili dari rumusan masalah yang ada pada bab pertama.

ALTERNATIF OUT LINE
Judul Disertasi : FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA: Analisis Kasus Penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
  2. Permasalahan
  3. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
  4. Tinjauan Pustaka
  5. Metode Penelitian
  6. Teknik dan Sistematika Penulisan
  7. Jadwal Penelitian
BAB II ISLAM DAN KONSEP NEGARA
  1. Relasi Agama dan Negara Muslim
  2. Konsep ummat dan Negara Bangsa
  3. Pemikiran Islam dan Pemikiran Sekuler
  4. Sejarah Gagasan Dasar Negara Indonesia
  5. Tinjauan Hukum Pidana Islam di Indonesia
  6. Penerapan Syariat Islam di berbagai Dunia
BAB III ACEH DALAM BINGKAI NKRI
  1. Sejarah Aceh
  2. Dasar pemberlakuan syariat Islam di Aceh
  3. Syariat Islam dalam bingkai perundang-undangan Nasional
  4. Kewenangan Aceh pasca disahkannya UU Otsus

BAB 1V FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI ACEH
  1. Sejarah hukum Pida Islam di Aceh
  2. Hukum Pidan Islam di era Otsus
  3. Problematika penerapan Hukum Pidana Islam di Aceh
  4. Peluang dan Hambatan Formalisasi Hukum Pidana Islam di Aceh
BAB V BENTUK FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI ACEH
A.    Hukum Pidana Islam Dalam Bingkai Konstitusi
B.     Produk Hukum Pidana islam di aceh
C.     Penerapan Sanksi Hukum Pidana Islam
D.    Pengaruh Penerapan Hukum Pidana Islam terhadap Masyarakat
BAB VI Penutut
Kesimpulan dan Saran








DAFTAR PUSTAKA
Soekanto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta: UIP 2010)
Moleong, J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosada 2014
Suwendi, Modul Metodologi Penelitian Program Dua Mode Sistem. Fakultas
            Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian
            Islam 2011-2015, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
            Hidayatullah, 2011




BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda