TIGA ASAS UMUM DALAM PENERAPAN SYARIAT
Alhamdulillah
segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam masa 6 hari
dan menciptakan manusia dari setetes air mani yang terpancarkan.Shalawat
serta salam kepada nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
nabi akhir zaman nabi yang di utus sebagai rahmatan lil alamin. Nabi yang patut
kita jadikan sebagai “uswatun hasanah” nabi yang membawa syariat Islam. Di dalam
penerapan syariat Islam ada tiga asas umum yang di rumuskan oleh para ulama
berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam al-qur’an dan hadits.
Asas yang
pertama: At-taysir
wa raf’ul haraj (kemudahan dan mengangkat ketidakmampuan) Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah memberikan nikmat-Nya yang sangat berlimpah kepada ummat
Islam yang tidak membebankan kepada ummatnya kecuali dengan apa-apa yang mereka
mampu dan sanggup melaksanakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللّٰـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS.
Al-Baqarah: 185)
لَا يُكَلِّفُ اللّٰـهُ نَفْسًا إِلَّا
وُسْعَهَا
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
فَاتَّقُوا۟ اللّٰـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Thagabun:16)
Selain itu
pula di dalam hadits hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam banyak sekali yang menunjukkan betapa Rasulpun
menginginkan kemudahan bagi ummatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Apa-apa
yang saya larang darimu maka tinggalkanlah dan apa-apa yang saya perintahkan
kepadamu maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuanmu” (HR. Muslim).
“Dari Aisyah
radhiyallahu anha meriwayatkan, Rasulullah tidak pernah sekali pun
dihadapkan pada dua pilihan melainkan mengambil yang paling mudah diantaranya
selama itu bukan dosa tetapi kalau itu adalah dosa maka beliau adalah orang
yang paling jauh daripadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari
dalil-dalil tersebut kita bisa melihat bagaimana syariat Islam dipenuhi dengan
kemudahan dalam menjalankannya. Sebagai contoh, orang yang tidak mampu shalat
dengan cara berdiri maka tidak apa baginya shalat dengan cara duduk dan apabila
ia juga tidak mampu dengannya maka tidak ada larangan baginya untuk shalat
dengan cara berbaring, begitupun orang yang tidak mendapatkan air ketika ia
hendak shalat maka tidak ada dosa baginya menggunakan debu untuk mengganti air,
demikian pula orang yang sedang dalam perjalanan jauh tidak mengapa baginya
untuk berbuka puasa di dalam bulan Ramadhan, dan masih banyak contoh-contoh
lainnya yang menunjukkan kemudahan-kemudahan dalam syariat Islam.
Asas yang
kedua: taqlilu
at-takalif (sedikit pembebanan) Asas yang
selanjutnya adalah taqlilu at-takalif. Yang dimaksud dengan taqlilu
at-takalif di sini adalah syariat Islam sendiri tidak ingin
membebankan kepada ummat dengan perintah-perintah maupun larangan larangan yang
banyak. Banyaknya perintah dan larangan itu sendiri juga sangat bergantung
dengan banyaknya pertanyaan pertanyaan yang diajukan oleh sahabat maupun bangsa
Arab kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap suatu masalah,
dan setiap pertanyaan yang dijawab oleh nabi terhadap suatu permasalahan akan
menjadi syariat agama yang membebankan seluruh ummat Islam baik itu berupa pembolehan,
atau pelarangan, atau perintah, oleh karena itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang sahabatnya memperbanyak pertanyaan dengan
bersabda,
“Sesungguhnya
kesalahan terbesar bagi seorang muslim adalah menanyakan tentang sesuatu
masalah yang belum diharamkan kemudian itu menjadi diharamkan karena
pertanyaannya tersebut”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu saja
kitab ini bukan ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di zaman kita ataupun
sebelum kita tetapi kitab ini dikhususkan kepada para sahabat dan orang-orang
yang hidup di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kepada para sahabatnya menanyakan
hal-hal yang tidak perlu yang dapat mengakibatkan penambahan beban bagi ummat
Islam secara umum. Sebagai contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari kitab shahihnya yang meriwayatkan dari abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu mengatakan:
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada kami: “Wahai manusia, sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji
maka berhajilah kalian) kemudian seseorang berkata: apakah setiap tahun wahai
Rasulullah?? Kemudian Rasululullah diam sampai pertanyaan tersebut diajukan
padanya sebanyak tiga kali kemudian beliau mengatakan: “kalau seandainya saya
mengatakan “ia” maka itu akan diwajibkan tiap tahun dan kalian tidak
menyanggupinya” (HR.Muslim)
Begitupulah
tentang kisah seorang arab yang menanyakan hukum memakan daging biawak kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dalam kitab
musnad Atthayalisi dari Abi Said meriwayatkan bahwa seorang Arab
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah!!
Sesungguhnya saya tinggal di tempat yang banyak biawak dan itu merupakan
makanan penduduk kami, kemudian Rasulullah diam dan kami (sahabat) mengatakan
kepadanya tinggalkanlah ia (makan biawak), kemudian beliau (Rasulullah) masih
tetap diam kemudian kami mengatakan lagi tinggalkanlah ia, kemudian dia
(Rasulullah) berkata: “Wahai Arab!! Sesungguhnya Allah telah marah kepada
sebagian kelompok dari bani Israil dan dijadikannya mereka hewan yang melata di
muka bumi dan saya tidak melarangnya (memakan biawak) dan tidak pula
memerintahkannya”.
Hal ini
sejalan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Maidah
ayat 101,
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا
تَسْـَٔلُوا۟ عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ
لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْـَٔلُوا۟ عَنْهَا
حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْءَانُ تُبْدَ
لَكُمْ عَفَا اللّٰـهُ عَنْهَا وَاللّٰـهُ
غَفُورٌ حَلِيمٌ ﴿المائدة:١۰١﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.”.
Demikianlah
salah satu dari asas asas syariat Islam ini yang tidak ingin membebankan kepada
ummat dengan perintah-perintah maupun larangan-larangan yang banyak.
Asas yang ke
tiga: At-tadarruj
fi At-tasyri’ (bertahap dalam menetapkan syariat) Dalam
penciptaan manusia kita mengetahui ada beberapa tahap penciptaan yang dialami
seorang bayi sebelum ia lahir ke muka bumi. Di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjelaskan tahapan-tahapan penciptaan manusia tersebut selama ia
berada di dalam rahim ibunya. Dijelaskan dalam surah al-Mu’minun dari ayat 12
sampai ayat 14, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسٰنَ مِن سُلٰلَةٍ
مِّن طِينٍ ﴿المؤمنون:١٢﴾
ثُمَّ جَعَلْنٰهُ نُطْفَةً فِى قَرَارٍ
مَّكِينٍ ﴿المؤمنون:١٣﴾
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً
فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ
عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا
ثُمَّ أَنشَأْنٰهُ خَلْقًا ءَاخَرَ
فَتَبَارَكَ اللّٰـهُ أَحْسَنُ الْخٰلِقِينَ
﴿المؤمنون:١٤﴾
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
Ketika kita
makan sebungkus roti coklat yang rasanya enak sekali yang kita beli dari sebuah
toko, tentu kita mengetahui bahwa roti coklat ini tidak akan menjadi selezat
ini jika tidak melalui sebuah “proses” dan “tahapan-tahapan” pembuatan. Dari
yang mulanya cuma berbentuk bahan-bahan mentah seperti terigu, telur, gula,
coklat dan lain-lain. Bahan-bahan ini diolah dan diproses sehingga menjadi
sebungkus roti yang sangat enak. Begitu pula halnya dengan penerapan syariat
Islam. Syariat Islam pun membutuhkan “proses” dan “tahapan-tahapan” sehingga
dapat menjadi sebuah syariat yang sempurna bagaikan proses penciptaan manusia
dan proses pembuatan sebungkus roti coklat tersebut. Ketika pertama kali
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus membawa risalah dan
syariat Islam, Rasulullah hidup di kalangan bangsa Arab yang jahiliyyah yang
mana mereka mempunyai adat-adat jahiliyah seperti minum khamar, berzina,
menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup, dan kejahiliyaan-kejahiliyaan
lainnya. Akan tetapi bukan kalimat “dirikanlah shalat” atau “tinggalkanlah
khamar” atau “janganlah kalian berbuat zina” yang disabdakan dari mulut mulia
beliau melainkan seruan untuk mengajak bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Beliau mengajarkan
pokok-pokok keimanan seperti iman kepada malaikat, surga dan neraka. Sejarah
telah mencatat bahwa kurang lebih sepuluh tahun beliau hanya mengajak manusia
untuk bertauhid. Barulah setelah peristiwa “isra’ mi’raj” syariat dalam prosesnya
mewajibkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin sebagai ibadah kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala setelah iman telah tertancap kuat dalam hati para kaum muslimin.
Setelahnya secara bertahap syariat mewajibkan ibadah-ibadah lainnya seperti jihad
fi sabilillah yang mana itu ditandai dengan hijrah dari Makkah ke Madinah,
lalu jihad dalam peperangan seperti perang Badar, perang Uhud, Khandaq sampai
Fathu Makkah. Kemudian diwajibkannya juga membayar zakat, puasa Ramadhan maupun
melarang hal-hal yang di haramkan-Nya seperti minum khamar, berzina, berghibah,
memakan harta anak-anak yatim dan macam-macamnya. Proses dan tahapan ini tidak
lain agar supaya syariat Islam ini dapat diterima oleh kaumnya dan orang-orang
yang berada di sekitarnya. Seperti yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
‘anha dalam kitab shahih Bukhari ia berkata: “Sesungguhnya surat yang
pertama kali turun adalah surah yang menjelaskan tentang surga dan neraka.
Kemudian setelah manusia kuat keyakinannya terhadap Islam barulah turun
surah-surah tentang yang halal dan haram. Kalau seandainya yang pertama kali di
turunkan, “janganlah kalian minum khamar”, maka mereka akan berkata “kami tidak
akan meninggalkan khamar selamanya”, dan apabila yang turun “janganlah kalian
berzina” maka mereka akan berkata “kami tidak akan meninggalkan zina”.
Demikianlah
proses dan tahapan-tahapan penerapan Islam berlangsung selama kurang lebih dua
puluh tiga tahun lamanya yang ditutup dengan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلٰمَ دِينًا
“Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS.Al-Maaidah:3.)
Wallahu
a’lam.
sumber asli:
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda