KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG ASASI (AL-QAWAID AL-ASASIYAH)
KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG ASASI (AL-QAWAID AL-ASASIYAH)
Oleh: Ali Geno Berutu
A. Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Dalam
pengertian ini ada dua terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu
qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama'
dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata
'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah
mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang
bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak"[1]
Sedangkan
secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:
العلم
بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد
ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
”ilmu yang
menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya
yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan
analisa dan perenungan"
Dari uraian pengertian diatas baik
mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
الامر الكلى الذى ينطبق
على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang
dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu". [3]
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar
fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang
berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum
yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[4]
B.
Al-Qawa@’id
Al-Khamsah (Lima Kaidah Asasi)
Kaidah asasi atau yang dikenal dengan al-Qa@wa’id al-Kubra merupakan
penyederhanaan (penjelasan yang lebih detail) dari kaidah inti tersebut. Adapun
kaidah asasi ini adalah kaidah fikih yang tingkat kesahihannya diakui oleh
seluruh aliran hukum islam[5].
Kaidah tersebut adalah:
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ
“Segala perkara
tergantung kepada niatnya”.
ﺍﻠﻴَﻘِﻦُ
ﻻَ ﻴُﺰَﺍﻞُ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙﱢ
“Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”.
ﺍﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ
ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
ﺍﻟﻀﱠﺮَﺍﺮُ
ﻴُﺰَﺍﻞُ
“Kesulitan harus dihilangkan”.
ﺍﻟﻌَﺎﺪَﺓُ ﻣُﺣَﻛﱠﻣَﺔٌ
“Adat dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan hukum”.
1. Segala Perkara Tergantung Kepada Niatnya
kaidah ini merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan
tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan,
bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat
sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah
ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah,
tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan.[6]
Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena
menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika
hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka
hal itu haram untuk dilakukan.
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama mengenai niat,
diantaranya sebagai berikut:[7]
ÆtBur ÷Ìã z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷Ìã z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4
ÌôfuZyur tûïÌÅ3»¤±9$#
Artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia,
niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki
pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”. (QS.
Al-Imran: 145)
ﺇِﻨَّﻣَﺎﺍﻷَﻋﻣَﺎ ﻞُ ﺒالنياﺖِ ﻮَﺍِﻨَّﻣَﺎ لكلﻣﺮِئٍ ﻣَﺎﻨَﻮَى (ﺍﺧﺮﺠﻪﺍﻟﺒﺧﺎﺮى﴾
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada
niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR.
Bukhari dari Umar bin Khattab)
نِيَة المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ
عَمَلِه (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﻃﺒﺮﺍﻨﻰ﴾
Artinya: “Niat
orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang kosong dari niat)”.
(HR. Thabrani dari Shalan Ibnu Said)
2.
Keyakinan
Tidak Bisa Dihilangkan Karena Adanya Keraguan
Kaidah
fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.[8] اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al-Yaqi@n
juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan didalamnya. Ulama
sepakat dalam mengartikan Al-Yaqi@n yang artinya pengetahuan dan
merupakan antonym dari Asy-Syakk.
Mengenai
keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada
tiga macam, yaitu:
1.
Keragu-raguan
yang berasal dari haram.
2.
Keragu-raguan
yang berasal dari mubah.
3.
Keragu-raguan
yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.
Dari
uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang
bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan.
Sebagai penjelasan lebih lanjut الأصل
براءة الذمة (hukum asal sesuatu itu adalah terbebas
seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk
sesuatu yang terbebankan.
Adapun
dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan dean
keraguan, antara lain sebagai berikut:
Sebagaimana
yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَ وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ
شَيْءٌ أَمْ لَا ا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا
أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya:
“ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan
apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan
sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).
3.
Kesulitan Mendatangkan
Kemudahan
Kaidah
Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب التيسيرialah
kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan atau kesulitan
mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah
meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu
mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran. Kaidah
Al-Masyaqqah Tajlib
tl-Taisir/
المشقه تجلب التيسير menunjukkan fleksibilitas hukum Islam
yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar
tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang
dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut
berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional
pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih.
QS. An-Nahl
ayat 7:
ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4n<Î) 7$s#t/ óO©9 (#qçRqä3s? ÏmÉóÎ=»t/ wÎ) Èd,ϱÎ0 ħàÿRF{$# 4
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang
akmu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran)”
Yang dimaksud ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan oleh
adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah hukum. Dan yang dimaksud
kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan
kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan yang
bersifat kesempurnaan komplementer. Sedangkan al-taisir secara
etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits nabi diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim disebutkan:[9]
إن الد ين يسر
“Agama itu
mudah, tidak memberatkan” (yusrun
lawan dari kata ‘usyrun)
4. Kesulitan Harus Dihilangkan
Kaidah ini menjelaskan
bahwa: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan yang didasarkan pada hadist
nabi “ ضرر و لا ضرار لا”. Kedua, bahwa keadaan dharurat
dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam melakukan hal yang dilarang ) itu sekedarnya saja. Keempat,
bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya
khusus ditanggung untuk mencegah bahaya umum.
Dharurat bermakna sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan
sekiranya tak ada sesuatu lain yang
dapat menempati posisinya. Sebagian ulama berargumen bahwa hal yang dapat
menyebabkan hilangnya nyawa atau hilangnya anggota tubuh. Sedangkan kebutuhan
ialah sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan namun posisinya
masih dapat diselesaikan dengan hal lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah syarat - syarat untuk memenuhi kaidah
ini karena banyak orang yang mengambil dispensasi dari kaidah ini tanpa
memperhatikan syaratnya. Diantaranya : Pertama, dharurat
dapat dihilangkan dengan melakukan yang dilarang. Kedua, tidak
menemukan solusi lain. Ketiga, yang dilarang lebih kecil (
resikonya ) daripada dharurat.[10]
Kaidah untuk memperbolehkan sesuatu yang dilarang syariat ini tidak
bersifat mutlak, di sisi lain mempunyai batas-batas tertentu. Dan disisi lain
masih memiliki ketergantungan pada kaidah lain. Maka perlu untuk menyinergikan
antara kaidah satu dengan yang lain.
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
5.
Adat Dapat Dijadikan Pertimbangan Dalam Menetapkan Dan
Menerapkan Hukum
Kaidah
fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab
terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf.
Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh
manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau
mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan
dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah
sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.[11]
Menurut
A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang
dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah)
yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf
ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf
yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan tidak
menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak
membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa
yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’,
menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.[12]
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1.
Tidak
bertentangan dengan syari'at.
2.
Tidak
menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3.
Telah berlaku
pada umumnya orang muslim.
4.
Tidak berlaku
dalam ibadah mahdlah.
5.
Urf tersebut
sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6.
Tidak
bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.
Dasar Hukum Kaidah
ô`tBur ôM¤ÿyz ¼çmãYκuqtB y7Í´¯»s9'ré'sù tûïÏ%©!$# (#ÿrãÅ¡yz Nåk|¦àÿRr& $yJÎ/ (#qçR%x. $uZÏG»t$t«Î/ tbqßJÎ=ôàt ÇÒÈ
Dan
suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari
orang-orang bodoh (QS. Al-A’raf: 199).
£`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 ÇÊÒÈ
Dan
pergaulilah mereka secara patut (QS. An-Nisa: 19).
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا
فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ
عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa
yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan
apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun
digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam
Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
C.
Daftar
Pustaka
Helim,
Abdul, Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at Taisir,
http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al
masyaqqah.html, (diakses pada
tanggal 20 Mei 2014)
---------------, Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru
bi
Maqashidiha,http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-prinsip-dan-kaidah
asasiyyah.html#ixzz30MflVBjQ (daikses pada tanggal 15 Mei 2014)
Al-Zarqa,
Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqih. Amzah :
Jakarta,
Asy-Syafii, Ahmad Muhammad, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah
muassasah tsaqofah al- Jamiiyah .1983.
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah
Fiqh, (Jakarta. Bulan bintang. 1976)
Berutu, Ali Geno. "QAWA’ID FIQHIYYAH ASASIYYAH." (2019).
Djazuli, Kaidah-kaidah
Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam Imam
menyelesaikan masalah yang praktis,
(Jakarta: Kencana, 2007)
Hasbi as-siddiqy, Pengantar
Hukum Islam, (Jakarta bulan bintang 1975)
Jaih Mubarok, Kaidah
Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002)
Musbikin,
Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001)
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda