Selasa, 17 Juli 2012

PROBLEMATIKA PENERAPAN SYARIAT ISLAM DALAM NEGARA KONTEPORER

Oleh: Ali Geno Berutu

Perdebatan soal pemberlakuan Syariat Islam sampai saat ini masih menyisakan pro dan kontra, terutama di negara-negara yang secara resmi bukan sebagai negara Islam. Jika dicermati dalam konteks sosio politisnya, isu formalisasi Syariat Islam sebagai hukum publik dewasa ini, paling tidak merupakan fenomena yang didorong oleh kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah /Islamic awakening) pasca colonial, terutama setelah perang dunia ke II.

Pada umumnya kebangkitan Islam ini merupakan respon yang wajar atas beragam krisis multidimensi berlarut larut, terutama bagi mereka yang cenderung berpikir praktis dan jarang berpikir kritis, pemecahan melalui jalur Syariat ini diyakini merupakan satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi beragam krisis multidimensi tersebut. Dengan kata lain, formalisasi syariat ke ruang publik diamini sebagai solusi komplet nan mujarab dalam menuntaskan beragam kompleksitas persoalan di dalam masyarakat.

Sedikitnya ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi Syariat Islam. Pertama, arus formalisasi Syariat. Kelompok ini menghendaki agar Syariat dijadikan landasan riil berbangsa dan benegara, implikasinya ia getol menyuarakan perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya memasukan Syariat Islam secara formal dalam Undang undang negara. Kedua, arus deformalisasi Syariat. Kelompok ini lebih memilih pemaknaaan Syariat secara substantif. Pemaknaan Syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara, karena wataknya yang represif. Syariat secara individu sudah diterapkan, sehingga formalisasi dalam undang undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekularisasi dan Islamisasi. Pemandangan tersebut menjadi bukti kuat, bahwa penerapan Syariat Islam merupakan arena perdebatan yang subur, dan tak jarang mengalami tarik ulur.

Syariat sebagai elemen tertinggi dalam agama mempunyai legitimasi paling kuat untuk menjustifikasi kebenaran agama. Keislaman yang semestinya dapat dipahami kepasrahan diri, pembebasan dari penindasan, pemihakan pada kaum lemah, kemudian direduksi dalam syariat rigid dan kaku. Syariah dimaknai sebagai “keakuan” yang tidak terjamah dan mesti dibela hingga titik darah penghabisan. Syariat menjadi alat untuk mempersempit ruang agama, sehingga pada taraf tertentu syariat bermetamorfosa menjadi agama tersendiri. Bagi kalangan yang berpijak pada arus formalisasi Syariat, penafsiran tunggal terhadap Syariat menjadi solusi tepat untuk mengiring kearah sentral. Hingga akhirnya kemunculan “agama syariat” tidak bisa dihindarkan.(1)

Pemikiran serius diatas, akhirnya mendapatkan perlawanan yang serius. An-Naim dalam tulisannya menegaskan bahwa Syariat tidak dapat diundangkan sebagai hukum positif karena memang bertentangan dengan asas kesukarelaan umat Islam, dan akan tetap menjadi sumber dari sistem sanksi agama yang bersifat normatif(2). Maraknya klaim untuk mendirikan negara Islam dengan formalisasi Syariat sebagai hukum positif (sebagaimana terjadi di Iran, Sudan dan Aceh tentunya) adalah sebuah kontradiksi istilah dan sebuah kenaifan. Sebagaimana yang ia contohkan, bahwa kebanyakan pelanggaran HAM di Sudan sekarang secara langsung disebakan oleh aplikasi Syariah (Hukum Islam), walaupun sangat terkait dengan sifat dasar yang melekat pada rezim militer Sudan yang cenderung tidak toleran terhadap segala gerakan oposisi politik, dan cenderung mengambil kebijakan-kebijakan keras, tanpa memperdulikan akibatnya bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa hubungan antara aplikasi syari’ah dan pelanggaran standar-standar HAM yang diakui secara internasional, dipandang mempunyai kompleksitas permasalahan yang menjadi penyebabnya (3). Sebagaimana diketahui, saat ini Sudan sedang mengalami konflik perang saudara yang bermuara dari pertentangan antar mahzab agama . Ekses dari pada konfilk ini dapat menimbulkan pelanggaran HAM berat, terutama terhadap kaum rentan semacam perempuan dan anak-anak.

Demikian juga Muhammad ‘Abid Al-Jabiri mengatakan bahwa sebagian Fenomena kebangkitan Islam menuntut penerapan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan. Namun perlu disadari bahwa tidak ada sistem Islam yang siap pakai,terperinci dan mencakup seluruh aspek kehidupan(2) . Al-Quran sebagaimana yang ia pahami, sama sekali tidak memberikan ungkapan yang jelas bahwa dakwah Islam bertujuan untuk mendirikan suatu negara, kerajaan atau imperium. Islam hanya mengatur dalam prinsip umum yang membuat ketetapan dengan berbagai ilustrasi etika Islam sehingga sistem Islam dalam berbagai bidang terbuka untuk ijtihad.

Hukum Islam dalam pandangan Profesor Coulson, dipahami sebagai ulasan-ulasan spekulatif untuk memahami Istilah –istilah yang tepat mengenai hukum-hukum Allah . Dan apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Islam sebagai Syariat, pada kenyataannya merupakan produk dari proses gradual dan spontan dari penafsiran Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan penafsiran sunnah selama tiga abad pertama

Hukum Islam dalam pandangan Profesor Coulson, dipahami sebagai ulasan-ulasan spekulatif untuk memahami Istilah –istilah yang tepat mengenai hukum-hukum Allah(5) . Dan apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Islam sebagai Syariat, pada kenyataannya merupakan produk dari proses gradual dan spontan dari penafsiran Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan penafsiran sunnah selama tiga abad pertama

Islam (6) . Ini berarti hukum Islam yang kita pahami sekarang merupakan produk hukum yang mempunyai tingkat kebenaran relatif dan memungkinkan sekali dilakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman yang melingkupinya. Hal ini menurut An-Naim, menunjukan bahwa umat Islam betul-betul mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri . Termasuk hak untuk mengartikan dan mengungkapkan identitas keislaman mereka yang dianggap baik atau pantas. Tetapi hal tersebut tidak dapat didasarkan pada perundang-undangan dan formalisasi syariat semacam itu, karena apapun peraturan-peraturan yang diberlakukan sebagai hukum positif adalah “keinginan politis negara” yang bersangkutan dan tidak akan pernah menjadi syariat yang secara umum dapat dipahami oleh umat Islam untuk tujuan menjalankan firman Tuhan. Karena, penerapan Syariat melalui Undang-undang positif (sebagaimana yang diklaim oleh pemerintah Iran, Afganistan, Pakistan, Saudi Arabia dan Sudan atau didukung oleh aktifis politik Islam di beberapa negara lain) adalah kenaifan yang berbahaya.

Pengalaman formalisasi Syariat Islam di negara kontemporer

Jika menengok negara-negara yang sudah menerapkan syari‘ah seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, Afghanistan, Pakistan, Nigeria, dan lain-lain, maka penerapan syari‘ah Islam --lebih tepatnya penerapan fikih-- sebenarnya sama sekali tidak menjanjikan. Puluhan ribu orang mati di Sudan Selatan karena perang sipil ketika sistem syari‘ah diperkenalkan pada tahun 1983. Di beberapa provinsi Nigeria, dimana hukum syari‘ah dalam bentuk hudud diberlakukan, orang-orang dicambuk dan dipotong tangannya, untuk menunjukkan bahwa rezim penguasa adalah orang-orang yang konsisten melaksanakan hukum Allah. Di Pakistan dan Afghanistan hampir setiap saat bom meledak karena pemahaman yang kaku terhadap syari‘ah. Bahkan di Mesir yang cenderung sekuler, seorang penulis wanita (Farah Fauda) mati dibunuh didepan apartemennya oleh seseorang yang tengah melaksanakan fatwa ulama yang menyebut bahwa sang penulis telah murtad. Seorang ulama Mesir yang membela si pembunuh menyatakan bahwa jika pemerintah gagal melaksanakan syari‘ah (termasuk membunuh yang murtad tadi) maka setiap muslim berhak melaksanakan pembunuhan itu.

Penerapan syari‘ah dengan otoritas wilâyatul faqih di Iran sejak 1979, telah menyebabkan banyak umat Islam Syi‘ah menjadi risih dengan kemunafikan ulama dan kemudian menolak formalisasi Syariat tersebut. Iran juga tercatat sebagai salah satu negara dengan presentase tertinggi kecanduan narkoba didunia. Sementara penerapan fiqh Wahabi di Arab Saudi bisa terlihat dalam kasus seperti belasan gadis sekolah yang terbakar hidup-hidup setelah ditolak menyelamatkan diri dari gedung sekolahnya yang terbakar oleh polisi agama semata karena mereka tidak memakai cadar(8) .

Perang sipil dan pertumpahan darah di Sudan Selatan terjadi karena penerapan syari‘ah. Menurut analisis Esposito, kebijakan Islamisasi Sudan itu sangat menganggu banyaknya orang di Sudan dan juga kepentingan Internasional. Sehingga sejumlah pihak banyak yang menuduh bahwa program islamisasi yang dilakukan lebih memecah belah ketimbang menyatukan Sudan. Konflik berdarah di Nigeria utara juga terjadi karena kelompok-kelompok garis keras yang diinspirasi Wahabi ingin memberlakukan syari‘ah, sementara Nigeria adalah negara plural dengan konstitusi non agama seperti Indonesia. Menurut laporan, ketika syari‘ah Islam pertama kali diterapkan di Nigeria utara, lebih dari 6000 orang mati akibat konflik agama antara 1999-2002. Di wilayah Kaduna, sekitar 2000 orang meregang nyawa akibat kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syari‘ah pada tahun 2000. Kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syari‘ah juga terjadi di daerah-daerah Bauchi, Jos, dan Aba, yang menelan korban nyawa ratusan orang(10) .

Pengundangan negara atas teori syariat sebagaimana yang dipaparkan diatas, menjadi bukti bahwa syariat hampir mustahil untuk dapat berjalan dengan baik dalam konteks nasional dan internasional saat ini. kesulitan yang dihadapi dalam model ini termasuk ambivelensi yang besar bagi pendiri hukum syariat terhadap otoritas politik. Mereka tampaknya tidak mengontrol atau mengetahui, bagaimana membuat orang-orang yang melaksanakannya bertanggung jawab terhadap syariat itu sendiri. Penerapan hukuman bersifat fisik bagi beberapa kejahatan khusus (hudud) misalnya, menghadapi masalah prosedural dan keberatan-keberatan yang tak terselesaikan. Apalagi jika dikaitkan dengan concern Hak-Hak asasi Manusia mengenai kekejaman, tindakan tidak manusiawi dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat. Demikian juga pengabaian hak kewarganeraan bagi perempuan dan komunitas non-muslim akan memperoleh tantangan yang serius baik oleh kelompok yang bersangkutan maupun komunitas internasional secara luas.


Foot Note

1.Istilah “agama syariat” digunakan oleh Zuhairi Misrawi paling tidak untuk menjelaskan tingkat eklusifisme kelompok yang dengan kaku memberikan pemaknaan terhadap syariat. Lihat: Zuhairi Misrawi: “Dekonstruksi Syariat: Jalan menuju Desakralisasi, Reintrepretasi dan Depotilisasi” dalam Tashwirul Afkar, Deformalisasi Syariat, Edisi No.12, tahun 2002 hlm. 8-10
2. Lihat Abdullahi Ahmed An-Na’im: “Sharia and Positive Legislation: is an Islamic State Possible or Viable?” diterjemahkan oleh Khoriroh H.Sarjani, Syariat dan hukum positif di negara modern, dalam Tashwirul Afkar, ibid, hlm 39.
3.Abdullahi Ahmed An-Na’im, “Syari’ah dan HAM: belajar dari Sudan”, dalam Islamic Law reform and Human Rights Challenges and Rejoinders, terj. Farid Wajidi, Dekonstruksi Syariah II’ Kritik konsep, Penjelasan Lain, (Yogyakarta: LKIS, 1996), hlm 155-156.
4.Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Din Wa al-Daulah Tathbig al-Syari’ah, terj, Mujiburrahman, Agama dan Penerapan Syariah, (Yoyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm.127.
5.N.J Coulson, Conflicts and tension in Islamic Jurispudence, (Chicago: University Of Chicago Press, 1969) hlm. 41.
6.Lihat juga tulisan Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Din Wa al-Daulah Tathbig al-Syari’ah, terj, Mujiburrahman, Agama dan Penerapan Syariah, (Yoyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), terutama pada bagian kedua: persoalan penerapan Syariah.
7. Lihat Abdullahi Ahmed An-Na’im: “Sharia and Positive Legislation. Op. Cit., hlm. 41.
8. Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Maarif Institute, Ilusi negara Islam : ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia (Jakarta : The Wahid Institute, 2009) hlm.158
9. John L. Esposito, The Islamic Threat, Myth or Reality? (Syracuse: Syracuse Unversity Press, 1992), hlm. 87-88.
10. “Nigeria’s Muslim-Christian Riots: Religion or Realpolitik,” The Economi 17 Januari, 2003.


DAFTAR PUSTAKA

Misrawi Zuhairi: “Dekonstruksi Syariat: Jalan menuju Desakralisasi, Reintrepretasi dan Depotilisasi” dalam Tashwirul Afkar, Deformalisasi Syariat, Edisi No.12, tahun 2002.
Ahmed Abdullahi An-Na’im: “Sharia and Positive Legislation: is an Islamic State Possible or Viable?” diterjemahkan oleh Khoriroh H.Sarjani, Syariat dan hukum positif di negara modern, dalam Tashwirul Afkar.

Berutu, A.G., 2016. Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah. Istinbath: Jurnal Hukum13(2), pp.163-187.
Berutu, A.G., 2017. Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP. Muslim Heritage2(1), pp.87-106.
Berutu, A.G., 2020. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2019. Aceh dan syariat Islam.
Berutu, A.G., 2017. Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam16(2).
Berutu, A.G., 2016. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu.
Berutu, A.G., 2016. Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh. ARISTO4(2), pp.31-46.
Berutu, A.G., 2020. MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH.
Berutu, A.G., 2017. Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh. Istinbath: Jurnal Hukum14(2), pp.148-169.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Berutu, A.G., 2019. Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh. Ahkam: Jurnal Hukum Islam7.
Berutu, A.G., 2020. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada.
Berutu, A.G., 2021. ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA. JIL: Journal of Indonesian Law2(2), pp.202-225.
Berutu, A.G., 2019. Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam.
Berutu, A.G., 2019. PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014. El-Mashlahah9(2).
Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158).

Ahmed Abdullahi An-Na’im, “Syari’ah dan HAM: belajar dari Sudan”, dalam Islamic Law reform and Human Rights Challenges and Rejoinders, terj. Farid Wajidi, Dekonstruksi Syariah II’ Kritik konsep, Penjelasan Lain, (Yogyakarta: LKIS, 1996)
Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Din Wa al-Daulah Tathbig al-Syari’ah, terj, Mujiburrahman, Agama dan Penerapan Syariah, (Yoyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001)
N.J Coulson, Conflicts and tension in Islamic Jurispudence, (Chicago: University Of Chicago Press, 1969)
Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Maarif Institute, Ilusi negara Islam : ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia (Jakarta : The Wahid Institute, 2009)
Nigeria’s Muslim-Christian Riots: Religion or Realpolitik,” The Economi 17 Januari, 2003.

 

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda