Senin, 09 Maret 2015

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN PIDANA BADAN (CORPORAL PUNISHMENT) DI INDONESIA (Kajian Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam)


Tesis  ADI HERMANSYAH, SH  
Oleh:  Ali Geno Berutu
Pada Bab awal tesis ini membahas mengenai latar belakang mengenai hukum dan perdebatan masyarakat akademik, dijelaskan bahwa: Hukum ada pada setiap masyarakat di manapun di muka bumi. Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu, keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Manusia menciptakan hukum untuk mengatur dirinya sendiri, demi terciptanya ketertiban, keserasian dan ketentraman dalam pergaulan masyarakat.  

   Menurut Soerjono Soekanto, hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat yakni pertama, sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu.
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai ras dan suku bangsa yang mempunyai adat dan kebudayaan yang berbeda-beda. Sebelum Indonesia merdeka terdapat banyak kerajaan yang tersebar luas di Nusantara. Kesultanan Iskandar Muda (1607-1636) di Aceh merupakan salah satu kerajaan besar yang terdapat di nusantara jauh sebelum Indonesia lahir.
Kerajaan Aceh pada masa itu sangat konsisten mengembangkan agama Islam dan sebagai pusat pengembangannya dibangun beberapa diantaranya Beit Rahman (sekarang dikenal dengan Mesjid Baiturrahman) yang terletak di lingkungan Istana Sultan Iskandar Muda. Pengaruh agama Islam telah menyusup kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pemerintahan, hukum, politik, ekonomi, kesenian dan keseluruh aspek kehidupan pribadi. Pada saat itu Aceh tak ubahnya sebuah miniatur kehidupan  Jazirah Arab di Timur yang kental dengan budaya Islam, oleh karena itu Aceh dinamakan Serambi Mekkah.
Pengaruh hukum Islam sangatlah kuat terhadap masyarakat Aceh sehingga tak terpisahkan dengan adat/kebiasaan masyarakat, hukum Islam dan adat telah melebur menjadi satu hukum sebagaimana dikatakan oleh Snouck Hurgronje: Hukom and adat are isperable.... The hukom is Allah hukom an  the adat is Allah adat. Hal yang sama dikemukakan pula oleh ahli adapt di
Aceh, bahwa Hukom yaitu hukum Islam atau hukum yang disusun bersumberkan Al Qur’an, Hadist dan Adat yaitu hukum adat yang merupakan aturan-aturan hasil pemikiran manusia, yang telah menyatu menjadi satu hukum seperti zat dengan sifat. Penyatuan keduanya yang seperti zat dengan sifat itu, dibakukan dengan hadih maja yang berbunyi : Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut, lage mata itam ngon mata puteh, dalam rumusan tersebut hukum dan adat telah menyatu seperti zat dengan sifat atau seperti mata hitam dengan mata putih, keduanya tidak dapat dipisahkan.

Seadangka pada bab ll tesis ini membahas tentang tinjauan umum tentang kebijakan penanggulangan  kejahtan, di bab ini dijelaskan secara terperinci tentang pengertian dan ruang lingkung tindak kejahatan.

1.      Pengertian Kejahatan dan Ruang Lingkup kebijakan penanggulangannya
Kejahatan merupakan suatu perbuatan menyimpang dari perilaku yang dianggap sesuai dengan norma yang mengatur kehidupan masyarakat dalam berperilaku. Menurut Giriraj Shah ”Crime is as old as man”, menurutnya kali pertama terjadinya pelanggaran larangan dan hal itu dapat dipandang kejahatan (dosa), yakni ketika Adam memakan buah terlarang, yang berakibat dikeluarkannya Adam dan Hawa dari surga ke bumi. Dengan perkembangan manusia dan masyarakat, maka kejahatan juga tumbuh dalam berbagai bentuk dan tingkatan.
Dalam Encyclopedia Amerika (volume 8) dikemukakan bahwa kejahatan atau crime adalah perbuatan yang secara hukum dilarang oleh negara, sedangkan dilihat dari segi hukum (legal definition) kejahatan adalah tindakan yang dapat dikenakan hukuman oleh hukum pidana.
Menurut Benedict S. Alper, kejahatan merupakan problem sosial yang paling tua dan sehubungan dengan masalah itu tercatat lebih dari 80 kali konfrensi internasional yang dimulai pada tahun 1825 hingga tahun 1970 yang membahas upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan kejahatan. Frank Tannenbaum dalam preface buku ”New Horizons in Criminology” karya Barnes & Teeters; ”Crime is eternal as eternal as society”, manusia sesuai dengan kodratnya lahir dan hidup dalam kelompok-kelompok tipe dan corak organisasi kemanusiaan.
Dalam organisasi tersebut sifat-sifat manusia tidak selalu berjalan dengan apa yang dikehendaki oleh tuntutan masyarakat, termasuk dalam hal ini perilaku manusia yang dinamakan dengan kejahatan. Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang sama sekali tidak dikehendaki oleh masyarakat, akan tetapi kejahatan sendiri tidak dapat dihapus di dalam masyarakat, hal ini dikarenakan yang melakukan kejahatan tersebut adalah anggota masyarakat sendiri.
Kejahatan dalam KUHP merupakan sisi lain dari pada pelanggaran.
KUHP memisahkan antara kejahatan dengan pelanggaran, keduanya
merupakan perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancamkan
dengan pidana (kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut)
atau disebut dengan istilah perbuatan pidana ataupun delik. Menurut pembuat KUHP di Nederland dahulu tahun 1880 masing masing delik tersebut berlainan sifat secara kualitatif yaitu: kejahatan (misdrijven) misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP), penggelapan (Pasal 378), penganiayaan (Pasal 351) dan pembunuhan (Pasal 338), sedangkan pelanggaran (overtredingen), misalnya; kenakalan (Pasal 489), pengemisan (Pasal 504), dan pergelandangan (Pasal 505). Perbuatan pidana ini menurut ujud dan sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar hukum).
James E. Anderson mengemukakan bahwa kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai maksud, yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan. Dalam proses itu pembuat kebijakan harus mencari dan menemukan identitas permasalahan kebijakan.
Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-sara yang diusulkan dan denangan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. Jika demikian halnya maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang.
Barda Nawawi Arief, menjelaskan bahwa sistem hukum nasional di samping hendaknya dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan internasional, namun juga harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama.
Kongres PBB yang diselenggarakan 5 (lima) tahun sekali mengenai ”The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” sering dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang ada di beberapa Negara, pada umumnya bersifat “Obsolete and Unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “Outmoded and Unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Karena sistem hukum pidananya yang berasal dari hukum asing semasa zaman kolonial yang tidak sesaui dengan karakteristik dan falasfah hidup masyarakatnya dan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan sosial masa kini. Hal yang demikian dinilai oleh kongres PBB merupakan salah satu faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan (a contributing factor to the increase of crime) dan dapat menjadi faktor kriminogen jika suatu kebijakan pembangunan hukumnya mengabaikan nilai-nilai moral dan kultural dalam masyarakat di mana hukum tersebut diterapkan.
Hal di atas menegaskan bahwa kajian perbandingan dari sudut hukum tradisional/adat dan hukum agama merupakan “tuntutan zaman”. Khusus bagi Indonesia, tentunya merupakan “beban nasional” dan bahkan merupakan kewajiban dan tantangan nasional” karena telah diamanatkan dan direkomendasikan dalam berbagai kebijakan perundang-undangan dan seminar-seminar nasional selama ini.

2.      Pidana dan Pemidanaan
Pidana itu sendiri diperkirakan telah ada sejak adanya manusia seperti halnya kejahatan, akan tetapi daftar jenis perbuatan yang dapat dipidana berubah dari waktu kewaktu dan berbeda dari tempat ke tempat. Pada suatu waktu yang disebut kejahatan ”pokok” adalah sumbang (”incest”) dan sihir (”witchraft”) pada waktu lain yang dipandang sebagai ”key” offences adalah pembunuhan, atau pencurian dan pada akhir-akhir ini dipandang sebagi suatu kejahatan yang serius adalah pelanggaran lalu lintas yang dianggap sangat merugikan bagi jiwa dan harta benda manusia.
Istilah hukuman berasal dari kata “Straf” dan istilah dihukum yang berasal dari perkataan ”wordt gestraft”, menurut Moeljato merupakan istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggantikan dengan istilah yang inkonvensional, yaitu ”pidana” untuk menggantikan kata ”straf” dan ”diancam dengan pidana ” untuk menggantikan kata ”wordt gestraft”. Menurut beliau, kalau ”straf” diartikan hukuman, maka ”strafrecht” seharusnya diartikan ”hukumhukuman”. Demikian pula Sudarto menyatakan bahwa ”penghukuman” berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai ”menetapan hukum” atau ”memutuskan tentang hukumnya” (berechten). ”menetapkan hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja akan tetapi juga bidang hukum perdata.
Dari beberapa pengertian pidana tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pidana adalah suatu hukuman yang diberikan secara sengaja oleh Negara melalui aparat penegak hukumnya yaitu hakim kepada terdakwa yang terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, jadi pidana merupakan sanksi atau nestapa yang diancamkan terhadap siapa saja yang melanggar suatu peraturan hukum (pidana), atau barang siapa yang melakukan tindak  pidana, sanksi pidana itu tidak lepas dari adanya tindak pidana atau dengan kata lain bahwa suatu tindak pidana selalu disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar aturan tersebut. Walaupun demikian ancaman pidana tersebut tidak mesti dapat dijatuhkan terhadap yang melakukan pelanggaran hukum karena adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar.
Sementara itu istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional, yang mempunyai arti luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Tidak hanya dipakai dalam istilah hukum semata akan tetapi juga banya digunakan dalam pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Sedangkan istilah pidana merupakan istilah yang khusus, karena memiliki pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifatnya yang khas.


3.      Stelsel Sanksi Dalam Hukum Pidan Indonesia.

Stelsel Pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke-2 dari Pasal 10 sampai Pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan. Peraturan tersebut sebagaimana yang dikatakan Adami Chazawi adalah:
a.       Reglement Penjara (Stb. 1917 No. 708) yang diubah dengan LN 1948 No. 77).
b.      Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Stb. 1917 No. 749).
c.       Reglement Pendidikan Paksaan (Stb. 1917 No. 741).
d.      UU No. 20 Tahun 1949 Tentang Pidana Tutupan.

4.      Jenis-Jenis Snksi Pidana Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Menurut KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan, terutama sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Dlam hal ini Roeslan Saleh menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuat menurut beratnya pidana, dan yang terberat disebut lebih depan.
Jenis-jenis pidana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP adalah:
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati;
b. Pidana Penjara;
c. Pidana Kurungan; dan,
d. Pidana Denda.
2. Pidana Tambahan:
a. Pencabutan beberapa hak tertentu;
b. Perampasan barang tertentu; dan,
c. Pengumuman keputusan hakim.
Ditambah dengan pidana tutupan sebagai pidana pokok (UU Nomor 20 Tahun 1946).

5.      Tinjauan Umum Tentang Pidana Badan
Badan dalam bahasa Inggris diartikan sebagai Body/Corporation atau Corporate suatu badan hukum yang mempunyai struktur kelembagaan sebagai penggerak dalam setiap pergerakannya selalu dikontrol atau dikendalikan oleh hukum, di sini yang dimaksud dengan corporal adalah suatu jasmani/raga/badan (body). sedangkan Punishment bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah hukuman ataupun siksaan, yang dalam penulisan ini diistilahkan dengan pidana dalam kaitannya dengan pemberian sanksi dalam hukum pidana. Dengan demikian dari beberapa pengertian di atas yang dimaksud dengan corporal punishment adalah pidana yang ditujukan pada badan.
Adapun jenis-jenis pidana badan sebagai sanksi pidana, dikenal pula dengan berbagai istilah :
a.       Beating (pemukulan);
b.       Blinding (pembutaan);
c.       Branding (pemberian cap);
d.      Caning (pemukulan dg rotan/tongkat);
e.       Flogging (pencambukan/mendera);
f.       Mutilation (pemotongan/pengudungan);
g.       Paddling (pemukulan/dengan cemeti);
h.      Pillory (penghukuman di muka umum/di tiang).

Dalam pidana Islam pidana badan ini adalah salah satu pidana yang diberikan secara hudud (ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dalam al- Qur’an), ataupun yang diberikan secara ta’zir (pidana yang diberikan melalui putusan hakim dengan segala pertimbangan). Adapun jenis-jenis pidana badan dalam pidana Islam adalah:
a.       Pidana potong tangan dan kaki.
b.      Pidana potong tangan /kaki.
c.       Pidana penamparan/pemukulan merupakan variasi bentuk pidana sebagai peringatan dan pengganjaran. Pidana ini bisa berupa cambuk/dera atau jilid.
Pada Bab lll dibahas tentang hasil penelitian yang diantaranya:

1.      Kehidupan Beragama
Kehidupan beragama di Nanggroe Aceh Darussalam cukup kondusif. Secara umum konsep trilogi kerukunan umat beragama berjalan dengan baik. Perseteruan masyarakat atas dasar perbedaan agama hampir tidak pernah terjadi, demikian juga dengan perseteruan atas dasar internal umat beragama tersebut, hanya saja perseteruan masyarakat beragama, terutama Islam dengan Pemerintah sedikit mengalami kendala, dalam hal ini dicontohkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu adanya segelintir masyarakat yang mengatasnamakan demi terselenggaranya penegakan syari`at Islam yang kaffah harus memisahkan diri dari NKRI, lalu memicu terjadinya disharmonisasi hubungannya dengan Pemerintah.

2.      Qanun dan Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh
Di Aceh qanun ditempatkan sebagai salah satu katagori hukum, selain adat, hukum dan resam. Katagori hukum seperti itu dapat ditemukan pada tamsilan “Adat bak Po Meurehom, Hukom Bak Syiah Kuala, Kanun Bak Poetroe Phang, Reusam Bak Laksamana”. Kata “bak” dalam tamsilan tersebut berarti “pada”, penautan katagori hukum pada (bak) Po Teumeureuhom (penguasa), Syiah Kuala (ulama), Poetro Phang (Isteri Sultan/Ibu Negara) dan Laksamana(penguasa wilayah lebih kecil), adalah sebagai simbol badan legislatif, sebagai badan yang berwenang membuat aturan yang mempunyai kekuasaan memaksa. Supaya hukum itu mempunyai kekuasaan yang memaksa, maka dalam tamsilan tersebut hukum dikaitakan dengan simbolsimbol itu. Simbol-simbol itu juga merupakan jabatan penguasa dalam kerajaan kesultanan Aceh.
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Undang-undang Dasar 1945 haruslah mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa dengan pemberian otonomi khusus, agar pemerintahan daerah lebih leluasa dalam menjalankan dan mengelola pemerintahannya sendiri untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, serta Bab VI Undang-undang Dasar 1945 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18 ayat (5) menyebutkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undangditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, kemudian dalam ayat (6) disebutkan pula bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam beberapa Pasal menunjukkan adanya jalan bagi penerapan syariat Islam secara bertahap, antara lain;
1)      Pasal 1 ayat (7) yang menyatakan bahwa Mahkamah Syariah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku untuk pemeluk agama Islam.
2)      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan Undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus.
3)      Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam sebagai lembaga perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilainilai syariat Islam.
Dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam dibentangkan empat keistimewaan yang dimiliki Aceh yaitu:
1.      Penerapan Syariat Islam diseluruh aspek dalam kehidupan beragama;
2.      Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syariat Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum;
3.      Pemasukan unsur adat dalam struktur pemerintahan desa, misalnya penyebutan kepala desa menjadi keuchik (lurah) dan mukim untuk kumpulan beberapa desa,
4.      Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

3.      Pengaturan Pidana Badan Dalam Berbagai Tindak Pidana di Nanggroe Aceh Darussalam
Pengaturan tentang pidana badan di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat dalam beberapa qanun yang menerapkan pidana Islam dalam menentukan ‘uqubat (sanksi). ‘Uqubat ini dapat berupa ‘uqubat hudud (jenis dan ketentuannya jelas diatur dalam Alqur’an) ataupun berupa ‘uqubat ta’zir (jenis dan ketentuannya berdasarkan pertimbangan hakim sepenuhnya). Adapun beberapa jenis tindak pidana di Nanggroe Aceh Darussalam yang dapat dipidana cambuk yaitu, diantaranya:
a.       Tindak Pidana Di Bidang Khamar (minuman keras dan sejenisnya)
b.      Tindak Pidana di Bidang Maisir (perjudian)
c.       Tindak Pidana Di Bidang Khalwat ( Mesum)
d.      Tindak Pidana di Bidang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
e.       Tindak Pidana di Bidang Pengelolaan Zakat


4.      Lembaga-lembaga Penerapan Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussslam
a.      Dinas Syariat Islam
Dinas Syariat Islam ini merupakan merupakan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana syari’at Islam di lingkungan Pemerintah Derah Nanggroe Aceh Darussalam yang kedudukannya berada di bawah Gubernur. Dinas ini dipimpin oleh seorang Kepala dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi:
a)      Sebagai pelaksana tugas yang berhubungan dengan perencanaan, penyiapan kanun yang berhubungan dengan pelaksanaan syari’at Islam serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan hasilhasilnya.
b)      Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan Syari’at Islam.
c)      Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakan syi’ar Islam
d)      Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam ditengah-tengah masyarakat, dan
e)      Pelaksanaan tugas yang berhubungan bimbingan dan dan penyuluhan syari’at Islam.
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas Dinas Syariat Islam mempunyai kewenangan:
a)      Merencanakan program penelitian dan pengembangan unsur-unsur syari’at Islam.
b)      Melestarikan nilai-nilai Islam.
c)      Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan syari’at Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi munkar, baitul mal, kemasyarakatan, syari’at Islam, pembelaan islam, qadha, jinayat, munakahat dan mawaris.
d)      Mengawasi terhadap pelaksanaan syari’at Islam.
e)      Membina dan mengawasi terhadap Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ).

b.      Wilayatul Hisbah.
Wilayatul Hisbah (WH) adalah sebagai badan yang melakukan pengawasan, pemberi ingat dan pencegahan atas pelanggaran syari’at Islam. Mengenai struktur, kewenangan ataupun mekanisme kerja badan ini akan ditetapkan dengan peraturan lain yang diatur dalam qanun. Dalam Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata cara Kerja Wilayatul Hisbah dalam Bab II Pasal 2 menyebutkan bahwa susunan organisasi Wilayatul Hisbah, terdiri atas;
a)      Wilayatul Hisbah Tingkat Provinsi;
b)      Wilayatul Hisbah Tingkat Kabupaten/Kota;
c)      Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamatan, dan
d)      Wilayatul Hisbah Tingkat Kemukuman.

c.       Lembaga Kepolisian.
Lembaga Kepolisian di sini adalah lembaga kepolisian yang terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam. Lembaga Kepolisian mempunyai peran pada proses peradilan dalam rangka melaksanakan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Lembaga Kepolisian yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam haruslah mengerti dan memahami karakter kebiasaan dan budaya yangtumbuh dan berkembang di Nanggroe Aceh Darussalam. Kepolisian bertugas untuk melakukan penyidikan dalam hal terjadinya tindakan pelanggaran terhadap qanun-qanun yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam hal ini di perbantukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berwenang untuk itu.

d.      Lembaga Kejaksaan.
Lembaga Kejaksaan merupakan Lembaga Kejaksaan yang berada di bawah naungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Kejaksaan bertugas melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum temasuk pelaksanaan syari’at Islam. Wewenang jaksa di Nanggroe Aceh Darussalam sama halnya dengan wewenang jaksa yang diatur dalam Undang-undang, yaitu melakukan penuntutan terhadap perkara pidana terhadap pelanggar yang melanggar ketentuan pidana yang diatur dalam qanun dan melakukan eksekusi terhadap keputusan hakim setelah mempunyai kekuatan hukum tetap.

e.       Mahkamah Syari’ah.
Mengenai kewenangan Mahkamah Syari’ah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tentang Peradilan Syari’at Islam yang diatur dalam Qanun No. 10 Tahun 2002, dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa perkara-perkara dibidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum perikatan dan hukum harta benda serta perkara-perkara dibidang pidana yang meliputi; Qishas-Diyat, Hudud dan Ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syari’ah.
Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan qanun ini sertam melaksanakan syari’at Islam dalam wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam ayat (2) pelaksanaan kewenangan Mahkamah Syariah bebas dari pengaruh pihak manapun, sedangkan ayat (3) dijelaskan bahwa Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada.

5.      Prosedur Pelaksanaan Pidana Badan Di Nanggroe Aceh Darussalam.
Proses hukum acara dalam qanun-qanun syari’ah sebagian besar proses peradilan pada tiap-tiap tingkat lembaga peradilan masih menggunakan hukum acara yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam proses penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran pidana dalam qanun-qanun syari’ah dilakukan berdasarkan PeraturanPerundang-undangan yang berlaku saat ini secara nasional, sepanjang dalam qanun belum diatur tentang hukum acaranya tersendiri. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan di bidang syari’at, yang dalam hal ini adalah pejabat penyidik dari lembaga Pejabat Penyidik dari lembaga Wilayatul Hisbah.

6.      Pidana Badan (Pidana Cambuk) dan Danpaknya terhadap Pelanggaran.
Pengaturan dan penerapan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dengan mengatur pidana badan sebagai sanksi pidana atas pelanggaran pasal-pasal tertentu di dalam qanun-qanun pidana, baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada tingkat pelanggaran terhadap norma-norma adat dan hukum di dalam masyarakat. Dari beberapa perkara jinayat yang diterima pada mahkamah syar’iyah Se- Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Januari 2005 sampai dengan Januari 2006 di atas menjerat 41 pelaku di bidang khamar, 151 di bidang maisir, 16 pelaku di bidang khalwat di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam.
Pelaksanaan pidana badan (cambuk) di Aceh melalui qanunqanun syari’ah juga terbukti menjauhkan peluang terjadinya main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat karena dianggap bertentangan dengan kaidah-kaidah norma yang hidup di dalam masyarakat atau dikarenakan kurang berfunsinya hukum yang ada. Jauh sebelum qanun-qanun pidana dibentuk ada beberapa kebiasaan yang tumbuh di masyarakat terhadap pelanggar-pelanggar norma dalam masyarakat khususnya pelanggaran terhadap ketentuan dalam bulan Ramadahan, seperti makan dan minum di depan publik pada hari di bulan Ramadhan atau berjualan makanan (warung makan) pada hari-hari di bulan Ramdahan, kebiasaan ini seperti mengarak atau memandikan para pelanggar di pusat-pusak keramaian kota. Dan perlakuan ini meningkat drastis selama Gerakan Aceh Mmerdeka begitu dominan di Nanggroe Aceh Darussalam dan pada berbagai pelanggaran seperti perzinahan, pengguna obat-obat terlarang (ganja) dan khalwat.

7.      Hambatan Penerapan Pidana Badan Di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada umumnya para aparat yang berwenang berependapat bahwa pelaksanaan syari’at Islam di Aceh masih terdapat beberapa kekurangan di mana-mana yang berimbas pada terhambatnya pelaksanaan syari’at Islam. Menurut Radja Radan yang merupakan Kasubdin Pengendalian dan Pengawasan Syari’at Islam Dinas Syari’at Islam Kota Banda Aceh, berpendapat bahwa ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan syaria’at Islam di Aceh antara lain adalah qanun. Menurutnya belum sempurnanya qanun menjadi salah satu penghambat pelaksanaan tersebut. Pendapat ini juga diperkuat oleh beberapa penyidik
Kepolisian dan oleh pihak Polisi Syari’ah (WH). Menurut mereka pelaksanaan syari’at Islam ini masih sangat banyak hambatannya terutama karena belum sempurnanya qanun yang berpengaruh besar pada tahap pelaksanaannya. Salah satu kelemahan qanun adalah belum diaturnya tentang penahanan terhadap para tersangka pelanggar yang dijerat dengan pasal pidana yang mengatur cambuk sebagai sanksinya. Walaupun dalam beberapa qanun pada pasal mengenai ketentuan peralihan menyatakan bahwa;
” Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam qanun tersendiri, maka hukum acara yang diatur dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam qanun ini”.

8.      Pengaturan dan Pelaksanaan Pidana Badan Dilihat Dari Segi
Perbandingan Di Beberapa Negara.
a.       Pengaturan dan Pelasanaan Pidana Badan di Kepulauan Fiji. Pidana badan di Fiji merupakan jenis pidana yang diberikan di samping pidana penjara dan denda yaitu pemukulan atau pencambukan dengan rotan. Pidana badan ini di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Fiji yang terdapat dalam Bab. VI
tentang jenis-jenis pidana, di samping jenis pidana lain.
b.      Pengaturan Dan Pelaksanaan Pidana Badan di Malaysia.         Di Malaysia pidana badan diatur dalam beberapa undangundang. Diantaranya terdapat dalam beberapa pasal Undang-undang No. 574 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Malaysia. 1) Pasal 324, melakukan penyerangan dengan menggunakan senjata atau alat berbahaya. Barangsiapa kecuali dalam tindakan Pasal 334, dengan sengaja menyebabkan luka dengan menggunakan alat apapun untuk menembak, menikam, atau memotong, atau alat apapun yang digunakan untuk menyerang, yang dapat menyebabkan kematian, atau menggunakan api atau unsur yang dipanaskan, atau menggunakan racun atau menggunakan alat yang bersifa menghancurkan, atau menggunakan bahan peledak, atau dengan alat apapun yang mengandung unsur yang dapat mengganggu tubuh manusia dengan menghisap, menelan, atau untuk dimasukkan kedalam darah, atau dengan menggunakan binatang, dipidana dengan pidana penjara maksimal 3 tahun atau dengan denda atau dengan cambukan atau dengan pidana manapun dua diantaranya. 2) Pasal 326, barangsiapa kecuali dalam tindakan yang dimaksud dalam Pasal 335, dengan sengaja menyebabkan luka parah dengan menggunakan senjata atau alat berbahaya (seperti yang disebutkan dalam Pasal 325). Dipidana maksimal 20 tahun penjara dan dapat dikenakan denda atau cambuk.
c.       Pengaturan Dan Pelaksanaan Pidana Badan Di Singapore. Terdapat tiga konteks pidana cambuk di Singapore. Pertama hukuman cambuk ditujukan pada anak laki-laki sebagai bentuk disiplin dalam rumah tangga, 20% orang tua di Singapore menggunakan pidana cambuk sebagai pelajaran untuk anak mereka (namun sebagian besar orang tua enggan menggunakan bentuk hukuman ini sebagai pelajaran. Straits Times, 17 September 2004). Kedua, pidana ini adalah bagian dari pendisiplinan disekolah menengah sebagai suatu tradisi inggris yang menghukum anak laki-laki dengan rotan, dan dipukulkan pada bagian pantatnya dengan celana yang terbuka pada bagian tersebut. Ketiga, pidana formal yang diberikan pada pelaku kejahatan (laki-laki) berdasarkan putusan hakim.
d.      Pengaturan Dan Pelaksanaan Pidana Badan Di Saudi Arabia dan Iran
Hukum Pidana di Saudi Arabia adalah hukum pidana Islam yang pembagiannya kategori tindak pidananya dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
1.      Hudud; yang meliputi pencurian, mengkonsumsi minuman keras (alkohol), penistaan terhadap agama Islam, perzinahan di luar nikah dan permukahan.
2.      Ta’zir; merupakan tindak pidana atau pelanggaran ringan yang jenis pidannya ditetapkan oleh hakim.
3.      Qisash, tindak pidana yang berhubungan dengan qisash ini seperti pembunuhan atau perlukaan. Qisash ini merupakan suatu format pidana yang diberikan pada pelaku untuk memenuhi/mengganti kerugian yang ditimbulkan terhadap korban ataupun keluarganya. Pidana ini memberikan kesempatan pada korban untuk membalaskan perbutan pelaku terhadap korbannya dengan perbuatan yang sama terhadap pelaku. Seperti pembunuhan maka akan dibalas dengan pembunuhan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Islam Iran, tindak pidana yang diancamkan dengan pidana badan antara lain, tindak pidana perzinahan, sodomi, penggermoan, tuduhan perzinahan (li’an), lesbian, perlukaan (yang berhubungan dengan qisash), mabuk mabukan, penghinaan terhadap pejabat negara, tindak pidana yang berhubungan dengan pornografi, memfitnah.

Dari pelaksanaan di atas terdapat beberapa keasamaan antara pelaksanaan pidana cambuk di Iran maupun Di Nanggroe Aceh Darussalam, yakni pada posisi terpidana, terpidana perempuan dicambuk dalam posisi duduk dan laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri. Namun, dalam pengaturan pelaksaan cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam tidak diatur tentang keadaaan, cuaca atau suhu udara pada saat pelaksanaan cambuk. Selama ini pelaksanaan cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam, dilaksanakan pada tempat terbuka, namun pada beberapa pelaksanaan cambuk di beberapa kabupaten, pelaksanaannya dilakukan di atas panggung yang dilengkapi tenda sebagai atapnya.

4.      KESIMPULAN.
Pengaturan pidana badan di Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam beberapa qanun yang memuat pidana cambuk sebagai salah satu jenis sanksi pidana, di mana pengaturan dan pelaksanakan menganut sistem hukum pidana Islam. Pidana cambuk ini diberikan berhubungan dengan tindak pidana yang masuk dalam kategori hudud (ketentuan delik dan sanksinya sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dengan firman Allah dan telah ada aturan pelaksanaannya yang ditetapkan Nabi melalui hadist) dan Ta’zir (suatu delik yang ketentuan pidananya ditetapkan oleh penguasa/hakim, karena tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an dan hadist).
Penerapan pidana cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam sangat berpengaruh pada peningkatan dan penurunan tindak pidana yang diatur dalam qanun-qanun syari’at. Pidana badan (cambuk) di Nanggroe Aceh Darussalam dikenakan terhadap baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada spesifikasi batasan umur dalam penjatuhan pidana badan ini akan tetapi pidana ini hanya bisa dijatuhkan terhadap orang (pelaku) yang dianggap sudah cukup umur (akhir baligh), dan pidana ini tidak bisa dikenakan terhadap pelaku yang tidak bermental sehat (tidak waras/gila). Pidana badan ini hanya dikenakan terhadap pelaku yang beragama Islam yang melakukan tindak pidana di wilayah hukum Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam penerapan pidana badan di Nanggroe Aceh Darussalam (pidana cambuk) terdapat beberapa prosedur eksekusi pidana, yaitu terpidana baru dapat dieksekusi dengan pidana cambuk jika ada surat izin (rekomendasi) secara tertulis dari dokter bahwa terpidana cukup sehat untuk menjalani eksekusi, dan saat proses eksekusi dihadiri oleh dokter untuk memantau keadaan terpidana. Dokter mempunyai wewenang untuk menghentikan proses eksekusi setiap saat perihal karena keadaan terpidana tidak memungkinkan lagi untuk dicambuk. Pidana ini dilaksanakan di tempat terbuka (di depan Masjid Raya) agar menjadi pelajaran moral terhadap terpidana dan masyarakat luas untuk tidak melakukan tindakan serupa yang dilakukan oleh terpidana.
Faktor penghambat dalam pelaksaan cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam adalah belum adanya qanun tersendiri yang mengatur tentang hukum acaranya dan hanya mengacu pada KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) sebagai pedoman dalam beracara. Misalnya tentang proses penahanan, padahal dalam KUHAP yang dapat ditahan adalah tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun memberikan bantuan dalam melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Kebanyakan pelaku tindak pidana di bidang syari’ah adalah mereka yang diancam dengan pidana cambuk, di sinilah letak hambatan pelaksanaan karena belum adanya regulasi yang jelas. Hal ini berakibat dalam proses peradilan seringkali terdakwa ataupun tersangka bahkan terpidana tidak dapat dihadirkan dalam proses penyidikan, penuntutan, persidangan ataupun eksekusi karena melarikan diri. Hal ini dikarenakan belum diaturnya aturan mengenai penahanan pelaku dalam proses peradilan tersebut. Dalam pelaksanaanya, pidana badan di Nanggroe Aceh Darussalam telah mampu mencegah atau setidaknya mengurangi pelanggaran norma-norma adat yang hidup di tenmgah-tengah masyarakat dan telah mampu meredam euforia masyarakat untuk menerapkan pengadilan jalanan terhadap pelaku yang dianggap telah melanggar tata norma yang ada di dalam kehidupan masayarakat Aceh. Hal ini karena aspirasi masyarakat tentang syari’at Islam sebagian telah ditampung dalam aturan hukum yang jelas yakni Qanun.
BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda