NIKAH DIBAWAH TANGAN
NIKAH DIBAWAH TANGAN
Oleh : Ali Geno Berutu
Istilah ”nikah di bawah tangan” mengemuka setelah
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif tanggal
1 Oktober 1975. Nikah seperti ini pada
dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Sedangkan
nikah menurut hukum adalah yang diatur dalam UU Perkawinan.Oleh karena itu,
dapat dirumuskan, bahwa nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan tidak
menurut hukum. Dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah
liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupaya pengakuan dan
perlindungan hukum.[1]
Pengertian Nikah dibawah Tangan
Nikah dibawah tangan adalah, Pernikahan yang dilakukan
menurut hukum syariat, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah
(PPN) sebagai aparat resmi pemerintah
dan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama, sehingga tidak memperoleh akte nikah sebagai satu-satunya bukti legal
formal.[2]
Sedangkan KH. Ma’ruf Amin mengatakan bahawa nikah dibawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang
ditetapkan dalam fikih
(hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.[3]
Dalam fikih kontemporer nikah dibawah tangan dikenal
dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi
tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan
(KUA). Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat
dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi Muhammad
SAW dan para sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad
pernikahan mereka tanpa ada permasalahan
dalam hati mereka.[4]
B.
Pro-Kotra Nikah Dibawah Tangan
Menurut
kalangan yang pro terhadap nikah dibawah tangan, perkawinan tersebut boleh dan sah menurut agama, hanya
saja tidak (wajib) tercatat di KUA. Kalangan Nahdliyyin (NU) adalah satu di
antaranya yang menyatakan kebolehannya,
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
keputusan Bahtsul Masa@’il FMPP XXI se Jawa-Madura dalam menanggapi
Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU
HMPABP) terkait kriminalisasi nikah sirri, poligami dan cerai yang dilakukan
tidak di hadapan PPN, menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak bisa
membatalkan perkawinan, karena secara hukum syar’i perkawinan tersebut telah
sah.[5]
Front Pembela
Islam (FPI) Kota Depok sempat menentang keras adanya Rancangan Undang-undang
(RUU) tentang nikah siri. Menurut FPI, menikah secara siri adalah sah dalam
hukum Islam dan tidak perlu dipermasalahkan. Habib Idrus Al Gadri memandang
masalah ini dari kacamata hukum syariat Islam yang seharusnya tidak bermasalah
jika nikah siri dilakukan berdasarkan keinginan bersama.[6]
Dalam pandangan
beberapa pengamat, kriminalisasi terhadap nikah sirri ini dianggap berlebihan,
karena pelanggaran yang dilakukan hanya berupa pelanggaran administratif bukan
pelanggaran pidana. Lebih jauh lagi, ada yang beranggapan bahwa Rancangan
Undang-Undang ini dikhawatirkan mengobsesi seseorang untuk berzina daripada
menikah.[7] Ulama
terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri itu adalah Dr. Yusuf Qardawi
salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di Islam. Ia berpendapat bahwa
nikah siri itu sah selama ada ijab kabul dan saksi.[8]
Quraish Shihab mengemukakan bahwa
betapa pentingnya pencatatan nikah yang ditetapkan melalui undang-undang di
sisi lain nikah yang tidak tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai
sah oleh hukum agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah dibawah
tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan setiap muslim untuk taat
pada u>lul amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah. Dalam
hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan,tetapi justru sangat
sejalan dengan semangat al-Qur’an.[9]
Sedangkan dalam
fatwa MUI tentang pernikahan dibawah tangan juga mensahkan pernikahan ini.
Dalam ketentuan hukumnya MUI mengatakan “pernikahan dibawah tangan hukumnya sah
karena terpenuhi syarat & rukun nikah, tetapi haram jika terdapat
madharah”. Selain itu MUI juga menekankan bahwa
pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang sebagai
langkah preventif untuk menolak dampak negative.[10]
Dalam Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia disebutkan tujuan pencatatan perkawinan yang
dilakukan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah adalah
untuk mendapatkan kepastian hukum, karena pernikahan yang dilakukan diluar
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai ketentuan hukum, dan perkawinan hanya
dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat Pegawai Pencatatan Nikah.[11]
Penjelasan
serupa juga terdapat UU No. 1 Tahun 1974 yang mana disebut “tiap -tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan.[12]
Kemudian dalam PP No.9 Tahun 1975, yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan
Undang-undang No. Tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan bagi penganut Islam
dilakukan oleh Pegawai Pencatat, dari mulai pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan sampai penandatanganan tersebut berarti proses
pencatatan perkawinan telah selesai. Bagi yang melangsungkan pernikahan tanpa
memberi tahu kepada pegawai pencatat, atau melaksanakan pernikahan tidak
dihadapan pegawai pencatat, dapat dihukum dengan hukuman denda setingi-tingginya
Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).[13]
C.
Hukum Nikah Siri MenurutUlama Mazhab
Ulama salaf mendeskripsikan nikah Siri/ nikah bawah tangan
sebagai bentuk pernikahan yang tidak dipersaksikan atau ada saksi tetapi
mempelai lelaki meminta saksi merahasiakan pernikahan yang terjadi.[14] Nikah siri menururt imam
Malik adalah:
هو الذي يو صي
فيه الزوج الشهود مكتمه عن امراته, او عن جما عة ولو اهل منزل
Artinya:
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk
istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.
Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah
siri. Perkawinannya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan
hukuman had (dera rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara
keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi.[16] Mazhab Syafi’i dan Hanafi
juga tidak membolehkan nikah siri. Menurut Hambali, nikah yang telah
dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan
oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh.
Menurut suatu riwayat, Khalifah Umar bin al-Khattab pernah
mengancam pelaku nikahsiri dengan hukuman had.[17]
Sementara ulama Hanabilah mengatakan bahwa, akad nikah tidak batal
dengan adanya permintaan untuk merahasiakan pernikahan, kalau seandainya wali,
para saksi dan sepasang suami istri merahasiakannya, akad nikah tetap sah
tetapi makruh.[18] Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahka@mu al-Zawa@j, menyatakan bahwa
nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan tanpa wali dan
saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pernikahannya adalah bathil, hal senada diungkapkan oleh Wahba Zuhaili yang
menyebutkan nikah yang dirahasiakan adalah nikah yang terselubung.[19]
عن عا ئشه قلت
رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم ايما امراة بغير اذن وليها فنكا حها بطا ل , ثلاث وان دخل بها
فلمهر لها بما اصاب منها فان استجروا فالسطان ولي من لاولي له (رواه الترمذي)
Atinya:” aisyah berkata, rosulluh Saw., bersabda “barang
siapa pun wanita yang menikah tampa izin walinya, maka nikahnya batal(diucapkan
kiga kali). Jika suaminya menggulinya, maka maharnya adalahuntuknya (wanita)
karena apa yang telah diperoleh darinya. Kemudian apabila mereka bertengkar,
maka penguasa menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali” (HR
Tirmidi)[20]
Sementara nikah
siri menurut terminologi fikih tersebut adalah tidak sah, sebab selain bisa
mengundang fitnah juga bertentangan dengan hadis nabi saw:
عن انس بن ما لك رضي الله عنه: قا ل
رسول الله صليالله عليه و سلم: او لم ولو بشاة. (رواه البخا ري
Artinya:
Adakanlah walimah sekalipun dengan hidangan seekor kambing.
D. Faktor Yang Mempengaruhi Nikah Dibawah Tangan
Fenomena
pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih
terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi
juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena
beberapa factor yang melatarbelakanginya. Tentu saja untuk mengetahui berapa
besar persentase pelaku nikah sirri dan factor apa saja yang menjadi pemicu
terjadinya pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama.
Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa factor,
yaitu:
1.
Kurangnya
Kesadaran Hukum Masyarakat
Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya
betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan
itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan
belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat
setempat; atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal
administrasi; belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat
dari pencatatan perkawinan tersebut.
Pengetahuan masyarakat terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih
menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu
ada campur tangan pemerintah / negara.[22] Dengan pemahaman masyarakat yang sangat minim, akibatnya kesadaran
masyarakat pun mempengaruhi melaksanakan pernikahan siri. Adanya anggapan bahwa
perkawinan yang dicatat dan tidak dicatat sama
saja.[23]
Dengan demikian, rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat seperti itu
perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan hukum baik secara formal yang
dilakukan oleh lembaga instansi terkait maupun secara informal melalui para
penceramah di forum pengajian majelis ta’lim dan lain sebagainya.
2.
Hamil di Luar Nikah
Diera
globalisasi sekarang ini informasi dengan begitu mudah didapat, mulai dari gaya
hidup, pilaku sosial suatu masyarakat tertentu dapat ditiru dengan mudahnya.
Hal ini berpengaruh besar dalam merubah prilaku dan pola pikir seseorang tanpa
disaring terlebih dahulu, akibatnya pergaulan yang mereka lakukan terkadang
melampaui batas, tidak lagi mengindahakan norma dan kaidah-kaidah agama.
Akibatnya ada hal-hal lain yang timbul akibat pergaulan bebas, seperti hamil
diluar nikah.
Kehamilan yang
terjadi diluar nikah tersebut, merupakan aib bagi keluarga, yang akan mengundang cemoohan dari
masyarakat. Dari sanalah orang tua
menikahkan anaknya dengan laki-laki yang menghamilinnya, dengan alasan
menyelamatkan nama baik keluarga, dan tanpa melibatkan petugas PPN, tetapi
hanya dilakukan oleh mualim atau Kyai tanpa melakukan pencatatan.[24]
3.
Menghindari Tuntutan Hukum
Untuk menghindari tuntutan
hukum oleh isterinya dibelakang hari, karena perkawinan yang tidak dicatat oleh
Kantor Urusan Agama, tidak dapat dituntut secara hukum di pengadilan. Kasus Ini
terjadi oleh pelaku perkawinan siri untuk menikah kedua kali (Poligami). Hasil
penelitian Di Cinere (Bogor) sangat banyak pelaku poligami, di dalam satu RT
saja bisa terdapat 10 rumah tangga poligami melalui pernikahan siri. Ketika
dicek kepengadilan agama setempat, tidak ada yang mengajukan proses pernikahan
poligami.[25]
4.
Ketentuan
Pencatatn Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1/1974 merupakan azas
pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut
harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu
perkawinan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah
cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan
mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal
tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang
melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam
undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.
Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah membuat RUU Hukum
Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan
di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan
secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya.
Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat
(1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib
dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal
4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya.
Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn perkawinan tersebut
dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan
sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam
juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan
dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang
yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi
pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi
salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.
5.
Faktor Ekonomi
Adanya anggapan bahwa
pernikahan yang legal sangatlah mahal dan meskipun hanya pernikahan secara siri
atau tidak dicatatkan di KUA sudah sah dan layak dimata agama[26].Untuk
menghemat ongkos dan menghindari prosedur administratif yang dianggap
berbelit-belit (seperti syarat-syarat administrasi dari RT, Lurah dan KUA, ijin
isteri pertama, ijin Pengadilan Agama, ijin dari atasan jika PNS/anggota
TNI/Polri dan sebagainya.[27]
Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, sesuai dengan PP
No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990..
Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan
peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses
panjang.
Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi dalam pemberian
izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami
bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu,
sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik sesuai dengan
fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat.
d. Ketatnya
Izin Poligami
Tidak
terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami, terutama tidak adanya persetujuan
dari isteri sebelumnya, maka orang tersebut melaksanakan perkawinan siri, cukup
dihadapan pemuka agama.[28]
UU No.1/1974
menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka
yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam)
dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami
harus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan
secara limitative dalam undang-undang., yaitu:
a.
isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.
isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
isteri tidak
dapat melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)
Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami
bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai
berikut:
a.
adanya
persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
b.
adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri
dan anak-anak mereka;
c.
adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;
Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan
anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku
adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya,
sehingga penilaian terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung
pada rasa keadilan hakim sendiri.
Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas
oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “clandestine”
dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah
perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi
terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang
calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan
izin palsu. Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih
memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara)
pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan
yaitu kawin itu sendiri.
Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu
menunjukkan menurun drastis namun poligami illegal
dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:
a.
Tidak adanya
kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;
b.
Bagi mereka
yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa
takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;
c.
Tidak adanya
tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;
Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:
a.
Hidup bersama
tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup
bersama, pergundikan, wanita simpanan;
b.
Bagi mereka
yang beragama Islam, melakukan poligami tanpa pencatatan nikah.
Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa ketatnya izin
poligami merupakan salah satu factor timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau
pernikahan yang tidak dicatat, alias nikah sirri.
E.
Kewajiban Mencatat Perkawinan
Untuk Kondisi saat ini, pencatatan perkawinan
dipandang sebagai suatu yang sangant urgent sekali, karena menyangkut banyak kepentingan. Perkawinan
bukan hanya ikatan antara mempelai laki-laki dan perempuan, akan tetapi
merupakan penyatuan dua keluarga besar yang masing-masing punya hak dan
kepentingan dari perkawinan.[29]
Perlu dipahami bahwa keharusan
pencatatan perkawinan adalah bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad
SAW agar mengumumkan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing.[30] Pencatatan nikah oleh petugas pencatat nikah
di KUA menjadi seseuatu yang sangat penting bahkan bisa masuk dalm ketegori
wajib.[31] Hal ini bisa dianalogikan
pada masalah muamalah baik mengenai jual beli, utang piutang dan berbagai jenis
transaksi lain. Dalam hal ini akad nikah jelas sebagai sebuah muamalah yang
tidak kalah pentingnya dengan akad jual beli dan utang piutang, di mana anjuran
untuk mencatat akad utang piutang ini sangat tegas disebutkan dalam firman
Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 282:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 ....
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu‘amalah, tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya....” (QS; al-Baqarah [2]: 282)
Pencatata nikah menjadi suatu hal yang penting terlibih jika ada
sengketa suami istri, maka istri yang dinikahi siri tidak mempunyai kekuatan
hukum untuk meminta haknya karena tidak ada dokumen yang membuktikan bahwa dia
istri dari si fulan. Menjaga hak istri dan anak adalah kewajiban, dan
salah satu cara menjaga kewajiban ini terlaksana adalah dengan mencatatkan
pernikahan di KUA. Sesuatu yang akan membuat kewajiban terjalankan secara
sempurna maka ia menjadi wajib juga, maka pencatatan pernikahan di KUA adalah
wajib demi menjaga hak istri dan anak ini. Mâ lâ yatimmu al-wajîbu illâ bihî
fahua wâjib.
Sementara itu didalam undang-undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1)
menegaskan, ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal 2 ayat
(1) ini, disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Bahwa yang dimaksud
dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Kemudian pasal 2 ayat (1) menegaskan, ”Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bagi
mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di
Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha,
Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 2 ayat (1)
menerangkan, ”Pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.”[32]
Pencatatan perkawinan
selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat
preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat
perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan.
Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya
dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas
para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya
dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan
perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh
Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Dengan demikian mencatatkan
perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam
kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas
melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan bakan digunakan oleh
pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan
merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.[33]
F.
Dampak Nikah dibawah Tangan
1.
Terhadap Istri
Perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri
dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah.
Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal
dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi
perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah
terjadi.
Secara sosial, sang
istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di
bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa
ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan. Tidak
sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif
bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan
dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
2.
Terhadap Anak
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang
tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu atau keluarga ibu[34]. Sedang
hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Tidak sahnya perkawinan
bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang
dilahirkan di mata hukum,[35] yakni:
·
Status anak yang dilahirkan
dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak
mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan,
pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak
luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan
berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan
berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
·
Ketidakjelasan status si
anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat,
sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah
anak kandungnya.
·
Yang jelas merugikan
adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan
warisan dari ayahnya
3.
Terhadap
laki-laki atau suami
Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan
bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang
perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena:
·
Suami bebas untuk menikah
lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah
dimata hukum
·
Suami bisa berkelit dan
menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada
anak-anaknya
·
Tidak dipusingkan dengan
pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain
G. Solusi
Solusi yang dapat ditawarkan dalam hal
menanggulangi nikah siri yaitu memperbanyak sosialisasi mengenai pentingnya
pencatatan dan tata cara perkawinan juga dengan menegakan sanksi-sanksi yang
berkaitan dengan nikah siri salah satunya sanksi pidana yang terdapat dalam
pasal 45 dan 46 PP no.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan serta pasal 34 ayat (1) jo. Pasal 90 ayat (2) UU No.23 Tahun
2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Alternatif lain yang dapat ditawarkan
apabila nikah siri menimbulkan permasalahan yaitu dengan itsbat nikah dan
pengumuman perkawinan misalnya dengan resepsi.[36]
1.
Mencatatkan Perkawinan dengan Isbat Nikah
Bagi ummat Islam, tersedia
prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu
dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3
dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.[37] Itsbat nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
- dalam rangka penyelesaian perceraian;
- hilangnya akta nikah;
- adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
- perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
- perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.
Akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.
Biasanya untuk perkawinan di bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah
dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat
nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan
jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari pejabat berwenang.
Walaupun sudah resmi memiliki akta, status anak-anak yang lahir
dalam perkawinan di bawah tangan sebelum pembuatan akta tersebut akan tetap
dianggap sebagai anak di luar nikah, karena perkawinan ulang tidak berlaku
terhadap status anak yang dilahirkan sebelumnya.
Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan
itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya
adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974.
Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU tersebut
mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian.
2.
Melakukan Perkawinan Ulang
Perkawinan
ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan
harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang
pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan
status bagi perkawinan anda. Namun, status anak-anak yang lahir dalam
perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena
perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan
sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran,
anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin,
sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah
yang lahir dalam perkawinan.
H.
Daftar Pustaka
Berutu, Ali Geno. "Pernikahan Dibawah Tangan; Dampak dan Solusinya." Jakarta: OSF Preprints (2019).
Label: MENULIS
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda