METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM
METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM
Oleh: Ali Geno Berutu
Pendahulan
Problem
dan permasalahan kehidupan manusia semakin hari kian bertambah kompleks dan
beragam. Permasalahan-permasalah yang awalnya dapat dicover secara eksplisit
oleh kedua sumber pokok ajaran islam tersebut, seiring dengan berjalannya waktu
dan semakin kompleksnya permasalahan manusia , mulai bermunculan
permasalahan-permasalan yang belum ditemukan di dalam kedua sumber tersebut.
Di
sinilah kita bisa melihat bahwa islam didisain sedemikina rupa oleh Allah SWT
sebagai agama pamungkas yang diturunkan-Nya di muka bumi ini. Ajaran-ajaran
islam tetap relevan sepanjang zaman dalam menjawab setiap permasalahan yang ada
walaupun teks keagamaan secara kuantitatif tidak bertambah. Allah SWT tidak
menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah yang merupakan sumber utama ajaran islam
dalam bentuk baku, final, dan siap pakai, yang menjawab secara rinci semua
permasalah yang ada baik yang telah, sedang, ataupun akan terjadi. Sebab jika
demikian, ajaran islam akan cepat usang dan hilang kemampuannya untuk merespon
segala persoalan yang senantiasa berkembang dengan pesat.
Kondisi
obyektif yang berkaitan dengan
permasalah manusia yang setiap saat bertambah banyak yang memerlukan
tanggapan logis-yuridis dari nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah yang belum
tercover secara eksplisit dalam teks-teks Al-Quran dan As-Sunnah, mewajibkan
bagi orang-orang yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad (usaha
sungguh-sungguh untuk penggalian hokum) sebagai respon terhadap permasalahan
yang baru muncul. Anugerah akal yang diberikan Allah SWT kepada manusia
menjadikannya sebagai makhluk yang selalu ingin tahu, berkembang dan
berinovasi. Melalui pranata ijtihad ini manusia dapat mengekplorasi akal
pikirangnnya untuk mencari jawaban atas permasalahan baru dengan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam melakukan ijtihad.
Pencarian
jawaban atas permasalahan baru ini membutuhkan skill dan
persyarataan-persyaratan yang sangat ketat. Dengan begitu ijtiihad tidak bisa
dilakukan dengan /oleh sembarang orang. Hanya orang yang memenuhi
kriteria-kriteria dan syarat-syarat saja yang diperbolehkan. Kegiatan ijtihad
tanpa mengindahkan syarat dan kriteria adalah tindakan membuat-buat hokum tanpa
landasan yang jelas, itu sangat dicela oleh agama, bahkan membaca kekacauan dan
kehancuran bagi agama. Sebagaimana diisyaratkan dalam Firman Allah SWT
ولا تقول لما تصف السنتكم الكذب هذا
حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب إن الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون
(النحل : 116)
“ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’,
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung”
ISTINBAT DAN
IJTIHAD
Istinbat
adalah suatu kaidah dalam ushul fiqh, yaitu: menetapkan hukum dengan cara
ijtihad atau, hal mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang telah ditetapkan
oleh syara. Ushul fiqih ialah ilmu yang menyelidiki bagaimana caranya dalil
tersebut menunjukan hukum-hukum yang berhubungan dengan Mukalaf.[1]
Istinbat
juga diartikan dengan:
استخراج المعانى من النصوص بفرط الذهن
وقوة القريحة
Mengeluarkan
makna-makna dari nash-nash (yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan
kemampuan (potensi) naluriah.
Adapun
devinisi ijtihad menurut bahasa ialah “pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjalan
suatu yang sulit”. Sedangkan menurut istilah adalah menurut praktek para
Sahabat, pengertian ijtihad ialah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan
sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Menurut mayoritas
ulama ushul, pengertian ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan oleh
seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhann
mengenai suatu hukum syara.[3]
Menurut
Iman Ghazali (w. 505 H) adalah
بذل المجتهد وسعة فى طلب العلم باحكام
الشرعية
Pengerahan
kemampuan oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang hukum syara
Menurut
ilmu ushul fiqh, kata “ijtihad” identik dengan kata “istinbat”. Jadi, arti
ijtihad atau istinbat ialah “menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara
langsung oleh nash Al-Quran dan As-Sunnah.[5]
Keabsahan
ijtihad ini ditopang dengan hadist Nabi SAW:
…بما تقضى يا معاذ إذا عرض
لك قضاء، قال : أقضى بكتاب الله،قال: فإن لم تجد،قال: فبسنة رسول الله، قال فإن لم
تجد، قال أجتحد رأى
“Hai
Mu’adz, apa yang engkau lakukan jika dikemukakan kepadamu suatu perkara? Aku
memutuskan dengan Kitab Allah, bagaimana jika tidak ditemukan di dalam
Al-Quran? Aku memutuskan dengan Sunnah Rasulullah SAW, bagaimana jika
tidak ditemukan dalam Sunnah Rasul? Aku akan berijtihad dengan kesanggupan
dan ketelitian”
Adapun
syarat-syarat berijtihad atau menjadi seorang mujtahid adalah sebagai berikut:
· Memiliki ilmu yang luas
tentang ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan masalah
hukum, dalam arti mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum
·
Mengetahui masalah-masalah
yang telah di-ijma’kan
· Memiliki pengetahuan yang
laus tentang Qiyas dan dapat menggunakannya istinbat hukum
· Mengetahui ilmu logika agar
dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum dan sanggup
mempertanggung jawabkannya
·
Menguasai bahasa Arab
secara mendalam. Sebab, Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber dasar hukum islam,
tersusun dalam gaya bahasa yang sangat tinggi, dan di dalam ketinggian dan
keunikan gaya bahasa inilah antara lain terletak segi kemukjizatan al-Quran
· Memiliki pengetahuan yang
mendalam tetang nasakh-mansukh dalam Al-Quran dan hadits, agar dalam
menggali hukum tidak mempergunakan ayat Al-Quran dan hadits yang telah di-nasakh
· Mengetahui latar belakang
turunnya ayat (asbab al-nuzul) dan latar belakang hadits (asbab
al-wurud)
·
Mengetahui sejarah para
perawi hadits
·
Mengetahui ushul fiqh
Jika
melihat dari Sabda Nabi SAW tentang bagaimana cara menyelesaikan perkara yang tidak ada jawabannya di Al-Quran ataupun
As-Sunnah yaitu dengan cara berijtihad. Di sini dijelaskan metode penemuan
hukum dalam islam melalui jalan berijtihad, antara lain:
1)
Ijma’
Ijma’
menurut istilah Ulama Ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara umat
islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW, atas hukum syar’i
mengenai suatu kejadian / kasus.
Syarat
terbentuknya ijma’ menurut syara’ ada empat:
1.
Adanya sebilangan para mujtahid
pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat
dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai
dengan lainnya.
2.
Adanya kesepakatan semua mujtahid
umat islam atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu
terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaanya atau kelompoknya.
3.
adanya kesepakatan mereka itu
dangen menampilkan pendapat masing-masing mereka secara jelas mengenai suatu
kejadian, baik penampilan itu berupa ucapan atau perbuatan atau penampilan
pendapat menjatuhkan secara menyendiri.
4.
dapat direlisir kesepakatan dari
semua mujtahid atas suatu hukum.
Ijma’
dapat dijadikan sebagai dasar hukum atau dipastikan kehujjahannya sesuai
dengan friman Allah SWT yang terdapat pada surat An-Nisa ayat 59 yaitu:
يائيها الذين أمنوا اطيعوا الله
واطيعوا الرسول واولى الامر منكم
Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah,
dan Ulil Amri di antara kamu
Lafal
Amri artinya ialah hal atau keadaan, dan ia umum, yang meliputi hal-hal
duniawi. Dan Ulil Amri duniawi ialah para raja, pemimpin dan penguasa.
Sedangkan ulil amri agamawi ialah para mujtahid dan ahli fatwa agama (hukum).
2)
Qiyas
Qiyas
menurut Ulama Ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya
kapada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh
karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
Adapun
syarat-syarat qiyas adalah:
1.
al-Ashlu (suatu perkara yang ada
hukumnya dalam nash)
2.
al-Far’u (suatu perkaar yang belum
ada hukumnya di dalam nash)
3.
hukum Ashal (hukum dari perkara al-Ashlu
4.
illat
hadits
Nabi yang menguatkan kehujjahan Qiyas adalah:
وقوله صلى الله عليه وسلم لعمر ابن
الخطاب حين سأله عن تقبيل امرأته وهو صائم، فأجاب الرسول صلى الله عليه وسلم :
أرأيت لو تمضمضت بماء بحجته، أكان يضرك؟ فقال عمر: لا، وقال الرسول صلى الله عليه
وسلم ففيم أذن ؟ أى أمر الأسف؟
فقد قال النبى صلى الله عليه وسلم
القبلة على المضمضة، فكما أن المضمضة لا تفسد الصيام، كذلك القبلة
3)
Istihsan
Menurut
bahasa artinya menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah Ulama Ushul
ialah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntunan Qiyas jail kedapa Qiyas
Khafi. Atau dari hukum kulli kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang
menyebabkan mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi
apabila terjadi sesuatu kejadian dan
tidak terdapat nash mengenai hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu ada dua
segi yang bertentangan, yaitu:
Pertama
: segi nyata yang menghendaki suatu hukum
Kedua : segi tersembunyi yang menghendaki hukum
lain
Dan
pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil yang memenangkan segi pandangan
secra tersembunyi, maka perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah yang
menurut syara’ disebut dengan istihsan.
Para
Ulama yang menggunakan hujjah istihsan, ialah kebanyakan Ulama Hanafiyah. Dalil
mereka atas kehujjahannya yaitu bahwasanya mengambil dalil dengan istihsan itu
hanyalah istidlal dengan Qiyas khafi yang menang atas Qiyas jail dengan dalil
yang menuntut kemenangannya, atau istidlal dengan maslaha mursalah
(kepentingan umum) atas pengecualian bagian hukum kulli. Semua ini adalah
istidlal yang sahih.
Terdapat
sebuah kelompok mujtahid yang menentang istihsan dan menggapnya sebagai
istinbat hukum syara dengan kemauan hawa nafsu dan rasa enak. Pimpinan kelompok
ini adalah Imam Syafi’I, hal mana telah dinukil dari padanya, bahwa ia berkata
: “siapa melakukan istihsan berarti ia telah membentuk syari’at. Artinya orang
tersebut memulai hukum syari’at dirinya sendiri.
4)
Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut
Ulama Ushul yaitu, maslahah di mana syar’I tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga
tidak terdapat dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Adapun
syarat-syarat menjadikan Hujjah Maslahah al-Mursalah adalah sebagai berikut:
a)
Berupa maslahah yang sebenarnya,
bukan maslahah yang bersifat dugaan.
b)
Berupa maslahah yang umum, bukan
maslahah yang bersifat perorangan
c)
Pembentukan hukum bagi maslahah
ini tidak bertantangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh
nash atau Ijma.
5)
Al-‘Urf
‘Urf
adalah sesuatu yang telah sering dikanal oleh manusia dan telah menjadi
tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan
sesuatu juga disebut adat.
‘Urf
itu ada dua macam, yaitu ‘Urf shohih dan ‘Urf fasid. ‘Urf shohih adalah sesuatu
yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak pula beertentangan dengan
syara’. Sedangkan ‘Urf fasdi adalah sesuatu yang telah saling dikelan oleh
manusia tetapi bertentangan dengan syara’.
Hukum
dari ‘Urf shohih adalah harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam
pengadilan. Bagi seorang Mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk
hukum. Seorang Qhadi juga harus memeliharanya ketika mengadili.
Ulama
berkata, “ Adat itu adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum”. Imam Malik
mendasarkan sebagian hukumnya kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Imam Abu
Hanifah bersama-sama muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan
dasar atas perbedaan ‘Urf mereka. Bahkan Imam Syafi’I mengubah sebagian hukum
yang telah menjadi pendapatnya (ketika di Baghdad) ketika telah berada di
Mesir, dikarenakan perbedaan ‘Urf.
6)
Al-Istishhab
Menurut
bahasa Arab ialah : mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut
istilah Ulama Ushul, yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sehingga terdapat dalil menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum
yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga
terdapat dalil yang menunjukan atas perubahannya.
Dan
apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum binatang atau benda-benda, atau
tumbuh-tumbuhan, atau makanan dan minuman apa saja, atau suatu amal, dan ia
tidak menemukan dalil syara’ mengenai hukumnya, maka dihukumi atas
kebolehannya, karena kebolehan itu adalah pangkal (asal), dan tidak terdapat
dalil yang menunjukan atas perubahannya. Sesuai dengan firman Allah SWT
هو اللذي خلق لكم ما فى الارض جميعا (
البقرة 29)
Dialah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
Istishhab
adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena Ulama Ushul
berkata, “Sesungguhnya istishhab adalah akhir tempat beredar fatwa”, yaitu
mengetahui atas sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama
tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil
yang telah menjadi kebiasan dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan dan
ketetapan mereka.
7)
Syariat Orang Sebelum Kita
Apabila
al-Quran dan al-Sunnah itu telah diisyaratkan oleh Allah kepada para ummatnya
yang telah mendahului kita melalui para Rasul-Nya, dan telah di-nash-kan
bahwasanya syariat itu diwajibkan kepada
kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak ada perselisihan bahwa
syariat itu adalah syariat untuk kita dan undang-undang yang wajib diikuti
dengan menetapkan syariat kita kepadanya. Sesuai dengan firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 45, yang artinya:
Dan
kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan maat, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka pun ada qishosnya.
Maka
Jumhur Ulama Hanafiyah, dan sebagian Ulama Malikiya, serta sebagian Ulama
Syafi’iyah berkata, “ Bahwasanya hukum itu adalah syari’at untuk kita, dan kita
wajib mengikuti dan menerapkannya selama hukum itu telah diceritakan kepada
kita, dan dalam hukum kita tidak terdapat yang menasakhnya.
FATWA
Secara
etimologi kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-Fatwa, menurut Ibnu
Manzhur kata fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari kata fata,
yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat
ini hamper sama dengan pendapat al-Fayumi yang mengartikan sebagai pemuda yang
kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti,
karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan
dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai mana kekuatan yang
dimiliki oleh seorang pemuda
Sedangkan
secara terminology, sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyri (w. 538 H) fatwa
adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah atas pernyataan seseorang
atau sekelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa dalam arti al-Ifta berarti
keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti.
Menurut
kitab Mathalib Uiln Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, pengertian fatwa
adalah:
تبين الحكم الشرعي للسائل عنه بلا
إلزام
Menjelaskan
hukum syar’I kepada penanya dan tidak mengikat
Menurut
Yusuf Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam persoalan sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafi) baik
secara perorangan atau kolektif
Dari
beberapa pengertian di atas ada dua hal penting yang perlu dicatat:
1)
Fatwa bersifat responsive. Ia
merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya
suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand).
2)
Dari segi kekuatan hukum, fatwa
sebagai jawaban hukum tidaklah bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang yang
meminta fatwa, baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus
mengikuti isi atau hukum yang diberikan
kepadanya
Terdapat
beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian fatwa, yakni:
1.
al-Ifta atau al-Futya,
artinya kegiatan menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban atas pertanyaan yang
diajukan.
2.
mustafi,artinya individu
atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa
3.
mufti, orang yang
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut atau orang yang memberikan fatwa.
4.
mustafti fih, masalah,
peristiwa, kejadian, kasus, perkara yang ditanyakan status hukumnya
5.
fatwa, jawaban hukum atas
masalah, peristiwa, kasus atau perkara yang ditanyakan.
Adapun
orang yang pantas dimintai fatwa tidaklah sembarang orang. Jalaluddin
al-Mahalli menyebutkan bahwa di antara syarat seorang mufti adalah:
“menguasai
pendapat-pendapat dan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh dan fiqh, mempunya kelengkapan
untuk melakukan ijtihad, menetahui ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk
memformulasikan suatu hukum , misalnya ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu Mushthalah
al-Hadits, tafsir ayat-ayat dan hadits-hadits hukum”
As-Syaukani
menyebutkan tiga syarat yaitu, mampu berijtihad, adil dan terhindar dari kesan
memperlonggar dan mempermudah hukum.
Imam
an-Nawawi menyebutkan bahwa seorang mufti haruslah nyata-nyata seorang wara’,
tsiqah, terpercaya, terhindar dari fasiq, tajam pikiran, sehat rohani dan
sedapatnya sehat jasmani.
Mengenai
apakah seorang mujtahid atau mufti harus dapat menjawab semua pertanyaan, Imam
Ghazali menyatakan bahwa ijtihad bukan pekerjaan yang tidak terbagi-bagi.
Menurutnya seorang a’lim dapat dikatakan melakukan ijtihad meskipun ia melakkan
ijtihad dalam beberapa ketentuan hukum saja.
Tidak
hanya seorang mufti saja yang mempunya syarat, akan tetapi terdapat adab dan
syarat dalam meminta fatwa (mustafi). Diatara adab yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1)
Orang atau pihak yang meminta
fatwa harus tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan fatwa sendiri.
2)
Orang atau pihak yang meminta
fatwa harus meneliti terlebih dahulu apakah orang atau lembaga yang dimintainya
fatwa benar-benar mempunyai kompetensi untuk menetapka fatwa.
3)
Orang atau pihak yang meminta fatwa
tidak harus mengetahui bahwa fatwa yang akan dikeluarkan adalah menurut madzhab
tertentu.
4)
Orang atau pihak yang meminta
fatwa apabila mendapati adanya fatwa yang berbeda dari dua mufti atau lembaga,
maka baginya untuk mendahulukan fatwa dari seseorang atau lembaga yang secara
luas diakui lebih berkompeten dalam mengeluarkan fatwa. Jika yang memintanya
tidak tahu mana yang yang paling berkompeten, maka boleh memilih mana yang
lebih “aman”.
5)
Orang atau pihak yang meminta
fatwa apabila hanya mendapati satu orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi
dalam berfatwa dan tidak ada orang atau lembaga lain yang mempunyai kompetensi
untuk berfatwa. Maka dirinya terikat dengan fatwa yang dikeluarkan oleh orang
atau lembaga tersebut.
6)
Orang atau pihak yang meminta fatwa
jika mendapati permasalahan yang sama yang pernah difatwakan, maka apakah ia
harus memintakan fatwanya? Ada dua perbedaan diantara para Ulama. Pertama,
meminta kembali menanyakan, karena boleh jadi berbeda dengan sebelumnya sesuai
dengan kondisi dan zaman. Kedua, tidak perlu, hanya perlu merujuk kepada
fatwa yang sudah ada.
7)
Orang atau pihak yang meminta
fatwa sebaiknya datang sediri secara langsung kapada Mufti.
8)
Orang atau pihak yang meminta
fatwa seyogyanya berprasangka baik dan berprilaku baik kepada mufti.
9)
Orang atau pihak yang meminta
fatwa seyogyanya tidak menuntut kepada mufti untuk menyertakan dalil berserta
argumentasi.
10) Orang atau pihak yang meminta fatwa jika tidak menemukan mufti
di daerahnya atau dimanapun maka ia tidak terkena taklif.
Mengingat
fatwa begitu penting dikalangan awam dalam menjalankan ibadahnya, maka setiap
mufti tidak boleh menolak apabila dimintai fatwa. Dalam hal ini Imam an-Nawawi
menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan huku fatwa.
Pertama,
berfatwa hukumnya fardhu kifayah, jika ada orang atau pihak yang menanyakan
suatu masalah maka wajib bagi orang yang mempunya kompetensi berfata
menjawabnya.
Kedua,
jika suatu fatwa itu sudah dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu hal fatwa
tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang mengeluarkan fatwa harus
memberitahukan orang yang meminta fatwa, bahwa fatwa yang telah dikeluarkan
terdahulu tidak sesuai.
Ketiga,
haram hukumnya bagi mufti untuk terlalu mudah mengeluarkan fatwa, dan jika
diketahui seperti itu maka haram bagi mustafi meminta fatwa kepadanya.
Keempat,
seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil psikis dan fisiknya,
sehingga bisa berfikir jernih dan menjaga kenetralannya dalam menetapkan hukum
suatu masalah.
Kelima,
seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber penghasilan untuk
kepentingan dirinya.
Keenam,
bagi mufti yang dalam menetapkan fatwa tetang hukum suatu masalha kemudian
dilain waktu ada pihak lain yang menanyakan masalah yang sama, maka mufti boleh
menyamakan dengan yang pertama dengan syarat masih ingat dalil-dalil dan
penjelasannya.
Ketujuh,
jika mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk kepada pendapat ulama madzhab
tertentu, maka harus didasarkan atas pendapat ulama yang terdapat dalam kitab
fiqh yang diakui.
Kedelapan,
ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan oleh peminta fatwa.
Kaidah
istinbat yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa:
1)
Metode Bayani
Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks al-Quran dan as-Sunnah
dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisis kebahasaan. Pembahasan metode
bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup
a)
Analisa bedasarkan segi makna
lafaz
b)
Analisa bedasarkan segi pemakaian
makna
c)
Analisa bedasarkan segi terang dan
samarnya makna
d)
Analisa bedasarkan segi penunjukan
lafaz kepada makna menurut maksud pencipta nash.
2)
Metode Ta’lili
Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu
kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat. Istinbat ini
ditunjukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada
kejadian yang sudah ada hukumnya karena adanya kesamaan illat.
3)
Metode Istishlahi
Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum
syara’ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang ketentuan
hukumnya tidak terdapat dalam nash, belum diputuskan dengan ijma’ dan
tidak memungkinan dengan qiyas atau istihsan.[6]
[1] Abdul
Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’iah AM, kamus istilah fiqh. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 1994 hal. 129
[2] Totok
jumantoro, samsul munir amin. Kamus
ilmu ushul fiqh. Jakarta: Amzah. 2005 hal 142
[3]
Jalaludin rahmat. Ijtihad dalam sorotan. Bandung: Mizan1998. hal. 23
[4] Totok
jumantoro, samsul munir amin. Kamus
ilmu ushul fiqh. Jakarta: Amzah. 2005 ha1. 110
[5]
Jalaludin rahmat. Ijtihad dalam sorotan. Bandung: Mizan1998. hal. 25
[6] Ma’ruf
Amin. Fatwa dalam system hukum Islam. Jakarta: Elsas. 2008 .hal 19-47
Label: HUKUM ISLAM
1 Komentar:
Terimakasih referensinya, semoga bermanfaat.
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda