Syariah Islam dengan Pendekatan Qanun Aceh
Oleh: Ali Geno Berutu
Dalam Islam,
Syariah ( cara atau jalan ) sering diartikan sebagai seperangkat standar yang
mengatur semua aspek kehidupan, dari kepatuhan agama, perbankan, hingga tingkah
laku sosial yang selayaknya, yang pada intinya bersumber dari Quran, kitab
utama agama Islam, dan hadits,
kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang
sunah, atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad. Tetapi, tidak ada
penafsiran tunggal atas Syariah di antara umat Muslim di seluruh dunia:
terdapat berbagai perbedaan dalam penafsiran para ahli Islam tentang teladan
kenabian yang mana yang asli dan keabsahan atau kelayakan menerapkan ayat-ayat tertentu
secara harafiah di era modern ini. Pada awal tahun 1999, Pemerintah Indonesia
dan Aceh mengadopsi pendekatan penerapan Syariah yang menekankan pada tanggung
jawab negara untuk menjamin bahwa semua orang memenuhi kewajiban agamanya yang
berasal dari Islam.[1]
Paska
dikeluarkannya UU No. 44 Tahun 1999, Gubernur Aceh mulai mengeluarkan
peraturan-peraturan berbasis Syariah tentang berbagai isu, termasuk busana
Muslim, alkohol, dan judi.[2]
Peraturan-peraturan ini tidak dijalankan oleh Pemerintah Provinsi,[3]
tetapi sejak bulan April 1999, muncul berbagai laporan yang mengatakan bahwa
beberapa kelompok laki-laki di Aceh menegakkan peraturan ini secara main hakim
sendiri melalui “razia jilbab,” yang menyasar pada perempuan-perempuan yang
tidak mengenakan jilbab, melakukan pelecehan verbal, menggunting rambut atau
pakaian mereka, dan melakukan aksi kekerasan lain terhadap mereka.[4]
Frekuensi terjadinya kejadian-kejadian semacam ini maupun
penyerangan-penyerangan lainnya terhadap individu-individu yang dianggap melanggar
prinsip-prinsip Syariah tampaknya meningkat paska dikeluarkannya UU No. 44/1999
dan peraturan-peraturah Gubernur terkait Syariah.[5]
Paska pengesahan UU
Otonomi Khusus pada tahun 2001, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan
serangkaian qanun (“peraturan daerah,” terminologi Arab yang digunakan untuk
memberi ciri khas bagi semua peraturan daerah yang disahkan di Aceh, tidak
hanya terbatas pada peraturan yang terkait dengan Syariah) yang mengatur
tentang pelaksanaan Syariah. Lima (5) qanun disahkan antara tahun 2002-2004
yang berisi hukuman pidana atas pelanggaran Syariah: Qanun No. 11 Tahun 2002
tentang penerapan Syariah dalam aspek “kepercayaan (aqidah), ritual (ibadah),
dan penyebaran (syiar) Islam,” yang meliputi persyaratan busana Islami; Qanun
No. 12 Tahun 2003 melarang konsumsi dan penjualan alkohol; Qanun No. 13 Tahun
2003 melarang perjudian; Qanun No. 14 Tahun 2003 melarang “perbuatan
bersunyi-sunyian”; dan Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang pembayaran zakat.
Aturan-aturan
tersebut mencakup sejumlah ketentuan yang membedakannya dari hukum pidana yang
diterapkan di tempat lain di Indonesia. Kecuali perjudian, tidak ada tindak
pidana semacam ini yang dilarang di luar Aceh. Tanggung jawab penegakan qanun
terletak pada Kepolisian Nasional dan pasukan polisi khusus Syariah yang hanya
terdapat di Aceh, atau yang dikenal sebagai Wilayatul Hisbah (WH, “Pihak
Berwenang Syariah”). Semua qanun mengatur penalti, meliputi denda, hukuman
penjara, dan cambuk, sebuah bentuk penghukuman yang tidak dikenal di sebagian
besar daerah di Indonesia.[6]
Daftar Pustaka:
Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum, 13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda