KETENTUAN HUKUM-HUKUM TUHAN Oleh: Ali Geno Berutu
KETENTUAN HUKUM-HUKUM TUHAN Oleh: Ali Geno Berutu
Dalam benak pemikiran orang-orang non-Muslim yang hidup di Eropa
dan Amerika Utara, Kata Syari’ah hampir selalu dikaitkan dengan image
yang menakutkan dan mengerikan, misalnya hukum rajam, potong tangan atau
deraan. Akan tetapi semestinya sekarang-sekarang sudah jelas bahwa hal tersebut
hanya merupakan salah tafsir saja. Karena syaria’ah sebenarnya mencakup semua
sistem yang mengatur segala tatanan kehidupan ini, mulai dari tingkah laku
kehidupan manusia atau cara-cara menjalankan ritual peribadatan sampai hubungan
internasional. Namun demikian, karena model hukum dalam Islam nampaknya terlalu
keras menurut anggapan orang-orang barat, maka hal tersebut sangat tepat bila
dibicarakan lebih lanjut disini.
Dalam hukum Islam dibedakan antara pertama hukum hudud
yang berdasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah yang tata caranya telah
ditetapkan dan diatur oleh Allah, kedua adalah hukum ta’zirat,
yaitu suatu hukum yang masih ada kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu dalam
melaksanakannya. Hukum hudud misalnya: hukuman bagi orang yang telah
mencuri maka tangannya harus dipotong, bagi orang yang berzina, hukumannya 100
kali deraan, bagi pelacur hukumannya dirajam sampai mati, memfitnah didera
sebanyak 80 kali deraan, minum-minuman keras didera 40 kali deraan menurut Imam
Syafi’i sedangkan menurut aliran mazhab lain didera sebanyak 80 kali deraan.
Untuk perampokan dan eksekusi maka hukumannya dipotong sebelah lengan dan
kakinya atau diasingkan ketempat yang jauh. Akan tetapi semua itu semua itu
tergantung keseriusan dari tindakan kejahatan yang dilakukan. Hukuman bagi
pencuri, pemfitnah dan pejina telah ditetapkan secara jelas dalam al-Qur’an
antara lain (QS.[5]:38;[24]:2; dan [24]:4). Hukuman bagi rampok diatur dalam
al-Qur’an (QS.[5]:33), akan tetapi hal ini bisa ditolerir karena ayat yang
mengatur tentang hal ini bukanlah suatu perintah resmi tetapi agaknya hanya
sebagai suatu gambaran bagi orang-orang yang kafir pada saat nabi masih hidup.
Al-Qur’an menjelaskan agar orang-orang yang beriman menjauhi minnuman keras
(QS.[5]:90) akan tetapi tidak mengatur ketetapan tentang pemukulan terhadap
pemabuk. Hukuman yang besifat parsial ini dilaksanakan pertama kali pada masa
khalifah Umar bin Khattab. Khalifah kedua ini juga melaksanakan hukuman-hukuman
tersebut yang antara lain adalah merazam orang yang telah melakukan perzinaan,
meskipun sebenarnya menurut dugaan orang, beliau tidak berpegang teguh terhadap
al-Qur’an yang telah mengatur hal tersebut.
Pada masyarakat Islam tradisional, hukuman hudud jarang
diterpkan. Keberadaannya hanya bersifat teori saja yang kemungkinan berfungsi
sebagai pencegah dan peringatan yang dipandang sebagai kejahatan anti sosial. Akan
tetapi karena nabi menegaskan bahwa pelaksanaannya harus dicegah walaupun dalam
keadaan ragu-ragu, ahli hukum Muslim meletakkan hal itu secara teliti untuk
pelaksanaanya.
Pada abad ke-19, sebagian besar negara Islam takluk terhadap
pengaruh-pengaruh Eropa sehingga membuat akibat lebih buruk terhadap
hukum-hukum Islam yang telah diterapkan. Pemerintah Utsmani telah membawa
sebuah bentuk pemerintahan baru yang sah. Termasuk penghapusan hukum-hukum hudud
dan menggantikannya dengan hukum-hukum Prancis, kemudian mengubah
kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam Mazhab Hanafi menjadi hukum yang
bersifat sekuler. Negara-negara yang dijajah oleh Eropa mempunyai perkembangan
yang hampir sama. Dasar-dasar hukum negara Inggris, Prancis dan Belanda
dikenalkan dan membatasi ruang gerak hukum Islam. Apabila kemudian
peraturan-peraturan yang ada dalam hukum Islam disederhanakan sedemikian rupa
sehingga bisa dipahami dan kemudian juga diperkuat oleh administrator negara
Eropa dengan tidak menoleh kepada sumber hukum lama. Sementara itu tokoh-tokoh
modernis seperti Sayyid Ahmad Khan dari India dan Muhammad Abduh dari Mesir
meminta ijtihad yang telah diabaikan, dihidupkan kembali.
Pada akhir masa penjajahan, mayoritas negara Islam telah mewarisi
atau mengadopsi campuran hukum yang berlaku di negara Eropa. Sebagai negara
yang menggunakan hukum campuran ini menamakan hukum mereka dengan demokrasi,
seperti negara Turki, Pakistan dan negara Banglades, sedangkan sistem monarki
absolut berlaku di negara Maroko. Diktator sosialis meliputi negara Mesir, Irak
dan Syiria. Sehingga dari berbagai contoh di tersebut di atas dikatakan bahwa
pemerintah-pemerintah Islam berada dibawah tekanan orang-orang non-Islam yang
ingin menjatuhkan Islam. Kadang-kadang masalah ini menuju kearah Islamisasi,
seperti pada tahun 1883 saat presiden Nimeiri dari Sudan memperkenalkan hukum
hudud tanpa disertai dengan observasi terlebih dahulu tentang perlindungan
tradisional. Selain itu negara Pakistan telah memiliki suatu pendekatan yang
secara berangsur-angssur menuju kearah terciptanya kesesuaian hukum dengan
syri’at Islam.
Berdasarkan sejarah, pengikut Mazhab Hanafi lebih berpengalaman
dalam memegang pemerintahan dari pada pengikut mazhab Hambali atau aliran
Syi’ah. Kemudian pengikut mazhab Hanafi telah mengembangkan suatu jaringan
kerja yang banyak, baik dan seimbang. Hubungan dengan hal tersebut Pakistan
juga mempunyai model yang lebih baik kaitannya dengan Islamisasi dari pada
Saudi Arabia atau Iran. Pengenalan kembali Syari’at Islam setelah penjajahan
berehenti merupakan suatu tindakan yang hebat, apa lagi ketik ijtihad diberi
kebebasan. Jika saja dunia Islam tidak dijajah oleh orang-orang Eropa, maka
hukum Islampun munngkin hanya berkembang selangkah dimasyarakat. Sampai saat itu
Islamisasi hampir tidak dapat dihindarkan seperti halnya usaha untuk meletakkan
jarum-jarum jam. Meskipun demikian sangat sedikit ummat Islam yang terbuka
berani menanyakan apakah dengan kembali ke syari’at Islam mmerupakan kehendak
hati nurani. Seperti yang telah dilakukan Fazlur Rahman (w.1986) dan Mahmud
Muhammad Thaha (w.1988). Rahman mengatakan bahwa meskipun tuntutan moral
al-Qur’an harus dilaksanakan secara mutlak akan tetapi aturan-aturan yang
terkandung didalamnya tersususn berdasarkan sejarah. Sementara itu Thaha
mengatakan bahawa pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an telah diabaikan
oleh orang-orang Mekkah, akan tetapi perundang-undangan yang berlaku di Madinah
dimaksudkan untuk menunjukkan sejaran dan geografi. Beberapa pandangan yang jelekpun
akhirnya tertuju pada kaum tradisional dan tokoh-tokoh Islam. Walaupun begitu
mereka sering mempunyai usulan yang akhirnya bisa dipertimbangkan bagi
perbaikan kehidupan ummat Islam yang keadaannya minoritas.
Sumber Bacaan:
Neal Robinson, Ph.D, Pengantar Islam Komprehennsif, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru 2001
Berutu, Ali Geno. "KETENTUAN HUKUM-HUKUM TUHAN."
Label: MENULIS
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda