Islam di Eropa
Oleh:
Ali Geno Berutu
Sumber Rujukan: Berutu, Ali G. 2019. “ISLAM DI EROPA.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.30519.06561
Antagonisme
historis antara bagian barat dan timur Eropa tercermin sampai saat ini dalam
perbedaan tradisi religius, sosial dan politik mereka. Perbedaan ini
juga terlihat pada perubahan historis Islam di dunia Eropa. Pertumbuhan
dan perkembangan disuatu bagian Eropa kerap kali mengiringi kemerosotan dan kejatuhan dibagian lainnya .
Pada akhir abad pertengahan, kekuatan-kekuatan Kristen barat menaklukkan
kembali wilayah-wilayah Muslim terakhir
di Spanyol dan Laut Tengah. Selama abad ke-16 dan awal abad ke-17, mereka
mencabuti sisa-sisa Islam terakhir dari barat. Sementara itu orang Turki tengah
bersiap-siap menaklukkan Konstatinopel (1453) dan melakukan ekspansi kewilayah
Eropa Tenggara, yaitu negara-negara Balkan sekarang. Akan tetapi tatkala
keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah, dominasi kekuasaan komunis, dan kebangkitan nasionalisme
kontemporer mengakibatkan Islam Eropa
Tenggara tertindas dan banyak warisan kuno dan prasarananya hancur, Eropa Barat
malah membuka pintunya bagi arus migran dan pengungsi Muslim.
Komunitas-komunitas Muslim signifikan kini ada di semua negara Eropa Barat.
A. Fase
dan Kelompok Dalam Sejarah Islam Eropa
Sejarah
pramoderen Islam di Eropa Barat terdiri atas dua bagian. Pertama , dari
abad ke-8 hingga akhir abad ke-15, ada wilayah-wilayah yang dikuasi oleh
Muslim, tempat posisi Islam sebagai mayoritas. Selain di Spanyol Muslim, inilah
kondisi yang terjadi selama berbagai periode disejumlah pulau di Laut Tengah
dan kantong-kantong kecil di Italia Selatan dan Prancis Selatan. Kedua,
Sejarah Islam sebagai agama minoritas di Eropa Barat dimulai sekitar abad
ke-19, ketika para penguasa Kristen khusnya disemanjung Liberia memutuskan
untuk tidak lagi mengeksekusi tawanan
Muslim, dan mulai menjual dan menggunakan mereka sebagai budak. Sejak pengujung
abad ke-11, fenomena sosial budak-budak Muslim diwilayah Kristen semakin
penting, khususnya disemenanjung Lberia, Italia, Prancis Selatan, Silsilia dan
kepulauan Balearic. Sejarah yang mereka alami adalah sejarah kristenisasi
dan asimilasi pesat dibawah tekanan masyarakat dan greja sekaligus.
Bagi
beberapa kerajaan Kristen disemenanjung Lberia, periode dari abad ke-12 hingga
ke-16 merupakan kekecualian pola ini. Ketika Wilayah-wilayah Spanyol Muslim
ditaklukkan kembali oleh raja-raja Kristen, Komunitas-komunitas Muslim lokal
mendapat kebebasan dan perlindungan dan perlindungan agama meskipun diprotes
oleh greja Katolik. Akan tetapi setelah kejatuhan Granada (1492),
Komunitas-komunitas ini dibaptis secara paksa dan akhirnya pada awal abad ke-17
dengan dicap kaum sesat, mereka akhirnya diusir dan sebagaian besar pergi ke
Afrika Utara. Akan tetapi hal ini tidak mengakhiri fenomena sosial para budak
Muslim. Keberadaan mereka dinegara-negara Eropa disekitar Laut Tengah
terdokumentasi tanpa terputus hingga abad ke-19. Periode pencerahan yang
diikuti Revolusi Prancis, dimaklumkannya kebebasan beragama sebagai hak asasi
manusia universal dan dihapusnya perbudakan, menciptakan kondisi-kondisi yang
amat diperlukan oleh moderen oleh Islam Eropa Barat.
Pada
akhir abad ke-20, terdapat kurang lebih 18 juta Muslim di Eropa, hampir 9 juta
masing-masing di Eropa barat dan Timur. Beberpa ribu Muslim hidup di Polandia
dan Finlandia. Kaum Muslim Polandia adalah keturunan migran Tartar dan Krim
yang tiba di negara ini pada abad ke-14 dan ke-15, serta abad ke-17 dan ke-18.
Kaum Muslim Finlandia terdiri dari orang-orang yang berasal dari Turki-Tartar
dari wilayah Volga dan Idel Ural yang bagian besar tiba setelah Revolusi
Komunis 1917. Kaum Muslim di Eropa
sebagian besar berada dinegara-negara Balkan. Mereka adalah keturunan dari
berbagai kelompok yang memeluk Islam ketika Utsmaniyah berkuasa dan juga
kelompok-kelompok Muslim asal non-Eropa, khususnya Turki. Banyak dari
kelompok-kelompok ini terdiri atas semua tingkat sosial seperti, elit
religius, intlektual, pedagang dan seni. Akan tetapi, di Eropa Barat
Islam memperlihatkan keragaman sosial yang jauh berkurang. Pada dasarnya Islam
masih merupakan agama kaum migran yang kebanyakan merupakan pekerja yang kurang
trampil, pedagang kecil dan pedangan rendah.
Warga
setempat yang menjadi Muslim ada disetiap negara Eropa Barat, tetapi jumlahnya
sangat terbatas, yang menonjol adalah wanita yang menikah dengan pria Muslim,
yang sesungguhnya mempelopori berdirnya organisasi-organisasi wanita Muslim
yang menarik anggota dari seluruh kelompak etnis Muslim. Yang pria jumlahnya
jauh lebih sedikit meskipun berperan penting dalam proses negosiasi dan
komunikasi antar budaya antar kelompok Muslim disatu pihak serta masyarakat dan
Pemerintah Eropa disisi lainnya. Sebagian dari mereka terkenal sebagai sarjana
dan penulis, baik di dunia Muslim maupun Barat.
Para
migran Muslim di Eropa Barat dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama,
terdiri dari penduduk yang berasal dari bekas jajahan. Diantaranya adalah
kelompok-kelompok yang bekerjasama dengan tentara penjajah Eropa dan lebih suka
meninggalkan negara mereka ketika penjajahan berakhir. Kedua, Muslim
terdiri sebagian besar atas pekerja yang tidak
terampil beserta keluarga mereka. Mereka berasal dari negara-negara
sekitar Laut Tengah, dari Anak Benua Indo-Pakistan, dan juga dari negara-negara
Muslim lain di Timur Dekat dan Jauh. Di Prancis dan Inggris, proses migrasi ini
dimulai sebelum Perang Dunia ll, dinegara-negara lain sebagian besar terjadi
antara akhir 1960-an dan 1970-an. Khususnya sejak akhir 1970-an, dimulai proses
reuni keluarga basis bagi institusionalisasi infrastruktur religius.
Kelompok-kelompok
asal etnis atau geografis tertentu membentuk mayoritas dari kalangan penduduk
Muslim. Inilah terjadi pada para migran dari wilayah Maghribi dan Afrika Barat
di Prancis, Spanyol, Italia dan Belgia; pada orang Turki di Jerman dan Belanda
; dan pada orang Muslim dari Anak Benua Indo-Pakistan di Inggris. Dibandingkan
dengan masyarakat-masyarakat tempat mereka hidup, mobilitas sosial ke atas
dikalangan generasi kedua dan ketiga kelompok-kelompok ini tetap sangat
terbatas. Persentase pengangguran diantara mereka lebih tinggi dibandingka
dengan kalangan-kalangan kelompok asli
setempat.
Arus
migrasi Muslim terdiri atas pengungsi politik dari berbagai negara Muslim.
Diantara mereka persentase yang mengenyam berbagai bentuk pendidiksn tinggi (nonreligius)
seperti universitas angkanya tinggi. Banyak diantara diantara mereka ini
berpandangan sekuler , dan mereka sejauh ini tidak memberikan kepemimpinan yang
khusus religius kepada komunitas-komunitas Muslim. Namun mereka berperan
penting dalam aktivitas budaya dan sosial politi yang bersifat lebih umum.
B.
Infarstruktur
Religius
Berbeda
dengan infrastruktur religius mapan kaum Muslim di Eropa Tenggara,
sejarah kontemporer Islam di Eropa Barat memperlihatkan banyak contoh
komunitas-komunitas setempat yang semula bertemu di aula shalat, kemudian
mendirikan masjid dan mengangkat imam. Pada awalnya, kelompok-kelompok Muslim
ini acap kali menyewa tempat selama jangka waktu tertentu untuk beribadah.
Kemudian ditemukan solusi –solusi lebih permanen. Pada tahap awal non-Muslim, khususnya para anggota gereja,
berperan menonjol dalam prakarsa instutionalisme agama. Pada tahap kedua,
prakarsa sebagian besar diambil oleh pemimpin informal komunitas bersangkutan.
Akhirnya masjid berdiri berkat
kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan organisasi Islam pada tingkat Nasional
atau Internasional.
Secara
umum, di Eropa Barat masjid didirikan atas dasar monoetnis dan monosekte.
Dengan pengecualian yang jarang, tempat-tempat ibadah multietnis dan multisekte berada dikota-kota kecil atau desa-desa yang
masjid atau aula shalatnya hanya ada satu. Dikota-kota yang memiliki dua masjid
atau aula shalat, biasanya ada kelompok-kelompok Muslim. Di komunitas-komunitas
yang lebih besar, bisa terjadi ada kelompok-kelompok religius dalam satu
kelompok etnis. Hal ini umumnya terlihat dikota-kota yang memiliki tiga masjid
atau lebih. Sejajar dengan perkembangan sebelumnya, meningkat pulalah
aspek-aspek fungsianal dari lembaga-lembaga keagamaan setempat. Pada awalnya
fungsi bentuk pelembagaan Islam ini adalah memperhatikan kebutuhan layanan keagamaan.
Pendirian tempat ibadah-ibadah ini merupakan tempat terbesar kaum Muslim
bertemu untuk shalat , berarti menciptakan ruang dan jaringan sosial berdasarkan identitas religius bersama
. Dalam banyak kasus pengajaran , pengajaran keagamaan tingkat awal yang
disediakan oleh komunitas diberikan oleh relawan yang memenuhi syarat. Akan
tetapi ccara terbaik untuk memenuhi kebutuhan ini adalah mengankat iman yang
selain bertugas mengimami shalat juga sebagai pendidik bagi anak-anak. Masjid
sebagai pusat pendidikan Islam terpenting di Eropa Barat, diperkirakan 15 %
dari semua anak-anak berlatar belakang Muslim menerima pendidikan keagamaan
secara teratur, peran serupa dimainkan oleh masjid-masjid di Eropa
Tenggara (kecuali Yunani) ; selama
periode Komunis tidak ada ruang bagi Sekolah Dasar Islam yang diakui oleh
negara.
Peningkatan
komunitas Islam yang dirangsang oleh masjid meningkatkan peran penting mereka.
Di negara-negara Muslim sendiri, banyak lembaga yang peran kulturalnya terpisah
dari masjid, akan tetapi lembaga-lembaga seperti ini tidak terdapat
dinegara-negara tuan rumah (Eropa Barat), dengan demikian, pemanfaatan
masjid-masjid di Eropa Barat untuk mengemban sebagai an fungsi-fungsi
infrastruktur al ini, merupakan pemecahan konstruktif karena berarti
memberikan dukungan material lebih lanjut bagi pemeliharaan masjid dan
pemeliharaan kehidupan komunitas Muslim itu sendiri. Hal ini memunculkan
berbagai jenis kegiatan, antara lain dibidang pendidikan, olahraga, dan
rekreasi, serta memberikan alternatif pola tingkah laku islami kepada generasi
muda.
Akibatnya,
bangunan masjid di Eropa Barat dipakai untuk bermacam acara bernuansa keagamaan
yang biasanya tidak diselenggarakan didalam atau sekitar bangunan masjid di
Dunia Muslim sendiri, seperti resepsi perkawinan, khitan, dan upacar berkabung.
Sementara itu disebelah bangunan masjid terdapat toko-toko yang dimiliki oleh
organisasi Muslim yang menjual benda-benda religius (seperti buku) serta
produk-produk dari negara-negara asal dan memperluas basis sosial serta
finansial kehidupan komunitas yang berpusat diseputar masjid. Sebagian besar
masjid dikelola oleh pengurus. Para anggota dewan biasanya mengurusi
kepentingan keuangan dan pemeliharaan masjid, jika tidak dibuat ketentuan
khusus oleh bersama pemerintah negara asal, imam masjid diangkat oleh dewan,
tugas dewan mencakup kedalam dan keluar, akan tetapi tugas imam terutama
kedalam dan khusnya berhubungan dengan pengetahuan dan penerapan nilai-nilai
Islam. Anggota dewan harus mampu mengelola masjid dan berkomunikasi serta
bernegosiasi dengan masyarakat non-Muslim disekitarnya, untuk itu imam harus
fasih berbahasa setempat, mengetahui dan mengerti hukum dan adat sosialnya.
Dengan
tidak adanya perasaan sosial dari negara asal (keluarga, kenalan dsb), fungsi
imam komunitas masjid amat meningkat di Eropa Barat. Tugas imam antara lain,
memberikan bimbingan spritual dan peduli sosial, seperti mengajak anggota
komunitas di rumah sakit dan penjara. Banyak kesamaan yang pening antara imam
di Eropa dengan tugas pastor atau rabi. Konsekuensi logisnya, pemerintah dan
pengadilan juga cenderung mengidentifikasi imam sebagai ulama yang mesti sama
diperlakukan seperti pendeta Kristen dan Yahudi. Negara-negara yang resmi
mengakui Islam seperti Belgia dan Spanyol yang mengesahkan pandangan ini secara
eksplisit, dinegara-negara lain sudut pandang yang sama diungkapkan
secara implisit, dalam yurisprudensi dan kebijakan pemerintah. Di
Belanda Mahkamah Agung mengeluarkan putusan resmi bahwa secara yuridis
pastor, rabi, imam, pendeta Hindu dan pemimpin spritual humanistik disertakan.
Disemua
negara Eropa Barat, kaum Muslim semakin menyadari perlunya mendirikan pusat
pendidikan sendiri untuk pelatihan imam. Proses ini dirancang oleh diskusi
publik dan kebijakan pemerintah yang menghargai pendirian sarana-sarana seperti
itu di negara-negara Eropa Barat. Selain persyaratan teologis yang
ketat, tantangan baru pendidikan datang dari pos-pos yang sebelumnya tidak
pernah ada bagi imam yang muncul dikalangan tentara, rumah sakit, dan penjara
di Eropa Barat yang setarap dengan pendeta, pastor dan rabi yang diangkat oleh
negara yang sudah bekerja dilembaga-lembaga itu. Jelas imam kategori baru ini
membutuhkan bentuk-bentuk pelatihan tambahan agar ia dapat menangani tuga
non-tradisional. Berdirinya sekolah Teologi Islam tidak diragukan lagi
merupakan suatu momentum historis besar dalam sejarah Islam Eropa Barat,
namun sejumlah rintangan menghadang realisasinya, yang paling menonjol adalah
keragaman organisasi-organisasi Islam yang menyulitkan koordinasi dalam
menggerakkan berbagai prakarsa dalam bersekala kecil yang sudah ada diberbagai
negara. Infrastruktur religius Islam di Eropa Tenggara misalnya di Bosnia
Herzegovina, imam dan ulama di didik di beberapa madrasah dan Fakultas Teologi
di Sarajevo.
Di
tingkat nasional dan itenasional, banyak ragam organisasi Islam yang saling bersaing
untuk bisa berpengaruh di komunitas masjid setempat. Pada tahun 1970-an,
upaya-upaya pertama untuk menciptakan struktur payung bagi masjid lokal,
diantaranya adalah organisasi yang mewakili arus keyakinan yang berbeda dengan
doktrin resmi Islam yang dipromosikan oleh pemerintah dinegara asal. Prakarsa
ini ditiadakan oleh kegiatan pemerintah non-Eropa bersangkutan, yang mulai
membangun jaringan komunitas masjidnya sendiri dikalangan warganya di
negara-negara Eropa Barat. Contoh jelas pola ini terdapat dikalangan organisasi-organisasi
Islam Turki.
Sebagai
reaksi terhadap pesatnya perkembangan gerakan-gerakan keagamaan independen dan
oposisional, seperi Suleymanlis, Milli Gorus dan Nursis, presidium urusan agama
pemerintah Tuurki (biasanya disebut Diyanet) mengembangkan kebijakan untuk
mendorong berdirinya infrastruktur religius bagi kaum Muslim Turki di Eropa
Barat yang langsung di awasinya. Kebijakan ini antara lain, berupa pembangunan
masjid dan pengangkatan imam serta guru agama yang dididik disalah satu
perguruan tinggi atau Fakultas Turki. Para imam ini yang berstatus sebagai
pegawai negeri sipil Turki, kebijakan ini juga mengangkat atase agama dengan
status mufti untuk kedutaan besar Turki.
Divisi-divisi organisasi serupa, akibat persaingan antar kelompok religius
politik oposisional di satu pihak, dan pemerintah negara asal dipihak lain,
juga terjadi di kalangan kaum Muslim lain, seperti pemerintah Tunisia,
cenderung tidak melakukan campur tangan langsung dalam kehidupan beragama
(mantan) warganya di Eropa Barat. Sesungguhnya Eropa Barat telah menjadi tempat
berlindung untuk secara leluasa mengorganisasi gerakan organisasi-organisasi
oposisi Islam. Tulisan pemimpin oposisi Maroko, Abd Al-Salam Yasin, misalnya
yang dilarang di Maroko beredar dikalangan komunitas Maroko di Eropa Barat.
Selain
itu, organisasi-organisasi internasional, seperti Dunia Muslim, yang di dukung
oleh pemerintah negara-negara Muslim, berhasil mendirikan Pusat Islam di
berbagai negara di Eropa Barat, seperti Brussel, Madrid dan Roma. Pusat-pusat
ini bertujuan mengendalikan kehidupan religius Islam di Eropa Barat, dan
biasanya di urus oleh wakil diplomatik negara-negara Muslim, dibawah pengaruh
dominan Arab Saudi. Ini menambah kompleksitas pesaingan dan konflik yang masih
terus mewarnai hubungan antar organisasi payung Islam pada tingkat nasional.
C.
Agama dan
Negara
Saat
ini semua negara Eropa mengklaim demokratis dan menghormati prinsip dasar
kebebasan beragama meskipun ada perbedaan hubungan antar agama dan negara, yang
diabadikan dalam konstitusi masing-masing dan diterapkan dalam kehidupan
mereka, prinsip ini berlaku untuk segenap warga dan penduduk, temasuk kaum
Muslim, secara individual maupun dalam bentuk organisasi keagamaan mereka.
Prinsip konstitusional tentang kebebasan beragama di tarik oleh berbagai batas
hukum yang membentuk Islam, mengikuti pola gereja dan sinagog di Eropa, menjadi
lembaga religius yang terutama berfokus dibidang-bidang tertentu
kehiidupan sosial. Bidang-bidang ini berupa pengajaran moral dan agama,
pelaksanaan ritual dan hari raya, pengorganisasian pendidikan dan pengetahuan
keagamaan, serta penguatan berbagai kehiupan komunitas berbasis agama. Di
bidang kehidupan sosial lainnya, yang berlaku tatanan publik dan monopoli
negara. Kecuali Yunani, tempat Hukum Keluarga Islam dihormati sejak perjanjian Lausanne
1923 dan tempat gereja Ortodoks Yunani masih berperan dominan, dewasa ini tidak
ada negara Eropa yang mengenal sistem kemajemukan hukum yang berdasarkan agama
warga negara.
Tentu
saja hal ini tidak berarti bahwa prinsip-prinsip hukum keluarga Islam tidak
bernilai bagi keluarga Muslim di negara-negara Eropa. Sebaliknya seperti
pemeluk agama-agama lain, kaum Muslim bebas menaatinya, secara sukarela dan
dengan mmenghormati semestinya tatanan yuridis yang ada. Meraka bahkan
dapat menciptakan pengadilan agama sendiri untuk menyelesaikan perselisihan
internal mengenai semua masalah, seperti perkawinan, perceraian dan waris.
Penciptaan pengadilan syariat informal seperti itu yang dapat disamakan dengan
pengadilan rabi Yahudi, telah berlangsung di beberapa nnegara Eropa Barat, akan
tetapi keputusa pengadilan seperti itu tidak mendapat validitas publik.
Penafsiran
terhadap prinsip kebebasan beragama berbeda dari satu negara ke negara lain.
Perbedaan ini berhubungan erat dengan kompleksitas sejarah politik dan budaya
setiap negara. Penyemblihan hewan menurut ajaran Islam (dan Yahudi), misalnya
diperbolehkannya di banyak negara (dengan persyaratan khusus yang ditetapkan
undang-undang), tetapi dilarang disebagian negara, seperti Swiss dan Swedia.
Perselisihan mengenai berjilbab di sekolah umum, lagi-lagi berakhir berbeda. Di
sebagian negara seperti Belanda, ekspresi perilaku religius Islam di hormati.
Akan tetapi, di sebagian lain, seperti Belgia dan Prancis, keputusan
membolehkan berjilbab berada ditangan kepala sekolah. Selama kasus Salman
Rushdie, undang-undang penghujatan yang ada tanpaknya hanya berlaku pada
agama-agama mapan di Inggris, tetapi di Belanda berlaku pula pada Islam. Sikap
terhadap hak berhari raya agama masih beragam meskipun yurisprudensi
cendrung mengakui hak pekerja untuk berlibur satu atau beberapa hari lebih
untuk maksud ini, asalkan perusahaan diberi tahu sebelumnya dan tidak membawa kerugian
serius bagi kepentingan perusahaan. Putusan komisi Hak Asasi Manusia Eropa
menetapkan bahawa pekerja Muslim berhak menunikan shalat jumat jika ia memberi
tahu perusahaan ketika ia bekerja bahwa penuaian kewajiban keagamaan ini
berbarengan dengan kewajibab sebagai pekerja.
Aspek
penting dalam hubungan antara agama dan negara adalah sikap dominan di setiap
negara terhadap nilai sosial agama. Hal ini berbeda tidak ada antara negara,
tetapi juga di dalam setiap negara dan bahkan dari satu periode ke periode lain
serta kalangan di berbgai partai politik. Bahkan beberapa negara secara resmi menganggap
sangat pentingnya agama dalam memelihara norma dan nilai masyarakat. Jika
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan hukum dipenuhi oleh organisasi
keagamaan, negara-negara ini mau bekerja sama dengannya dan bahkan mensubsidi.
Negara-negara lain cenderung menekankan sifat pribadi agama, karakter sekuler
masyarakat mereka, dan akibatnya enggan
mendanai organisasi keagamaan. Meskipun demikian, bisa saja mensubsidi agama
secara tak langsung, misalnya tidak mengenakan pajak pada sumbangan atas nama
keagamaan, suatu praktik di banyak negara Eropa.
Perbedaan-perbedaan
ini juga terkait dengan beragam tradisi konstitusional Eropa menggenai
hubungan antara agama dan negara. Kecuali Kota Vatikan, tradisi-tradisi seperti
ini dapat di klasifikasikan secara luas berdasarkan model penyatuan dan
pemisahan. Model penyatuan melibatkan hubungan yuridis langsung anatara
agama dan negara. Model ini dapat dibagi menjadi tiga tipe. Pertama,
beberapa negara mengakui secara resmi komunitas-komunitas religius. Ini
menunjukkan bahwa mereka mempertimbangkan secara resmi keberadaan
komunitas-komunitas itu dan masyarakat pada umumnya (contoh: Spanyol, Belgia
dan Jerman). Tipe kedua adalah keberadaan satu agama resmi negara yang
di dalamnya konstitusi menghormati kebebasan beragama dan hak
agama-agama lain untuk diperlakukan sama. Ini yang terjadi, misalnya di
Denmark, Swedia dan Inggris. Tipe ketiga adalah perlakuan istimewa resmi
terhadap satu komunitas religius. Ini terjadi di Yunani dan biasanya
disebut dengan istilah “konfesionalisme”.
Selain
itu terdapat pula model pemisahan antara agama dan negara, yang menekankan
netralitas negara, persamaan semua agama dan falsafah hidup, serta pada tingkat
yang beragam, karakter sekuler segenap ruang publik masyarakat. Model ini
dipraktekkan di Prancis dan Belanda. Akan tetapi dalam penerapannya,
negara-negara ini banyak memperlihatkan perbedaan secara berarti, misalnya atas
dasar “sistem pilarisasi” Belanda yang terkenal yang memberikan hak kepada
setiap komunitas religius di Belanda, juga di tingkat lokal, untuk
mmengembangkan dengan subsidi negara semua lembaga religius di bidang
pendidikan dan sosial budaya, telah didirikan sekitar tiga puluh Sekolah Dasar
Islam. Contoh ini menggambarkan arti terbatas berbagai teori konstitusional
untuk menilai dengan benar kemungkinan nyata yang tersedia bagi
kelompok-kelompok religius di setiap negara.
Konstitusi Spanyol
mengungkapkan kesiapan negara untuk bekerja sama dengan gereja dan agama lain
sepanjang di butuhkan untuk membuat hak warga negaranya menikmati kebebasan
beragama menjadi nyata dan aktif. Untuk mendapatkan pengakuan yang diperlukan
untuk mencapai persetujuan dalam bekerja sama, pihak-pihak yang terlibat harus
mmmembuktikan berdasarkan inskrifsi dalam Daftar Entitas Religius resmi,
setidak-tidaknaya jumlah tertentu penganut keyakinan. Para penganut agama
Protestan, Yahudi dan Islam telah diserahi undang-undang ini, dan kesepakatan
resmi antar negara dan penganut agama ini di tandatangani pada tahun 1992.
Comision
Islamica de Espana
(CIE) diakui sebagai perwakilan resmi kaum Muslim Spanyol, dipilih oleh dua
pederasi yang tercantum dalam daftar Entitas Religius resmi, yang pada
masa mendatang dapat ditambahai komunitas atau federasi lain.
Kesepakatan telah mebuat daftar panjang subjek relevan, seperti undang-undang
masjid dan aula shalat, perkuburan Islam dan aturan Islam berkenaan dengan
makanan, ritus pemakaman, imam, serta pemimpin keagamaan lainnya. Ia juga
mengatur hak-hak religius serdadu Muslim dan personel tentara Muslim dan
tawanan serta pasien Muslim di rumah sakit. Orang tua dan anaknya dijamin
haknya untuk mendapat pendidikan dasar dan menengah. Komisi Islam Spanyol (CIE)
dan juga komunitas-komunitas yang terkait dengannya, dapat mendirikan dan
mengelola pusat pendidikan dasar dan menengah, maupun universitas dan pusat
informasi Islam sesuai dengan perundang-undangan umum mengenai masalah ini. Kesepakatan
juga memberikan sejumlah privelese pajak kepada CIE dan komunnitas-komunits
terkait. Ia juga mendefenisikan hak siswa Muslim dan pekerja Muslim untuk
merayakan hari besar keagamaan, mematuhi ketentuan Ramadhan dan bershalat jumat
setiap pekan. Akhirnya ia mengatakan bahwa CIE adalah satu-satunya otoritas di
Spanyol yang memberikan tanda “halal” pada produk-produk makanan untuk
menunjukkan bahwa produk-produk itu di siapkan menurut hukum Islam. Aturan
makanan dalam Islam akan dihormati di lembaga pemasyarakatan, kawasan tentara,
rumah sakit, dan sekolah bbagi Muslim yang meminta ini, hal ini juga terjadi
pada jadwal Ramadhan.
Pemerintah
Spanyol berperan aktif dalam membentuk lembaga perwakilan atas nama kaum Muslim
di Spanyol. Namun, di Belgia yang mengakui Islam secara resmi pada tahun 1974
tidak demikian, untuk mmewujudkan bantuan keuangan, pada prinsipnya pemerintah
Belgia siap memberikan kepada berbagai aktivitas religius Islam (seperti
gaji imam, biaya masjid, pendirian Sekolah Islam, pendidikan keagamaan di
sekolah publik, dsb). Komisi yang memiliki perwakilan harus ditetapkan
undang-undang. Komisi ini bertanggung jawab atas harta yang digunakan untuk
ibadah dan sekali gus berfungsi sebagai perantara dengan pemmerintah nasional,
ia harus dipilih ditingkat provinsi sesuai dengan praturan. Yang mengorganisasi
pemilihan ini adalah Pusat Budaya Islam di Brussel (di danai oleh liga Dunia Muslim).
Orang Belgia berhubungan dengan pusat ini untuk sementara sebagai wakil kaum
Muslim Belgia sejak Islam di akui secara resmi. Akan tetapi, pemilihan yang
berlangsung tidak di akui sehingga banyak tindakan potensial yang dapat meningkatkan infrastruktur religius
Islam belgia tidak diterima sama sekali. Namun, guru pendidikan Islam di angkat
di sekolah publik Belgia atas rekomendasi “Dewan Sementara Orang Bijak Untuk
Mengorganisasi Pengkhidmatan Islam di Belgia” (Provisional Council of Wise
Persons For The Oranizantion of The Islamic Cult in Belgium) yang dibentuk
pada tahun 1990 di Brussel, yang lagi-lagi untuk sementara.
Dari
sudut pandang umum, dapat disimpukan bahwa kaum Muslim belum sepenuhnya
memanfaatkan peluang yang diberikan oleh beragam sistem hukum di negara-negara
Eropa. Perelisihan mereka dan tidak adanya pemimpin berbobot merupakan faktor
penting untuk menjelaskan hal ini. Akan tetapi, yang juga penting adalah sikap
negatif terang-terangan yang ditujukan oleh banyak sektor masyarakat Eropa terhadap
minoritas etnis ditengah-tengah mereka umumnya dan pemeluk agama Islam
khususnya. Gerakan-gerakan politik ekstrimis beridiologi rasis
bermunculan di Eropa pada beberapa tahun baru lalu dan mampu memperoleh banyak
suara dalam pemilihan lokal dan nasional. Penggaruh mereka jelas tercermin
dalam sikap tidak konsisten dari sebagian partai politik yang mapan. Tindakan-tindakan
kekerasan terhadap harta dan jiwa kaum Muslim serta kelompok minoritas lainnya
merupakan realitas yang menyedihkan. Kini hampir tak ada masjid atau aula
shalat yang dibuka tanpa disertai dengan protes dari non-Muslim. Dan politisi
yang membela hak—hak konstitusional kelompok minoritas beresiko kehilangan banyak dukungan pemilih.
Kejadian-kejadian dramatis di Eropa Tenggara telah menimbulkan kekhawatiran
akan kelangsungan hidup kebebasan, demokrasi dan persamaan dalam hubungannya
dengan Islam di Eropa.
Label: MENULIS
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda