Senin, 09 Maret 2015

NIKAH DIBAWAH TANGAN

                                        NIKAH DIBAWAH TANGAN
                                        Oleh : Ali Geno Berutu


Istilah ”nikah di bawah tangan” mengemuka setelah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975.  Nikah seperti ini pada dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Sedangkan nikah menurut hukum adalah yang diatur dalam UU Perkawinan.Oleh karena itu, dapat dirumuskan, bahwa nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupaya pengakuan dan perlindungan hukum.[1]

Pengertian Nikah dibawah Tangan
Nikah dibawah tangan adalah, Pernikahan yang dilakukan menurut hukum syariat, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah (PPN) sebagai  aparat resmi pemerintah dan  atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sehingga tidak memperoleh akte nikah sebagai satu-satunya bukti legal formal.[2] Sedangkan KH. Ma’ruf Amin mengatakan bahawa nikah dibawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.[3]
Dalam fikih kontemporer nikah dibawah tangan dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang  memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (KUA). Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada  permasalahan dalam hati mereka.[4]

B.   Pro-Kotra Nikah Dibawah Tangan
Menurut kalangan yang pro terhadap nikah dibawah tangan, perkawinan  tersebut boleh dan sah menurut agama, hanya saja tidak (wajib) tercatat di KUA. Kalangan Nahdliyyin (NU) adalah satu di antaranya yang  menyatakan kebolehannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam  keputusan Bahtsul Masa@’il FMPP XXI se Jawa-Madura dalam menanggapi Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPABP) terkait kriminalisasi nikah sirri, poligami dan cerai yang dilakukan tidak di hadapan PPN, menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak bisa membatalkan perkawinan, karena secara hukum syar’i perkawinan tersebut telah sah.[5]
Front Pembela Islam (FPI) Kota Depok sempat menentang keras adanya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang nikah siri. Menurut FPI, menikah secara siri adalah sah dalam hukum Islam dan tidak perlu dipermasalahkan. Habib Idrus Al Gadri memandang masalah ini dari kacamata hukum syariat Islam yang seharusnya tidak bermasalah jika nikah siri dilakukan berdasarkan keinginan bersama.[6]
Dalam pandangan beberapa pengamat, kriminalisasi terhadap nikah sirri ini dianggap berlebihan, karena pelanggaran yang dilakukan hanya berupa pelanggaran administratif bukan pelanggaran pidana. Lebih jauh lagi, ada yang beranggapan bahwa Rancangan Undang-Undang ini dikhawatirkan mengobsesi seseorang untuk berzina daripada menikah.[7] Ulama terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri itu adalah Dr. Yusuf Qardawi salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di Islam. Ia berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama ada ijab kabul dan saksi.[8]
Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan nikah yang ditetapkan melalui undang-undang di sisi lain nikah yang tidak tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh hukum agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah dibawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan setiap muslim untuk taat pada u>lul amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan,tetapi justru sangat sejalan dengan semangat al-Qur’an.[9]
Sedangkan dalam fatwa MUI tentang pernikahan dibawah tangan juga mensahkan pernikahan ini. Dalam ketentuan hukumnya MUI mengatakan “pernikahan dibawah tangan hukumnya sah karena terpenuhi syarat & rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharah”. Selain itu MUI juga menekankan bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negative.[10]
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan tujuan pencatatan perkawinan yang dilakukan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah adalah untuk mendapatkan kepastian hukum, karena pernikahan yang dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai ketentuan hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat Pegawai Pencatatan Nikah.[11]
Penjelasan serupa juga terdapat UU No. 1 Tahun 1974 yang mana disebut “tiap -tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan.[12] Kemudian dalam PP No.9 Tahun 1975, yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-undang No. Tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan bagi penganut Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat, dari mulai pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan sampai penandatanganan tersebut berarti proses pencatatan perkawinan telah selesai. Bagi yang melangsungkan pernikahan tanpa memberi tahu kepada pegawai pencatat, atau melaksanakan pernikahan tidak dihadapan pegawai pencatat, dapat dihukum dengan hukuman denda setingi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).[13]

C.   Hukum Nikah Siri MenurutUlama Mazhab

Ulama salaf mendeskripsikan nikah Siri/ nikah bawah tangan sebagai bentuk pernikahan yang tidak dipersaksikan atau ada saksi tetapi mempelai lelaki meminta saksi merahasiakan pernikahan yang terjadi.[14] Nikah siri menururt imam Malik adalah:

هو الذي يو صي فيه الزوج الشهود مكتمه عن امراته, او عن جما عة ولو اهل منزل
Artinya:
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.

Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi.[16] Mazhab Syafi’i dan Hanafi juga tidak membolehkan nikah siri. Menurut Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. Menurut suatu riwayat, Khalifah  Umar  bin al-Khattab pernah mengancam pelaku nikahsiri dengan hukuman had.[17]
Sementara ulama Hanabilah mengatakan bahwa, akad nikah tidak batal dengan adanya permintaan untuk merahasiakan pernikahan, kalau seandainya wali, para saksi dan sepasang suami istri merahasiakannya, akad nikah tetap sah tetapi makruh.[18] Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahka@mu al-Zawa@j, menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa pernikahannya adalah bathil, hal senada diungkapkan oleh Wahba Zuhaili yang menyebutkan nikah yang dirahasiakan adalah nikah yang terselubung.[19]

عن عا ئشه قلت رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم ايما امراة بغير اذن وليها فنكا حها بطا ل , ثلاث وان دخل بها فلمهر لها بما اصاب منها فان استجروا فالسطان ولي من لاولي له (رواه الترمذي)
Atinya:” aisyah berkata, rosulluh Saw., bersabda “barang siapa pun wanita yang menikah tampa izin walinya, maka nikahnya batal(diucapkan kiga kali). Jika suaminya menggulinya, maka maharnya adalahuntuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Kemudian apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali  bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali” (HR Tirmidi)[20]

Sementara nikah siri menurut terminologi fikih tersebut adalah tidak sah, sebab selain bisa mengundang fitnah juga bertentangan dengan hadis nabi saw:

عن انس بن ما لك رضي الله عنه: قا ل رسول الله صليالله عليه و سلم: او لم ولو بشاة. (رواه البخا ري         
Artinya:
            Adakanlah walimah sekalipun dengan hidangan seekor kambing.

D.  Faktor Yang Mempengaruhi Nikah Dibawah Tangan
Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena beberapa factor yang melatarbelakanginya. Tentu saja untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan factor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu:
1.      Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat
Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi; belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut.
Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintah / negara.[22] Dengan pemahaman masyarakat yang sangat minim, akibatnya kesadaran masyarakat pun mempengaruhi melaksanakan pernikahan siri. Adanya anggapan bahwa perkawinan yang dicatat dan tidak dicatat sama  saja.[23]
Dengan demikian, rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat seperti itu perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan hukum baik secara formal yang dilakukan oleh lembaga instansi terkait maupun secara informal melalui para penceramah di forum pengajian majelis ta’lim dan lain sebagainya.

2.      Hamil di Luar Nikah
Diera globalisasi sekarang ini informasi dengan begitu mudah didapat, mulai dari gaya hidup, pilaku sosial suatu masyarakat tertentu dapat ditiru dengan mudahnya. Hal ini berpengaruh besar dalam merubah prilaku dan pola pikir seseorang tanpa disaring terlebih dahulu, akibatnya pergaulan yang mereka lakukan terkadang melampaui batas, tidak lagi mengindahakan norma dan kaidah-kaidah agama. Akibatnya ada hal-hal lain yang timbul akibat pergaulan bebas, seperti hamil diluar nikah.
Kehamilan yang terjadi diluar nikah tersebut, merupakan aib bagi  keluarga, yang akan mengundang cemoohan dari masyarakat. Dari sanalah  orang tua menikahkan anaknya dengan laki-laki yang menghamilinnya, dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga, dan tanpa melibatkan petugas PPN, tetapi hanya dilakukan oleh mualim atau Kyai tanpa melakukan pencatatan.[24]

3.      Menghindari Tuntutan Hukum

Untuk menghindari tuntutan hukum oleh isterinya dibelakang hari, karena perkawinan yang tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama, tidak dapat dituntut secara hukum di pengadilan. Kasus Ini terjadi oleh pelaku perkawinan siri untuk menikah kedua kali (Poligami). Hasil penelitian Di Cinere (Bogor) sangat banyak pelaku poligami, di dalam satu RT saja bisa terdapat 10 rumah tangga poligami melalui pernikahan siri. Ketika dicek kepengadilan agama setempat, tidak ada yang mengajukan proses pernikahan poligami.[25]
4.      Ketentuan Pencatatn Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1/1974 merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.
Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah membuat RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya.
Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya.
Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.
5.    Faktor Ekonomi
Adanya anggapan bahwa pernikahan yang legal sangatlah mahal dan meskipun hanya pernikahan secara siri atau tidak dicatatkan di KUA sudah sah dan layak dimata agama[26].Untuk menghemat ongkos dan menghindari prosedur administratif yang dianggap berbelit-belit (seperti syarat-syarat administrasi dari RT, Lurah dan KUA, ijin isteri pertama, ijin Pengadilan Agama, ijin dari atasan jika PNS/anggota TNI/Polri dan sebagainya.[27]
Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, sesuai dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.
Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat.

d. Ketatnya Izin Poligami
Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami, terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya, maka orang tersebut melaksanakan perkawinan siri, cukup dihadapan pemuka agama.[28]
UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami harus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:
a.       isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.      isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       isteri tidak dapat melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)
Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:
a.       adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
b.      adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
c.       adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;
Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.
Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu. Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.
Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu menunjukkan menurun drastis namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:
a.       Tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;
b.      Bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;
c.       Tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;
Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:
a.       Hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, wanita simpanan;
b.      Bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami tanpa pencatatan nikah.
Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu factor timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau pernikahan yang tidak dicatat, alias nikah sirri.

E.   Kewajiban Mencatat Perkawinan

Untuk Kondisi saat ini, pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu yang sangant urgent sekali, karena  menyangkut banyak kepentingan. Perkawinan bukan hanya ikatan antara mempelai laki-laki dan perempuan, akan tetapi merupakan penyatuan dua keluarga besar yang masing-masing punya hak dan kepentingan dari perkawinan.[29]
Perlu dipahami bahwa keharusan pencatatan perkawinan adalah bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing.[30] Pencatatan nikah oleh petugas pencatat nikah di KUA menjadi seseuatu yang sangat penting bahkan bisa masuk dalm ketegori wajib.[31] Hal ini bisa dianalogikan pada masalah muamalah baik mengenai jual beli, utang piutang dan berbagai jenis transaksi lain. Dalam hal ini akad nikah jelas sebagai sebuah muamalah yang tidak kalah pentingnya dengan akad jual beli dan utang piutang, di mana anjuran untuk mencatat akad utang piutang ini sangat tegas disebutkan dalam firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 282:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4 ....
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‘amalah, tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya....” (QS; al-Baqarah [2]: 282)

Pencatata nikah menjadi suatu hal yang penting terlibih jika ada sengketa suami istri, maka istri yang dinikahi siri tidak mempunyai kekuatan hukum untuk meminta haknya karena tidak ada dokumen yang membuktikan bahwa dia istri dari si fulan. Menjaga hak istri dan anak adalah kewajiban, dan salah satu cara menjaga kewajiban ini terlaksana adalah dengan mencatatkan pernikahan di KUA. Sesuatu yang akan membuat kewajiban terjalankan secara sempurna maka ia menjadi wajib juga, maka pencatatan pernikahan di KUA adalah wajib demi menjaga hak istri dan anak ini. Mâ lâ yatimmu al-wajîbu illâ bihî fahua wâjib.
Sementara itu didalam undang-undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) menegaskan, ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) ini, disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Kemudian pasal 2 ayat (1) menegaskan, ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 2 ayat (1) menerangkan, ”Pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.”[32]
Pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.

Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan bakan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.[33]

F.   Dampak Nikah dibawah Tangan

1.    Terhadap Istri
Perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Secara sosial, sang istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan. Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
2.    Terhadap Anak

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu[34]. Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum,[35] yakni:
·         Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
·         Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
·         Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya

3.    Terhadap laki-laki atau suami

Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena:
·         Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum
·         Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya
·         Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain

G.  Solusi

Solusi yang dapat ditawarkan dalam hal menanggulangi nikah siri yaitu memperbanyak sosialisasi mengenai pentingnya pencatatan dan tata cara perkawinan juga dengan menegakan sanksi-sanksi yang berkaitan dengan nikah siri salah satunya sanksi pidana yang terdapat dalam pasal 45 dan 46 PP no.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta pasal 34 ayat (1) jo. Pasal 90 ayat (2) UU No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Alternatif lain yang dapat ditawarkan apabila nikah siri menimbulkan permasalahan yaitu dengan itsbat nikah dan pengumuman perkawinan misalnya dengan resepsi.[36]

1.    Mencatatkan Perkawinan dengan Isbat Nikah

Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.[37] Itsbat nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
  • dalam rangka penyelesaian perceraian;
  • hilangnya akta nikah;
  • adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  • perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
  • perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.
Akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Biasanya untuk perkawinan di bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari pejabat berwenang.
Walaupun sudah resmi memiliki akta, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan di bawah tangan sebelum pembuatan akta tersebut akan tetap dianggap sebagai anak di luar nikah, karena perkawinan ulang tidak berlaku terhadap status anak yang dilahirkan sebelumnya.
Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian.
2.    Melakukan Perkawinan Ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan anda. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.









H.  Daftar Pustaka
Berutu, Ali Geno. "Pernikahan Dibawah Tangan; Dampak dan Solusinya." Jakarta: OSF Preprints (2019).
BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda