Selasa, 17 Juli 2012

SEJARAH SYARIAT ISLAM DI ACEH


Oleh: Ali Geno Berutu

Ada banyak sekali penelitian terhadap sejarah hukum Islam yang sangat rumit di Aceh, tetapi versi yang disederhanakan adalah sebagai berikut. Sejak abad ketujuhbelas hingga ke masa pembentukan pengawasan administratif oleh pemerintahan penjajah Belanda pada abad kesembilanbelas akhir, pengadilan formal dilaksanakan oleh hakim Islam (qadi), yg diangkat oleh sultan dan pejabat-pejabat lain.[1] Sama seperti di belahan negeri Muslim lainnya, hukum yang berlaku merupakan campuran dari Syari’at dan adat yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.
Dengan kedatangan penjajah Belanda, sistem menggunakan para qadi yang diangkat secara lokal terus dipakai, namun wewenang mereka secara bertahap dikurangi, dan pada waktu itu secara formal tidak ada pengadilan agama atau setidaknya tak ada pengadilan agama yang diakui oleh pemerintahan koloni. Peradilan pidana berada dibawah wewenang pengadilan kolonial, dan Belanda berusaha untuk memindahkan penanganan kasus-kasus lain seperti persoalan tanah dan warisan, menjadi tanggung jawab dewan adat.[2]
Lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan upaya pemerintah dalam rangka merebut kembali kepercayaan rakyat guna penyelesaian konflik di Aceh. Memang dalam perjalanan panjang masyarakat Aceh, keberadaan Islam menjadi sendi kehidupan yang tidak dapat dipisahkan.[3]
Usaha menerapkan Syari'at Islam terus dilakukan oleh masyarakatnya melalui berbagai upaya. Ini menunjukkan bahwa terdapat desakan yang begitu kuat yang muncul dari arus bawah (masyarakat) agar pemerintah memberikan keluasan bagi masyarakat Aceh menjalankan Syari'at Islam secara kaffah.  Perjalanan Syari'at Islam di Aceh setelah kemerdekaan RI mengalami pasang surut. Perubahan dan perkembangan kondisi sosial dan politik Negara Republik Indonesia turut menjadi penentu tentang penyelenggaraan Syari'at Islam di Aceh.
Pada masa awal kemerdekaan upaya pelaksanaan Syari'at Islam dilakukan dengan pembentukan lembaga peradilan yang mandiri dan berkuasa penuh. Karena tuntutan yang terus menerus maka Gubernur Sumatera melalui surat kawat Nomor: 189 tanggal 13 Januari 1947 memberi izin kepada Residen Aceh membentuk Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) dengan kewenangan yang penuh (tidak membutuhkan pengukuhan dari Pengadilan Negeri) dan relatif lebih luas di bidang hukum keluarga yang meliputi nafkah, kekayaan bersama, hak pemeliharaan anak, disamping perceraian dan pengesahan perkawinan dan kewarisan.
Tahap baru pelaksanaan Syariat Islam di Aceh terjadi pada tahun 1959. Pada tahun ini-seperti telah disinggung di atas-terjadi kesepakatan antara Dewan Revolusi DI/TII dengan Wakil Pemerintah Pusat (populer dengan sebutan Missi Hardi) untuk mengakhiri "Peristiwa Aceh", dan untuk ini dibuatlah Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959. Dengan keputusan ini Provinsi Aceh mendapat sebutan baru: Daerah Istimewa Aceh. Sebutan ini mengandung makna pemberian "… otonomi yang seluas-luasnya, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan, dan pendidikan." Namun, Keputusan Perdana Menteri ini cenderung tidak efektif di lapangan karena Pemerintah Pusat tidak mengeluarkan peraturan pelaksanaannya.[4]
Pada tahun 1965 disahkan undang-undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU Nomor 18 tahun 1965), tetapi kehadiran undang-undang ini tidak banyak bermanfaat bagi Daerah Istimewa Aceh karena tidak memberi makna khusus tentang status keistimewaan Aceh. Undang-undang ini menyamakan otonomi yang diberikan kepada semua daerah Indonesia lainnya, sehingga hampir tidak ada arti dari keistimewaan itu selain dari sekedar sebutan dan pengakuan tentang aspek historis istilah saja.
Pada masa Orde Baru, undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu UU Nomor 5 tahun 1974. Dalam undang-undang ini status keistimewaan Aceh menjadi lebih tragis lagi karena sama sekali tidak dijelaskan. Masalah keistimewaan Aceh hanya disinggung sedikit di dalam penjelasan pasal 93, yang intinya istilah Daerah Istimewa hanyalah sekedar sebutan bagi Provinsi Aceh. Sedang mengenai otonomi yang luas di bidang agama, pendidikan, dan peradatan yang diakui dalam Keputusan Perdana Menteri di atas, sudah ditiadakan, dan tidak disebut-sebut lagi di dalam undang-undang baru. Otonomi yang akan diberikan kepada Aceh adalah sama dengan yang akan diberikan kepada daerah lain, disesuaikan dengan keadaan nyata di lapangan.[5] Dengan aturan ini, sekiranya dibandingkan dengan yang diperoleh beberapa daerah lain maka otonomi di Aceh bisa jadi akan lebih sempit, karena disesuaikan dengan keadaan nyata di lapangan.
Namun begitu, di dalam perjalanan sejarahnya Pemerintah Daerah Istimewa Aceh tetap berusaha mengisi keistimewaan Aceh dengan berbagai Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur, atau instruksi Gubernur.
Dari rangkaian peraturan yang dikeluarkan Gubernur atau Pemerintah Daerah ini, ada sebuah Peraturan Daerah yang tidak disahkan oleh Pemerintah Pusat, yaitu rancangan Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh. Rancangan ini disahkan DPRD pada tahun 1966 dan diajukan kepada Pemerintah Pusat ketika Menteri Dalam Negeri dijabat Basuki Rahmat. Tetapi sebelum peraturan ini disahkan, Basuki Rahmat meninggal dunia dan jabatan Menteri Dalam Negeri digantikan Amir Mahmud. Beliau menolak menyetujui peraturan ini dengan alasan yang tidak jelas. Penolakan tidak diberikan secara resmi dan tertulis, tetapi hanya secara lisan dalam sebuah upacara makan malam di kediaman beliau sendiri, dihadapan beberapa orang tokoh Aceh yang diundang khusus untuk itu, antara lain Gubernur Aceh berikut Ketua dan Wakil Ketua DPRD Aceh.
Kekecewaan masyarakat Aceh sebagaimana disebutkan di atas agaknya mulai terobati ketika tanggal 4 Oktober 1999, Presiden BJ Habibi menandatangani UU Nomor 44 tahun 1999,[6] tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan, dan peranan ulama. Penyelenggara kehidpan beragama di daerah ini diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari'at Islam bagi pemeluknya. Syari'at Islam didefenisikan dengan tuntunan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 di atas merupakan peluang yuridis formal untuk menerapkan Syari'at Islam sesuai yang diinginkan masyarakat Aceh, sejak bumi Iskandar Muda digangggu Belanda itu.
Sementara itu pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Khusus  Nanggroe Aceh Darussalam. Terlepas dari plus minus nya UU tersebut, yang terpenting mengenai penerapan Syariat Islam adalah membenarkan pembentukan Mahkamah Syar'iyah, baik pada tingkat rendah (Sagoe) atauapun tingkat tinggi (Nanggroe) yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang syari'at yang berkaitan dengan peradilan. Kedudukan peradilan tersebut sama dengan tiga saudaranya yang lain, yaitu, Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Administarsi Negara, yang pembinaan yudisialnya dilakukan oleh Mahkamah Agung.[7]
 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam membuka peluang bagi berlakunya hukum Islam di Nangroe Aceh Darussalam dalam kerangka Negara kesatuan. Landasan Koseptual pemberian otonomi kepada provinsi Nangroe Aceh Darussalam didasarkan kepada pertimbangan sejarah panjang keberadaan masyarakat Aceh sebagai komunitas muslim yang selama ini dipandang mampu mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih demokratis, egaliter dan menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Sebagai cermin dari semboyan masyarakat Aceh, yakni Adat bak po Temunrenhoin, hukum bak Syah Kuala, Qonun bak Putro Phang, rensam bak Laksamana ( adat dari sultan, hukum dari ulama, qonun dari putra phang, rensam dari laksamana ). Semboyan ini masih aktual dalam perspektif modern kehidupan berbangsa dan bernegara dan relevan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.[8]
Kekhusussan implementasi UU No. 18 Tahun 2001 ini yakni pemberian kesempatan yang lebih luas kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, baik sumber ekonomi, sumber daya alam, maupun sumber daya manusia menumbuhkan prakarsa, kreativitas, dan demokrasi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di masyarakat Aceh dengan menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
UU No. 18 Tahun 2001, sebenarnya merupakan penegasan terhadap UU sebelumnya, yaitu UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang memberikan kewenangan kepada Aceh untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah yang di dasarkan pada Syariat Islam.[9] 
Semangat spiritualitas dalam menegakan hukum Islam (syari’at Islam Di Aceh juga tidak terlepas dari teori-teori eksistensi hukum yang sudah diberlakukan sejak zaman penjajah belanda, yaitu teori Receptio In complexu yang pada waktu itu dikeluarkan oleh snouck hurgronje yang mengatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing, bagi orang Islam berlaku hukum agama Islam, demikian juga yang lain.[10]
Berbagai cara sudah ditempuh pemerintah untuk mendamaikan Aceh dan melepaskanya dari konflik, namun hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda berakhirnya. Presiden Habibi telah mencoba mengadakan pendekatan.dan menarik simpati msyarakat Aceh dengan berbagai program pembangunan dan kemanusiaan. Demikian juga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, tetapi konflik terus saja berlangsung, bahkan intensitasnya lebih meningkat daripada sebelumnya, karena GAM sendiri terus melakukan konsolidasi. Konsekuensinya sulit  memprediksi masa depan Aceh, bahkan dalam masa pemerintahan Presiden Megawati juga seperti itu. Bagi Indonesia mengizinkan Aceh mengadakan referandum dengan opsi merdeka, dapat menyebabkan pemisahan diri Aceh dari Republik Indonesia. Belajar dari pengalaman Timor Timur, hampir semua rakyat Indonesia percaya bahwa mayoritas masyarakat Aceh akan memilih merdeka dari Indonesia, jika referandum diadakan. Karena Aceh , secara historis merupakan bagian yang tk terpisahkan dari republik ini, bahkan sumbangannya  yang cukup besar terutama di awal kemerdekaan, maka sulit kiranya Pemerintah Pusat melepaskan nya. Setelah gagalnya Kesepakatan Penghentian Permusuhan (COHA/ Cessation of Hostilities Agrement) sejak awal 2003, Pemerintah Pusat akhirnya menerapkan Operasi Militer Terpadu dengan Pemerintah Darurat Militer di Aceh pada 19 Mei 2003 yang lalu.[11]
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (sejak 2004 hingga kini 2008) kondisi Aceh sempat berstatus sebagai Darurat Sipil. Setelah terjadinya musibah 26 Desember 2004 (Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami) Pemerintah Pusat masih mengupayakan pertemuan dengan pihak Gerakan Aceh Mereka) yang dilakukan Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. Pada waktu itu terdapatlah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dan GAM, untuk sama-sama membuat lembaran baru di Aceh. Puncak dari kesepakatan itu adalah lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang ini diatur banyak hal yang menyangkut sistem pemerintahan di Aceh, yang tentunya masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikianlah gambaran beberapa gejolak politik yang terdapat dalam sejarah Aceh untuk mendesakkan pemberlakuan Syari'at Islam di bumi Serambi Mekah  tersebut.

 



Daftar Pustaka:
Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
BACA JUGA

Label:

2 Komentar:

Pada 19 Oktober 2017 pukul 13.29 , Anonymous Anonim mengatakan...

Hello there! I could have sworn I've been to this site before but after browsing through many of the articles I realized it's new
to me. Regardless, I'm certainly delighted I found it and I'll be bookmarking it and checking
back frequently!

 
Pada 19 April 2019 pukul 23.11 , Blogger Unknown mengatakan...

Agen Terpercaya 88CSN
Situs Slot

 

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda