Tinjaun syariat Islam Terhadap Suku Pak-pak di Kota Subulussalam
IMPLEMENTASI QANUN
MAISIR (JUDI) TERHADAP MASYARAKAT SUKU PAK—PAK DI KOTA SUBULUSSALAM – ACEH
Ali Geno Berutu
Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta
Jl. Kertamukti, No. 5 Pisangan Barat, Ciputat
Email: ali_geno@ymail.com
Abstrak
Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir disahkan pada awal penerapan
syariat Islam di Aceh sebagai qanun dalam bidang jinayat. Pemilihan
qanun ini sekurang-kurangnya memiliki dua alasan, alasan yang pertama,
jenis perbuatan tersebut merupakan bentuk maksiat (haram) dalam syariat
Islam dan sangat meresakan masyarakat namun belum tertangani dengan baik. Kedua,
adanya euforia di dalam lapisan masyarakat dalam bentuk “peradilan
rakyat” terhadap jenis yang diatur dalam qanun No. 13 ini, guna untuk
menghindari main hakim sendiri ditengah-tengah masyarakat, maka disahkan Qanun
Maisir sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai kekacauan ditengah-tengah
lapisan masyarakat Aceh. Dalam perjalanannya, penerapan qanun yang berbasis jinayatdi
Aceh tidak semua daerah berjalan dengan baik, banyak masalah dan kendala yang
dihadapi dilapangan, baik dari pelaksananya (pemerintah) maupun masyarakat
sebagai objek hukum penerapan syariat Islam itu sendiri.
Kata Kunci: Aceh, Syariat Islam, Jinayat,
Qanun, Maisir
Abstract
Qanun 13 Year 2003 on Maisir passed at the beginning of the application of
Islamic law in Aceh as qanuns in jinayat domain. The selection of this qanun
has thereabouts two reasons, the first reason, this type of action is a form of
violation (forbidden) in Islamic law and very restless the community but has
not been handled properly. Secondly, there is euphoria in the society in the
form of "people's justice" against the type stipulated in This Qanun
No. 13, in order to avoid self judgment among the people, then passed the Qanun
Maisir as a form of anticipation of the chaos in the midst of Aceh society. In
a way, the application of Qanun which is based jinayat in Aceh is not goes well
at all of the area, many problems and obstacles encountered in the field, both
of implementator (government) and society as a legal object of the of Islamic
law application itself.
Keywords: Aceh, Islamic Law, Jinayat, Qanun, Maisir
A. Pendahuluan
Syariat
Islam Aceh di implementasikan secara formal setelah dikeluarkannya
Undang-undang No. 44 Tahun 1999[1]
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan
Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh[2]
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Provinsi Aceh merupakan provinsi
yang memiliki peraturan daerah (qanun) tentang penerapan syariat Islam secara
menyeluruh, qanun tersebut bukan saja mengatur hukum keluarga (pernikahan dan
waris) dan ekonomi, tetapi juga mengatur jinayah (hukum pidana) yang
tercantum dalam Qanun No. 5 tahun 2000 Pasal 5 ayat (2) dan juga hukum diyani
(ibadah dan akhlak).[3]
Adanya
legalitas dari pemerintah untuk menerapkan syariat Islam di Aceh
direspon oleh pemerintah daerah dengan mengeluarkan beberapa peraturan daerah
(Perda) dalam rangka terlaksananya syariat Islam di Aceh. Dari perda-perda
itu selanjutnya dikembangkan lagi
menjadi peraturan-peraturan daerah yang menyangkut tata laksana syariat Islam
yang pada gilirannya melahirkan Qanun Aceh.[4]
Paska
pengesahan Undang-undang Otonomi Khusus bagi Aceh pada tahun 2001, Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan serangkaian qanun yang mengatur
tentang pelaksanaan syariat Islam. Lima qanun disahkan antara tahun 2002-2004
yang berisi hukuman pidana atas pelanggaran syariah yakni: Qanun No. 11 Tahun
2002 tentang Penerapan Syariah Dalam Aspek Kepercayaan (aqidah), Ritual
(ibadah), dan Penyebaran (syi’ar) Islam yang meliputi persyaratan
busana islami; Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang larangan Menkonsumsi dan Menjual
Minuman ber–alkohol (khamar); Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang larangan
Judi (maisir); Qanun No. 14 Tahun 2003 melarang “perbuatan
bersunyi-sunyian” (khalwat)[5] dan
Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pembayaran Zakat.
B. Tinjauan Pustaka
Tim
Linsdey, MB. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kingsley, dalam karyanya yang
berjudul “Sharia Revival in Aceh” (2007) yang mengatakan bahwa penomena
kebangkitan syariah di Aceh merupakan perubahan radikal di Aceh, selanjutnya
perkembangan dan keberlanjutannya sangat ditentukan oleh politik di Jakarta.
Pengaruh qanun terhadap masyarakat akan terjadi dalam waktu yang lama, tapi
bagaimanapun juga perubahan itu telah terjadi dalam skala kecil diawal
penerapannya.[6]
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh telah meningkatkan otoritas para ulama untuk
berkompetisi dengan sekuler. Para ulama mendapat keuntungan dari pemberlakuan
qanun-qanun Aceh berupa pembentukan instansi-instansi agama seperti Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU).
MB.
Hooker, Indonesia Sharia: Defining a National School of Islamic Law
(2008), Hooker berpendapat bahwa penerapan syariat Islam di Aceh akan menemui
banyak hambatan, menurutnya proses legislasi syariat yang akan
diterapkan harus sejalan dan kosisten dengan hukum nasional, sebab bagaimanapun
juga, pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah diberi wewenang dan otonomi
khusus melalui undang-undang yang telah diterbitkan. Tapi dalam pelaksanaannya
tetaplah dalam bingkai dan lingkup sistem hukum nasional, sehingga sedikit
banyak qanun syariat nantinya harus melakukan penyesuaian dengan tatanan hukum
yang berlaku di Indonesia.[7]
Haedar Nasir dalam disertasinya yang berjudl Islam
Syariat: Reproduksi Salafiyah Idiologis di Indonesia, menjelaskan bahwa, sejarah Aceh dan Indonesia telah menempatkan masyarakat Serambi
Mekkah ini pada posisi yang khas dan kekhasan tersebut lebih nyata lagi dalam
soal agama. syariat Islam bagi masyarakat Aceh adalah bagian tidak terpisahkan
dari adat dan budayanya. Hampir seluruh tatanan kehidupan keseharian masyarakat
diukur dengan standar ajaran Islam, dalam artian merujuk pada keyakinan
keagamaan, walaupun mungkin dengan pemahaman-pemahaman atau interpretasi yang
tidak selalu tepat dan relevan. Di sinilah letak muatan psikologis petingnya
penerapan “syariat Islam” bagi masyarakat muslim, dan ini juga yang menjadi
bagian dari alasan mengapa penerapan syariat Islam di Aceh akan sangat
menentukan masa depan daerah ini,[8]
pemberlakuan syariat Islam di Aceh akan menjadi titik pertaruhan bagi Islam
sebagai ajaran maupun umat Islam sebgai pemeluknya.
Dari beberapa kajian terdahulu di
atas dapat disimpulkan bahwa belum ada kajian terdahulu yang meneliti tentang
pemberlakuan syariat Islam terhadap suatu etnis minoritas masyarkat/suku di
Aceh. Seperti halnya di Kota Subulussalam, dimana mayoritas penduduknya adalah
suku Pak-pak (salah satu sub suku dalam Batak) dan suku Singkil. Walupun
demikian, keberadaan suku Pak-pak di Kota Subulussalam merupakan mayoritas
pemeluk agama Islam, berdasarkan data dari Kantor Kementrian Agama Aceh tahun
2015 bahwa penduduk Kota Subulussalam 97% menganut agama Islam, sehingga
keberadaan suku Pak-pak di kota ini berbeda secara keyakinan dengan suku
Pak-pak yang ada di Kabupaten Pak-pak Bharat dan Kabupaten Dairi Sumatera
Utara. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu
gambaran mengenai penerapan syariat Islam terhadap suku minoritas di Aceh,
khususnya terhadap suku Pak-pak di Kota Subulussalam.
C. Metodologi Penelitin
Penelitian ini
bersumber dari penelitian lapangan (field research) dan penelitian
kepustakaan (library research) dengan metode kualitatif dan
menggunakan pendekatan sosio-legal-historis. Pendekatan sosiologis
digunakan untuk mengamati dan mengetahui bagaimana peran hukum terhadap
perilaku sosial ditengah masyarakat, pendekatan yuridis/legal digunakan
untuk melihat hukum sebagai law in action, dideskripsikan sebagai gejala
sosial yang empiris. Dengan demikian hukum tidak sekedar diberikan arti
sebagai jalinan nilai-nilai, keputusan pejabat, jalinan kaidah dan norma, hukum
positif tertulis, tetapi juga dapat diberikan makna sebagai sistem ajaran
tentang kenyataan, perilaku yang teratur dan ajeg atau hukum dalam arti
petugas. Penelitian hukum empiris ini tidak hanya tertujuan pada
warga-warga masyarakat, akan tetapi juga pada penegak hukum dan fasilitas yang
diharapkan menunjang pelaksanaan peraturan tersebut.[9]
Pendekatan historis digunakan sebagai perbandingan terhadap pemberlakuan
Qanun Aceh di Kota Subulussalam, sebelum dan sesudah pemberlakuan UU No. 44
tahun 1999 sebagai dasar penerapan syariat Islam di Aceh.
D. Hasil dan Pembahasan
Akhir-akhir ini berbagai macam dan
bentuk perjudian sudah sedemikian rupa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari,
baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagian
masyarakat sudah cenderung permissif dan seolah-olah memandang perjudian
sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak heran jika diberbagai tempat sekarang
ini sudah banyak di buka agen-agen judi togel dan judi-judi lainnya yang
sebenarnya telah menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar.
Sementara itu di sisi lain memang ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu
serius dalam menangani masalah perjudian ini dan yang lebih memprihatinkan
beberapa tempat perjudian disinyalir mempunyai becking dari oknum aparat
keamanan.[10]
Tindak
pidana maisir di Kota Subulussalam sejak 2003-2015 kebanyakan di
selesaikan melalui proses peneguran baik di tempat kejadian maupun di kantor
Wilayatul Hisbah. Berdasarkan data dari Kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah (Pol PP dan WH) Kota Subulussalam, eksekusi cambuk baru sekali
dilakukan terhadap pelanggaran Qanun No. 13 Tahun 2003 di Kota Subulussalam,
yakni pada tanggal 23 Desember 2014[11]
sejak kota ini membentuk pemerintahan sendiri dari Aceh Singkil sebagai
kabupaten induk pada tahun 2007.[12]
Pelanggaran
Qanun No. 13 tahun 2003 yang di tangani oleh wiayatul hisbah di Kota
Subulussalam bisa di katakan jarang. Bahkan sejak Subulussalam masih merupakan
bagian dari Aceh singkil (2003-2007) tidak ada satu kasuspun yang berhasil di
tangani oleh wilayatul hisbah Aceh Singkil pada waktu itu, begitu juga halnya
pada periode 2008-2009 juga tidak ada satu kasuspun yang di tindak oleh
wilayatul hisbah, hal ini dikarenakan WH Kota Subulussalam masih dalam tahap
pembenahan dan pembentukan instansi Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam.[13]
Barulah pada tahun 2014 WH Kota Subulussalam melakukan suatu gebrakan dengan
banyaknya kasus yang di tangani yakni sebanyak 32 orang dimana 11 orang di
selesaikan melalui mahkamah syar’iyah dengan penjatuhan hukuman cambuk.
Daftar Kasus
Pelanggaran Maisir Di Kota Subulussalam
5 Tahun Terakhir
Tahun
|
Jumlah Kasus
|
Penyelsesain
|
|
Adat/Teguran/
Pembinaan
|
Mahkamah Syar’iyah
|
||
2011
|
1
|
ü
|
-
|
2012
|
9
|
ü
|
-
|
2013
|
-
|
-
|
-
|
2014
|
31
|
ü
|
ü
|
2015
|
-
|
-
|
-
|
*Sumber:
Kompilasi Jurnal Kasus Pol PP dan WH Kota Subulussalam
Pada
periode Januari sampai Desember 2014 pelanggaran yang terjadi dan ditangani
oleh WH sangatlah banyak, tapi dari semua kasus yang ditangani tersebut tidak
semuanya diselesaikan melalui pengadilan sebagaimana yang telah dituangkan
dalam QanunNo. 13 Tahun 2003. Kebanyakan dari kasus tersebut diselesaikan
melalui pembinaan dan teguran di kantor WH. Hanya 11 orang yang di limpahkan
kasusnya ke Mahkamah Syar’iyah Singkil, yakni kasus yang terjadi pada tanggal 16
November 2014 dan di eksekusi di Lapangan Beringin Kota Subulussalam pada
tanggal 23 Desember 2014.[14]
Pelaksanaan
eksekusi cambuk terhadap pelanggar Qanun No. 13 Tahun 2003 dilakukan di
lapangan Beringin Kota Subulussalam.[15]
Ke-10 terpidana yang terbukti melanggar Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir
(judi) berupa judi kupon putih atau togel (toto gelap). Ke 10 terpidana
cambuk ini terdiri dari seorang bandar togel serta sembilan tersangka lainnya
merupakan agen. Sebenarnya pada saat dilakukan penangkapakan terhadap pelaku
judi togel ini, jumlah tersangka adalah 11 orang, tapai karena salah seorang dari tersangka
masih dibawah umur, yakni AKS yang masih berusia 16 tahun dan masih menyandang
sebagai pelajar di salah satu SLTA di Kota Subulussalam, maka Mahkamah
Syar’iyah Singkil memutuskan untuk mengembalikan AKS kepada orang
tua/keluarganya untuk dilakukan pembinaan dan pengawasan.[16]
E.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Penerapan Qanun No. 13 Tahun 2003 di Kota Subulussalam (Hukum
dan Non-Hukum)
Dengan
diberikannya hak oleh negara kepada Aceh untuk menerapkan syariat Islam, maka
sudah menjadi kewajiban Pemerintah Aceh dan rakyatnya untuk menerima
kaedah-kaedah yang telah terangkum dalam aturan Islam yang dirumuskan ke dalam
qanun. Tapi perlu dipahami bahwa tidak semua masyarakat Aceh menerima kewajiban
syariat Islam sesuai ketentuan berlaku. Faktor itu terdapat pada lapisan
masyarakat tertentu yang tidak mau menerapkannya. Mereka lebih memilih
kebiasaan atau aturan tertentu lainnya, sehingga inilah yang menyebabkan
nantinya penerapan tersebut akan mengalami hambatan. Di Kota Subulussalam
sendiri, penerapan Qanun No. 12 Tahun 2003 belum sepenuhnya berjalan secara
efektif. Dalam pengaplikasiannya masih menemui kendala-kendala yang dapat
menghambat pemberlakuan qanun tersebut. Ada beberapa kendala yang dihadapi
dilapangan diantaranya:
1.
Kepedulian Masyarakat Yang Belum Tumbuh
Visi pembangunan
Aceh tahun 2005 – 2025
adalah kondisi Aceh
yang diharapkan lebih islami,
maju, damai dan sejahtera sebagaimana tujuan nasional yang tertuang
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945.[17]
Islami yang dimaksud adalah kondisi masyarakat
Aceh yang secara
utuh menjalankan seluruh aspek
kehidupannya berdasarkan nilai-nilai Islam serta memiliki karakter dan akhlak
mulia yang toleran, santun, taat beribadah, memiliki etika, mencintai
perdamaian, memiliki ketahanan
dan daya juang
tinggi, cerdas, taat
aturan, kooperatif dan inovatif serta menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia. Masyarakat Aceh yang Islami dicirikan dengan
terlaksananya pelaksanaan syariat Islam secara kaffah dalam semua
sendi kehidupan dan
terciptanya kerukunan hidup beragama.
Untuk
mewujudkan Visi dan Misi Aceh tersebut tidak akan dapat terlaksana tanpa adanya
dukungan dari setiap unsur masyarakat di Aceh. Kepedulian masyarakat Kota
Subulussalam dalam menjalankan syariat Islam harus lebih dari sekedar menaati
peraturan syariat Islam tersebut, tapi diharapkan dapat berperan aktif dalam
mengawal setiap qanun syariat yang berlaku. Keikutsertaan masyarakat dalam
mengawal syariat Islam sangat diharapakan, hal tersebut dikarenakan adanya
keterbatasan kemampuan pemerintah dalam hal ini wilayatul hisbah dalam
mengontrol setiap tingkah laku masyarakat yang jauh dari jangkuan.
Di
Kota Subulussalam sendiri dengan keberadaan wilayatul hisbah yang baru
terbentuk hanya di tingkat kota, tentu sangat menyulitkan bagi mereka untuk
memantau/patroli kesetiap pelosok-pelosok daerah tugasnya, peran aktif
masyarakat inilah yang menjadi harapan para penegak hukum dalam mengefektifkan
penerapan Qanun Jinayat. Hal ini sebenarnay telah tercantum daam Qanun Jinayat
di Aceh, seperti Qanun Nomor 12, 13 maupun Qanun Nomor 14. Seperti yang
tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan
bahwa (1) setiap anggota masyarakat berperan serta dalam
membantu upaya pencegahan dan pemberantasan maisir. (2) Setiap anggota
masyarakat diharuskan melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan
maupun tulisan apabila mengetahui adanya perbuatan maisir.
Menurut Ust. Arifin
Sarbaini selaku ketua Front Pembela Islam (FPI) Kota Subulussalam, kepekaan
masyarakat kota Subulussalam terhadap setiap orang yang melanggar qanun jinayat
masih belum terlihat. Hal ini ditenggarai dengan masih banyaknya pelanggaran
qanun jinayat di kota ini namun tidak terendus oleh WH, Ust. Arifin menduga hal
ini dikarenakan pemahaman masrakat tentang syariat Islam di Aceh dan ajaran
Islam pada umumnya masih sangat terbatas.[18] Hal
yang sama juga diutarakan oleh salah salah seorang pemuda Desa Sigrun kecamatan
Sultan Daulad dalam diskusinya dengan penulis, pemuda tersebut menjelaskan
bahwa di desanya, desa sigrun dan umumnya dikecamatan Sultan Daulad masyarakat
belum begitu peduli terhadap lingkungannya dalam hal ini penerapan syariat
Islam, menurutnya saat ini masyarakat terlihat cuek dan tak mau tahu mengenai
pelanggaran Qanun Jinayat di daerah tersebut. Padahal menurutnya, tingkat
pelanggran syariat Islam di daerah tersebut bisa dibilang sangat tinggi, baik
maisir, khamar maupun khalwat.[19]
Hal tersebut memang
bukanlah isapan jempol belaka, karena penulis sendiri pernah mengalami hal
serupa, waktu itu saya bersama seorang teman saya hendak membeli segelas kopi
di kedai kopi (warung kopi) dikawasan objek wisata pemandian air terjun SKPC.
Penulis melihat langsung bagaimana pemilik kedai menghidangkan miuman pola
(tuak) kepada sekolompok anak muda yang sedang berada dikedai tersebut,
padahal menurut penulis pengunjung kedai
tersebut sangat ramai dan banyak orang, tapi pada kenyataannya mereka tetap
santai dan biasa-biasa saja seolah perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan
qanun syariat Islam di Aceh.
Disinilah letak
tantangan bagi PemerintahKota Subulussalam dalam mengefektifkan penerapan Qanun
Jinayatkhususnya Qanun Maisir.
Pemerintah dalam hal ini Kantor Dinas Syariat Islam harus lebih menggiatkan
sosialisasi tentang syariat Islam sehingga dapat menumbuhkan kepekaan sosial
masyarakat terhadap penerapan syariat Islam di kota ini. Sudah saatnya
Pemerintah Kota Subulussalam bersungguh-sungguh untuk menjadikan syariat Islam
sebagai hukum yang ditaati dan di amalkan sesuai dengan harapan UUPA yang
menghendaki penerapan syariat Islam secara kaffah di Aceh.
2.
Terbatasnya Kewenangan WH Dalam Menindak Pelaku Serta Sosialisasi Qanun Terhadap Masyarakat
Sangat Minim
Pejudian
atau maisir yang telah diatur dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 dan
pemberlakuannya samapai pada tahun 2013, memiliki satu kendala yang mendasar
bagai para penegak hukum syariah (WH) yakni tidak adanya suatu kewenangan yang dimiliki anggota WH untuk
melakukan penahanan terhadap orang yang melanggar Qanun Nomor 13 Tahun 2003,
sehingga menyulitkan bagi para penegak hukum (WH) untuk menindak para
pelanggara Qanun syariat di Subulussalam, khususnya terhadapa pelanggar Qanun
Nomor 13 Tahun 2003. Setidaknya inilah menjadi alasan utama bagi WH kenapa
selama ini para pelaku maisir sering dilepas dan hanya mendapatkan peneguran
dan pengarahan dari WH.[20]
Sekarang
dengan diberlakukannya Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat, WH
telah diberi kewenangan untuk menahan tersangka pelanggaran qanun jinayat di
Aceh. Hal ini tentu saja menjadi angin segar bagi para penegak hukum dalam
menindak setiap pelanggar qanun jinayat di Aceh dan begitu juga dengan
Subulussalam. Tapi menjadi kendala disini adalah bagaimana sosialisasi yang
dilakukan oleh dinas terkait dalam hal Kantor Dinas Syariat Islam. Saat penulis
menanyakan hal tersebut kepada Keapla Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam Bpk
M. Ya’qub KS, beliau menjelaskan bahwa, saat ini Dinas Syariat Islam Kota
Subulussalam berupaya dengan keras dalam mensosialisasikan Qanun Nomor 7 Tahun
2013 dan Qanun Nomor 6 Tahun 2014.[21]
Adapun
tahapan-tahapan sosialisasi Qanun No. 7 tahun 2013 dan Qanun No. 6 Tahun 2014 dijelaskan Kadis Syariat Islam
Kota Subulussalam adalah dengan memberdayakan segala komponen yang ada pada
Dinas Syariat Islam, seperti meggalakkan sosialisasi melalui petugas-petugas
yang ada dilapangan, seperti para da’i perbatasan yang bertugas di
gampong—gampong Kota Subulussalam, Ya’qub mengharapkan dengan demikian
masyarakat dapat memahami dan mengetahui dengan baik mengenai keberadaan kedua
qanun tersebut. Selain Itu Dinas Syariat Islam juga melakukan sosialisasi
melauli spanduk—sapanduk dan baliho mengenai pemberlakuan Qanun Jinayat dan
Qanun Hukum Acara Jinayat.
Memang
saat ini Kota Subulussalam memiliki para da’i perbatasan, baik da’i kota maupun
da’i provinsi. Hal dikarenakan faktor geografis Subulussalam yang merupakan
daerah perbatasa Aceh dan Sumatera Utara yang dianggap rentan terhadap pengaruh
budaya dari luar Aceh yang tidak sejalan dengan napas syariat Islam. Para da’i
tersebut pada dasarnya ditempatkan dan berdiam diri di desa yang menjadi
wilayah tugasnya, sehingga keberadaannya diharapkan dapat memberi perubahan
dalam hal pemahaman masyarakat terhdapa Islam dan syariat Islam di Aceh.
Ketika
penulis melakukan diskusi dengan Ketua Forum Da’i Kota Subulussalam Ust. Amir
Musdik menjelaskan bahwa tugas dan fungsi da’i perbatasan pada dasarnya
memberikan bimbingan keagamaan kepada masyarakat. Tapi disamping itu para da’i
juga diberikan tugas tambahan berupa melakukan sosialisasi terhadap qanun yang
berlaku di Aceh, baik yang lama maupun yang baru disahkan.[22]
Dengan demikian masyarakat diharapkan dapat memahami tentang pemberlakuan
syariat Islam di Aceh, sehingga tidak ada anggapan bahwa masyarakat belum
mengetahui tentang pemberlakuan suatu qanun di Aceh.
Keberadaan
petugas da’i perbatasan ditengah-tengah masyarakat Kota Subulussalam pada
umumnya mendapat sambutan yang hangat ditengah-tengah maasyarakat, bagaimana
tidak bahwa pada saat ini pengetahuan tentang ke-islaman dan pemberlakuan
syariat Islam masyarakat Kota
Subulussalam memang sangat memprihantinkan,
hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Ketua Majelsi Permusyawaratan Ulama
(MPU) Kota Subulussalam Ust. H. Qaharuddin Kombih, menurutnya saat ini moral
masyarakat Kota Subulussalam boleh dikatakan sangat merosot, sehingga berakibat
kepada masyarakat tidak lagi menghargai penerapan syariat Islam di kota
tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa tingginya tingkat pelanggaran qanun
syariat Islam di kota ini walaupun pada akhirnya WH belum bisa menindak satu
persatu pelanggar tersebut, seperti busana muslim, shalat lima waktu, shalat
jumat dll. Menurutnya pemberlakuan syariat Islam harus dimulai dari diri setiap
masyarakat Kota Subulussalam, masyarakat harus takut tentang dosa (azab) yang
ditanggung akibat dari perbuatan melanggar ketentuan-ketentuan Allah (qanun
syariat).[23]
3. Koordinasi Antar Penegak Hukum Masih Kurang
Untuk meningkatkan
efektivitas penegakan hukum harus didukung oleh semua kalangan penegak hukum,
wilayatul hisbah sebagai lembaga utama penegak syariat Islam dan di dukung
lembaga-lembaga penegak hukum lainnya seperti, kepolisian, jaksa dan mahkamah
syar’iyah. Koordinasi antar lembaga penegak hukum perlu dilakukan untuk dapat
menghasilkan suatu tindakan yang seragam yang
telah ditentukan. Koordinasi untuk saling mendukung dalam melakukan
penindakan, sehingga di lapangan para penegak hukum tidak saling tumpang tindih
atau salah paham atar penegak hukum.
Koordinasi dan
Pengawasan yang selanjutnya disebut Korwas adalah kewenangan Penyidik Polri
untuk melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan terhadap PPNS.[24] Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam
melaksakan kebijakan tehnis Kepolisian bidang keamanan, ketertiban dan
ketentraman masyarakat serta penegakan Syariat Islam dipertanggung jawabkan
oleh Kapolda Daerah Nanggroe Aceh Darussalam kepada KAPOLRI dan juga kepada
Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[25]
Nurdiyati Saputri selaku Kasi Hubungan antar
lembaga mengakui adanya kelamahan koordinasi anatar lembaga penegak hukum
syariat di Kota Subulussalam. Tapi menurutnya selama ini, ketika WH melakukan
razia selau melibatkan anggota kepolisian dalam razia tersebut. Diluar razia
rutin bulanan yang dilakukan WH dikatakannya tidak menjalin koordinasi lagi,
hal seperti inilah yang membuat kesan bahwa wilayatul hisbah terlihat tidak
melakukan koordinasi yang baik dengan kepolisian, karena di beberapa kasus
justru polisilah yang mengamankan para tersangka pelanggaran qanun jinayat di
Kota Subulussalam.[26]
Abdul Rajak Naupal
menjelaskan bahwa kelemahan para penegak hukum dalam melakukan koordinasi bisa
membawa akibat yang buruk dalam penegakan qanun syariat Islam di Kota
Subulussalam. Koordinasi yang baik antar lembaga penegak hukum akan
menghasilkan suatu kesamaan tujuan dan tidak tumpang tindih dalam pengakan
qanun maisir yang berakibat kepada terbengkalainya penegakan qanun tersebut.
Koordinasi yang baik juga dapat menghilangkan rasa saling mengandalkan, jangan
sempat ada anggapan diantara penegak hukum saling mengandalkan, seperti
kepolisian yang mengandalkan WH dalam menindak pelanggaran qanun jinayat dan
khususnya Qanun Maisir, dengan alasan bahwa Wh-lah lembaga yang paling
berwenangan menangi tersebebut dan begitu juga sebaliknya. Karena pada dasarnya,
Baik WH maupun polisi harus saling bahu—membahu dalam penegakan qanun jinayatdan
khususnya Qanun Maisir di Kota Subulussalam.[27]
Dalam Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dijelaskan bahwa, ruang lingkup
pelaksanaan tugas fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
meliputi tindakan preemtif, preventif dan repressive non yustisial,
dan repressive pro yustisial di bidang tugas umum Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan penegakan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Pelaksanaan tugas Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
dilaksanakan sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan
dan Qanun di bidang syariat Islam.[28]
Dalam BAB V Pasal 10-14
Tentang Tugas Fungsi Kepolisian Nanggroe Aceh darussalam Qanun Nomor 11 Tahun
2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
dijelaskan bahwa,Tugas Pokok Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam selain sebagaimana
disebutkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga
melaksanakan tugas dan wewenang di bidang syariat Islam, peradatan dan
tugas-tugas fungsional lainnya yang diatur dalam berbagai Undang-undang terkait
(Pasal 10). Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 10,
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam bertugas :
a. Melaksanakan tugas umum Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
(jarimah) sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Qanun di bidang Syariat
Islam, Peradatan dan Qanun terkait lainnya.
(Pasal 11)
Dalam rangka
menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Kepolisian Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam berwenang;
a. Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
b. Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Qanun bidang Syariat Islam dan
Qanun lainnya. (Pasal 12)
Pejabat Kepolisian
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh
wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya di daerah hukum pejabat
yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan Qanun bidang syariat Islam dan Qanun lainnya (Pasal 13). Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya pejabat Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam wajib bertindak berdasarkan norma hukum dan ketentuan Syariat Islam;
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam mengutamakan tindakan persuasif
dan preventif (Pasal 14).[29]
Kesepahaman bersama (common understanding) antara wilayatul hisbah
dan kepolisian harus benar-benar di wujudkan untuk untuk terlaksananya syariat
Islam secara baik dan benar di tengah masyarakat,[30] karena
tanpa adanya kerjasama yang baik dan benar antara lembaga dan seluruh eleman
lapisan mmasyarakat di Aceh,maka susah (mustahil) untuk mewujudkan syariat
Islam yang kaffah di bumi Serambi Mekkah dapat diwujudkan.
4. Keterbatasan Fasilitas dan Personil Wilayatul Hisbah
Keterbatasan dalam hal
fasilitas dan personil dalam menegakkan Qanun Jinayat pada umumnya dan maisir
pada khususnya sangat dirasakan oleh Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam, belum
lagi keterbatsan dalam hal kekuasaan yang di miliki wilayatul hisbah, dimana di
dalam Qanun Nomor 13 tahun 2003 tidak memberikan kewenangan kepada anggota WH
untuk melakukan penahanan terhadap setiap orang yang dicurigai telah melakukan
tindak pidana maisir, sehingga fungsi WH sebagai penegak hukum syariah
kurang begitu di segani oleh masyarakat kota subulussalam. Setidaknya itulah
alasan bagi anggota WH Kota Subulussalam dalam penegakan Qanun Maisir
dalam kurun waktu 2003-2012 sampai akhirnya di undangkan Qanun Nomor 7 Tahun
2013 tentang Hukum Acara Jinayat. Dalam Qanun ini ada aturan bahwa
penyidik WH dapat menangkap, menahan, atau menggeledah pelanggar qanun syariat.
Perintah penahanan dapat dilakukan di tingkat penyidikan oleh jaksa penyidik
dan tingkat pengadilan oleh hakim MS.[31]
Mengenai faasiltas dan
personil WH dalam melakukan pengawsan terhdap Qanun Maisir di Kota Subulussalam
masih sangat jauh dari harapan, hal ini di ungkapkan oleh Bpk. Bambang selaku
Kepala Tata Usaha Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam.
Kota Subulussalam yang memiliki lima kecamatan dengan letak geografis antar
kecamatan yang berjauhan sangat mempengaruhi WH dalam melakukan pengawasan
terhadap qanun jinayat, hal ini dikarenakan keterbatasan anggota maupun armada
yang dimiliki WH Kota Subulussalam, menurutnya
penegakan dan pengwasan yang ideal terhadap qanun jinayat di
Subulussalam adalah dengan menempatkan anggota WH di tiap-tiap kecamatan,
dengan begitu penerapan dan pengawasan terhadap qanun jinayat ini dapat
terlaksana dengan baik.[32]
Fasilitas sebagai salah satu penunjang utama wilayatul hisbah dalam
melakukan kontrol terhadap qanun jinayat
sangat dibutuhkan ketersediaan jumlah maupun kelayakannya. Soerjono Soekanto
mengatakan bahwa efektivitas suatu peraturan perundang-undangan dapat di ukur
dari ketersedian fasilitas yang memadai. Oleh karena itu sudah menjadi suatu
kewajiban bagi pemerintah Kota Subulussalam untuk memfasilitasi para penegak hukum syariat di kota ini,
karena keberadaannya merupakan suatu amanah UUPA yang wajib di dukung baik
secara moral maupun moril. Dengan demikian, maka apa yang menjadi cita-cita
penerapan syariat Islam di Aceh (kaffah) dapat terwujud. Penerapan suatu
qanun juga harus berbanding lurus dengan jumlah penegaknnya. Saat ini anggota
WH kota Subulussalam hanya berjumlah 139 orang dan setengah diantaranya masih
berstatus sebagai pegawai honorer.
F. Kesimpulan
Kesimpulan besar yang dapat di ambil
dari penjelasan di atas bahwa, penerapan qanun yang berbasis jinayatdi
Aceh tidak semua daerah berjalan dengan baik, banyak masalah dan kendala yang
dihadapi dilapangan, baik dari pelaksananya (pemerintah) maupun masyarakat
sebagai objek hukum penerapan syariat Islam itu sendiri. Begitu juga halnya
dengan Kota Subulussalam, pelaksanaan terhadap jenis qanun jinayat di atas masih
terkesan stagnan dan jalan ditempat, belum ada kemajuan yang berarti
dalam penerapan qanun jinayat di kota ini, tentunya hal tesebut sangat
berdampak terhadap efektivitas penerapan qanun ditengah-tengah
masyarakat Kota Subulussalam dan perlu segera dicarikan solusinya. Inilah
tantangan kedepannya bagi setiap kalangan di Kota Subulussalam, baik pemerintahan,
penegak hukum maupun masyarakat untuk dapat bersama-sama menegakkan dan mengawasi
pemberlakuan Qanun No. 13 Tahun 2003 sehingga kedepannya tingkat pelanggaran
terhdap qanun ini dapat diminimalisir.
G. Daftar Pustaka
Abbas,
Syahrizal. Polisi Se-Aceh Disuluh Qanun Syariat Islam, http://aceh.
tribunnews.com/2014/12/04/polisi-se-aceh-disuluh-qanun-syariat-islam (di
akses pada tanggal 23 Agustus 2015).
Bahri,
Syamsul. 2012 “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Sebagai Bagian dari Wlayah
NKRI”. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12.
BAPPEDA
ACEH, VISI DAN MISI PEMBANGUNAN ACEH TAHUN 2005 – 2025, http://bappeda.acehprov
.go.id/v2/ file/RPJP /RPJP_ Qanun_no_9_ ta h un2012 FINAL.pdf
(diakses pada tanggal 20 November 2015).
Hooker,
M.B. 2008. Indonesian Syariah: Defining
a National School
of Islamic Law. ISEAS.
Singapore.
-------------------------------------------------------------------------
NB: Tulisan ini telah dimuat dalam jurnal ARISTO Vol 7 2016 Ali Geno Berutu
Label: SYARI'AT ISLAM
1 Komentar:
Pretty part of content. I simply stumbled upon your website
and in accession capital to assert that I get actually enjoyed account your blog posts.
Anyway I will be subscribing for your feeds and even I fulfillment
you access constantly quickly.
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda