Sabtu, 07 Maret 2015

KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG ASASI (AL-QAWAID AL-ASASIYAH)

KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG ASASI (AL-QAWAID AL-ASASIYAH)
Oleh: Ali Geno Berutu

A.  Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:

القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i  yang banyak"[1]
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan"
 Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu".  [3]
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[4]

B.   Al-Qawa@’id Al-Khamsah (Lima Kaidah Asasi)
Kaidah asasi atau yang dikenal dengan al-Qa@wa’id al-Kubra merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih detail) dari kaidah inti tersebut. Adapun kaidah asasi ini adalah kaidah fikih yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam[5]. Kaidah  tersebut adalah:
ﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ 
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
        
ﺍﻠﻴَﻘِﻦُ ﻻَ  ﻴُﺰَﺍﻞُ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙﱢ
       “Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”.
        
ﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ  ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ
       “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
       
ﺍﻟﻀﱠﺮَﺍﺮُ ﻴُﺰَﺍﻞُ
“Kesulitan harus dihilangkan”.
        
ﺍﻟﻌَﺎﺪَﺓُ ﻣُﺣَﻛﱠﻣَﺔٌ
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan hukum”.


1.    Segala Perkara Tergantung Kepada Niatnya 
kaidah ini merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan.[6] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama mengenai niat, diantaranya sebagai berikut:[7]
ÆtBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO $u‹÷R‘‰9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4 “Ì“ôfuZy™ur tûï̍Å3»¤±9$#
Artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”. (QS. Al-Imran: 145)


ﺇِﻨَّﻣَﺎﺍﻷَﻋﻣَﺎ ﻞُ ﺒالنياﺖِ ﻮَﺍِﻨَّﻣَﺎ لكلﻣﺮِئٍ ﻣَﺎﻨَﻮَى (ﺍﺧﺮﺠﻪﺍﻟﺒﺧﺎﺮى﴾
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhari dari Umar bin Khattab)
نِيَة المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِه (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﻃﺒﺮﺍﻨﻰ﴾
Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang kosong dari niat)”. (HR. Thabrani dari Shalan Ibnu Said)

2.    Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Karena Adanya Keraguan
Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.[8] اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al-Yaqi@n juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqi@n yang artinya pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk.
Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:
1.      Keragu-raguan yang berasal dari haram.
2.      Keragu-raguan yang berasal dari mubah.
3.      Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut الأصل براءة الذمة (hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan.
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut:
Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَ وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا ا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya: “ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).

3.    Kesulitan Mendatangkan Kemudahan
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب التيسيرialah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب التيسير menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih.
QS. An-Nahl ayat 7:
ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4’n<Î) 7$s#t/ óO©9 (#qçRqä3s? ÏmŠÉóÎ=»t/ žwÎ) Èd,ϱÎ0 ħàÿRF{$# 4
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang akmu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran)”
Yang dimaksud ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah hukum. Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer. Sedangkan al-taisir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:[9]
إن الد ين يسر
“Agama itu mudah, tidak memberatkan” (yusrun lawan dari kata ‘usyrun)

4.    Kesulitan Harus Dihilangkan
Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan yang didasarkan pada hadist nabi “ ضرر و لا ضرار لا”. Kedua, bahwa keadaan dharurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam melakukan hal yang dilarang ) itu sekedarnya saja. Keempat, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya khusus ditanggung untuk mencegah bahaya umum.
Dharurat bermakna sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan sekiranya tak ada sesuatu  lain yang dapat menempati posisinya. Sebagian ulama berargumen bahwa hal yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau hilangnya anggota tubuh. Sedangkan kebutuhan ialah sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan namun posisinya masih dapat diselesaikan dengan hal lain.  Namun yang perlu diperhatikan adalah syarat - syarat untuk memenuhi kaidah ini karena banyak orang yang mengambil dispensasi dari kaidah ini tanpa memperhatikan syaratnya. Diantaranya : Pertama, dharurat dapat dihilangkan dengan melakukan yang dilarang. Kedua, tidak menemukan solusi lain. Ketiga, yang dilarang lebih kecil ( resikonya ) daripada dharurat.[10]
Kaidah untuk memperbolehkan sesuatu yang dilarang syariat ini tidak bersifat mutlak, di sisi lain mempunyai batas-batas tertentu. Dan disisi lain masih memiliki ketergantungan pada kaidah lain. Maka perlu untuk menyinergikan antara kaidah satu dengan yang lain.
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6ø‹n=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌ“Yςø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ΎötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmø‹n=tã 4 ¨bÎ) ©!$# ֑qàÿxî íOŠÏm§‘ ÇÊÐÌÈ  
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

5.    Adat Dapat Dijadikan Pertimbangan Dalam Menetapkan Dan Menerapkan Hukum
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.[11]
Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.[12]
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan syari'at.
2.      Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3.      Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4.      Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah.
5.      Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6.      Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.

Dasar Hukum Kaidah
ô`tBur ôM¤ÿyz ¼çmãYƒÎ—ºuqtB y7Í´¯»s9'ré'sù tûïÏ%©!$# (#ÿrãÅ¡yz Nåk|¦àÿRr& $yJÎ/ (#qçR%x. $uZÏG»tƒ$t«Î/ tbqßJÎ=ôàtƒ ÇÒÈ  
Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh (QS. Al-A’raf: 199).
 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 ÇÊÒÈ  
Dan pergaulilah mereka secara patut (QS. An-Nisa: 19).
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).



C.   Daftar Pustaka
Helim, Abdul, Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at Taisir,
            http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al
            masyaqqah.html, (diakses pada tanggal 20 Mei 2014)
---------------, Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi
Maqashidiha,http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-prinsip-dan-kaidah asasiyyah.html#ixzz30MflVBjQ (daikses pada tanggal 15 Mei 2014)
Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta,
Asy-Syafii, Ahmad Muhammad, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah
            muassasah tsaqofah al- Jamiiyah .1983.
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta. Bulan bintang. 1976)
Berutu, Ali Geno. "QAWA’ID FIQHIYYAH ASASIYYAH." (2019).
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam Imam
            menyelesaikan masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2007)
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam(Jakarta bulan bintang 1975)
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT
            Raja Grafindo Persada, 2002)
Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001)





BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda