Oleh: Ali Geno Berutu
- Pendahuluan
Penerapan syari’at Islam
di Nanggroe Aceh Darussalam, dengan melaksanakan hukum “jilid” atau cambuk bagi
pelaku tindak pidana perjudian telah menimbulkan perdebatan hangat di kalangan
masyarakat. Seakan-akan jenis hukuman ini adalah baru dalam khasanah ketentuan
hukum pidana di Indonesia. Padahal pelaksanaan hukum pidana Islam di Indonesia
telah dipraktekkan di berbagai kesultanan di Indonesia sebelum dikuasai oleh
penjajah Belanda. Dalam disertasi doktornya, Rifyal Ka’bah menulis bahwa “sebelum
kedatangan penjajah Belanda, hukum Islam telah merupakan hukum positif di
kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di persada Indonesia” (Rifyal Ka’bah, 1999
: 264). Demikian juga berbagai data yang ditulis dalam disertasi doktor dari
Abdul Gani Abdullah yang menulis tentang peradilan agama dalam pemerintahan
Islam di kesultanan Bima 1947-1957 (lihat Gani Abdullah, 2004 )
Kenyataan ini menunjukkan
bahwa pelaksanaan hukum Islam bukanlah hal baru dalam khasanah hukum Indonesia.
Persoalannya adalah dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa setelah
Indonesia merdeka masalah penerapan syari’at Islam ini menjadi aneh dan
menimbulkan perdebatan publik yang luas. Sehingga menimbulkan banyak pertanyaan
baru tentang sisi efektifitas dalam pelaksanaannya dan sisi penerapannya dalam
bingkai negara bangsa. Bahkan terdapat kekhawatiran akan terjadi diskriminasi
dalam pemberlakuan hukum agama dalam negara Indonesia. Benarkah anggapan
demikian dalam praktik kenegaraan kita.
B. Pelaksanaan
Syari’at Islam dan Hukum Positif Di Indonesia
Sebenarnya istilah
syari’at Islam dapat mengandung dua makna, yaitu dalam makna luas dan makna
yang sempit. Dalam makna yang luas syari’at Islam mencakup seluruh ajaran Islam
yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah termasuk aspek aqidah, ahlak,
ibadah serta hukum-hukum mua’malah. Sedangkan dalam arti sempit Syari’ah Islam
adalah hukum-hukum ibadah maupun mu’amalah (termasuk hukum pidana) yang biasa
disebut fiqh. Istilah syari’at Islam dalam makalah ini adalah dalam pengertian
yang sempit itu dan lebih khusus lagi adalah mengenai hukum pidana Islam.
Sebelum kedatangan
penjajah Belanda hukum Islam ini sudah berlaku di kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara ini. Akan tetapi setelah kedatangan penjajah Belanda penerapan
syari’at Islam di persempit dalam bidang keperdataan saja khsususnya bidang
hukum keluarga (pernikahan). Adapun bidang hukum pidana dan bidang hukum yang
lainnya hanya dapat diterima apabila telah diresepsi ke dalam hukum adat
sehingga menjadi kewenangan pengadilan Bumi Putera pada saat itu yaitu
Landraad. Karena itulah Belanda mendirikan berbagai peradilan agama di
Indonesia dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah, antara lain :
Kerapatan Qadi, Mahkamah Syariyah dan lain-lain.
Pemerintah jajahan
Belanda pada saat itu menerapkan adatrechtpolitik (Lihat Daniel S.
Lev, 1990) di Hindia Belanda yaitu membiarkan hukum adat tetap berlaku bagi
golongan Indonesia asli sedangkan bagi golongan Eropa berlaku hukum Belanda
berdasarkan asas konkordansi dari hukum yang berlaku di Negeri Belanda.
Demikian juga bagi golongan Cina dan Timur Asing berlaku hukumnya masing-masing
kecuali mereka menyatakan tunduk pada hukum golongan Eropa. Dengan berlakunya
pluralisme hukum di Indonesia pada saat itu, pemerintah Belanda menerapakan
suatu hukum untuk menjembataninya yaitu apa yang disebut dengan hukum antar
golongan yang diterapkan manakala terjadi sengketa atau masalah antar orang
yang tunduk pada hukum yang berbeda.
Setelah Indonesia
merdeka, sumber pembentukan hukum nasional Indonesia adalah bersumber dari atau
memperoleh pengaruh dari hukum Eropa warisan Belanda, hukum Islam serta hukum
Adat ( baca Daniel S.Lev, 1990). Akan tetapi tetap membiarkan dan meneguhkan
berlakunya hukum Islam bagi pemeluk Agama Islam pada bidang-bidang hukum
keluarga (hukum perkawinan, hukum waris, waqaf, hibah dan wasiat) yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama. Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam baik
secara formal dengan melakukan transplantasi syari’ah ke dalam hukum nasional
Indonesia maupun dengan proses resepsi nilai-nilai syari’ah Islam tetap
dilakukan dan diperjuangkan oleh kalangan Islam.
Terdapat perkembangan
yang semakin menarik setelah 50 tahun Indonesia merdeka. Saling pengaruh ketiga
kelompok hukum ini mewarnai perdebatan politik hukum nasional Indonesia bahkan
nampak terjadi gesekan-gesekan sosial dalam pembangunan hukum Indonesia,
seperti dalam pembahasan mengenai undang-undang perkawinan, undang-undang
pengadilan agama dan pada saat ini rancangan undang-undang hukum pidana.
Walaupun harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum Eropa
bahkan hukum Anglo-Amerika mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama dalam
bidang hukum bisnis dan perdagangan, dan disusul oleh syari’at Islam terutama
dalam bidang bisnis keuangan dan perbankan. Sementara hukum Adat jauh
tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya dalam hukum pertanahan.
Pada bidang ibadah
pemberlakuan syariat Islam tidak mendapat halangan sedikitpun. Hal ini
disebabkan oleh faham sekularisme yang memandang bahwa hal-hal yang terkait
dengan ibadah adalah urusan pribadi setiap orang dan urusan internal agama
masing-masing yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Pada sisi lain,
pemberlakuan hukum pidana atau hukum perdata Islam dalam negara mendapatkan
tantangan perdebatan yang luas dari masyarakat karena akibat pandangan
sekularisme juga, yang memandang bahwa hukum agama tidak bisa masuk dalam ranah
negara atau publik.
Pasca
lengsernya Soeharto pada Mei 1998 – yang kemudian kita kenal dengan Era
Reformasi – melahirkan sejumlah fenomena yang mengindikasi penguatan “islam
politik”. Bagi sebagian kalangan muslim ini membanggakan. Namun, mencemaskan
bagi kalangan non muslim dan juga sebagaian kelompok Islam moderat lainnya.
Kecemasan yang
terkait dengan fenomena tersebut berarti semakin menguatnya kontes dan
pertarungan di antara berbagai kelompok untuk memperebutkan kekuasaan dan
pemaknaan Islam. Sedangkan bagi kalangan non-Muslim dan sekuler, penguatan
Islam politik berarti semakin menguatnya tuntutan untuk perubahan Indonesia
menjadi “negara Islam” yang mereka nyakini hanya akan merugikan
kepentingan-kepentingan mereka.
Pandangan ini
disampaikan oleh Azyumardi Azra pada acara Klub Kajian Agama (KKA) Paramadina
ke-206 di kampus Universitas Paramadina Jakarta, 28 April 2006 lalu.
Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini menggambarkan di antara
fenomena-fenomena penguatan Islam politik itu misalnya adalah: Pertama,
munculnya parpol-parpol Islam yang menggunakan Islam sebagai asas untuk
menggantikan Pancasila; kedua, meningkatnya aspirasi di kalangan Muslim di
provinsi dan kabupaten/kotamadya tertentu untuk penerapan hukum Islam
(syari’ah). Sementara bupati dan walikota dengan persetujuan DPRD mengeluarkan
perda-perda berbau ‘syari’ah’; ketiga, munculnya kelompok-kelompok garis keras
dan radikal, “seperti Lasykar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), Jamaah Ikhwanul
Muslimin (JAMI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), dan semacamnya,” contoh Azra. Keempat, meningkatnya penggunaan
simbolisme dan praksis Islam seperti jihad dalam konflik komunal di Ambon,
Poso, dll.; kelima, maraknya penggunaan istilah-istilah dan konsep-konsep fiqh
siyasah seperti bughat dan jihad. Dikalangan kiyai NU untuk mempertahankan
Presiden Abdurrahman Wahid sebelum dilengserkan pada SI MPR 23 Juli 2001; dan
keenam, terungkapnya jaringan orang-orang atau kelompok radikal – seperti
Amrozi, Imam Samudra dll. – yang menggunakan idiom-idiom dan konsep-konsep
Islam untuk menjustifikasi tindakan teror yang mereka lakukan di Bali pada 12
Oktober 2002, Marriot Hotel pada 2003 di Jakarta, dan bom Kedubes Australia di
Jakarta di tengah suasana Pemilu 2004; berikutnya bom Bali II, Oktober 2005.
Semua ini,
menurut Azra, merupakan indikator tentang semakin meningkatnya use and abuse simbolisme
dan konsep Islam dalam politik. “Seberapa jauh efektifitas penggunaan
simbolisme, konsep dan praksis Islam dalam politik masih harus dikaji lebih
jauh”, lanjut Azra.
Dalam pandangan
pengamat politik Islam kontemporer ini, sejumlah indikator yang agaknya dapat
merupakan trend tentatif menunjukkan inefektifitas agama dalam politik
Indonesia mutakhir. Menurutnya, hal ini ditandai oleh: Petama, parpol-parpol
Islam gagal memenangkan Pemilu 1999 dan 2004; kedua, usaha penerapan syari’ah
berbenturan dengan komplikasi politis, legal-kostitusional, dan
kultural-sosiologis. Ketiga, kelompok-kelompok garis keras cenderung tidak
populer, karena selain ditentang kelompok mainstreem moderat Muslim, juga makin
mendapatkan tekanan dari kepolisian; keempat, penggunaan konsep fiqh siayasah
klasik seperti bughat dan jihad gagal mengubah political cours Indonesia,
sehingga Gus Dur tetap dilengserkan dalam SI MPR 2001. kelima, penggunaan
kekerasan yang dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawannya tidak hanya gagal
mencapai tujuannya, tetapi lebih celaka lagi menimbulkan citra buruk bagi Islam
dan kaum Muslimin umumnya.
Meski tidak
menjelaskan gejala inefektifitas itu secara luas, Azra memaparkan bahwa
berbagai gejala tadi menunjukkan dinamika internal di kalangan umat Islam
sendiri sebagai respon terhadap perkembangan sosial-politik Indonesia secara
keseluruhan maupun terhadap berbagai perkembangan pada tingkat internasional.
Secara internal, kata Azra, Indonesia dengan tumbangnya kekuasaan Presiden
Soeharto memunculkan euforia kebebasan dan demokrasi; “sampai sekarang
equilibrium, misalnya, antara euforia demokrasi pada satu pihak dengan respek
dan ketaatan kepada tatanan hukum dan ketertiban (law and order) di pihak
lain.” Jelasnya.
Namun demikian,
gejala inefektivitas itu dalam konteks sosial-politik Indonesia mutakhir bisa
saja berubah. Faktanya, meski terlalu dini untuk dijadikan kesimpulan akhir,
setelah gagal melalui jalur “atas” (pemerintahan pusat), kini demam “syari’at”
justru merambah dari tingkat bawah. Munculnya berbagai perda berbau/bernuansa
syari’ah pada tiga tahun terakhir menunjukkan fenomena itu.
Perda-perda
tersebut antara lain: Perda No. 05/2003 tentang berpakaian Muslimah dan Perda
No. 06/2003 tentang Pandai Baca-Tulis Al-Qur’an bagi siswa dan Calon Pengantin,
di Bulukumba Sulawesi Selatan; Surat Edaran No. 061/2896/Org tentang Anjuran
Pemakaian Seragam Kerja (Muslim/Muslimah) pada hari-hari kerja di Cianjur, Jawa
Barat; Instruksi Walikota No. 451.442/Binsos-III/2005 tentang Kewajiban
berbusana Muslim di Padang, Sumataera Barat; Surat Gubernur No.003.1/UM/08.1
tentang Pembuatan Papan Nama Arab Melayu di Riau; dan Perda No. 155, 16,
17/Desember 2005 tentang Buta Aksara Al-Qur’an, Busana Muslim, dan Pengelolaan
Zakat.
Sejumlah perda,
surat edaran, dan intruksi pejabat pemerintah daerah tersebut bisa jadi
merupakan langkah awal yang nyata untuk mewujudkan negeri syari’ah. Perda-perda
tersebut memang memiliki niatan baik agar masyarakat menjadi lebih baik,
harmonis, damai. Namun jika tujuan ini meleset, tentu harus ada yang ditinjau
ulang. Apakah aturannya, ataukan pelaksanannya.
Didalam islam, tradisi
hukum merupakan tradisi yang sangat kaya. Tradisi ini telah melahirkan
beribu-ribu kitab fiqh yang mengatur setiap aspek permasalahan. Islam merupakan
agama kedua yang sangat legalistik setelah yahudi. Meskipun umat islam meyakini
bahwa tradisi islam merupakan tradisi pertengahan antara tradisi yahudi yang
legalistik dan tradisi nasrani yang non-legalistik, akan tetapi kecenderungan
pertama nampaknya lebih menonjol. Bebarapa kelompok dari umat ini meyakini
bahwa hanya dengan menerapkan hukum-hukum tersebut umat islam mampu meraih
kejayaan sebagai khairu ummah seperti yang dijanjikan tuhan.
Dalam benak beberapa
kelompok islamis, hukum islam memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu
gugat. Terutama menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i.
Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut bisa dianggap
sebagai kekufuran. Meski demikian, masyarakat islam secara luas kurang begitu bersemangat
dengan isu penerapan hukum islam ini.
Di dunia islam sendiri,
beberapa negara yang mencoba menerapkan syariat islam dalam ruang publik selalu
menghadapi banyak pergolakan. Tidak jarang penerapan hukum islam harus dikawal
dengan pemerintahan yang represif agar tidak menimbulkan banyak pertentangan.
Kenyataan lain yang juga
merupakan pil pahit bagi masyarakat muslim adalah: keberadaan rival
mereka di barat. Masyarakat disana bisa mencapai kemajuan tanpa harus
mengait-ngaitkan dengan agama apalagi hukum tuhan. Masyarakat barat sudah lama
meninggalkan keterkaitan agama dengan hal-hal duniawi. Bagi beberapa kelompok
islamis, kenyataan ini merupakan aib bagi islam dan agama itu sendiri. Oleh
karena itu, tidak henti-hentinya beberapa kelompok ekstrim dari umat ini
mencela kebobrokan masyarakat barat, mencari-cari aibnya dan tidak lupa
mencerca segala apapun yang berasal dari barat seperti HAM, demokrasi, sistem
hukum modern , dan nasionalisme.
Disini saya ingin sedikit
menjelaskan perbedaan pandangan antara hukum islam dengan hukum modern atau
sistem hukum barat. Yang mana keduanya melahirkan perbedaan yang besar pula
didalam masyarakat yang menerapkannya.
Pertama, Teori
hukum modern memiliki karakter tersendiri. Sifat dari hukum modern adalah
fleksibel dan mampu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Karena tidak mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah
sesuai dengan keperluan. Hal ini lah yang sering menjadi tuduhan kaum ”fanatik
islam” bahwa hukum modern (”hukum buatan manusia” dalam terminologi
mereka, sebagai lawan dari hukum buatan Allah yang mereka anggap lebih unggul)
selalu berubah sesuai dengan kehendak nafsu manusia.
Akan tetapi, meski hukum
positif mengalami banyak perubahan, perubahan tersebut tidak bisa dibuat seenak
perutnya. Pembuatan atau perubahan Undang-undang selalu harus melibatkan
partisipasi warga masyarakat melalui para wakilnya di parlemen. Proses inilah
yang kemudian akan melahirkan check and balance, yang akan menjadi
penilai apakah undang-undang tersebut sesuai dengan maslahat rakyat banyak atau
tidak. Oleh karena itu, pembuatan atau perubahan suatu undang-undang sering
berjalan a lot dan kadang menimbulkan banyak kekisruhan. Namun dibalik itu
semua, akan timbul kepuasan, karena undang-undang yang lahir merupakan hasil
konsesus. Bila tidak ada kepuasan dikemudian hari, kita bisa mengajukan untuk
diadakannya suatu judicial review atau uji materi. Hal itu semua bisa
dilakukan tanpa harus merasa khawatir kita telah melanggar batas-batas ketentuan
tuhan. Karena sekali lagi hukum positif atau hukum modern tidak memiliki
keskaralan apapun.
Karakter lain yang
membedakan hukum modern dengan hukum agama adalah, dilihat dari isi atau materi
yang dikandungnya. Hukum modern dibuat atas dasar kepentingan dan maslahat
bersama. Apa yang menjadi kebaikan bagi rakyat banyak maka hal itulah yang
diundangkan. Hukum modern tidak memandang dirinya mengetahui segala hal. Ada
batas-batas dimana hukum tidak bisa menjawab semua persoalan yang ada dan
diperlukan ketentuan baru untuk mengaturnya. Sedangkan, kelompok-kelompok islam
yang memaksa ingin menerapkan hukum islam, memandang bahwa hukum tersebut tahu
akan semua kebutuhan manusia, dan tahu apa yang baik dan tidak baik bagi
manusia. Dalam pandangan yang lebih ekstrim, penerapan hukum tuhan secara kaafah
dipandang sebagai jalan|(satu-satunya) untuk mencapai kemajuan dunia islam.
Para fundamentalis ini memandang hukum islam sebagai bagian sistem islam yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para
penganut pemahaman seperti ini biasanya sangat keras dengan mereka yang tidak
sepaham.
Yang terakhir apa yang
membedakan hukum islam dengan hukum modern adalah, hukum islam mengatur semua
aspek kehidupan dari mulai urusan pribadi (private) sampai dengan urusan publik
(kenyataannya banyak hal yang hukum
islam masih absen didalamnya seperti teknologi informasi, perdagangan bebas,
aplikasi teknologi dalam kehidupan manusia, paling banter fatwa yang keluar
hanya seputar ini boleh ini haram tanpa ada penjelasan mendetail yang bisa
mencerdaskan). Gonjang-ganjing perubahan Undang-undang penanaman modal bisa
kita ambil sebagai contoh yang menarik. Undang-undang investasi atau penanamn
modal ini sangatlah penting karena menyangkut kehidupan perekonomian rakyat
banyak. Namun, kebanyakan para penyeru syariat islam speechless dengan
isu yang satu ini . Kalaupun ada mereka umumnya hanya meneriakan argumen dan
slogan-slogan lama kalau undang-undang penanaman modal tersebut hanya merugikan
rakyat dan hanya berpihak kepada pemodal atau kapitalis. Slogan-slogan demikian
hanyalah repetisi dari jargon-jargon kaum kiri, yang kalau mau jujur saya masih
bisa mengapresiasi kritik kaum kiri karena argumen yang mereka lontarkan jauh
lebih baik ketimbang kelompok islamis. Kelompok-kelompok islam hanya latah ikut
menentang undang-undang penanaman modal tanpa tahu persis duduk perkaranya.
Lebih jauh lagi, dalam
pandangan kaum islamis, apa yang dianggap sebagai fardhu ‘ain atau yang
menyangkut halal-haram, maka hal tersebut boleh di interfensi. Kalau perlu
dengan menggunakan aparatus negara seperti polisi. Meskipun hal tersebut
menyangkut urusan yang sifatnya pribadi atau private. Contohnya, jika anda
tidak sholat, maka anda akan dihukum karena menelantarkan kewajiban agama yang
telah diatur oleh negara. Didalam hukum modern agama atau keyakinan seseorang
dimasukan kedalam wilayah private yang negara tidak berhak ikut campur
mengurusnya. Begitu juga masalah pakaian, pergaulan dan masih banyak lagi. Ada
kesan bahwa hukum islam yang ingin diterapkan kelompok islamis menghendaki
keseragaman, baik bagi pemeluknya maupun warga negaranya.
Sedangkan, hukum modern
lebih menekankan pada pengaturan hukum publik. Hanya hukum publik saja yang
diatur dan dapat di intervensi oleh pemerintah. Adapun yang menjadi kepentingan
pribadi diatur oleh masing-masing individu (pembagian hukum publik dan private
merupakan ciri khas dari sistem hukum eropa kontinental. Namun demikian, sistem
hukum anglo saxon atau common law memiliki karakter yang sama meski
tidak menyebutkan hukum private secara eksplisit). Kalaupun diatur dalam
peraturan tertentu, maka penyelesaiannya kembali pada individu masing-masing.
Dalam hal ini negara hanya memfasilitasi saja. Hukum modern tidak mengatur
secara detail apa yang termasuk kedalam wilayah pribadi seperti keyakinan
beragama, masalah pakaian, etika pergaulan atau keluarga. Hal-hal tersebut
cukup dikembalikan pada pada individu dan masyarakat masing-masing.
Faktor ketiga inilah yang
paling penting. ketika negara tidak mengintervensi kehidupan pribadi warganya,
maka warga memiliki kebebasan untuk berbuat banyak hal tanpa harus merasa
diawasi. Kebebasan individu merupakan pra-syarat utama kemakmuran suatu bangsa.
Kemajuan negara-negara industri modern adalah karena negara disana tidak
mengintervensi kehidupan pribadi warganya secara mendetail.
Sistem hukum barat ini
termasuk salah satu lembaga yang penting dalam kehidupan modern. Hal ini
dikarenakan, sistem hukum barat memiliki keluwesan yang tidak dimiliki oleh
hukum agama atau hukum islam. Yang lebih penting lagi, perdebatan yang terjadi
didalam proses pembuatan atau perubahan hukum modern yang sekuler ini tidak
membawa pada efek yang serius seperti pengkafiran atau label sesat lainnya.
Perdebatan seputar hukum modern dianggap sebagai suatu yang wajar sehingga
dapat merangsang ide-ide cemerlang dalam merumuskan kemaslahatan bersama.
Saya rasa, dunia islam
kurang menyadari bagaimana unggulnya sistem hukum yang modern dalam hal yang
satu ini. Keinginan beberapa negara arab yang kaya (seperi saudi), yang ingin
memajukan dunia islam dengan memberikan beasiswa untuk belajar agama dan
teknologi; kemungkinan tidak akan tercapai jika tanpa didasari oleh pemikiran
kritis yang hanya ada dalam ilmu-ilmu sosial termasuk sistem hukum modern
didalamnya.
Sumber: cispos.blogspot.com
Daftar Pustaka:
- Rifyal
Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta,
1999
- Abdul Gani
Abdullah, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima
(1947-1957), Yayasan Lengge, Mataram, 2004
BACA JUGA:
Berutu, Ali
Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187. https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/istinbath/article/view/290
Berutu,
Ali G. 2019. “TAFSIR AL-MISBAH MUHAMMAD QURAISH SHIHAB.” OSF Preprints.
December 14. doi:10.13140/RG.2.2.23808.17926. https://osf.io/9vx5y
Berutu, Ali
Geno. "Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih
dan KUHP." Muslim Heritage 2, no. 1 (2017): 87-106. https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/muslimheritage/article/view/1047
Berutu, Ali
Geno. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada, 2020. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=3RUIEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA18&dq=ali+geno+berutu&ots=B7PSoIA0Vo&sig=Qc0-7mi9S0XAwTX2aWq8nSvAAnY&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false
Berutu, Ali
Geno. Pasar Modal Syariah Indonesia: Konsep dan Produk. LP2M Press/Ali Geno Berutu, 2020. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=csAXEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR9&dq=ali+geno+berutu&ots=ge6Ba3mKCZ&sig=oMQEGQlsSIO6LrN7PRfBYnNcjko&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false
Berutu, Ali
Geno, and M. A. Hk. PEMIKIRAN HUKUM ISLAM MODERN. Ali Geno Berutu, 2021. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=zERtEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP2&dq=ali+geno+berutu&ots=SOxCr4RyCL&sig=cjr2BtMb7Gv5Mb7AkgE5WhAHrQQ&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false
Berutu,
Ali G. 2019. “ACEH DAN SYARIAT ISLAM.” OSF Preprints. December 14.
doi:10.31219/osf.io/q5b8n. https://osf.io/q5b8n
Suryani,
Eka Yuni, and Ali Geno Berutu. "Analisis Hukum Ekonomi Islam Terhadap
Penetapan Fee Transaksi BRILink." Journal of Sharia Economic Law, July. https://doi.
org/10.21043/tawazun. v4i1 (2022).
Berutu, Ali
Geno. "Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun
No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014." Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam 16, no. 2 (2017).
Berutu, Ali
Geno. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13
Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu, 2016. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=8wYWEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA86&dq=ali+geno+berutu&ots=sVbKMetaVS&sig=r-23oSVnbJfJqmRp15fF3zdO05U&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false
Berutu, Ali
Geno. "MEMAHAMI SAHAM SYARIAH: Kajian Atas aspek legal dalam pandangan
Hukum Islam di Indonesia." VERITAS 6, no. 2 (2020): 160-186. https://uia.e-journal.id/veritas/article/view/599
Berutu, Ali
Geno. "Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam
Pandangan KUHP dan Hukum Pidana Islam." TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law 2, no. 1 (2019): 1-18. https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/61101609/Ali_Geno_Berutu20191102-80345-ky928b-libre.pdf?1572699522=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DTindak_Pidana_Kejahatan_Pencucian_Uang_M.pdf&Expires=1672980906&Signature=ceHr0CpyoEgGM0LiEziHnCkQ-jIp5N1FmIYDe-Yy~lVVHQYF6nCqa5SNraGAaKScdzYDWbH6j57U6w6vwwBxhte5RmAmkqAMlOXYFO8uNKeIdVLexB~ifK9M6bYdFArrrTFGdqHWEpu1erekhcmLhpGJfIPdpFF25hNgMNvTpsUpqsYVLZ~2nBv9U39GmaPuJod53oGS5be1m2bFkAmRiqF4eere0JuaEHk7SLUy4OpkmUdKTE8TIVoWc0Sr9KSFEsS~I26e4L4TXvDsZ08IGaH-rPPX~Jfr1PeeI7Vbh07mLC-S0LSzq7XCaqmdM53Qv-rBERvwIBPDcCqtmNP8dg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA
Berutu,
Ali G. 2019. “SEA MUSLIM MINORITAS: SOUTH THAILAND/PATTANI, SOUTH
PHILIPPINES/MINDANAU AND THAILAND.” OSF Preprints. December 15.
doi:10.31219/osf.io/cfwvp. https://osf.io/cfwvp
Berutu,
Ali G. 2019. “QAWA’ID FIQHIYYAH ASASIYYAH.” OSF Preprints. December 14.
doi:10.13140/RG.2.2.15419.57121. https://osf.io/24txd
Berutu, Ali
Geno. "Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak
Di Kota Subulussalam–Aceh." ARISTO 4, no. 2 (2016): 31-46. https://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo/article/view/187
Berutu,
Ali G. 2019. “ISLAM DI EROPA.” OSF Preprints. December 14.
doi:10.13140/RG.2.2.30519.06561. https://osf.io/bnfkd
Berutu, Ali
Geno. "MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN WILAYATUL HISBAH SEBAGAI GARDA TERDEPAN
DALAM PENEGAKAN QANUN JINAYAT DI ACEH." (2020). https://www.researchgate.net/profile/Ali-Geno-Berutu/publication/338844482_MAHKAMAH_SYAR'IYAH_DAN_WILAYATUL_HISBAH_SEBAGAI_GARDA_TERDEPAN_DALAM_PENEGAKAN_QANUN_JINAYAT_DI_ACEH/links/5e31c20892851c7f7f0c1807/MAHKAMAH-SYARIYAH-DAN-WILAYATUL-HISBAH-SEBAGAI-GARDA-TERDEPAN-DALAM-PENEGAKAN-QANUN-JINAYAT-DI-ACEH.pdf
Berutu, Ali
Geno. "Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh." Istinbath: Jurnal Hukum 14, no. 2 (2017): 148-169. https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/istinbath/article/view/951
Berutu, Ali
Geno. "Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat
(Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam)." (2019).
https://www.researchgate.net/profile/Ali-Geno-Berutu/publication/338057096_Penerapan_Qanun_Aceh_Nomor_14_Tahun_2003_Tentang_Khalwat_Mesum_Studi_Kasus_Penerapan_Syariat_Islam_di_Kota_Subulussalam/links/5e2adab9a6fdcc70a146e777/Penerapan-Qanun-Aceh-Nomor-14-Tahun-2003-Tentang-Khalwat-Mesum-Studi-Kasus-Penerapan-Syariat-Islam-di-Kota-Subulussalam.pdf
Berutu, Ali
Geno. "Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan
Syariat Islam Di Aceh." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7 (2019). https://www.researchgate.net/profile/Ali-Geno-Berutu/publication/337655796_PERAN_POLRI_KEJAKSAAN_DAN_MAHKAMAH_ADAT_ACEH_DALAM_PENEGAKAN_SYARIAT_ISLAM_DI_ACEH/links/5de3444a4585159aa457947d/PERAN-POLRI-KEJAKSAAN-DAN-MAHKAMAH-ADAT-ACEH-DALAM-PENEGAKAN-SYARIAT-ISLAM-DI-ACEH.pdf
Berutu,
Ali G. 2019. “NIKAH DIBAWAH TANGAN DAMPAK DAN SOLUSINYA.” OSF Preprints.
December 14. doi:10.31219/osf.io/x2bq3. https://osf.io/x2bq3
Berutu, Ali
Geno Geno. "Migrasi dan Problematika Minoritas Muslim di Asia." Islamic Management and Empowerment Journal 1, no. 2 (2019): 230-246. https://www.e-journal.iainsalatiga.ac.id/index.php/imej/article/view/3450
Berutu, Ali
Geno. "PUMP AND DOWN IN JIWASRAYA INVESTATION AND THE ABSENCE OF ISLAMIC
ECONOMY LAW PRINCIPLES." Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah 11, no. 2 (2020): 328-351. https://pdfs.semanticscholar.org/75e1/386db7c8b507ae6d239ff11db65f46548032.pdf
Berutu,
Ali G. 2022. “PASAR MODAL SYARIAH INDONESIA Konsep Dan Produk.” OSF Preprints.
July 18. doi:10.31219/osf.io/2n7tw. https://osf.io/2n7tw
Berutu, Ali
Geno. FIKIH JINAYAT (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun
Jinayat Aceh. CV. Pena Persada, 2020. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=odoGEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=ali+geno+berutu&ots=kwx3bpNHyT&sig=F_UpfZPjV8OGcIxFshbj55jLZ-g&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20geno%20berutu&f=false
Berutu, Ali
Geno. "ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA." JIL: Journal of Indonesian Law 2, no. 2 (2021): 202-225. https://www.e-journal.iainsalatiga.ac.id/index.php/jil/article/view/6922
Berutu,
Ali G. 2019. “Penerapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar Dan
Sejenisnya Di Wilayah Hukum Kota Subulassalam.” OSF Preprints. December 15.
doi:10.31219/osf.io/29r5e. https://osf.io/29r5e
Berutu,
Ali G. 2020. “KEKUASAAN ALLAH DAN HUKUM ISLAM BAGI MANUSIA DAN ALAM.” OSF
Preprints. October 18. doi:10.31219/osf.io/ys45a. https://osf.io/ys45a
Berutu,
Ali G. 2019. “METODOLOGI PENELITIAN NOENG MUHAJIR.” OSF Preprints. December 14.
doi:10.13140/RG.2.2.20452.73607. https://osf.io/nhf6t
Berutu,
Ali G. 2019. “REVIEW DISERTASI: FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA.”
OSF Preprints. December 14. doi:10.31219/osf.io/693ar. https://osf.io/693ar
Berutu,
Ali G. 2019. “STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah.”
OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.24647.04009. https://osf.io/sx4hf
Berutu,
Ali G. 2019. “KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN PIDANA BADAN (CORPORAL
PUNISHMENT) DI INDONESIA.” OSF Preprints. December 14.
doi:10.31219/osf.io/ncgex. https://osf.io/ncgex
Berutu,
Ali G. 2019. “KETENTUAN HUKUM-HUKUM TUHAN.” OSF Preprints. December 20.
doi:10.31219/osf.io/re5w9. https://osf.io/re5w9
Berutu,
Ali G. 2019. “RESUME PENDEKATAN ANTROPOLOGI DAVID N GELLNER.” OSF Preprints.
December 14. doi:10.31219/osf.io/6w45z. https://osf.io/6w45z
Berutu,
Ali G. 2019. “ILMU PENGETAHUAN: TEORI DAN TERAPAN.” OSF Preprints. December 20.
doi:10.31219/osf.io/j2gey. https://osf.io/j2gey
Berutu, Ali
Geno. "PENALARAN FIK {IH TERHADAP RUMUSAN ANCAMAN PIDANA TA’ZI> R PADA
PELAKU KHALWAT DALAM QANUN ACEH NO. 6 TAHUN 2014." El-Mashlahah 9, no. 2 (2019). https://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/maslahah/article/view/1294
Berutu, Ali
Geno. "HUKUMAN MATI BAGI ORANG YANG MURTAD."
Berutu,
A.G., 2012. PANCASILA DAN SYARIAT ISLAM. Indonesian Journal of Inter-Religious Studies, 1(2), p.109. https://www.researchgate.net/profile/Ali-Geno-Berutu/publication/337656036_PANCASILA_DAN_SYARIAT_ISLAM/links/5de3554f4585159aa4579607/PANCASILA-DAN-SYARIAT-ISLAM.pdf
Berutu,
Ali G. 2019. “NEGARA DAN AGAMA.” OSF Preprints. December 14.
doi:10.13140/RG.2.2.20452.73607. https://osf.io/yuxh7
Barutu,
A.G., 2019, December. Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam
City, Aceh. In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 19, No. 2, pp. 141-158). https://shariajournals-uinjambi.ac.id/index.php/al-risalah/article/view/318
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda