Syariat Islam Aceh Dalam Lintas Sejarah
PENERAPAN
SYARIAT ISLAM DI ACEH
DALAM
LINTAS SEJARAH
Ali
Geno Berutu
Sekolah
Pascasarjana (SPs)
UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: ali_geno@ymail.com
ABSTRAK
Reformasi
telah bergulir di Indonesia sejak tahun 1998. Salah satu akibat dari reformasi
adalah tumbangnnya rezim Orde Baru (1965-1998) dan telah menjadi salah satu
penguat dalam momentum penegakan syariah di Indonesia. Kalangan Islam politik beranggapan
bahwa hukum warisan Kolonial Belanda telah terbukti gagal dan tidak bisa
menghadapi perkembangan zaman dan ketertiban masyarakat dan Islam dianggap
sebagai satu-satunya alternatif. Tuntutan penerapan syariat Islam menjadi
gejala umum di Indonesia sejak tahun 1999-2009, otonomi daerah yang merupakan
buah dari reformasi sangat mempengaruhi tuntutan formalisasi syariat Islam di
Indonesia.
Formalisasi
syariat Islam di Aceh setidaknya memiliki dua sisi yang berbeda. Pertama
sisi ke–Indonesiaan, yaitu pemberlakuan syariat Islam di Aceh ditujukan untuk
mencegah agar Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dari sisi ini kita bisa melihat bahwa proses-proses pemberlakuan
syariat Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang genuine dan alamiah,
tapi lebih merupakan suatu move dan kebijakan politik dalam rangka
mencegah Aceh dari upaya pemisahannya dari NKRI. Penerapan syariat Islam pada
tahap ini mengarah kepada untuk meminimalisir ketidakpuasan Aceh terhadap kebijakan-kebijakan
Pemerintah Pusat dan lebih merupakan political. Langkah politik darurat
untuk menyelamatkan Aceh dalam pangkuan republik yang bertujuan untuk
mendatangkan kenyamanan psikologis bagi masyarakat Aceh. Kedua, gagasan
atau tujuan dari rakyat Aceh sendiri. Artinya bahwa pemberlakuan syariat Islam
di Aceh merupakan cita-cita dan hasrat yang sudah lama terpendam sejak zaman
DI/TII yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Daud Beureueh.
Kata
Kunci: Aceh, Syariat Islam, Qanun, GAM
A.
Pendahuluan
Dari
sudut sosio–budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan adat dan Islam
sebagai unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak masyarakat. Agama Islam
telah membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa awal penyebarannya keluar
jazirah Arab.[1] Nilai-nilai
hukum dan norma adat yang telah menyatu dengan Islam merupakan pandagan hidup (way
of life) bagi masyarakat Aceh.[2] B.J Bollan, seorang
antropolog Belanda mengatakan, “Being an Aceh is equivalent to being a
Muslim” (menjadi orang Aceh telah identik dengan orang Muslim).[3] Pengaruh hukum Islam
terhadap hukum adat telah meliputi semua bidang hukum, sehingga dapat dikatakan
bahwa hukum Islam dan hukum adat telah melebur menjadi satu hukum. Adagium yang
masih dipegang masyarakat Aceh, “adat bak po teummeurehum, hukum bak syah
kuala, qanun bak putro pahang, reusum bak laksamana”. Hal ini sesungguhnnya mengandung makna pembagian kekuasaan dalam kesultanan
Aceh Darussalam, kekuasaaan politik dan adat ada ditangan sultan (Po
Teummeurehum), keuasaan pelaksanaan hukum berada ditangan ulama (Syiah
Kuala), kekuasaan pembuat undang-undang ada ditangan Putro Pahang,
dan peraturan protokeler (Reusam) berada ditangan laksamana (panglima
perang di Aceh).[5]
Menurut Arskal Salim ada beberapa alasan masyarakat Aceh yang menjadikan Islam
sebagai identitasnya. Pertama, sejarah mencatat bahwa perkembangan Islam
di Indonesia diawali dari Aceh,[6] hal ini sesuai dengan apa yang
terdapat dalam catatan Marco Polo yang melewati Peurlak (Aceh Timur saat ini)
dan menggambarkan bahwa kota tersebut (Peurlak) adalah kota muslim pada tahun
1292.[7] Kedua, kerajaan
Islam pertama di Indonesia didirikan di Aceh, hal ini dibuktikan dengan
penemuan batu nisan Raja Samudra Sultan Malik as-Salih yang tercatat pada tahun
1927. Menurut Ricklefs penemuan ini menunjukkan bahwa kerajaan Islam pertama di
Indonesia berada di Aceh. Ketiga adalah sejarah penerapan syariat Islam
di Aceh yang memiliki sejarah yang sangat panjang, proses sejarah inilah yang
menjadi motivasi bagi masyarakat Aceh untuk menjadikan Islam sebagai
identitasnya.[8]
[1]
Yusni Saby, Apa
Pentingnya Studi Aceh, dalam M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya dan
Adat Masyarakat Aceh (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012), xxxi.
[2]Abidin Nurdin, “Revitalisasi
Kearifan Lokal di Aceh: Peran Budaya Dalam Menyelesaikan Konflik Masyarakat”, Anlisis,
Vol. XIII No. 1 Juni 2013, 139.
[3] Hasnil Basri Siregar, “Lessons
Learned From The Implementation Of Islamic Shari’ah Criminal Law In Aceh,
Indonesia” , Journal of Law and Religion, Vol. 24, No. 1 (2008/2009), pp.
143-176,147. http://www.jstor.org/page/info/about/policies/terms.jsp (diakses pada tanggal 6 Mar
2015). Lihat juga, Nur Jannah Ismail, “Syari’at Islam dan Keadilan Gender” ,First
International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies 24 – 27 February
2007, 6-7. http://www.ari.nus.edu.sg/docs%5CAceh-project%5Cfull-papers
%5Cac ehfpnurjannahismail.pdf
(diakses pada tanggal 26 Feb 2015).
[4] Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia (Bandung: Unpad Press, 2009), 38.
[5] Khamami, Pemberlakuan Hukum
Jinayat di Aceh dan Kelantan (Tangerang Selatan: LSIP, 2014),70-72.
[6] Javier Gil Pérez, “Lessons of
peace in Aceh: administrative decentralization and political freedom as a
strategy of pacification in Aceh”, Icip Working Papers: International Catalan Institute, 2009,
11.
[7] Asma Uddin, "Religious
Freedom Implications of Sharia Implementation in Aceh, Indonesia", University of St. Thomas Law Journal: Vol. 7: Iss. 3 (2010), Article 8, 615. Available at: http://ir.stthomas.edu/ustlj/vol7/iss3/8 (diakses pada tanggal 27 Feb 2015).
[8] Arskal Salim,“Shari’a From
Below’ In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity And The Right To
Self-Determination With Comparative Reference To The Moro Islamic Liberation”,
Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No. 92, March 2004 Front (Milf),83.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini telah dimuat dan diterbitkan dalam Istinbath: Jurnal Hukum IAIN Metro Lampung
Tulisan lengkapnya dapat anda download pada link dibawah ini ------>>>>>>
http://journal.stainmetro.ac.id/index.php/istinbath/article/view/699/884
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda