Jumat, 20 Juli 2012

BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Oleh: Ali Geno Berutu

Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah,telah dipraktekan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara.Semenjak wafatnya Rasulullah SAW,islam tampil dalam bentuk yang nyata sebagai institusi Negara.Dalam banyak hal,bias ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang menunjuk pada eksitensi Negara,terutama semenjak berdirinya Bani Umayah hingga hancurnya Khilafah Turki Ustmani.
Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 M,ummat islam telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam yang meliputi bentuk Negara dan system pemerintahan,lebih-lebih sejak terbebasnya dunia islam dari Kolonialisme Barat,dunia islam telah mempraktekan system polotik yang berbeda dengan masa lalunya.Jika dilihat dari kenyataan sejarah,ummat islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal.Kedua bentuk Negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan komdisi yang dihadapinya.[1]  

1.      NEGARA KESATUAN
Negara kesatuan adalah bentuk Negara dimana wewenang kekuasaan tertinggi dipusatkan dipusat.Kekeuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah.Pemerintahan pusat mempunyai wewenang  untuk menyerahkan sebagaian kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan system desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap berda pada pemerintahan pusat.

Dalam praktik sejarah politik ummat islam,sejak zaman Rasullah SAW hingga al-khulafa al-Rasyidun jelas tampak bahwa islam dipraktekkan didalam ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan,dimana kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat ,gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh khalifah.[2]Hal ini berlangsung sampai jatuhnya Daulah Umaiyah di Damaskus.Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu sama lain yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Umaiyah di Mesir dan Daulah Umaiyah di Andalusia. Meskipun ketiga pemerintahan itu terpisah, tetapi kaum muslimin sebagai ummat dimana saja ia berada, bahasa apa saja yang ia pakai dan kedalam kebangsaan apapun dia termasuk,dia tetap mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain.Oleh karena itu walaupun dunia islam pada waktu itu terpercah menjadi tiga pemerintahan akan tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya menganggap ketiga-tiganya ada diwililayah darul Islam.[3]

Zainal Abidin Ahmad menegasklan bahwa sejak berpuluh-puluh abad yang lalu, islam telah menentukan pendirianya  bahwa bentuk Negara islam adalah republic.Khilafah adalah seorang presiden yang dipilih oeh rakyat. Dengan mengutip pendapat Ibnu Rusyd, pemerintah Arab klasik dizaman Islam yang pertama adalah seperti system republic dari Plato, tetapi Muawiyah meruntuhkan susunan yang baik itu, menghapuuskan segala keindahan dengan mencabut seluruh urat akarnya. Kemudian didirikan suatu emerintahan Otokrasi. Akibatnya adalah runtuhnya seluruh sendi asas pemerintahan islam dan berjangkitlah anarki dan kekacauan diseluruh negeri Andalusia.[4]

Negara kessatuan Islam yang berbentuk republik dalam sejarah Islam awal kemudian dirubah oleh Muawiyyah menjadi Negara kesatuan islam yang berbentuk Monarki  (kerajaan) dimana kepala Negara tidak lagi dipilih oleh rakyat melainkan berdasarkan keturunan.[5]

Dalam kehidupan kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan ini oleh ummat Islam dipraktekkan dibeberapa negara. Bentuk Negara kesatuan Ilam yang berbentuk republik telah dipraktekkan oleh Republik Islam Iran yang beraliran Syah dan Republik Islam Pakiistan yang beraliran Sunni.Kedua Negara ini telah menjadi contoh dari Negara kesatuan islam yang berbentuk republik .Sedangkan bentuk Negara Ikesatuan slam yang berbentuk Monarki dipraktekan oleh Arab Saudi, Jordania, Uni Emirat Arab, dan lain-lain diman pergantian kekuasaan tidak ditentukan oleh suara rakyat melainkan oleh keturunan penguasa.[6]
   
2.      NEGARA FEDERAL
Dalam praktek sejarah politik ummat Islam, sejak mulai lahir dizaman nabi sampai dizaman al-Khulafa al-Rasiydun, Dinasti Umaiyyah dan permulaan Abbasiyah, Negara Islam masih berbentu Negara kesatuan. Baik dimasa pemerintahan daerah masih Imarah Khasanah dizaman Nabi dan Khhalifah Abu bakar, maupun sesudah menjadi Iamarah ‘Ammah yang dimulai oleh Khalifah Umar , Negara Islam masih tetap merupakan Negara kesatuan.[7] Tetapi, setelah pemerintahan daerah menjadi Imarah istila; barulah berubah bentuk menjadi Negara Pederasi. Muhammad Kurdi Ali mengatakan bahwa pemerintahan daerah dizaman Khalifah Mansur (Abbasiyah), masih tetap desentralisasi atau daerah otonom-otonom.[8]

Kebetulan dizaman ini muncul suatu daerah yang ingin menjadi suatu Negara , yaitu Negara Andalusia, yang didirikan oleh Abdurrahman bin Mu’awiyah dari bani Umaiyah pada 139H/756M. Namun dinasti Umaiyah masih belum berani melepaskan diri dari wilayah Abbasiyah, yang terbukti dari ppanggilan penguasa negarranya adalah Amir yang berarti kepala Negara bagian[9].

Baru dizaman Khalifah Harun al-Rasyid (170-193H/789-809M), dimulai rencana pementukan Negara federasi.Dia menghadapi persoalan yang serupa dengan kakeknya, Mnsur, yakni berdirinya Negara Idrisiyah (adarisah) dimaroko pada tahun 177 H.Pada awalnya perestiwa itu disambut dengan kemarahan.Tetapi, kemudian pemerintah sendiri mengadakan rencana pembentukkan Negara-negara bagian, dengan menyetujui berdirina Negara Aglabiyah (Agalibah) di Tunis pada tahun 184 H, yang didirikan oleh Ibrahim bin Aglab.Negara ini berdiri selam satu abad, dari 184 H/ 800 M- 296 H/908M.[10]

Rencana ini dilanjutkan kembali oleh khalifa Ma’mun (128-218H/813-833M). Diperintahkan kepada Wazir yang tercakap, Tahir bin Husen,untuk mendirikan suatu Negara bagian sebagai percobaan (model) di Khurasan dengan nama Thahiriyah dari 205H/820M-259H/872M.
Dalam sejarah muncul dua jenis Negara bagaian, yaitu Imarah Amamah tingkat Istila,yakni Negara-negara bagian yang memiliki status Negara terbatas.Kepala Negara bagian ini dinamakan amir. Dan Imarah Amamah tingkat istimewa, yang memiliki hak-hak Negara yang sangat luas, keluar dan kedalam.Kepala Negara dinamakan sultan.

B. SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Adapun system pemerintahan yang pernah diperaktekan dalam islam,sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing ummat.Dalam rentang waktu yang sangat panjang  sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, ummat islam pernah mempraktekkan beberapa system pemerintahan yang meliputi system pemerintahan khilafah (Khalifah berdasarkan syurra dan khalifah berdasarkan Monarrki), imamah, monarki dan demokrasi.

1.      SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH
Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial,sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa.Ikatan yang mmempersatukan kekhalifahan adalah islam sebagai agama. Pada intinya, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW.Dalam bahasa Ibn Khaldun, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum bagai kaum muslimin  diseluruh penjuru dunia untuk menegakkan hokum-hukum syari’at silam dan memikul da’wah islam keseluruh dunia.Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin diseluruh penjuru dunia.Dan menjalankan kewajiban yang demikian itu,sama dengan menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah bagi setiap kaum muslimin.

Berdasarkan Ijma’ Sahabat, wajib hukumnya mendirikan kekhalifahan.Setelah Rasulullah SAW wafat,mereka sepakat untuk mendirikan kekhalifahan untuk Abu Bakar, kemudian Umar, Ustman dan Ali, sesudah masing-masung dari ketiganya wafat.[11] Para sahabat telah bersepakat sepanjang hidup mereka atas kewajiban untuk mendirikan kekhalifahan, meski mereka berbeda pendapat tentang orang yang akan dipilih sebagai khalifah, tetapi mereka tidak berbeda pendapat secara mutlak mengenai berdirinya kekhalifahan.[12] Oleh karena itu, kekhalifahan (khilafah) adalah penegak agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama.[13]

Jabatan ini merupakan penggati nabi Muhhammad SAW, dengan tugas yang sama, yakni memppertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga ini disebut khilafah (kekhalifahan). Orang yang menjalankan tugas itu disebut Khalifah.[14]

2.      KHILAFAH BERDASARKAN SYURA
Sistem pemerintahan islam berdasarka syura pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka memerintah islam dibeberapa kawasan yang didasarkan pada system musyawarah sebagai paradigm dasar kekuasaan.Abu Bakar Al-Shiddiq, umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib telah menjalankan system pemerintahan yang dilandasi oleh semnagat musyawarah.
Ciri yang menonjol dari system pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan system keturunan.Tidak ada satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaanya kepada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi jalan yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang dijalankan Rasulullah SAW.

3.      KHILAFAH  MONARKI
Pasca berakhirnya al-Khulafa al-Rasyidun, kekhalifahan dilanjutkan oleh khalifah bani Umaiyah dengan Muawiyah bin Abu Sofyan sebagai khalifah pertama.Sejak saat itulah khilafah Islamiyah yang sudah berdasarkan syura digantikan dengan system keturunan, menjadi Negara kerajaan (monarki) mengikuti system yang diperlakukan di Persia dan Romawi.[15]

Sisrem khilafah monarki disebut oleh Antony Black dengan Khilafah Patrimonial.Patrimonialiisme yang dimaksud disini adalah system pemerintahan yang member hak kepada pemimpin untuk menganggap Negara sebagai miliknya dan bias diwariskan kepada keluarganya (turun temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada dibawah perlindungan dan dukunganya.

Sistem monarki adalah system waris (putra mahkota) dimana singsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Sistem monarki juga merupakan system pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasan, seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya .Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati.Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh rakyyat,raja memiliki kekebalan terhadap hokum, dan kekuasaan kenegaraanya tak terbatas.

Berubahnya khilafah berdasarkan syura menjadi monarki ini terjadi ketika Muawiyah melantik putranya Yazid sebagai khalifah atas dasar Mughirah bin Syu’bah.Sistem khilafah monarki terus berlanjut hingga kerajaan islam dipegang oleh Turki Ustmani yang timbul di Istambul pada 699 H/ 1299 M yang dipimpin oleh Ustman l yang kemudian dikenal sebagai dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini memerintah hingga 1342H/1924M dengan khalifah terakhir Abdul Hamid ll. Tak pelak lagi sejak Dinasji Umaiyyah hingga Dinasti Utsmani, system pemerintahan Islam sudah sangat jauh dari kekhalifahan yang berbasisi syura menjadi khilafah monarki.

4.      IMAMAH
Kunci utama Imamah dalam politik syi’ah adalah terletak pada posisi imam. Karena status politik dari para imam adalah bagian yang esensial dalam mazhab Syi’ah Imamiyah.Mereka dianggap penerus yang dari nabi Muhammad SAW dan mereka percaya bahwa setiap penerus harus ditunjuk oleh Allah SWT melalui nabinya.Para Imam dianggap sebagai penerus nabi dan pewaris yang sah dari otoritasnya.Hal ini bukan dikarenakan mereka dari keluarganya ,tetapi karena mereka merupakan orang-orang yang shaleh taat kepada Allah dan mempunyai karakteristik yang menjadi prasyarat untuk mengemban tingkat kepemimpinan politik agama. Demikian juga mereka tidak ditunjuk mmelalui consensus rakyat.[16]

Imamah adalah Institusi yang dilantik secara ilahiyah,hanya Allah yang paling tau kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini,oleh karena itu hanya Dia-lah yang mampu menunjuk mereka. Syi’ah menganggap bahwa Imamah seperti  kenabian, menjadi keperccayaan yang pundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah kewajiban agama. Meski para Imam tidak menerima wahyu ilahi, namun para imam mempunyai kulitas,tugas, dan otoritas dari nabi. Bimbingan politi dan agama dari mereka dan mereka adalah wali bagi pengikut mereka.[17]
 
Konsep politik Syi’ah yang berpusat pada Imam (yang kemudian diterjemahkan menjadi wilayat al- afqih) diterjemahkan dalam periode modern dalam bentuk negarra Irean. Iran menjadi penjelmaan politik Syi’ah setelah revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini.

5.      DEMOKARASI
Kata Demokrasi memiliki berbagai makna. Tetapi pada dunia modern ini penggunaanya mengandung arti kekuasaan tertinggi dalam urusan politik adalah hak rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis kebijakanaan dibelakang keputusan-keputusan  tersebut secara langsung atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi pemerintahan.
Paling tidak ada tiga mavam bentuk demokrasi yaitu , demokarasi formal, permukaan, dan substantive.

a.      Demokrasi Formal
Demokrasi formal ditaandai dengan pemilihan umum yang teratur, bebas, adil, dan kompetitif.Biasanya ditandai dengan tidak digunakanya paksaan secara berlebihan oleh Negara terhadap terhadap masyarakat, ada kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk menjamin kompetisi dalam pemilihan umum.[18]

b.      Demokrasi Permukaan
Demokarasi Permukaan merupakan demokrasi yang umum ditetapkan di dunia ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi tapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Dahulu demokrasi ini lazim terdapat di Amerika latin, Timur tengah, misalnya Presiden Saddam Hussein (Iraq), Hafez al-Assad (Syria), dan Husni Mubarak (Mesir) dimana rezim penguasa tidak menginginkan demokrasi yang sebenarnya.

c.       Demokrasi Substantif
Demokarasi macam ini memperluas ide demokarasi diluar mekanisme formal, ia mengintensifkan konsef dengan memasukan penekanan pada kebebasan dan diwakilinya kepentingan melalui forum public yang dipilih dan dengan partisipasi kelompok.

6.      MONARKI DAN MONARKI KONSTITUSIONAL
Monarki adalah system pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dimana yang berhak menggantikan raja adalah keturunanya. Rakyat tidak memiliki hak untuk mengggatikan kekuasaan. Titah raja harus diikuti oleh rakyatnya , sehingga ada ketundukan peneuh dari rakyat yang diperintahnya.
Tetapi ada bentuk lain dari monarki, yaitu monarki Konstitusional yang secara jelas dalam konstitusinya disebutkan sebagai Negara kerajaan. Maroko dan Jordania adalah contoh nyata dari monarki konsttitusiaonal.



DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Syarif Mujar dan Zada Khamami.Fiqih syasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2008
Taqiyuddin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam – Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik (terjemahan), Al Izzah, Bangil, 1997


[1] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah (Jakarta :  Erlangga 2008) Hal 198
[2] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Hal 200
[3] Djazuli, Fiqih Siyasah: Implementasi kemaslahatan ummat dalam Rambu-Rambu Syari’ah (Bandung: Gunung Djati Press, 2000), hal. 150
[4] Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam (Jakarta: Iqra Pustaka, 1956), hal. 120-121
[5] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Hal 201
[6] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Hal 198
[7] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Hal 202
[8] Ahmad, Membangun Negara Islam, hal. 120-121
[9] Ibid., hal. 183.
[10] Ibid., hal. 183.
[11] Samis Athief az-Zain, syari’at Islam: Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai Studi Perbandingan (Bandung, Husaini, 1988) hal. 18-19
[12] Ibid., hal. 19-20
[13] Abdulrrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Dar al Fikr, t.t ), hal. 191
[14] Ibid., hal. 191
[15] Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hal. 27
[16] Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 166.
[17] Ahmad Vaezi, Agama politik Nalar Politi Islam (Jakarta: Citra, 2006), hal. 66-67
[18] Jeff Hayness, Demokrasai dan Masyarakat Sipil di Dunia ketiga : Gerakan Politik Terbaru Kaum Tertinggi ( Jakarta: Yasayasan Obor Indonesia, 2000 ), hal. 137
BACA JUGA

Label:

CONTOH PROPOSAL SKRIPSI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Syariat Islam telah secara formal diimplementasikan di Nanggroe Aceh Darussalam sejak diundangkanya Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam[1].
Read more »

Label:

Hamzah Fansuri, Pemantik Peradaban Aceh


TAK banyak sejarah yang menukil seorang maestro peradaban yang tidak hanya dikenal di timur tapi juga di Barat. Dia Hamzah Fansuri, ulama yang pujangga nusantara. Dalam karya-karyanya ditemukan kunci peradaban satu kaum (Aceh). Di Malaysia, sastra menjadi tumpuan kaki peradaban Melayu, sehingga pujangga ditempatkan di atas para intelektual.
Read more »

Label:

Rabu, 18 Juli 2012

POLITIK HUKUM DAN ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

POLITIK HUKUM DAN ARAH PEMBANGUNAN HUKUM
Oleh: Ali Geno Berutu

Pendahuluan

Reformasi  di manapun selalu diawali dengan merombak tatanan hukum lama yang tidak adil atau diskriminatif. Itulah yang dilakukan di seluruh negara, yang diawali dari Inggris pada 1688, Amerika 1787, dan Perancis 1789. Di manapun reformasi juga selalu menyisakan sekelumit paradoks. Karena itu, apa yang dilakukan oleh MPR pada tahun 1998 dan 1999 mencerminkan bahwa mereka mengetahui benar hakikat reformasi.

Mereka mulai dengan menata kebobrokan tatanan masa lalu dari jantungnya hukum.Itulah yang dituangkan ke dalam ketetapan-ketetapan mereka. Terdapat lima ketetapan yang dapat diklasifikasi sebagai ketetapan yang mengagumkan pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 1998. Pertama, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Indonesia. Keempat, Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politiik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Kelima, Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Setahun setelah itu, MPR hasil pemilu 1999 berketetapan melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ini memiliki nilai dan makna yang sangat dalam bagi kelangsungan bangsa dan negara.Mengapa? UUD 1945 (sebelum diubah), jelas tidak menyediakan kerangka konstitusional yang diperlukan bagi pengembangan tatanan sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemerintahan yang berwatak adil, beradab dan bermartabat.Memahami semua yang dilakukan oleh MPR pada dua periode tersebut dari sudut paham konstitusionalisme mutakhir,terdapat dua hal yang tidak dapat diabaikan oleh semua pihak. Pertama, semua produk MPR tersebut merupakan respon kritis atas tatanan pemerintahan otoriter yang merupakan produk langsung dari rapuhnya tatanan konstitusional sebelum tahun 1998.



POLITIK HUKUM DAN ARAH PEMBANGUNAN HUKUM
A .POLITIK HUKUM
1 .Definisi Politik Hukum
Sesungguhnya ada banyak definisi yang diberikan oleh para ahli. Pada definisi-definisi yang diberfikan tersebut ternyata ada perbedaann batasan tentang politik hukum.            
Politik Hukum Perundang-undangan :
1.Tertulis adalah Undang-undang yang bersifat Permanen.
2. Tidak tertulis adalah Kebijakan Publik (bisa berubah “setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan keadaan”)
Sehingga keadaan dan kebutuhan yang berubah-ubah inilah yang menyebabkan pembicaraan Politik Hukum menjadi sangat kompleks, sebab antara kebutuhan dan keadaan suatu negara dengan negara lain bisa berbeda, waktu lalu bisa berbeda dengan waktu sekarang.
1. Ruang Lingkup Politik Hukum 
            Ruang Lingkup  artinya  situasi/tempat/faktor  lain yang berada di sekitar Politik Hukum yang berlaku sekarang, Hukum yang sudah berlaku dan Hukum yang akan berlaku.
2. Obyek Politik Hukum                                  
Obyek yang dipelajari dalam Politik Hukum adalah Hukum-hukum yang bagaimana itu bisa berbeda-beda atau Hukum ini dihubung atau dilawankan dengan Politik.
 3. Ilmu Bantu Politik Hukum
Yang dimaksud Ilmu bantu disini adalah Ilmu yang dipakai dalam mendekati/mempelajari Politik Hukum baik berupa konsep, “teori” dan penelitian. Sosiologi hukum dan Sejarah Hukum dalam hal ini sangat membantu dalam mempelajari Politik Hukum
  4. Metode Pendekatan Politik hukum  
Metode   adalah cara   dalam mempelajari Politik Hukum Empirik adalah kenyataan (secara praktis untuk mendekati Politik Hukum adalah dengan melihat Konstitusi Negara)
Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :
  1. Satjipto Rahardjo
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
  1. L. J. Van Apeldorn
Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan  isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
  1. Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a)      Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b)      Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland
Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupakan salah satu  cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas:
  1. Dogmatika Hukum
  2. Sejarah Hukum
  3. Perbandingan Hukum
  4. Politik Hukum
  5. IlmU Hukum Umum
Berdasarkan atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan , maka objek ilmu politik hukum adalah “ HUKUM “.Hukum yang berlaku sekarang , yang berlaku diwaktu yang lalu, maupun yang seharusnya berlaku diwaktu yang akan datang.Yang dipakai untuk mendekati / mempelajari objek politik hukum adalah praktis ilmiah bukan teoritis ilmiah.

B. RUANG GERAK POLITIK HUKUM SUATU NEGARA
            Adanya Politik Hukum menunjukkan eksistensi hukum negara tertentu , bergitu pula sebaliknya, eksistensi hukum menunjukkan eksistensi Politik Hukum dari negara tertentu.

C. POLTIK HUKUM  KEKUASAAN DAN WARGA MASYARAKAT
            Politik Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para warga masyarakat . Di lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir menyatu dengan penggunaan kekuasaaan didalam kenyataan. Untuk mengatur negara , bangsa  dan rakyat. Politik Hukum terwujud dalm seluruh jenis peraturan perundang – undangan negara.

D. LEMBAGA – LEMBAGA YANG BERWENANG
Montesquieu mengutarakan TRIAS POLITICA tentang kekuasaan negara yang terdiri atas 3  ( tiga ) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, antara lain :
a)      Eksekutif
b)      Legislatif
c)      Yudikatif
Yang berfungsi sebagai centra – centra kekuasaaan negara yang masing – masing harus dipisahkan. Dalam kaitanya dengan Poliik Hukum yang tidak lain tidak bukan adalah penyusunan tertib hukum negara . Maka ketiga lembaga tersebut yang berwenang melakukannya.Ada pemahaman yang baru mengenai ruang gerak bahwa Politik Hukum itu sendiri itu dinamis. Bersama dengan laju perkembangan jaman , maka ruang gerak Politik Hukum tidak hanya sebatas negara sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas negara hingga ke tingkat Internasional.

            Menrut pendapatnya Sunaryati Hartono , Politik Hukum tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita dan di lain pihk. Sebagai salah satu anggota masyarakat dunia ,maka Politik Hukum Indonesia tidak terlepas pula dari Realita dan politik Hukum Internasional.
Kalau kita kaji antara POLITIK HUKUM dan ASAS-ASAS HUKUM maka akan terlihat konsep sebagai berikut :
·         Politik Hukum di negara manapun juga termasuk di Indonesia tidak bisa lepas dari asas Hukum.
·         diantara asas”itu terhadap asas yang dijadikan sumber tertib hukum bagi suatu negara.
·         Asas hukum yang dijadikan sumber tertib Huykum/dasar Negara di sebut : GRUND NORM
·         Di Indonesia yang dijadikan dasar negara adalah PANCASILA
·         Asas hukum yang dijadikan dasar negara ini merupakan hasil proses pemikiran yang digali dari pengalaman Bangsa Indonesia sendiri; bukan diambil dari hasil  perenungan belaka; bukan hal yang sekonyongkonyong masuk kedalam pemikiran masyarakat Indonesia tetapi :
1.      ada yang bersifat Nasional
2.      ada yang lebih khusus lagi seperti : kehidupan agama,suku,profesi, dll.
3.      ada yang merupakan hasil pengaruh dari sejarah dan lingkungan masyarakat dunia.

E. KERANGKA LANDASAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA
            Negara RI lahir dan berdiri tanggal 17 Agustus 1945,proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut merupakan detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional ( Tatanan Hukum Nasional )

F. MUNCULNYA POLITIK HUKUM DI INDONESIA
            Muncul pada tanggal 17 Agustus 1945 ,yaitu saat dikumandangkannya Proklamasi, bukan tanggal 18 Agustus 1945 saat mulai berlakunya konstitusi / hukum dasar negara RI.

G. SIFAT POLITIK HUKUM
Menurut Bagi Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam bukunya yang berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa Politik Hukum terdiri dari
a.       Politik Hukum yang bersifat tetap ( permanen )
Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan hukum.
Bagi bangsa Indonesia , Politik Hukum tetap antara lain :
                                                              i.      Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional.
Setelah 17 Agustus 1945, maka politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional , artinya telah terjadi unifikasi hukum ( berlakunya satu sistem hukum diseluruh wilayah Indonesia ). Sistem Hukum nasional tersebut terdiri dari:
1.      Hukum Islam ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya)
2.      Hukum Adat ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya )
3.      Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematikanya)
                                                            ii.      Sistem hukum nasional yang dibangun berdasrkan Pancasila dan UUD 1945.
                                                          iii.      Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan pada suku , ras , dan agama. Kalaupun ada perbedaan , semata – mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka keasatuan dan persatuan bangsa.
                                                          iv.      Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum , sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum .
                                                            v.      Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
                                                          vi.      Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.
                                                        vii.      Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum ( keadilan sosial bagi seluruh rakyat ) terwujudnya masyarakat yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan konstitusi.
     b .Politik Hukum  yang bersifat temporer.
Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan  yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan .

H .ARAH PEMBANGUNAN HUKUM
Dihubungkan dengan Pasal 18B ayat (2) maka watak modernitas konstitusonalisme Indonesia pasca amandemen UUD 1945, memesankan terbentuknya tatanan hukum yang memungkinkan tumbuhnya pluralitas hukum, bukan tatanan hukum yang monolitik dan sentralistik, sebagaimana dipraktikan pada masa lalu. Dalam tata hukum yang berwatak pluralitas itu, dimungkinkan hukum adat, agama, dan praktik-praktik penyelesaian konflik yang telah terlembagakan dalam setiap lingkungan sosial, tetap eksis dan menginspirasi pembangunan hukum. Hukum dalam arti itu, tidak hanya terbatas pada apa yang dilahirkan dan dibentuk oleh negara, melainkan mencakup apa yang diyakini dan eksis di dalam
kehidupan masyarakat. Dua Aspek Penting

1. Substansi Hukum
Pembangunan hukum merupakan suatu tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum bukanlah pembangunan undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan hukum pun bukanlah hukum dalam arti positif. Sebagai satu tindakan politik, maka pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan aktoraktor politik. Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan materinya.

Arah pembangunan hukum bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan arah pembangunan di bidang lainnya memerlukan penyerasian. Betapapun arah pembangunan hukum bertitik tolak pada garis-garis besar gagasan dalam UUD 1945, dibutuhkan penyelarasan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang dimimpikan akan tercipta pada masa depan.  Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikan dengan pembangunan undang-undang atau peraturan perundangan menurut istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk undang-undang sebanyak-banyaknya, tidaklah berarti sama dengan membentuk hukum. Negara hukum bukanlah negara undang-undang.

Pembentukan undang-undang hanya bermakna pembentukan norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi budaya, dan politik bukanlah tatanan normatif semata. Karena itulah maka diperlukan ruh tertentu agar tatanan tersebut memiliki kapasitas. dengan substansi hukum. Substansi hukum yang pantas untuk dibangun di masa depan adalah hukum yang berpihak pada martabat manusia dan demokratis, karena itu substansi hukum tidak boleh memiliki potensi menguntungkan satu kelompok tertentu, siapapun dia. Harus pula dicegah terbentuknya substansi hukum yang bersifat koruptif. Inilah tugas bersama yang menyertai kita.

2.Budaya Hukum
Dibanding dengan substansi hukum, budaya hukum merupakan perkara tersulit dalam membangun hukum. Inilah yang sedang dialami oleh kita semua. Masalah utama dalam substansi hukum adalah cara merumuskan suatu pandangan menjadi norma atau kaidah, sedangkan masalah utama dalam budaya hukum justru jauh lebih kompleks. Norma atau kaidah dalam satu pasal memang harus dijadikan patokan perilaku bagi setiap orang. Akan tetapi siapa yang mau bersusah payah mempelajari norma-norma dan kaidah itu. Siapa pula yang mau bersusah payah mengkampanyekan norma-norma itu.

Hukum dalam arti empirik adalah apa yang diperagakan oleh orang-orang yang diberi otoritas oleh Negara untuk menjalankan suatu undang-undang. Dalam arti empirik itu pula, hukum mewujud pada tindakan kongkrit yang seirama atau tidak seirama dengan kaidah-kaidah dalam undang-undang.

Sikap apresiasi terhadap hukum seperti apakah yang harus dibangun dan siapa yang harus berada di garda terdepan untuk membangun apresiasi terhadap hukum? Bila dikembalikan pada gagasan dasar yang terkandung dalam UUD 1945, maka sikap yang harus dibangun atau dikembangkan adalah sikap yang terbuka, hormat menghormati, dan tidak individual. Pilihan terhadap negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang bermakna negara hukum yang demokratis, mengandung arti bahwa kita telah memilih untuk tunduk dan taat terhadap hukum.
Pilihan itu juga berarti bahwa hukum ditempatkan dan dijadikan sebagai aturan main utama dan tertinggi dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA :

v  Muqaddas Busyra M., dkk.,Politik Pembangunan Hukum Nasional.UII Press,Yogyakarta 1992
v  Farida Indrianti S,Maria., Ilmu Per-Undang-undangan.Kasinus,Yogyakarta 2007
v  http://www.setneg.go.id
v  www.unisri.ac.id/anita/wp-content/uploads/2009/03/ringk-pol-huk.



BACA JUGA

Label: