SEJARAH SYARIAT ISLAM DI ACEH
Oleh: Ali Geno Berutu
Ada
banyak sekali penelitian terhadap sejarah hukum Islam
yang sangat rumit di Aceh, tetapi versi yang disederhanakan adalah sebagai
berikut. Sejak abad ketujuhbelas hingga ke masa pembentukan pengawasan
administratif oleh pemerintahan penjajah Belanda pada abad kesembilanbelas
akhir, pengadilan formal dilaksanakan oleh hakim Islam (qadi), yg
diangkat oleh sultan dan pejabat-pejabat lain.[1] Sama seperti di belahan negeri Muslim lainnya, hukum yang berlaku
merupakan campuran dari Syari’at dan adat yang bervariasi dari satu tempat ke
tempat lain.
Dengan kedatangan penjajah Belanda,
sistem menggunakan para qadi yang diangkat secara lokal terus dipakai, namun
wewenang mereka secara bertahap dikurangi, dan pada waktu itu secara formal
tidak ada pengadilan agama atau setidaknya tak ada pengadilan agama yang diakui
oleh pemerintahan koloni. Peradilan pidana berada dibawah wewenang pengadilan
kolonial, dan Belanda berusaha untuk memindahkan penanganan kasus-kasus lain
seperti
persoalan tanah dan warisan, menjadi tanggung jawab dewan adat.[2]
Lahirnya Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan upaya pemerintah dalam rangka merebut
kembali kepercayaan rakyat guna penyelesaian konflik di Aceh. Memang dalam perjalanan panjang masyarakat
Aceh, keberadaan Islam menjadi sendi kehidupan yang tidak dapat dipisahkan.[3]
Usaha menerapkan Syari'at Islam terus dilakukan oleh
masyarakatnya melalui berbagai upaya. Ini menunjukkan
bahwa terdapat desakan yang begitu kuat yang muncul dari
arus bawah (masyarakat) agar pemerintah memberikan keluasan bagi masyarakat Aceh
menjalankan Syari'at Islam secara kaffah.
Perjalanan Syari'at Islam di Aceh setelah kemerdekaan
RI mengalami pasang surut. Perubahan dan perkembangan kondisi sosial dan
politik Negara Republik Indonesia turut menjadi penentu tentang penyelenggaraan Syari'at
Islam di Aceh.
Pada masa awal kemerdekaan upaya pelaksanaan Syari'at
Islam dilakukan dengan pembentukan lembaga peradilan yang mandiri dan berkuasa
penuh. Karena tuntutan yang terus menerus maka Gubernur Sumatera melalui surat
kawat Nomor: 189 tanggal 13 Januari 1947 memberi izin kepada Residen Aceh
membentuk Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) dengan kewenangan yang
penuh (tidak membutuhkan pengukuhan dari Pengadilan Negeri) dan relatif lebih
luas di bidang hukum keluarga yang meliputi nafkah, kekayaan bersama, hak
pemeliharaan anak, disamping perceraian dan pengesahan perkawinan dan
kewarisan.
Tahap baru pelaksanaan Syariat Islam di Aceh terjadi pada
tahun 1959. Pada tahun ini-seperti telah disinggung di atas-terjadi kesepakatan
antara Dewan Revolusi DI/TII dengan Wakil Pemerintah Pusat (populer dengan
sebutan Missi Hardi) untuk mengakhiri "Peristiwa Aceh", dan untuk ini
dibuatlah Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959.
Dengan keputusan ini Provinsi Aceh mendapat sebutan baru: Daerah Istimewa Aceh.
Sebutan ini mengandung makna pemberian "… otonomi yang seluas-luasnya,
terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan, dan pendidikan." Namun,
Keputusan Perdana Menteri ini cenderung tidak efektif di lapangan karena
Pemerintah Pusat tidak mengeluarkan peraturan pelaksanaannya.[4]
Pada tahun 1965 disahkan undang-undang tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU Nomor 18 tahun 1965), tetapi kehadiran
undang-undang ini tidak banyak bermanfaat bagi Daerah Istimewa Aceh karena
tidak memberi makna khusus tentang status keistimewaan Aceh. Undang-undang ini
menyamakan otonomi yang diberikan kepada semua daerah Indonesia lainnya,
sehingga hampir tidak ada arti dari keistimewaan itu selain dari sekedar sebutan dan
pengakuan tentang aspek historis istilah saja.
Pada masa Orde Baru, undang-undang Pokok Pemerintahan
Daerah diganti dengan Undang-Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu UU Nomor 5
tahun 1974. Dalam undang-undang ini status keistimewaan Aceh menjadi lebih
tragis lagi karena sama sekali tidak dijelaskan. Masalah keistimewaan Aceh
hanya disinggung sedikit di dalam penjelasan pasal 93, yang intinya istilah
Daerah Istimewa hanyalah sekedar sebutan bagi Provinsi Aceh. Sedang
mengenai otonomi yang luas di bidang agama, pendidikan, dan peradatan yang
diakui dalam Keputusan Perdana Menteri di atas, sudah ditiadakan, dan tidak
disebut-sebut lagi di dalam undang-undang baru. Otonomi yang akan diberikan
kepada Aceh adalah sama dengan yang akan diberikan kepada daerah lain,
disesuaikan dengan keadaan nyata di lapangan.[5] Dengan
aturan ini, sekiranya dibandingkan dengan yang diperoleh beberapa daerah lain
maka otonomi di Aceh bisa jadi akan lebih sempit, karena disesuaikan dengan
keadaan nyata di lapangan.
Namun begitu, di dalam perjalanan sejarahnya Pemerintah
Daerah Istimewa Aceh tetap berusaha mengisi keistimewaan Aceh dengan berbagai
Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur, atau instruksi Gubernur.
Dari rangkaian peraturan yang dikeluarkan Gubernur atau
Pemerintah Daerah ini, ada sebuah Peraturan Daerah yang tidak disahkan oleh
Pemerintah Pusat, yaitu rancangan Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan
Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh. Rancangan ini disahkan DPRD pada
tahun 1966 dan diajukan kepada Pemerintah Pusat ketika Menteri Dalam Negeri
dijabat Basuki Rahmat. Tetapi sebelum peraturan ini disahkan, Basuki Rahmat
meninggal dunia dan jabatan Menteri Dalam Negeri digantikan Amir Mahmud. Beliau
menolak menyetujui peraturan ini dengan alasan yang tidak jelas. Penolakan
tidak diberikan secara resmi dan tertulis, tetapi hanya secara lisan dalam
sebuah upacara makan malam di kediaman beliau sendiri, dihadapan beberapa orang
tokoh Aceh yang diundang khusus untuk itu, antara lain Gubernur Aceh berikut Ketua dan Wakil Ketua DPRD Aceh.
Kekecewaan masyarakat Aceh sebagaimana disebutkan di atas
agaknya mulai terobati ketika tanggal 4 Oktober 1999, Presiden BJ Habibi
menandatangani UU Nomor 44 tahun 1999,[6] tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan,
dan peranan ulama. Penyelenggara kehidpan beragama di daerah ini diwujudkan
dalam bentuk pelaksanaan Syari'at Islam bagi pemeluknya. Syari'at Islam
didefenisikan dengan tuntunan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 di atas merupakan peluang
yuridis formal untuk menerapkan Syari'at Islam sesuai yang diinginkan
masyarakat Aceh, sejak bumi Iskandar Muda digangggu Belanda itu.
Sementara
itu pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri
menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi
Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
Terlepas dari plus minus nya UU tersebut, yang terpenting mengenai penerapan
Syariat Islam adalah membenarkan pembentukan Mahkamah Syar'iyah, baik pada
tingkat rendah (Sagoe) atauapun tingkat tinggi (Nanggroe) yang wewenangnya
dapat meliputi seluruh bidang syari'at yang berkaitan dengan peradilan.
Kedudukan peradilan tersebut sama dengan tiga saudaranya yang lain, yaitu,
Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Administarsi Negara, yang
pembinaan yudisialnya dilakukan oleh Mahkamah Agung.[7]
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh
Darussalam membuka peluang bagi berlakunya hukum Islam di Nangroe Aceh
Darussalam dalam kerangka Negara kesatuan. Landasan Koseptual pemberian otonomi
kepada provinsi Nangroe Aceh Darussalam didasarkan kepada pertimbangan sejarah
panjang keberadaan masyarakat Aceh sebagai komunitas muslim yang selama ini
dipandang mampu mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih demokratis, egaliter
dan menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Sebagai cermin
dari semboyan masyarakat Aceh, yakni Adat bak po Temunrenhoin, hukum bak
Syah Kuala, Qonun bak Putro Phang, rensam bak Laksamana ( adat dari sultan,
hukum dari ulama, qonun dari putra phang, rensam dari laksamana ). Semboyan
ini masih aktual dalam perspektif modern kehidupan berbangsa dan bernegara dan
relevan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[8]
Kekhusussan
implementasi UU No. 18 Tahun 2001 ini yakni pemberian kesempatan yang lebih
luas kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, baik sumber
ekonomi, sumber daya alam, maupun sumber daya manusia menumbuhkan prakarsa,
kreativitas, dan demokrasi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di
masyarakat Aceh dengan menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
UU No. 18 Tahun
2001, sebenarnya merupakan penegasan terhadap UU sebelumnya, yaitu UU No. 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
yang memberikan kewenangan kepada Aceh untuk menyelenggarakan kehidupan
beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran
ulama dalam penetapan kebijakan daerah yang di dasarkan pada Syariat Islam.[9]
Semangat spiritualitas dalam menegakan hukum Islam (syari’at Islam
Di Aceh juga tidak terlepas dari teori-teori eksistensi hukum yang sudah
diberlakukan sejak zaman penjajah belanda, yaitu teori Receptio In complexu yang
pada waktu itu dikeluarkan oleh snouck hurgronje yang mengatakan bahwa bagi
setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing, bagi orang Islam berlaku
hukum agama Islam, demikian juga yang lain.[10]
Berbagai cara sudah ditempuh pemerintah untuk mendamaikan
Aceh dan melepaskanya dari konflik, namun hasilnya belum menunjukkan
tanda-tanda berakhirnya. Presiden Habibi telah mencoba mengadakan
pendekatan.dan menarik simpati msyarakat Aceh dengan berbagai program
pembangunan dan kemanusiaan. Demikian juga pada masa Presiden Abdurrahman
Wahid, tetapi konflik terus saja berlangsung, bahkan intensitasnya lebih
meningkat daripada sebelumnya, karena GAM sendiri terus melakukan konsolidasi.
Konsekuensinya sulit memprediksi masa
depan Aceh, bahkan dalam masa pemerintahan Presiden Megawati juga seperti itu.
Bagi Indonesia mengizinkan Aceh mengadakan referandum dengan opsi merdeka,
dapat menyebabkan pemisahan diri Aceh dari Republik Indonesia. Belajar dari
pengalaman Timor Timur, hampir semua rakyat Indonesia percaya bahwa mayoritas
masyarakat Aceh akan memilih merdeka dari Indonesia, jika referandum diadakan.
Karena Aceh , secara historis merupakan bagian yang tk terpisahkan dari
republik ini, bahkan sumbangannya yang
cukup besar terutama di awal kemerdekaan, maka sulit kiranya Pemerintah Pusat
melepaskan nya. Setelah gagalnya Kesepakatan Penghentian Permusuhan (COHA/
Cessation of Hostilities Agrement) sejak awal 2003, Pemerintah Pusat
akhirnya menerapkan Operasi Militer Terpadu dengan Pemerintah Darurat Militer
di Aceh pada 19 Mei 2003 yang lalu.[11]
Pada era Presiden
Susilo Bambang Yudoyono (sejak 2004 hingga kini 2008) kondisi Aceh sempat
berstatus sebagai Darurat Sipil. Setelah terjadinya musibah 26 Desember 2004
(Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami) Pemerintah Pusat masih mengupayakan
pertemuan dengan pihak Gerakan Aceh Mereka) yang dilakukan Finlandia pada
tanggal 15 Agustus 2005. Pada waktu itu terdapatlah Nota Kesepahaman (Memorandum
of Understanding) antara Pemerintah RI dan GAM, untuk sama-sama membuat
lembaran baru di Aceh. Puncak dari kesepakatan itu adalah lahirnya Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang ini diatur banyak hal yang
menyangkut sistem pemerintahan di Aceh, yang tentunya masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikianlah gambaran beberapa gejolak politik yang
terdapat dalam sejarah Aceh untuk mendesakkan pemberlakuan Syari'at Islam di
bumi Serambi Mekah tersebut.
Daftar Pustaka:
Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum, 13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage, 2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO, 4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum, 14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law, 2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah, 9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).
Label: MENULIS
2 Komentar:
Hello there! I could have sworn I've been to this site before but after browsing through many of the articles I realized it's new
to me. Regardless, I'm certainly delighted I found it and I'll be bookmarking it and checking
back frequently!
Agen Terpercaya 88CSN
Situs Slot
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda