NEGARA DAN AGAMA
NEGARA DAN AGAMA
Ali Geno Berutu
ali_geno@ymail.com
Perdebatan konseptual antara negara dan
agama selalu menjadi masalah aktual, apalagi dalam negara yang
penduduknya dipadati oleh salah satu agama tertentu. Agama dalam suatu negara
tidak selamanya tampil sebagai faktor independen, akan tetapi agama
sering tampil sebagai dependen terhadap negara, bahkan agama terkadang
menjadi alat legitimasi para penguasa. Persoalan akan menjadi lebih
rumit jika persepsi negara yang dianut oleh suatu bangsa mengikuti pola George Wilhelm Fredrich Hegel (1776-1831) yang
menganggap negara sebagai penjelmaan jiwa mutlak dan dalam mencapai tujuannya
tidak peduli harus mengorbankan masalah-masalah pribadi,[1] negara beserta kedaulatan
di dalamnya diamanatkan oleh tuhan untuk diterapkan oleh kepala negara atas
nama tuhan.
A. Relasi
Negara dan Agama
Negara di tinjau dari gambaran umum
adalah organisasi dalam suatu wilayah yang sah dan di taati oleh rakyatnya,[2] sedangkan agama adalah
suatu gerakan disegala bidang menurut kepercayaan kepada tuhan dan suatu rasa
tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan untuk mengangkat
prinsip-prinsip moral manusia atau dengan kata lain agama adalah keyakinan yang
berada di atas kekuatan manusia.[3]
Dalam pendefinisian negara Islam, pakar
politik negara Islam menyebutkan bahwa istilah negara Islam bukanlah suatu
penetapan dari para ulama yang tidak bisa dikritik maupun dianalisa. Muhammad
Abu> Zahrah mengatakan bahwa pembagian negara Islam kepada Da>rul Isla>m
dan Da>rul Harb tidaklah berdasarkan hadits, tetapi sebaliknnya
merupakan hasil penalaran dan ijti>ha>d para ulama. Menurut Fazlur
Rahman negara Islam adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat muslim
dalam rangka memenuhi keinginan mereka dan tidak kepentingan lain.[4] Sedangkan Imam as-Sarkashi>
menyebut negara Islam adalah panggilan atau nama untuk suatu kawasan yang
dikuasai oleh umat Islam dan sebagai bukti kekuasaan mereka memperoleh keamanan
disana.[5]
Untuk melaksanakan penegakan hukum
tentunya memerlukan kekuasaan, maka diperlukan terbentuknya negara sebagai
organisasi kekuasaan (machts organisatie) yang akan melaksanakan dan
menegakkan hukum.[6] Hasan
al-Bana menjelaskan bahwa pengakuan “bahwa tiada tuhan selain Allah” berarti umat
Islam wajib bergantung pada hukum Allah dalam
setiap aspek kehidupannya, sedangkan dalam politik, Bana berpendapat mendirikan
pemerintahan tuhan di muka bumi adalah suatu keharusan.[7]
Seorang ahli kajian agama-agama dan
penulis buku terkenal Karen Amstrong pada tahun 1996 telah mengatakan bahwa
pada akhir abad ke-20 agama menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan. Hal
yang dianggap mustahil oleh banyak orang pada tahun 1950 dan 60-an, yang dimana
kaum sekuler mempunyai anggapan bahwa agama hanyalah takhayul dan
bualan primitif yang ditumbuh- kembangkan oleh manusia rasional
dan beradab.[8]
Apa
yang menjadi prediksi kaum sekuler justru malah terjadi sebaliknya,
prediksi tersebut benar-benar meleset, di penghujung abat ke-20 manusia kembali
melirik agama sebagai pelabuhan yang menjanjikan akan kebahagiaan hidup. Nilai-nilai
yang telah diabaikan oleh hingar–bingar modernisme dirindukan kembali,
agama telah mendapatkan momentumnya kembali. Secara umum para sosiologi teoritis
politik Islam telah merumuskan teori-teori tentang hubungan antara agama dan
negara lalu membedakannya menjadi tiga paradigma, petama paradigma
Integralistik, kedua paradigma Simbiotik, dan ketiga
Paradigma sekularistik.
1.
Paradigma
Integralistik
Paradigma ini adalah konsep penyatuan
agama dengan negara (integrated) keduanya tidak dapat dipisahkan,
wilayah agama juga meliputi politik dan negara. Karena agama dan negara menyatu,[9] maka menurut paradigma
ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus pemrintahan negara
diselenggarakan atas dasar unsur ilahi.>[10] Mereka beranggapan bahwa
kedaulatan itu berasal dan berada ditangan tuhan dan kepala negara adalah
penjelmaan dari tuhan yang meniscayakan ketundukan mutlak tanpa ada alternatif
yang lain.[11]
Paradigama penyatuan agama dan negara
dianut oleh kalangan fundamentalisme Islam seperti Abu A’la>
al-Maudu>di>, Ibnu Taimiyyah, Hasan al-Bana, Sayyid Quthb dan Rasyid
Ridho dimana kelompok ini cenderung
berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dinaggap mendasar dan prinsipil.
Abu A’la> al-Maudu>di> (1903-1979)
merupakan salah satu ulama yang menganut faham ini, Maudu>di> berpendapat
bahwa negara Islam harus di dasarkan pada pada empat[12] prinsip dasar yaitu: (1)
mengakui kedaulatan tuhan, (2) menerima otoritas Nabi Muhammad s.a.w, (3)
memiliki status wakil tuhan, (4) dan menerapkan musyawarah.[13] Menurut al-Maudu>di>
syariat Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau agama dan
negara. Syariat Islam adalah suatu sistem yang sempurna, meliputi seluruh aspek
kehidupan dan tatanan kemasyarakatan. Dalam pandangan al-Maudu>di>
pendirian negara Islam di letakkan dalam fondasi tauhid, risalah
dan khilafah.[14] Sementara itu Ibnu
Taimiyyah (1263-1328) menjelaskan dalam bukunya al-Sya>sah al-Syar’i>yah
fi> Aslah al-Ra>’i wa al-Ri’a>yah bahwa syariah adalah prinsip
agama yang lengkap, baginya syariah itu harus menjadi konstitusi negara,
Islam adalah agama sekaligus negara (di>n wa daulah).[15]
Hasan al-Bana (1906-1949) menyatakan
bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, menurutnya Islam
merupakan agama yang menyeluruh dan mencakup segala aspek kehidupan. Sedangkan Dau>lah
Isla>mi>yah tegak di atas pondasi dakwah dan kaidah-kaidah syariat
yang baku. al-Bana bahkan mengembangkan pandangan Islamisme yang
mempertautkan Islam dengan politik atau negara, serta memandang penting adanya
pemerintahan Islam.[16] Islam dan negara difahami
sebagai suatu yang integral yang mencakup dimensi kehidupan dunia
dan akhirat.[17]
Sayyid Quthb (1906-1966) dalam
pandangannya menjelaskan bahwa Islam adalah sebagai sistem kehidupan yang
menyeluruh, Islam dalam pandangannya merupakan satu-satunya alternatif terhadap
sistem-sistem Barat yang harus dipilih oleh setiap muslim. Negara dan
pemerintah Islam menurut Quthb terdiri atas tiga asas, yakni keadilan
penguasa, ketaatan rakyat, dan
permusyawaratan antara rakyat dan penguasa.[18] Pemerintahan yang tidak
mengakui syariat Islam meskipun dilaksanakan oleh organisasi yang menamakan
dirinya Islam atau mempergunakan label Islam, tidak dapat dikatakan sebagai
pemerintahan Islam.
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) berpandangan
bahwa penerapan hukum Islam memerlukan sebuah pemerintahan Islam, karena hukum
merupakan sebuah produk dari musyawarah antara penguasa dan ulama, menurutnya
perlunya memulihkan kekhalifahan yang murni yang merujuk kepada zaman
nabi dan khalifah yang empat.[19]
Di Indonesia, Muhammad Natsir (1908-1993)
merupakan salah satu tokoh yang menganut paradigma integralistik ini,
dimana menurut pandangannya bahwa urusan kenegaraan merupakan suatu bagian yang
tak dapat dipisahkan dari Islam (integreerend deel), menurutnya
negara bukanlah tujuan tapi alat, dan pada prinsipnya negara merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Islam itu sendiri.[20] Menurut Natsir, dasar negara yang disebut juga
sebagai state philosophy atau falsafah negara haruslah merupakan
seperangkat nilai, ide atau norma yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang
sanggup memberi bimbingan lahir dan bathin kepada rakyat supaya menjadi bangsa
yang berakhlak dan bermoral, sekaligus dijadikan sebagai sumber aturan-aturan
pokok yang dituangkan dalam konstitusi (UUD), untuk dipedomani dan
dipegang teguh oleh suatu bangsa dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan
negara, guna mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan bersama dan dasar seperti
ini hanya ada dalam agama Islam.
2.
Paradigma
Simbiotik
Paradigma ini adalah dimana agama dan
negara berhubungan secara simbiotik, yakni berhubungan secara timbal
balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena
dengan agama negara dapat berkembang. Begitu juga sebaliknya dimana negara
memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan
moral dan etika.[21]
Kelompok ini percaya kepada sifat holistik Islam, tetapi mereka menolak
pendapat bahwa Islam memberikan sistem kehidupan yang detail dan baku. Sifat holistik
Islam hanya meliputi nilai-nilai moral yang berperan sebagai petunjuk umum bagi
kehidupan.[22]
Paradigma simbiosis antara agama
dan negara dapat dilacak pada pemikiran al-Mawardi (972-1058), ia memaparkan
bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan ilusi
kenabian guna untuk memelihara negara dan mengatur dunia.[23] Dalam konsepsi
al-Mawardi, pemeliharaan agama dan mengatur dunia (negara) merupakan dua jenis
aktivitas yang berbeda, keduanya merupakan dimensi dari misi kenabian. Oleh
karena itu dalam pandangan al-Mawardi disimpulkan bahwa, agama (syariat)
mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik.
Pada sisi lain sebenarnya Mawardi berusaha menjelaskan/mengenalkan sebuah
pendekatan pragmatik dengan menyelesaikan persoalan politik kalau
dihadapkan dengan prinsip-prinsip agama.[24]
Muhammad Husein Haika>l berpendapat
bahwa prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat yang diberikan al-Qur’an dan
as-Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan kenegaraan. Sistem
pemerintahan Madinah yang dilaksanakan pada zaman Nabi Muhammad s.a.w tidak dapat
diklaim sebagai sistem yang islami. Karena semasa nabi hidup, di Madinah belum
terdapat ketentuan-ketentuan dasar sistem pemerintahan yang terperinci,[25] yang ada hanyalah
seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi
pengaturan tingkah laku manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.[26]
Muhammad Mahfud MD berpendapat bahwa di
dalam sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadist) memang tidak ada
ajaran tentang mengenai sistem politik dan ketatanegaraan. Artiya, tidak ada
ajaran tertentu yang harus diikuti dan dilaksanakan sebagai sistem politik dan
ketatanegaraan dalam Islam.[27] Di dalam Islam sejarah,
bukan dalam Islam wahyu, sistem politik dan ketatatnegaran sangat
bermacam-macam. Banyak negara yang mengaku “negara Islam” tetapi sistem politik
dan sistem hukumnya bermacam-macam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada
sistem politik dan ketatanegaraan dalam Islam. Sebab kalau ada sistem tertentu
yang harus dianut, maka dengan sendirinya semua negara Islam sistemnya harusnya
sama. Menurut Mahfud, Islam memang tidak menggariskan sistem politik dan
ketatanegaraan tertentu, tetapi Islam bisa menerima berbagai sistem dan bentuk
sesuai dengan tuntutan tempat, waktu dan tardisi (masing–masing negara). Karena
itu negara-negara Islam ada berbentuk monariki, republik,
bersistem presidensil dan parlementer. Tegasnya, Islam menerima
sistem atau bentuk apapun yang ditetapkan oleh manusia sesuai dengan kebutuhan
dan penerimaan masing-masing negara.[28]
Masykuri Abdillah membagi kelompok ini
kedalam tiga orientasi, pertama, pelaksanaan syariah secara
formal untuk hukum-hukum privat tertentu, seperti hukum keluarga, zakat, haji,
wakaf dan perbankan. Kedua, pelaksanaan syariat Islam secara subtantif,
seperti hukuman mati bagi tindak pembunuhan yang dimana secara materil sama hukumannya
dengan qis}as}. Ketiga, pelaksanaan syariat Islam secara esensial,
jika pelaksanaan syariat Islam secara subtantif sulit untuk diwujudkan
dalam konteks kekinian. Misalnya hukuman penjara bagi tindak pidana pencurian,
secara esensial telah sesuai dengan jiwa hukum Islam, bahwa pencurian
merupakan yang harus dikenakan sanksi. Kelompok ini menjadikan ajaran Islam sebagai
sumber etika moral atau input bagi pembangunan hukum nasional dan kebijakan
publik lainnya.[29]
3.
Pradigam
Sekularistik
Paradigma sekularistik adalah
paradigma penolakan terhadap integralistik maupun simbiotik. Paradigma
ini menghendaki adanya pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan negara,
dalam artian paradigma ini menolak adanya pendasaran negara terhadap Islam.
Hukum negara harus disandarkan pada prinsip-prinsip sekuler bukan pada
hukum Islam.[30] Pandangan
ini dapat kita lacak pada pemikiran Ali> Abdurra>ziq, Bassam Tibi,
Abdullahi Ahmed an-Naim dan lainnya.
Ali> Abdurra>zi>q (1888-1966)
menegaskan bahwa Islam tidak menetapkan terhadap suatu rezim tertentu dan tidak
pula mendeklarasikan kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu,[31] tetapi Islam justru memberikan
kebebasan kepada pemeluknya untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan intelektual,
sosial dan tuntutan zaman. Ali> Abdurra>zi>q berpendapat bahwa tidak
ada petunjuk yang jelas baik dalam al-Qur’a>n maupun as-Sunnah
tentang ketentuan suatu bentuk sistem pemerintahan dalam Islam. Hal ini senada
dengan pendapat Muhammad Abu> Zahra> yang mengatakan bahwa pembagian
negara kedalam Da>rul Isla>m dan da>rul Harb tidaklah berdasarkan kepada as-Sunnah
tetapi merupakan hasil analisis dan ijtihad para ulama.[32] Dalam konteks ini
Abdurra>zi>q menegaskan bahwa khilafah bukanlah rezim agama. Dia
juga tidak memberikan legitimasi terhadap sistem demokrasi dan sistem
politik yang lainnya.
Tha>ha> Husein seorang
cendikiawan muslim terkenal dari Mesir mengatakan bahwa negara yang di dirikan
oleh nabi Muhammad bukanlah negara teokrasi, sebab banyak
perkara-perkara penting yang di hadapkan kepada Rasulullah dan diputuskan
dengan mempertimbangkan kepada tradisi dan aspirasi masyarakat Arab yang
tidak bertentangan dengan Islam.[33] Masalah penyatun agama
dan negara, Tha>ha> berpendapat bahwa hal itu tidak akan bisa bersatu, menurutnya
sistem negara dan agama adalah dua hal yang berbeda, kesamaan agama dan bahasa
tidak akan selalu bergandengan tangan dengan kesamaan politik dan bukan juga
merupakan tiang penopang tegaknya negara, menurutnya negara di dirikan atas
kepentingan praktis tanpa memperhatikan agama.[34]
Abdullahi Ahmad An-Na’i>m yang
menyatakan bahwa syariat bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan
hanyalah interprestasi terhadap teks (nash) dasarnya sebagaimana
dipahami oleh konteks historis tertentu. Pandangan ini menolak prinsip
penyatuan total dan tuntas antara ajaran Islam (syariat) dan realitas kehidupan
pemeluknya, sebagaimana dianut oleh fundamentalisme Islam dalam
gerakan Islam kontemporer. [35] An-Na’i>m mengemukakan
bahwa aturan-aturan syariah tidak dapat di berlakukan secara formal oleh
negara sebagai hukum dan kebijakan publik dikarenakan aturan-aturan tersebut
bagian dari syariah, dalam artian negara tidak perlu berusaha menerapkan
syariat Islam secara formal.[36]
Muhammad Sa’i>d al-Ashma>wi>
dengan tegas menolak pandangan kelompok yang mengatakan bahwa Islam adalah
agama dan negara yang pada akhirnya menuju kepada empat kesimpulan, pertama,
sistem pemerintahan yang dipraktikkan oleh negara-negara Islam adalah bagian
dari agama; kedua, politik adalah bagian dari agama, sehingga dapat
dikatakan aktivitas politik adalah aktivitas agama; ketiga, kewajiban
mendirikan negara Islam yang memberlakukan syariat Islam; keempat,
dasar/asas dari negara-negara Islam adalah sistem Islam, sistem moral Islam dan
budaya Islam. Jika dimaksud konsepsi Islam adalah negara agama, maka bagi
al-Ashma>wi> itu adalah suatu
kekeliruan yang besar dalam memahami agama (Islam), karena al-Qur’an dan Hadits
tidak membuat ajaran (normatif-tekstual) yang berkaitan dengan sistem
politik, menurut al-Ashma>wi> sistem pemerintahan dalam Islam bersumber
pada kehendak manusia dan bukan kehendak tuhan.[37]
Pertarungan pemikiran terutama
menyangkut politik hukum negara terus bergulir tak terkecuali di Indonesia, sebagian
pemikir dan penggiat politik berpendapat bahwa Islam telah mengajarkan secara
lengkap tentang hukum – hukum yang harus di berlakukan dalam kehidupan
bernegara, sehingga harus diikuti sepenuhnya sesuai dengan teks
ajaran-ajarannya.
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa fundamentalisme
lebih berbahaya dari narkotika, ia melontarkan pemekiran tentang bahayanya “organizet religion” dan fundamentalisme agama, bagi Nurcholis fundamentalisme
adalah musuh yang harus diwaspadai. Fundamentalisme dalam satu agama tertentu
menurutnya menyebabkan gagasan-gagasan palsu dan bersifat menipu. Dimasa
sekarang fundamentalisme telah menjadi sumber kekacauan dan penyakit
mental baru di masyarakat, akibat-akibat yang ditimbulkannya jauh lebih buruk
dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang sudah ada, seperti kecanduan minuman keras dan penyalahgunaan
narkoba.[38]
Sedangkan Masdar berpendapat bahwa pelaksanaan syariat Islam yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya
hipokrisi, karena ketaatan pada syariat yang disebabkan oleh paksaan negara hanyalah merupakan ketaatan yang semu belaka, agama pada intinya harus menjadi wilayah yang otonom
dari negara.[39]
Penggunaan masa lampau membuat kaum
Islam formalis tidak mampu mempersepsi realitas dengan obyektif,
realitas kekinian dilihat dengan kaca mata masa lalu, sehingga persepsinya
mengalami distorsi dan anakronistik. Kaum Islam formalis
disebutnya hanya melihat Islam dari aspek ritual yang wajib
dilaksanakan, dipertahankan, dan bahkan diperjuangkan sampai titik darah
penghabisan, sehingga seluruh yang berlabel Islam harus menjadi prioritas. Konsekuensi logis dari sikap itu adalah Islam menjadi
gerakan komunal, sektarian dan feodalistik yang kehilangan elan
vitalnya. KH. Abdurrahman Wahid
secara tegas mengarahkan kekuatannya pada dimensi itu, menurutnya feodalisme agama dapat
menciptakan keresahan antar umat beragama. Oleh karena itu ia menentang formalisasi atau
menjadikan Islam sebagai hukum negara.[40]
Berbeda dengan paham Islam politik,
Islam Formal dan Islam Eksklusif yang berpendapat bahwa ajaran Islam
sudah mencakup berbagai bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum
internasional, yang semuanya siap dioperasionalkan sebagai paket yang given
yang harus diikuti oleh setiap pemeluk Islam.[41] Pendapat seperti ini dianut
oleh paham Islam Politik, Islam Formal atau Islam Eksklusif
dengan dalil sebagai dasar argumennya adalah firman Allah dalam QS
al-Ma>idah [5]: 44
“.......Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir”.
Di sisi lain ada penggiat politik
muslim yang menganut paham yang lebih moderat dan akomodatif
terhadap realitas perbedaan dan pluralitas masyarakat. Paham ini sering
disebut sebagai penganut gerakan Islam Kultural, Islam Substantif,
Islam Inklusif atau Islam Kosmopolit, mereka berpendapat
bahwa hukum Islam yang harus diperjuangkan pemberlakuannya dalam hidup
bernegara itu bukan norma-norma tekstual atau fik}ihnya melainkan makna-makna subtantif
atau asas-asasnya. Menurut pendapat ini “barang siapa yang tidak berhukum
dengan prinsip hukum (yakni keadilan) seperti yang diperintahkan Allah, maka orang itu kafir”. Dengan
demikian norma-norma hukum Islam terlebih dalam bentuk fik}ih tidak ada yang
mutlak sehingga tidak harus diikuti seperti apa adanya, sebab yang terpenting
adalah prinsip keadilan.[42]
-------------------------------------------
NB:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari tesis saya yang berjudul : Penerapan Qanun
Aceh Dikota Subulussalam “Kajian Atas Qanun Nomor 12, 13 dan 14 Tahun 2003”
Ali Geno Berutu, Negara dan Agama
Label: MENULIS
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda