Selasa, 17 Juli 2012

Implementasi Sayriat Islam dan Hukum Positif

Implementasi Sayri'at Islam dan Hukum Positif
Oleh: Ali Geno Berutu
  1. Pendahuluan
Penerapan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, dengan melaksanakan hukum “jilid” atau cambuk bagi pelaku tindak pidana perjudian telah menimbulkan perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Seakan-akan jenis hukuman ini adalah baru dalam khasanah ketentuan hukum pidana di Indonesia. Padahal pelaksanaan hukum pidana Islam di Indonesia telah dipraktekkan di berbagai kesultanan di Indonesia sebelum dikuasai oleh penjajah Belanda. Dalam disertasi doktornya, Rifyal Ka’bah menulis bahwa “sebelum kedatangan penjajah Belanda, hukum Islam telah merupakan hukum positif di kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di persada Indonesia” (Rifyal Ka’bah, 1999 : 264). Demikian juga berbagai data yang ditulis dalam disertasi doktor dari Abdul Gani Abdullah yang menulis tentang peradilan agama dalam pemerintahan Islam di kesultanan Bima 1947-1957 (lihat Gani Abdullah, 2004 )

Kenyataan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum Islam bukanlah hal baru dalam khasanah hukum Indonesia. Persoalannya adalah dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa setelah Indonesia merdeka masalah penerapan syari’at Islam ini menjadi aneh dan menimbulkan perdebatan publik yang luas. Sehingga menimbulkan banyak pertanyaan baru tentang sisi efektifitas dalam pelaksanaannya dan sisi penerapannya dalam bingkai negara bangsa. Bahkan terdapat kekhawatiran akan terjadi diskriminasi dalam pemberlakuan hukum agama dalam negara Indonesia. Benarkah anggapan demikian dalam praktik kenegaraan kita.

B. Pelaksanaan Syari’at Islam dan Hukum Positif Di Indonesia
Sebenarnya istilah syari’at Islam dapat mengandung dua makna, yaitu dalam makna luas dan makna yang sempit. Dalam makna yang luas syari’at Islam mencakup seluruh ajaran Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah termasuk aspek aqidah, ahlak, ibadah serta hukum-hukum mua’malah. Sedangkan dalam arti sempit Syari’ah Islam adalah hukum-hukum ibadah maupun mu’amalah (termasuk hukum pidana) yang biasa disebut fiqh. Istilah syari’at Islam dalam makalah ini adalah dalam pengertian yang sempit itu dan lebih khusus lagi adalah mengenai hukum pidana Islam.

Sebelum kedatangan penjajah Belanda hukum Islam ini sudah berlaku di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini. Akan tetapi setelah kedatangan penjajah Belanda penerapan syari’at Islam di persempit dalam bidang keperdataan saja khsususnya bidang hukum keluarga (pernikahan). Adapun bidang hukum pidana dan bidang hukum yang lainnya hanya dapat diterima apabila telah diresepsi ke dalam hukum adat sehingga menjadi kewenangan pengadilan Bumi Putera pada saat itu yaitu Landraad. Karena itulah Belanda mendirikan berbagai peradilan agama di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah, antara lain : Kerapatan Qadi, Mahkamah Syariyah dan lain-lain.

Pemerintah jajahan Belanda pada saat itu menerapkan adatrechtpolitik (Lihat Daniel S. Lev, 1990) di Hindia Belanda yaitu membiarkan hukum adat tetap berlaku bagi golongan Indonesia asli sedangkan bagi golongan Eropa berlaku hukum Belanda berdasarkan asas konkordansi dari hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Demikian juga bagi golongan Cina dan Timur Asing berlaku hukumnya masing-masing kecuali mereka menyatakan tunduk pada hukum golongan Eropa. Dengan berlakunya pluralisme hukum di Indonesia pada saat itu, pemerintah Belanda menerapakan suatu hukum untuk menjembataninya yaitu apa yang disebut dengan hukum antar golongan yang diterapkan manakala terjadi sengketa atau masalah antar orang yang tunduk pada hukum yang berbeda.

Setelah Indonesia merdeka, sumber pembentukan hukum nasional Indonesia adalah bersumber dari atau memperoleh pengaruh dari hukum Eropa warisan Belanda, hukum Islam serta hukum Adat ( baca Daniel S.Lev, 1990). Akan tetapi tetap membiarkan dan meneguhkan berlakunya hukum Islam bagi pemeluk Agama Islam pada bidang-bidang hukum keluarga (hukum perkawinan, hukum waris, waqaf, hibah dan wasiat) yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam baik secara formal dengan melakukan transplantasi syari’ah ke dalam hukum nasional Indonesia maupun dengan proses resepsi nilai-nilai syari’ah Islam tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh kalangan Islam.

Terdapat perkembangan yang semakin menarik setelah 50 tahun Indonesia merdeka. Saling pengaruh ketiga kelompok hukum ini mewarnai perdebatan politik hukum nasional Indonesia bahkan nampak terjadi gesekan-gesekan sosial dalam pembangunan hukum Indonesia, seperti dalam pembahasan mengenai undang-undang perkawinan, undang-undang pengadilan agama dan pada saat ini rancangan undang-undang hukum pidana. Walaupun harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum Eropa bahkan hukum Anglo-Amerika mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama dalam bidang hukum bisnis dan perdagangan, dan disusul oleh syari’at Islam terutama dalam bidang bisnis keuangan dan perbankan. Sementara hukum Adat jauh tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya dalam hukum pertanahan.

Pada bidang ibadah pemberlakuan syariat Islam tidak mendapat halangan sedikitpun. Hal ini disebabkan oleh faham sekularisme yang memandang bahwa hal-hal yang terkait dengan ibadah adalah urusan pribadi setiap orang dan urusan internal agama masing-masing yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Pada sisi lain, pemberlakuan hukum pidana atau hukum perdata Islam dalam negara mendapatkan tantangan perdebatan yang luas dari masyarakat karena akibat pandangan sekularisme juga, yang memandang bahwa hukum agama tidak bisa masuk dalam ranah negara atau publik.

Pasca lengsernya Soeharto pada Mei 1998 – yang kemudian kita kenal dengan Era Reformasi – melahirkan sejumlah fenomena yang mengindikasi penguatan “islam politik”. Bagi sebagian kalangan muslim ini membanggakan. Namun, mencemaskan bagi kalangan non muslim dan juga sebagaian kelompok Islam moderat lainnya.

Kecemasan yang terkait dengan fenomena tersebut berarti semakin menguatnya kontes dan pertarungan di antara berbagai kelompok untuk memperebutkan kekuasaan dan pemaknaan Islam. Sedangkan bagi kalangan non-Muslim dan sekuler, penguatan Islam politik berarti semakin menguatnya tuntutan untuk perubahan Indonesia menjadi “negara Islam” yang mereka nyakini hanya akan merugikan kepentingan-kepentingan mereka.

Pandangan ini disampaikan oleh Azyumardi Azra pada acara Klub Kajian Agama (KKA) Paramadina ke-206 di kampus Universitas Paramadina Jakarta, 28 April 2006 lalu.

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini menggambarkan di antara fenomena-fenomena penguatan Islam politik itu misalnya adalah: Pertama, munculnya parpol-parpol Islam yang menggunakan Islam sebagai asas untuk menggantikan Pancasila; kedua, meningkatnya aspirasi di kalangan Muslim di provinsi dan kabupaten/kotamadya tertentu untuk penerapan hukum Islam (syari’ah). Sementara bupati dan walikota dengan persetujuan DPRD mengeluarkan perda-perda berbau ‘syari’ah’; ketiga, munculnya kelompok-kelompok garis keras dan radikal, “seperti Lasykar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), Jamaah Ikhwanul Muslimin (JAMI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan semacamnya,” contoh Azra. Keempat, meningkatnya penggunaan simbolisme dan praksis Islam seperti jihad dalam konflik komunal di Ambon, Poso, dll.; kelima, maraknya penggunaan istilah-istilah dan konsep-konsep fiqh siyasah seperti bughat dan jihad. Dikalangan kiyai NU untuk mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid sebelum dilengserkan pada SI MPR 23 Juli 2001; dan keenam, terungkapnya jaringan orang-orang atau kelompok radikal – seperti Amrozi, Imam Samudra dll. – yang menggunakan idiom-idiom dan konsep-konsep Islam untuk menjustifikasi tindakan teror yang mereka lakukan di Bali pada 12 Oktober 2002, Marriot Hotel pada 2003 di Jakarta, dan bom Kedubes Australia di Jakarta di tengah suasana Pemilu 2004; berikutnya bom Bali II, Oktober 2005.

Semua ini, menurut Azra, merupakan indikator tentang semakin meningkatnya use and abuse simbolisme dan konsep Islam dalam politik. “Seberapa jauh efektifitas penggunaan simbolisme, konsep dan praksis Islam dalam politik masih harus dikaji lebih jauh”, lanjut Azra.

Dalam pandangan pengamat politik Islam kontemporer ini, sejumlah indikator yang agaknya dapat merupakan trend tentatif menunjukkan inefektifitas agama dalam politik Indonesia mutakhir. Menurutnya, hal ini ditandai oleh: Petama, parpol-parpol Islam gagal memenangkan Pemilu 1999 dan 2004; kedua, usaha penerapan syari’ah berbenturan dengan komplikasi politis, legal-kostitusional, dan kultural-sosiologis. Ketiga, kelompok-kelompok garis keras cenderung tidak populer, karena selain ditentang kelompok mainstreem moderat Muslim, juga makin mendapatkan tekanan dari kepolisian; keempat, penggunaan konsep fiqh siayasah klasik seperti bughat dan jihad gagal mengubah political cours Indonesia, sehingga Gus Dur tetap dilengserkan dalam SI MPR 2001. kelima, penggunaan kekerasan yang dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawannya tidak hanya gagal mencapai tujuannya, tetapi lebih celaka lagi menimbulkan citra buruk bagi Islam dan kaum Muslimin umumnya.

Meski tidak menjelaskan gejala inefektifitas itu secara luas, Azra memaparkan bahwa berbagai gejala tadi menunjukkan dinamika internal di kalangan umat Islam sendiri sebagai respon terhadap perkembangan sosial-politik Indonesia secara keseluruhan maupun terhadap berbagai perkembangan pada tingkat internasional. Secara internal, kata Azra, Indonesia dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto memunculkan euforia kebebasan dan demokrasi; “sampai sekarang equilibrium, misalnya, antara euforia demokrasi pada satu pihak dengan respek dan ketaatan kepada tatanan hukum dan ketertiban (law and order) di pihak lain.” Jelasnya.

Namun demikian, gejala inefektivitas itu dalam konteks sosial-politik Indonesia mutakhir bisa saja berubah. Faktanya, meski terlalu dini untuk dijadikan kesimpulan akhir, setelah gagal melalui jalur “atas” (pemerintahan pusat), kini demam “syari’at” justru merambah dari tingkat bawah. Munculnya berbagai perda berbau/bernuansa syari’ah pada tiga tahun terakhir menunjukkan fenomena itu.

Perda-perda tersebut antara lain: Perda No. 05/2003 tentang berpakaian Muslimah dan Perda No. 06/2003 tentang Pandai Baca-Tulis Al-Qur’an bagi siswa dan Calon Pengantin, di Bulukumba Sulawesi Selatan; Surat Edaran No. 061/2896/Org tentang Anjuran Pemakaian Seragam Kerja (Muslim/Muslimah) pada hari-hari kerja di Cianjur, Jawa Barat; Instruksi Walikota No. 451.442/Binsos-III/2005 tentang Kewajiban berbusana Muslim di Padang, Sumataera Barat; Surat Gubernur No.003.1/UM/08.1 tentang Pembuatan Papan Nama Arab Melayu di Riau; dan Perda No. 155, 16, 17/Desember 2005 tentang Buta Aksara Al-Qur’an, Busana Muslim, dan Pengelolaan Zakat.

Sejumlah perda, surat edaran, dan intruksi pejabat pemerintah daerah tersebut bisa jadi merupakan langkah awal yang nyata untuk mewujudkan negeri syari’ah. Perda-perda tersebut memang memiliki niatan baik agar masyarakat menjadi lebih baik, harmonis, damai. Namun jika tujuan ini meleset, tentu harus ada yang ditinjau ulang. Apakah aturannya, ataukan pelaksanannya.

Didalam islam, tradisi hukum merupakan tradisi yang sangat kaya. Tradisi ini telah melahirkan beribu-ribu kitab fiqh yang mengatur setiap aspek permasalahan. Islam merupakan agama kedua yang sangat legalistik setelah yahudi. Meskipun umat islam meyakini bahwa tradisi islam merupakan tradisi pertengahan antara tradisi yahudi yang legalistik dan tradisi nasrani yang non-legalistik, akan tetapi kecenderungan pertama nampaknya lebih menonjol. Bebarapa kelompok dari umat ini meyakini bahwa hanya dengan menerapkan hukum-hukum tersebut umat islam mampu meraih kejayaan sebagai khairu ummah seperti yang dijanjikan tuhan.

Dalam benak beberapa kelompok islamis, hukum islam memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i. Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut bisa dianggap sebagai kekufuran. Meski demikian, masyarakat islam secara luas kurang begitu bersemangat dengan isu penerapan hukum islam ini.

Di dunia islam sendiri, beberapa negara yang mencoba menerapkan syariat islam dalam ruang publik selalu menghadapi banyak pergolakan. Tidak jarang penerapan hukum islam harus dikawal dengan pemerintahan yang represif agar tidak menimbulkan banyak pertentangan.

Kenyataan lain yang juga merupakan pil pahit bagi masyarakat muslim adalah: keberadaan rival mereka di barat. Masyarakat disana bisa mencapai kemajuan tanpa harus mengait-ngaitkan dengan agama apalagi hukum tuhan. Masyarakat barat sudah lama meninggalkan keterkaitan agama dengan hal-hal duniawi. Bagi beberapa kelompok islamis, kenyataan ini merupakan aib bagi islam dan agama itu sendiri. Oleh karena itu, tidak henti-hentinya beberapa kelompok ekstrim dari umat ini mencela kebobrokan masyarakat barat, mencari-cari aibnya dan tidak lupa mencerca segala apapun yang berasal dari barat seperti HAM, demokrasi, sistem hukum modern , dan nasionalisme.

Disini saya ingin sedikit menjelaskan perbedaan pandangan antara hukum islam dengan hukum modern atau sistem hukum barat. Yang mana keduanya melahirkan perbedaan yang besar pula didalam masyarakat yang menerapkannya.

Pertama, Teori hukum modern memiliki karakter tersendiri. Sifat dari hukum modern adalah fleksibel dan mampu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Karena tidak mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah sesuai dengan keperluan. Hal ini lah yang sering menjadi tuduhan kaum ”fanatik islam bahwa hukum modern (”hukum buatan manusia” dalam terminologi mereka, sebagai lawan dari hukum buatan Allah yang mereka anggap lebih unggul) selalu berubah sesuai dengan kehendak nafsu manusia.

Akan tetapi, meski hukum positif mengalami banyak perubahan, perubahan tersebut tidak bisa dibuat seenak perutnya. Pembuatan atau perubahan Undang-undang selalu harus melibatkan partisipasi warga masyarakat melalui para wakilnya di parlemen. Proses inilah yang kemudian akan melahirkan check and balance, yang akan menjadi penilai apakah undang-undang tersebut sesuai dengan maslahat rakyat banyak atau tidak. Oleh karena itu, pembuatan atau perubahan suatu undang-undang sering berjalan a lot dan kadang menimbulkan banyak kekisruhan. Namun dibalik itu semua, akan timbul kepuasan, karena undang-undang yang lahir merupakan hasil konsesus. Bila tidak ada kepuasan dikemudian hari, kita bisa mengajukan untuk diadakannya suatu judicial review atau uji materi. Hal itu semua bisa dilakukan tanpa harus merasa khawatir kita telah melanggar batas-batas ketentuan tuhan. Karena sekali lagi hukum positif atau hukum modern tidak memiliki keskaralan apapun.

Karakter lain yang membedakan hukum modern dengan hukum agama adalah, dilihat dari isi atau materi yang dikandungnya. Hukum modern dibuat atas dasar kepentingan dan maslahat bersama. Apa yang menjadi kebaikan bagi rakyat banyak maka hal itulah yang diundangkan. Hukum modern tidak memandang dirinya mengetahui segala hal. Ada batas-batas dimana hukum tidak bisa menjawab semua persoalan yang ada dan diperlukan ketentuan baru untuk mengaturnya. Sedangkan, kelompok-kelompok islam yang memaksa ingin menerapkan hukum islam, memandang bahwa hukum tersebut tahu akan semua kebutuhan manusia, dan tahu apa yang baik dan tidak baik bagi manusia. Dalam pandangan yang lebih ekstrim, penerapan hukum tuhan secara kaafah dipandang sebagai jalan|(satu-satunya) untuk mencapai kemajuan dunia islam. Para fundamentalis ini memandang hukum islam sebagai bagian sistem islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para penganut pemahaman seperti ini biasanya sangat keras dengan mereka yang tidak sepaham.

Yang terakhir apa yang membedakan hukum islam dengan hukum modern adalah, hukum islam mengatur semua aspek kehidupan dari mulai urusan pribadi (private) sampai dengan urusan publik  (kenyataannya banyak hal yang hukum islam masih absen didalamnya seperti teknologi informasi, perdagangan bebas, aplikasi teknologi dalam kehidupan manusia, paling banter fatwa yang keluar hanya seputar ini boleh ini haram tanpa ada penjelasan mendetail yang bisa mencerdaskan). Gonjang-ganjing perubahan Undang-undang penanaman modal bisa kita ambil sebagai contoh yang menarik. Undang-undang investasi atau penanamn modal ini sangatlah penting karena menyangkut kehidupan perekonomian rakyat banyak. Namun, kebanyakan para penyeru syariat islam speechless dengan isu yang satu ini . Kalaupun ada mereka umumnya hanya meneriakan argumen dan slogan-slogan lama kalau undang-undang penanaman modal tersebut hanya merugikan rakyat dan hanya berpihak kepada pemodal atau kapitalis. Slogan-slogan demikian hanyalah repetisi dari jargon-jargon kaum kiri, yang kalau mau jujur saya masih bisa mengapresiasi kritik kaum kiri karena argumen yang mereka lontarkan jauh lebih baik ketimbang kelompok islamis. Kelompok-kelompok islam hanya latah ikut menentang undang-undang penanaman modal tanpa tahu persis duduk perkaranya.

Lebih jauh lagi, dalam pandangan kaum islamis, apa yang dianggap sebagai fardhu ‘ain atau yang menyangkut halal-haram, maka hal tersebut boleh di interfensi. Kalau perlu dengan menggunakan aparatus negara seperti polisi. Meskipun hal tersebut menyangkut urusan yang sifatnya pribadi atau private. Contohnya, jika anda tidak sholat, maka anda akan dihukum karena menelantarkan kewajiban agama yang telah diatur oleh negara. Didalam hukum modern agama atau keyakinan seseorang dimasukan kedalam wilayah private yang negara tidak berhak ikut campur mengurusnya. Begitu juga masalah pakaian, pergaulan dan masih banyak lagi. Ada kesan bahwa hukum islam yang ingin diterapkan kelompok islamis menghendaki keseragaman, baik bagi pemeluknya maupun warga negaranya.

Sedangkan, hukum modern lebih menekankan pada pengaturan hukum publik. Hanya hukum publik saja yang diatur dan dapat di intervensi oleh pemerintah. Adapun yang menjadi kepentingan pribadi diatur oleh masing-masing individu (pembagian hukum publik dan private merupakan ciri khas dari sistem hukum eropa kontinental. Namun demikian, sistem hukum anglo saxon atau common law memiliki karakter yang sama meski tidak menyebutkan hukum private secara eksplisit). Kalaupun diatur dalam peraturan tertentu, maka penyelesaiannya kembali pada individu masing-masing. Dalam hal ini negara hanya memfasilitasi saja. Hukum modern tidak mengatur secara detail apa yang termasuk kedalam wilayah pribadi seperti keyakinan beragama, masalah pakaian, etika pergaulan atau keluarga. Hal-hal tersebut cukup dikembalikan pada pada individu dan masyarakat masing-masing.

Faktor ketiga inilah yang paling penting. ketika negara tidak mengintervensi kehidupan pribadi warganya, maka warga memiliki kebebasan untuk berbuat banyak hal tanpa harus merasa diawasi. Kebebasan individu merupakan pra-syarat utama kemakmuran suatu bangsa. Kemajuan negara-negara industri modern adalah karena negara disana tidak mengintervensi kehidupan pribadi warganya secara mendetail.
Sistem hukum barat ini termasuk salah satu lembaga yang penting dalam kehidupan modern. Hal ini dikarenakan, sistem hukum barat memiliki keluwesan yang tidak dimiliki oleh hukum agama atau hukum islam. Yang lebih penting lagi, perdebatan yang terjadi didalam proses pembuatan atau perubahan hukum modern yang sekuler ini tidak membawa pada efek yang serius seperti pengkafiran atau label sesat lainnya. Perdebatan seputar hukum modern dianggap sebagai suatu yang wajar sehingga dapat merangsang ide-ide cemerlang dalam merumuskan kemaslahatan bersama.

Saya rasa, dunia islam kurang menyadari bagaimana unggulnya sistem hukum yang modern dalam hal yang satu ini. Keinginan beberapa negara arab yang kaya (seperi saudi), yang ingin memajukan dunia islam dengan memberikan beasiswa untuk belajar agama dan teknologi; kemungkinan tidak akan tercapai jika tanpa didasari oleh pemikiran kritis yang hanya ada dalam ilmu-ilmu sosial termasuk sistem hukum modern didalamnya.
Sumber: cispos.blogspot.com
Daftar Pustaka:
  1. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999
  2. Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima (1947-1957), Yayasan Lengge, Mataram, 2004


BACA JUGA:

Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187. https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/istinbath/article/view/290

Berutu, Ali G. 2019. “TAFSIR AL-MISBAH MUHAMMAD QURAISH SHIHAB.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.23808.17926. https://osf.io/9vx5y

Berutu, Ali Geno. "Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP." Muslim Heritage 2, no. 1 (2017): 87-106. https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/muslimheritage/article/view/1047

Berutu, Ali Geno. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada, 2020. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=3RUIEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA18&dq=ali+geno+berutu&ots=B7PSoIA0Vo&sig=Qc0-7mi9S0XAwTX2aWq8nSvAAnY&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false

Berutu, Ali Geno. Pasar Modal Syariah Indonesia: Konsep dan Produk. LP2M Press/Ali Geno Berutu, 2020. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=csAXEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR9&dq=ali+geno+berutu&ots=ge6Ba3mKCZ&sig=oMQEGQlsSIO6LrN7PRfBYnNcjko&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false

Berutu, Ali Geno, and M. A. Hk. PEMIKIRAN HUKUM ISLAM MODERN. Ali Geno Berutu, 2021. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=zERtEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP2&dq=ali+geno+berutu&ots=SOxCr4RyCL&sig=cjr2BtMb7Gv5Mb7AkgE5WhAHrQQ&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false

Berutu, Ali G. 2019. “ACEH DAN SYARIAT ISLAM.” OSF Preprints. December 14. doi:10.31219/osf.io/q5b8n. https://osf.io/q5b8n

Suryani, Eka Yuni, and Ali Geno Berutu. "Analisis Hukum Ekonomi Islam Terhadap Penetapan Fee Transaksi BRILink." Journal of Sharia Economic Law, July. https://doi. org/10.21043/tawazun. v4i1 (2022).

Berutu, Ali Geno. "Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014." Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam 16, no. 2 (2017).

Berutu, Ali Geno. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu, 2016. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=8wYWEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA86&dq=ali+geno+berutu&ots=sVbKMetaVS&sig=r-23oSVnbJfJqmRp15fF3zdO05U&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false

Berutu, Ali Geno. "MEMAHAMI SAHAM SYARIAH: Kajian Atas aspek legal dalam pandangan Hukum Islam di Indonesia." VERITAS 6, no. 2 (2020): 160-186. https://uia.e-journal.id/veritas/article/view/599

Berutu, Ali Geno. "Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan KUHP dan Hukum Pidana Islam." TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law 2, no. 1 (2019): 1-18. https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/61101609/Ali_Geno_Berutu20191102-80345-ky928b-libre.pdf?1572699522=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DTindak_Pidana_Kejahatan_Pencucian_Uang_M.pdf&Expires=1672980906&Signature=ceHr0CpyoEgGM0LiEziHnCkQ-jIp5N1FmIYDe-Yy~lVVHQYF6nCqa5SNraGAaKScdzYDWbH6j57U6w6vwwBxhte5RmAmkqAMlOXYFO8uNKeIdVLexB~ifK9M6bYdFArrrTFGdqHWEpu1erekhcmLhpGJfIPdpFF25hNgMNvTpsUpqsYVLZ~2nBv9U39GmaPuJod53oGS5be1m2bFkAmRiqF4eere0JuaEHk7SLUy4OpkmUdKTE8TIVoWc0Sr9KSFEsS~I26e4L4TXvDsZ08IGaH-rPPX~Jfr1PeeI7Vbh07mLC-S0LSzq7XCaqmdM53Qv-rBERvwIBPDcCqtmNP8dg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA

Berutu, Ali G. 2019. “SEA MUSLIM MINORITAS: SOUTH THAILAND/PATTANI, SOUTH PHILIPPINES/MINDANAU AND THAILAND.” OSF Preprints. December 15. doi:10.31219/osf.io/cfwvp. https://osf.io/cfwvp

Berutu, Ali G. 2019. “QAWA’ID FIQHIYYAH ASASIYYAH.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.15419.57121. https://osf.io/24txd

Berutu, Ali Geno. "Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh." ARISTO 4, no. 2 (2016): 31-46. https://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo/article/view/187

Berutu, Ali G. 2019. “ISLAM DI EROPA.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.30519.06561. https://osf.io/bnfkd

Berutu, Ali Geno. "MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH." (2020). https://www.researchgate.net/profile/Ali-Geno-Berutu/publication/338844482_MAHKAMAH_SYAR'IYAH_DAN_WILAYATUL_HISBAH_SEBAGAI_GARDA_TERDEPAN_DALAM_PENEGAKAN_QANUN_JINAYAT_DI_ACEH/links/5e31c20892851c7f7f0c1807/MAHKAMAH-SYARIYAH-DAN-WILAYATUL-HISBAH-SEBAGAI-GARDA-TERDEPAN-DALAM-PENEGAKAN-QANUN-JINAYAT-DI-ACEH.pdf

Berutu, Ali Geno. "Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh." Istinbath: Jurnal Hukum 14, no. 2 (2017): 148-169. https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/istinbath/article/view/951

Berutu, Ali Geno. "Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam)." (2019). https://www.researchgate.net/profile/Ali-Geno-Berutu/publication/338057096_Penerapan_Qanun_Aceh_Nomor_14_Tahun_2003_Tentang_Khalwat_Mesum_Studi_Kasus_Penerapan_Syariat_Islam_di_Kota_Subulussalam/links/5e2adab9a6fdcc70a146e777/Penerapan-Qanun-Aceh-Nomor-14-Tahun-2003-Tentang-Khalwat-Mesum-Studi-Kasus-Penerapan-Syariat-Islam-di-Kota-Subulussalam.pdf

Berutu, Ali Geno. "Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7 (2019). https://www.researchgate.net/profile/Ali-Geno-Berutu/publication/337655796_PERAN_POLRI_KEJAKSAAN_DAN_MAHKAMAH_ADAT_ACEH_DALAM_PENEGAKAN_SYARIAT_ISLAM_DI_ACEH/links/5de3444a4585159aa457947d/PERAN-POLRI-KEJAKSAAN-DAN-MAHKAMAH-ADAT-ACEH-DALAM-PENEGAKAN-SYARIAT-ISLAM-DI-ACEH.pdf

Berutu, Ali G. 2019. “NIKAH DIBAWAH TANGAN DAMPAK DAN SOLUSINYA.” OSF Preprints. December 14. doi:10.31219/osf.io/x2bq3. https://osf.io/x2bq3

Berutu, Ali Geno Geno. "Migrasi dan Problematika Minoritas Muslim di Asia." Islamic Management and Empowerment Journal 1, no. 2 (2019): 230-246. https://www.e-journal.iainsalatiga.ac.id/index.php/imej/article/view/3450

Berutu, Ali Geno. "PUMP AND DOWN IN JIWASRAYA INVESTATION AND THE ABSENCE OF ISLAMIC ECONOMY LAW PRINCIPLES." Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah 11, no. 2 (2020): 328-351. https://pdfs.semanticscholar.org/75e1/386db7c8b507ae6d239ff11db65f46548032.pdf

Berutu, Ali G. 2022. “PASAR MODAL SYARIAH INDONESIA Konsep Dan Produk.” OSF Preprints. July 18. doi:10.31219/osf.io/2n7tw. https://osf.io/2n7tw

Berutu, Ali Geno. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh. CV. Pena Persada, 2020. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=odoGEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=ali+geno+berutu&ots=kwx3bpNHyT&sig=F_UpfZPjV8OGcIxFshbj55jLZ-g&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false

Berutu, Ali Geno. "ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA." JIL: Journal of Indonesian Law 2, no. 2 (2021): 202-225. https://www.e-journal.iainsalatiga.ac.id/index.php/jil/article/view/6922

Berutu, Ali G. 2019. “Penerapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar Dan Sejenisnya Di Wilayah Hukum Kota Subulassalam.” OSF Preprints. December 15. doi:10.31219/osf.io/29r5e. https://osf.io/29r5e

Berutu, Ali G. 2020. “KEKUASAAN ALLAH DAN HUKUM ISLAM BAGI MANUSIA DAN ALAM.” OSF Preprints. October 18. doi:10.31219/osf.io/ys45a. https://osf.io/ys45a

Berutu, Ali G. 2019. “METODOLOGI PENELITIAN NOENG MUHAJIR.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.20452.73607. https://osf.io/nhf6t

Berutu, Ali G. 2019. “REVIEW DISERTASI: FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA.” OSF Preprints. December 14. doi:10.31219/osf.io/693ar. https://osf.io/693ar

Berutu, Ali G. 2019. “STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.24647.04009. https://osf.io/sx4hf

Berutu, Ali G. 2019. “KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN PIDANA BADAN (CORPORAL PUNISHMENT) DI INDONESIA.” OSF Preprints. December 14. doi:10.31219/osf.io/ncgex. https://osf.io/ncgex

Berutu, Ali G. 2019. “KETENTUAN HUKUM-HUKUM TUHAN.” OSF Preprints. December 20. doi:10.31219/osf.io/re5w9. https://osf.io/re5w9

Berutu, Ali G. 2019. “RESUME PENDEKATAN ANTROPOLOGI DAVID N GELLNER.” OSF Preprints. December 14. doi:10.31219/osf.io/6w45z. https://osf.io/6w45z

Berutu, Ali G. 2019. “ILMU PENGETAHUAN: TEORI DAN TERAPAN.” OSF Preprints. December 20. doi:10.31219/osf.io/j2gey. https://osf.io/j2gey

Berutu, Ali Geno. "PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014." El-Mashlahah 9, no. 2 (2019). https://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/maslahah/article/view/1294

Berutu, Ali Geno. "HUKUMAN MATI BAGI ORANG YANG MURTAD."

Berutu, A.G., 2012. PANCASILA DAN SYARIAT ISLAM. Indonesian Journal of Inter-Religious Studies1(2), p.109. https://www.researchgate.net/profile/Ali-Geno-Berutu/publication/337656036_PANCASILA_DAN_SYARIAT_ISLAM/links/5de3554f4585159aa4579607/PANCASILA-DAN-SYARIAT-ISLAM.pdf

Berutu, Ali G. 2019. “NEGARA DAN AGAMA.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.20452.73607. https://osf.io/yuxh7

Barutu, A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158). https://shariajournals-uinjambi.ac.id/index.php/al-risalah/article/view/318

 


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda