Jumat, 16 September 2016

NEGARA DAN AGAMA

NEGARA DAN AGAMA
Ali Geno Berutu
ali_geno@ymail.com

Perdebatan konseptual antara negara dan agama selalu menjadi masalah aktual, apalagi dalam negara yang penduduknya dipadati oleh salah satu agama tertentu. Agama dalam suatu negara tidak selamanya tampil sebagai faktor independen, akan tetapi agama sering tampil sebagai dependen terhadap negara, bahkan agama terkadang menjadi alat legitimasi para penguasa. Persoalan akan menjadi lebih rumit jika persepsi negara yang dianut oleh suatu bangsa mengikuti pola George Wilhelm Fredrich Hegel (1776-1831) yang menganggap negara sebagai penjelmaan jiwa mutlak dan dalam mencapai tujuannya tidak peduli harus mengorbankan masalah-masalah pribadi,[1] negara beserta kedaulatan di dalamnya diamanatkan oleh tuhan untuk diterapkan oleh kepala negara atas nama tuhan.

A.  Relasi Negara dan Agama
Negara di tinjau dari gambaran umum adalah organisasi dalam suatu wilayah yang sah dan di taati oleh rakyatnya,[2] sedangkan agama adalah suatu gerakan disegala bidang menurut kepercayaan kepada tuhan dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan untuk mengangkat prinsip-prinsip moral manusia atau dengan kata lain agama adalah keyakinan yang berada di atas kekuatan manusia.[3]
Dalam pendefinisian negara Islam, pakar politik negara Islam menyebutkan bahwa istilah negara Islam bukanlah suatu penetapan dari para ulama yang tidak bisa dikritik maupun dianalisa. Muhammad Abu> Zahrah mengatakan bahwa pembagian negara Islam kepada Da>rul Isla>m dan Da>rul Harb tidaklah berdasarkan hadits, tetapi sebaliknnya merupakan hasil penalaran dan ijti>ha>d para ulama. Menurut Fazlur Rahman negara Islam adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat muslim dalam rangka memenuhi keinginan mereka dan tidak kepentingan lain.[4] Sedangkan Imam as-Sarkashi> menyebut negara Islam adalah panggilan atau nama untuk suatu kawasan yang dikuasai oleh umat Islam dan sebagai bukti kekuasaan mereka memperoleh keamanan disana.[5]
Untuk melaksanakan penegakan hukum tentunya memerlukan kekuasaan, maka diperlukan terbentuknya negara sebagai organisasi kekuasaan (machts organisatie) yang akan melaksanakan dan menegakkan hukum.[6] Hasan al-Bana menjelaskan bahwa pengakuan “bahwa tiada tuhan selain Allah” berarti umat Islam wajib bergantung pada hukum Allah  dalam setiap aspek kehidupannya, sedangkan dalam politik, Bana berpendapat mendirikan pemerintahan tuhan di muka bumi adalah suatu keharusan.[7]
Seorang ahli kajian agama-agama dan penulis buku terkenal Karen Amstrong pada tahun 1996 telah mengatakan bahwa pada akhir abad ke-20 agama menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan. Hal yang dianggap mustahil oleh banyak orang pada tahun 1950 dan 60-an, yang dimana kaum sekuler mempunyai anggapan bahwa agama hanyalah takhayul dan bualan primitif yang ditumbuh- kembangkan oleh manusia rasional dan beradab.[8]
Apa yang menjadi prediksi kaum sekuler justru malah terjadi sebaliknya, prediksi tersebut benar-benar meleset, di penghujung abat ke-20 manusia kembali melirik agama sebagai pelabuhan yang menjanjikan akan kebahagiaan hidup. Nilai-nilai yang telah diabaikan oleh hingar–bingar modernisme dirindukan kembali, agama telah mendapatkan momentumnya kembali. Secara umum para sosiologi teoritis politik Islam telah merumuskan teori-teori tentang hubungan antara agama dan negara lalu membedakannya menjadi tiga paradigma, petama paradigma Integralistik, kedua paradigma Simbiotik, dan ketiga Paradigma sekularistik.
1.    Paradigma Integralistik
Paradigma ini adalah konsep penyatuan agama dengan negara (integrated) keduanya tidak dapat dipisahkan, wilayah agama juga meliputi politik dan negara. Karena agama dan negara menyatu,[9] maka menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus pemrintahan negara diselenggarakan atas dasar unsur ilahi.>[10] Mereka beranggapan bahwa kedaulatan itu berasal dan berada ditangan tuhan dan kepala negara adalah penjelmaan dari tuhan yang meniscayakan ketundukan mutlak tanpa ada alternatif yang lain.[11]
Paradigama penyatuan agama dan negara dianut oleh kalangan fundamentalisme Islam seperti Abu A’la> al-Maudu>di>, Ibnu Taimiyyah, Hasan al-Bana, Sayyid Quthb dan Rasyid Ridho  dimana kelompok ini cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dinaggap mendasar dan prinsipil.
Abu A’la> al-Maudu>di> (1903-1979) merupakan salah satu ulama yang menganut faham ini, Maudu>di> berpendapat bahwa negara Islam harus di dasarkan pada pada empat[12] prinsip dasar yaitu: (1) mengakui kedaulatan tuhan, (2) menerima otoritas Nabi Muhammad s.a.w, (3) memiliki status wakil tuhan, (4) dan menerapkan musyawarah.[13] Menurut al-Maudu>di> syariat Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau agama dan negara. Syariat Islam adalah suatu sistem yang sempurna, meliputi seluruh aspek kehidupan dan tatanan kemasyarakatan. Dalam pandangan al-Maudu>di> pendirian negara Islam di letakkan dalam fondasi tauhid, risalah dan khilafah.[14] Sementara itu Ibnu Taimiyyah (1263-1328) menjelaskan dalam bukunya al-Sya>sah al-Syar’i>yah fi> Aslah al-Ra>’i wa al-Ri’a>yah bahwa syariah adalah prinsip agama yang lengkap, baginya syariah itu harus menjadi konstitusi negara, Islam adalah agama sekaligus negara (di>n wa daulah).[15]
Hasan al-Bana (1906-1949) menyatakan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, menurutnya Islam merupakan agama yang menyeluruh dan mencakup segala aspek kehidupan. Sedangkan Dau>lah Isla>mi>yah tegak di atas pondasi dakwah dan kaidah-kaidah syariat yang baku. al-Bana bahkan mengembangkan pandangan Islamisme yang mempertautkan Islam dengan politik atau negara, serta memandang penting adanya pemerintahan Islam.[16] Islam dan negara difahami sebagai suatu yang integral yang mencakup dimensi kehidupan dunia dan akhirat.[17]
Sayyid Quthb (1906-1966) dalam pandangannya menjelaskan bahwa Islam adalah sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh, Islam dalam pandangannya merupakan satu-satunya alternatif terhadap sistem-sistem Barat yang harus dipilih oleh setiap muslim. Negara dan pemerintah Islam menurut Quthb terdiri atas tiga asas, yakni keadilan penguasa,  ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara rakyat dan penguasa.[18] Pemerintahan yang tidak mengakui syariat Islam meskipun dilaksanakan oleh organisasi yang menamakan dirinya Islam atau mempergunakan label Islam, tidak dapat dikatakan sebagai pemerintahan Islam.
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) berpandangan bahwa penerapan hukum Islam memerlukan sebuah pemerintahan Islam, karena hukum merupakan sebuah produk dari musyawarah antara penguasa dan ulama, menurutnya perlunya memulihkan kekhalifahan yang murni yang merujuk kepada zaman nabi dan khalifah yang empat.[19]
Di Indonesia, Muhammad Natsir (1908-1993) merupakan salah satu tokoh yang menganut paradigma integralistik ini, dimana menurut pandangannya bahwa urusan kenegaraan merupakan suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dari Islam (integreerend deel), menurutnya negara bukanlah tujuan tapi alat, dan pada prinsipnya negara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam itu sendiri.[20] Menurut Natsir, dasar negara yang disebut juga sebagai state philosophy atau falsafah negara haruslah merupakan seperangkat nilai, ide atau norma yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang sanggup memberi bimbingan lahir dan bathin kepada rakyat supaya menjadi bangsa yang berakhlak dan bermoral, sekaligus dijadikan sebagai sumber aturan-aturan pokok yang dituangkan dalam konstitusi (UUD), untuk dipedomani dan dipegang teguh oleh suatu bangsa dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan negara, guna mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan bersama dan dasar seperti ini hanya ada dalam agama Islam.

2.    Paradigma Simbiotik
Paradigma ini adalah dimana agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan agama negara dapat berkembang. Begitu juga sebaliknya dimana negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika.[21] Kelompok ini percaya kepada sifat holistik Islam, tetapi mereka menolak pendapat bahwa Islam memberikan sistem kehidupan yang detail dan baku. Sifat holistik Islam hanya meliputi nilai-nilai moral yang berperan sebagai petunjuk umum bagi kehidupan.[22]
Paradigma simbiosis antara agama dan negara dapat dilacak pada pemikiran al-Mawardi (972-1058), ia memaparkan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan ilusi kenabian guna untuk memelihara negara dan mengatur dunia.[23] Dalam konsepsi al-Mawardi, pemeliharaan agama dan mengatur dunia (negara) merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, keduanya merupakan dimensi dari misi kenabian. Oleh karena itu dalam pandangan al-Mawardi disimpulkan bahwa, agama (syariat) mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Pada sisi lain sebenarnya Mawardi berusaha menjelaskan/mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik dengan menyelesaikan persoalan politik kalau dihadapkan dengan prinsip-prinsip agama.[24]
Muhammad Husein Haika>l berpendapat bahwa prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat yang diberikan al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan kenegaraan. Sistem pemerintahan Madinah yang dilaksanakan pada zaman Nabi Muhammad s.a.w tidak dapat diklaim sebagai sistem yang islami. Karena semasa nabi hidup, di Madinah belum terdapat ketentuan-ketentuan dasar sistem pemerintahan yang terperinci,[25] yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.[26]
Muhammad Mahfud MD berpendapat bahwa di dalam sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadist) memang tidak ada ajaran tentang mengenai sistem politik dan ketatanegaraan. Artiya, tidak ada ajaran tertentu yang harus diikuti dan dilaksanakan sebagai sistem politik dan ketatanegaraan dalam Islam.[27] Di dalam Islam sejarah, bukan dalam Islam wahyu, sistem politik dan ketatatnegaran sangat bermacam-macam. Banyak negara yang mengaku “negara Islam” tetapi sistem politik dan sistem hukumnya bermacam-macam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan dalam Islam. Sebab kalau ada sistem tertentu yang harus dianut, maka dengan sendirinya semua negara Islam sistemnya harusnya sama. Menurut Mahfud, Islam memang tidak menggariskan sistem politik dan ketatanegaraan tertentu, tetapi Islam bisa menerima berbagai sistem dan bentuk sesuai dengan tuntutan tempat, waktu dan tardisi (masing–masing negara). Karena itu negara-negara Islam ada berbentuk monariki, republik, bersistem presidensil dan parlementer. Tegasnya, Islam menerima sistem atau bentuk apapun yang ditetapkan oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan penerimaan masing-masing negara.[28]
Masykuri Abdillah membagi kelompok ini kedalam tiga orientasi, pertama, pelaksanaan syariah secara formal untuk hukum-hukum privat tertentu, seperti hukum keluarga, zakat, haji, wakaf dan perbankan. Kedua, pelaksanaan syariat Islam secara subtantif, seperti hukuman mati bagi tindak pembunuhan yang dimana secara materil sama hukumannya dengan qis}as}. Ketiga, pelaksanaan syariat Islam secara esensial, jika pelaksanaan syariat Islam secara subtantif sulit untuk diwujudkan dalam konteks kekinian. Misalnya hukuman penjara bagi tindak pidana pencurian, secara esensial telah sesuai dengan jiwa hukum Islam, bahwa pencurian merupakan yang harus dikenakan sanksi. Kelompok ini menjadikan ajaran Islam sebagai sumber etika moral atau input bagi pembangunan hukum nasional dan kebijakan publik lainnya.[29]

3.    Pradigam Sekularistik
Paradigma sekularistik adalah paradigma penolakan terhadap integralistik maupun simbiotik. Paradigma ini menghendaki adanya pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan negara, dalam artian paradigma ini menolak adanya pendasaran negara terhadap Islam. Hukum negara harus disandarkan pada prinsip-prinsip sekuler bukan pada hukum Islam.[30] Pandangan ini dapat kita lacak pada pemikiran Ali> Abdurra>ziq, Bassam Tibi, Abdullahi Ahmed an-Naim dan lainnya.
Ali> Abdurra>zi>q (1888-1966) menegaskan bahwa Islam tidak menetapkan terhadap suatu rezim tertentu dan tidak pula mendeklarasikan kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu,[31] tetapi Islam justru memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan intelektual, sosial dan tuntutan zaman. Ali> Abdurra>zi>q berpendapat bahwa tidak ada petunjuk yang jelas baik dalam al-Qur’a>n maupun as-Sunnah tentang ketentuan suatu bentuk sistem pemerintahan dalam Islam. Hal ini senada dengan pendapat Muhammad Abu> Zahra> yang mengatakan bahwa pembagian negara kedalam Da>rul Isla>m dan da>rul Harb  tidaklah berdasarkan kepada as-Sunnah tetapi merupakan hasil analisis dan ijtihad para ulama.[32] Dalam konteks ini Abdurra>zi>q menegaskan bahwa khilafah bukanlah rezim agama. Dia juga tidak memberikan legitimasi terhadap sistem demokrasi dan sistem politik yang lainnya.
Tha>ha> Husein seorang cendikiawan muslim terkenal dari Mesir mengatakan bahwa negara yang di dirikan oleh nabi Muhammad bukanlah negara teokrasi, sebab banyak perkara-perkara penting yang di hadapkan kepada Rasulullah dan diputuskan dengan mempertimbangkan kepada tradisi dan aspirasi masyarakat Arab yang tidak bertentangan dengan Islam.[33] Masalah penyatun agama dan negara, Tha>ha> berpendapat bahwa hal itu tidak akan bisa bersatu, menurutnya sistem negara dan agama adalah dua hal yang berbeda, kesamaan agama dan bahasa tidak akan selalu bergandengan tangan dengan kesamaan politik dan bukan juga merupakan tiang penopang tegaknya negara, menurutnya negara di dirikan atas kepentingan praktis tanpa memperhatikan agama.[34]
Abdullahi Ahmad An-Na’i>m yang menyatakan bahwa syariat bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interprestasi terhadap teks (nash) dasarnya sebagaimana dipahami oleh konteks historis tertentu. Pandangan ini menolak prinsip penyatuan total dan tuntas antara ajaran Islam (syariat) dan realitas kehidupan pemeluknya, sebagaimana dianut oleh fundamentalisme Islam dalam gerakan Islam kontemporer. [35] An-Na’i>m mengemukakan bahwa aturan-aturan syariah tidak dapat di berlakukan secara formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan publik dikarenakan aturan-aturan tersebut bagian dari syariah, dalam artian negara tidak perlu berusaha menerapkan syariat Islam secara formal.[36]
Muhammad Sa’i>d al-Ashma>wi> dengan tegas menolak pandangan kelompok yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dan negara yang pada akhirnya menuju kepada empat kesimpulan, pertama, sistem pemerintahan yang dipraktikkan oleh negara-negara Islam adalah bagian dari agama; kedua, politik adalah bagian dari agama, sehingga dapat dikatakan aktivitas politik adalah aktivitas agama; ketiga, kewajiban mendirikan negara Islam yang memberlakukan syariat Islam; keempat, dasar/asas dari negara-negara Islam adalah sistem Islam, sistem moral Islam dan budaya Islam. Jika dimaksud konsepsi Islam adalah negara agama, maka bagi al-Ashma>wi>  itu adalah suatu kekeliruan yang besar dalam memahami agama (Islam), karena al-Qur’an dan Hadits tidak membuat ajaran (normatif-tekstual) yang berkaitan dengan sistem politik, menurut al-Ashma>wi> sistem pemerintahan dalam Islam bersumber pada kehendak manusia dan bukan kehendak tuhan.[37]
Pertarungan pemikiran terutama menyangkut politik hukum negara terus bergulir tak terkecuali di Indonesia, sebagian pemikir dan penggiat politik berpendapat bahwa Islam telah mengajarkan secara lengkap tentang hukum – hukum yang harus di berlakukan dalam kehidupan bernegara, sehingga harus diikuti sepenuhnya sesuai dengan teks ajaran-ajarannya.
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa fundamentalisme lebih berbahaya dari narkotika, ia melontarkan pemekiran tentang bahayanya organizet religiondan fundamentalisme agama, bagi  Nurcholis fundamentalisme adalah musuh yang harus diwaspadai. Fundamentalisme dalam satu agama tertentu menurutnya menyebabkan gagasan-gagasan palsu dan bersifat menipu. Dimasa sekarang fundamentalisme telah menjadi sumber kekacauan dan penyakit mental baru di masyarakat, akibat-akibat yang ditimbulkannya jauh lebih buruk dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang sudah ada, seperti kecanduan minuman keras dan penyalahgunaan narkoba.[38] Sedangkan Masdar berpendapat bahwa pelaksanaan syariat Islam yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya hipokrisi, karena ketaatan pada syariat yang disebabkan oleh paksaan negara hanyalah merupakan ketaatan yang semu belaka, agama pada intinya harus menjadi wilayah yang otonom dari negara.[39]
Penggunaan masa lampau membuat kaum Islam formalis tidak mampu mempersepsi realitas dengan obyektif, realitas kekinian dilihat dengan kaca mata masa lalu, sehingga persepsinya mengalami distorsi dan anakronistik. Kaum Islam formalis disebutnya hanya melihat Islam dari aspek ritual yang wajib dilaksanakan, dipertahankan, dan bahkan diperjuangkan sampai titik darah penghabisan, sehingga seluruh yang berlabel Islam harus menjadi prioritas. Konsekuensi logis dari sikap itu adalah Islam menjadi gerakan komunal, sektarian dan feodalistik yang kehilangan elan vitalnya. KH. Abdurrahman Wahid  secara tegas mengarahkan kekuatannya pada dimensi itu, menurutnya feodalisme agama dapat menciptakan keresahan antar umat beragama. Oleh karena itu ia menentang formalisasi atau menjadikan Islam sebagai hukum negara.[40]
Berbeda dengan paham Islam politik, Islam Formal dan Islam Eksklusif yang berpendapat bahwa ajaran Islam sudah mencakup berbagai bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum internasional, yang semuanya siap dioperasionalkan sebagai paket yang given yang harus diikuti oleh setiap pemeluk Islam.[41] Pendapat seperti ini dianut oleh paham Islam Politik, Islam Formal atau Islam Eksklusif dengan dalil sebagai dasar argumennya adalah firman Allah dalam QS al-Ma>idah [5]: 44
“.......Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
            Di sisi lain ada penggiat politik muslim yang menganut paham yang lebih moderat dan akomodatif terhadap realitas perbedaan dan pluralitas masyarakat. Paham ini sering disebut sebagai penganut gerakan Islam Kultural, Islam Substantif, Islam Inklusif atau Islam Kosmopolit, mereka berpendapat bahwa hukum Islam yang harus diperjuangkan pemberlakuannya dalam hidup bernegara itu bukan norma-norma tekstual atau fik}ihnya melainkan makna-makna subtantif atau asas-asasnya. Menurut pendapat ini “barang siapa yang tidak berhukum dengan prinsip hukum (yakni keadilan) seperti yang diperintahkan  Allah, maka orang itu kafir”. Dengan demikian norma-norma hukum Islam terlebih dalam bentuk fik}ih tidak ada yang mutlak sehingga tidak harus diikuti seperti apa adanya, sebab yang terpenting adalah prinsip keadilan.[42]

-------------------------------------------
NB: Tulisan ini merupakan cuplikan dari tesis saya yang berjudul : Penerapan Qanun Aceh Dikota Subulussalam “Kajian Atas Qanun Nomor 12, 13 dan 14 Tahun 2003”

sitasi tulisan ini di:
Ali Geno Berutu, Negara dan Agama 



BACA JUGA

Label:

Pancasila dan Syariat Islam



                                               

PANCASILA DAN SYARIAT ISLAM
Ali Geno Berutu
ali_geno @ymail.com



Pada awal kemerdekaan Indonesia terjadi tarik–menarik kepentingan antara banyak ideologi perihal kedudukan agama dalam negara. Walaupun ummat Islam di Indonesia adalah penduduk mayoritas, tapi hal ini bukan berarti penetapan Islam sebagai dasar negara menjadi sesuatu yang mudah dilakukan, hal ini disebabkan karena ummat Islam Indonesia tidak semuanya sepakat tentang apa yang seharusnya dilakukan pemeluk Islam di Indonesia, setidaknya inilah alasan yang dikemukakan oleh Fred Von Den Mehden.[1]
Proses awal pembentukan negara Indonesia dihadapkan pada persoalan yang sangat krusial yakni kesepakatan mengenai dasar negara.[2] Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), permasalahan pokok yang dibicarakan adalah mengenai bentuk dan dasar filsafat negara yang bertalian dengan pembuatan konstitusi.[3] Pertarungan ideologi yang melibatkan kelompok nasionalis – Islam dan nasionalis – sekuler dalam Piagam Jakarta. Perdebetanpun terjadi mengenai kosnsep dasar negara bangsa dan dasar negara Islam.[4] Dasar negara kebangsaan diusung oleh tokoh-tokoh seprti, Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Soepomo. Sedangkan utuk kalangan yang mendukung Islam sebagai dasar negara direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti, KH. Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Kahar Muzakkir.
Sidang pertama BPUPKI dilakukan dengan rentang waktu 29 Mei – 1 Juni 1945, pada sidang ini terjadi perdebatan yang sengit, dimana kelompok nasionalis – Islamis menghendaki agar Islam dijadikan sebagai dasar negara, sedangkan kelompok nasionalis – sekuler tidak setuju dengan gagasan tersebut, dan lebih berpandangan pada pemisahan agama dan negara. Perdebatan yang panas dan tajam mengenai dasar negara pada akhirnya menghasilkan sebuah kompromi pada tanggal 22 Juni dalam bentuk rumusan yang dikenal dengan “Piagam Jakarta”.[5] Piagam Jakarata tesebut merupakan hasil kerja tim yang diketuai oleh Soekarno dengan anggota tim yakni, Muhammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakkir, Agus Salim, Ahmad Subarjo, Wachid Hasjim dan Muhammad Yamin. Pada rumusan Piagam Jakarta telah disepakati bahwa Pancasila sebagai dasar negara dengan sila pertama yaitu ketuhan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta tesebut juga disepakati masuk kedalam rumusan naskah konstitusi dasar negara Republik Indonesia yang akan diproklamasikan.
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan pada 17 Agustus 1945 masalah baru tibul kembali, yakni adanya keberatan dari kelompok agama minoritas mengenai tujuh kata dalam piagam Jakarta. Kelompok minoritas yang berasal dari Indonesia Timur[6] seperti Bali, Maluku, Plores dan Sulawesi  mengancam tidak akan mau bergabung dengan Indonesia jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta tetap dimasukkan ke dalam Preambule UUD 1945.[7] Melalui perdebatan yang panjang mengenai pro dan kontra tentang penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, akhirnya dalam pertemuan yang mendadak yang dimotori oleh Soekarno dan Muhammad Hatta, beberapa saat sebelum sidang PPKI dilakukan pada 18 Agustus 1945, terjadi penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta untuk pembukaan UUD 1945.
Kompromi politikpun terjadi antara Muhammad Hatta yang mewakili kalangan nasionalis dengan Kasman Singodimedjo yang mewakili dari kalangan Islam, kompromi politik tersebut diambil guna untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat itu baru berusia satu tahun.[8] Kalangan Islam pada akhirnya menyetujuai perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” . Dalam sidang pada 18 Agustus 1945, PPKI mensahkan UUD 1945 sebagai dasar konsitusi Indonesia dan mengakhiri perdebatan dan perselisihan mengenai dasar negara Indonesia.
Reformasi telah membuka jalan bagi demokrasi dan sekaligus Islamisasi di Indonesia. Salah satu produk dari demokrasi tersebut adalah otonomi daerah yang dimana sangat memperngaruhi proses – Islamisasi di Indonesia. Pada era reformasi ini telah membuka jalan bagi kelompok Islam yang lebih beragam untuk memperjuangkan aspirasi Islam mereka yang sebulumnya mengendap. Seperti Forn Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), Forum Komunikasi Ahlus – Sunnah wal-Jama’ah (FKAWJ), Majelis Mujahdin Indonesia dan lain-lain.[9] Gerakan ini mencoba memperjuangkan terwujudnya masyarakat Indonesia yang lebih Islami dengan mengkampanyekan gerakan “amar ma’ru>f nahyi> munkar”. Dari kalangan partai politik juga ikut mengupayakan formalisasi syariat Islam di Indonesia, seperti partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam sidang tahunan MPR 2002 untuk mengamandemen[10] pasal 29 UUD 1945 dengan memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan alasan agar formalisasi syariat Islam mempunyai landasan konstitusi yang jelas di Indonesia.[11] Tapi pada akhirnya usaha ini juga kandas karena tidak mendapat dukungan mayoritas diparlemen[12].
            Yang menarik dalam hal ini adalah dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak mendukung dilakukan perubahan terhadap pasal 29 UUD 1945, hal ini dilakukan guna untuk menghindari terjadinya perdebatan dan perselihan diantara masyarakat indonesia. Sebagaimana di ungkapkan oleh Hasim Muzadi dari kalangan NU bahwa perjuangan untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia tidak realistis, dia mendesak supaya mengedepankan nilai-nilai universal demi kemakmuran rakyat dan bukan mendorong gagasan syariat Islam untuk diterapkan di Indonesia, senada dengan Hasim, Syafi’i Ma’arif dari kalangan Muhammadiyah mengatakan bahwa kita harus berkomitmen untuk mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh pendiri bangsa ini.[13] Anis Baswedan menjelaskan bahwa fokus ummat Islam sekarang ini bukanlah menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia, tetapi bagaimana membawa warna Islam itu sendiri kedalam kedalam kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen, inilah menurutnya yang menjadi pendekatan syariah yang dilakukan oleh kedua ormas tersebut (NU – Muhammadiyah).
Muhammad Mahfud MD dalam pengantar buku Syarah Konstitusi Dalam Perspektif Islam karangan Masdar Farid Mas’udi menjelaskan bahwa, Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 merupakan suatu negara yang islami, tetapi bukan negara Islam. Negara islami yang dimaksud Mahfud adalah negara yang secara resmi tidak menggunakan nama dan simbol-simbol Islam akan tetapi subtansinya mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Seperi kepemimpinan yang adil, amanah, domokratis, menghormati hak asasi manusia dan lain sebagainya.[14] Pemilihan dengan cara pemuatan nilai subtantif ajaran Islam dalam konteks Indonesia sekurang-kurangnya mempunyai dua argumen sebagai berikut:
Pertama, didalam sumber primer ajaran Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada keharusan bagi ummat Islam untuk membentuk negara Islam, yang terpenting adalah adanya negara yang melindungi dan menjamin kebebasan untuk menjalakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam.[15] Kedua, tokoh-tokoh Islam Indonesia pada masa lalu telah berjuang melalui jalur konstitusi yang demokratis, dan menawarkan Islam sebagai dasar negara,[16] tetapi hasil kesepakatan yang di peroleh melaui proses politik yang demokratis pula, yakni menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.[17] Maka kesepakatan itu harus diterima sebagai mi>tsa>qan ghali>dza> (kesepakatan luhur) yang harus dijaga dan dilaksanakan secara konsekuen.



-----------------------------------------------------
NB: Tulisan ini merupakan bagian dari tesis saya yang bertudul : Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam "Kajian Atas Qanun Nomor 12, 13 dan 14 Tahun 2003"  (Jika ada yang mengingikan versi tesisnya dapat menghubungi saya via email)
BACA JUGA

Label: